Recommended

Titik Nol 89: Arranged Marriage

Sebuah acara pernikahan di India. Jumlah tamu bisa mencapai ribuan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Sebuah acara pernikahan di India. Jumlah tamu bisa mencapai ribuan. (AGUSTINUS WIBOWO)

Alangkah meriahnya pernikahan India, batin saya, ketika Ram menunjukkan foto-foto pernikahan kakaknya yang sampai mengundang 4.000 tamu dengan mas kawin sampai 10 lakh Rupee. Pernikahan akbar pangeran tampan dan putrid cantik seperti dalam fantasi negeri dongeng, atau imajinasi film Bollywood.

Saya sungguh mengagumi semangat bertualang Lam Li, si gadis Malaysia ini. Bukan hanya sebagai seorang perempuan seorang diri ia menempuh perjalanan darat dari negaranya, melintasi Indochina hingga ke Tibet, Nepal, sampai ke sini, hasratnya untuk selalu belajar, menjelajah, dan menemukan hal-hal yang baru sungguh luar biasa.

Lam Li mengajak saya menyusuri gang-gang kecil kota Jodhpur. Bukan hanya di daerah kota biru yang ramai dikunjungi turis, kami juga merambah jalan-jalan sempit di daerah kota, melintasi perkampungan, tempat pembuangan sampah, sampai mengunjungi rumah-rumah penduduk. Inilah sisi lain kota Jodhpur yang jarang dilihat turis asing, yang umumnya sudah cukup terpesona dengan benteng raksasa, istana mewah, dan birunya rumah-rumah. Tak banyak orang yang punya semangat bertualang seperti Lam Li, mencoba segala jenis makanan, memasuki semua gang dan jalan, bercakap dengan segala macam manusia.

Hingga tibalah kami berkenalan Ram, seorang pria Hindu yang mengajak kami masuk ke rumahnya. Kami sempat membuat keributan di dekat rumahnya. Belasan bocah kecil berteriak tanpa henti minta dipotret. Bukannya marah, Ram malah mengundang kami berdua, menyuguhi teh, dan serangkaian cerita menarik.

Berawal dari potret-potret keluarga di dinding, kami berbincang sampai mengenai pernikahan ala India. Baru-baru ini kakak Ram menikah. Kami ditunjuki koleksi foto pernikahan yang teramat mewah.

“Lebih dari empat ribu tamu yang hadir,” seru adik ipar perempuan Ram dengan bangga.

Saya terkesima melihat kemegahan pernikahan itu Pengantin pria yang gagah dengan surban merah. Pengantin perempuan yang cantik dengan perhiasan emas dari ujung kepala sampai, sari warna merah yang anggun, dan tangan yang penuh coret-coretan henna. Belum lagi para tamu yang pakaiannya penuh warna-warni dahsyat – merah, kuning, hijau, biru, ungu, jingga, merah muda – perbendaharaan kata kita sampai tak cukup untuk menyebut semua warna yang ada.

Keluarga Ram memang bukan keluarga sederhana. Ia berasal dari kasta Brahmin, kasta tertinggi dalam sistem kemasyarakatan Hindu India. Ditambah lagi ayahnya menduduki posisi terpandang di kota itu.. Tak heran petinggi dan pejabat ikut hadir dalam perhelatan ini. Bahkan mas kawin yang dibayar pun katanya sampai sepuluh lakh – sejuta Rupee, dua puluh ribu dolar lebih.

Begitu penuh warna, sentuhan tradisi, kisah fantasi di balik sebuah pernikahan akbar ini. Tetapi pernikahan India tak selamanya penuh dengan fantasi dan mimpi indah. Jangan bayangkan film Bollywood yang penuh intrik percintaan, perpaduan kasih sepasang manusia, dan selalu diakhiri dengan happy ending pasangan bahagia menuju ke pelaminan. Dalam kehidupan yang nyata, bukan begitu ceritanya.

Pernikahan adalah hasil perjodohan kedua pihak keluarga. Keluarga pengantin pria dan pengantin wanita saling bertemu, menghitung-hitung kesesuaian harkat dan martabat kedua keluarga. Pandit juga diundang untuk menghitung kecocokan astrologi melalui kalkulasi bintang. Pada saat ini pengantin pria dan wanita masih belum tentu saling mengenal. Bahkan tidak jarang, mereka baru bertatap muka di hari pernikahan. Cinta, kecocokan, harmoni, semuanya akan pelan-pelan dibina selepas pernikahan.

Apa bagusnya pernikahan macam ini? Saya teringat waktu di Pakistan dulu, di mana adat pernikahan jodoh-jodohan ala India ini juga berlaku, seorang pria Muslim mengajukan argumennya.

Tangan berhias henna. (AGUSTINUS WIBOWO)

Tangan berhias henna. (AGUSTINUS WIBOWO)

Arranged marriage lebih bagus karena pasangan tidak mengobral janji gombal selama pacaran. Lihatlah orang-orang yang bercinta itu, mulut mereka penuh rayu dan janji. Dan alangkah kecewanya setelah pernikahan melihat janji-janji itu kosong melompong, dan kemudian mereka bercerai. Sedangkan dengan pernikahan perjodohan, baik si pria maupun si wanita tidak pernah mengumbar janji. Cinta, juga muncul dari kebiasaan, pelan-pelan tumbuh ketika mereka hidup bersama.”

Adik perempuan Ram menambahkan, “Orang tua selalu memikirkan yang terbaik buat anak-anaknya. Dan kami percaya sepenuhnya bahwa pilihan orang tua adalah selalu yang terbaik.”

Baginya, menerima perjodohan orang tua bukan hanya kewajiban, tetapi adalah jalan paling sempurna menuju ke masa depan.

Hari Minggu, Lam Li membolak-balik surat kabar yang teramat tebal. Ini adalah kebiasaan Lam Li yang membuat saya kagum. Dia rajin membeli koran, membaca berita menarik mulai dari politik, ekonomi, sampai ke seluk-beluk kultur masyarakat India. Seminggu lalu ia tergelak membaca berita tentang demonstrasi besar-besaran orang India menentang kenaikan harga bawang merah.

Ia tergelak, “Dari sini kita tahu betapa pentingnya arti bawang bagi orang India.” Hari ini, kami juga punya penemuan menarik tentang pernikahan India.

Koran hari Minggu memang edisi istimewa. Selain banyak berita seputar kehidupan sehari-hari, lembar-lembar iklan, juga delapan halaman penuh iklan matrimonial alias biro jodoh. Kontak jodoh tidak dipandang sebelah mata di sini. Ratusan posting iklan ada di sini. Ada yang berbandrol “Boys seek girls” dan “Girls seek boys”.. Kemudian ratusan iklan itu dipisah-pisahkan berdasarkan lokasi, kemudian agama, dan kasta. Perkawinan antar agama nyaris mustahil di sini. Tinggi rendahnya kasta juga sangat penting artinya dalam menentukan jodoh.

Kami bersama-sama menelusuri ratusan iklan jodoh. Semua pria nampaknya selalu ‘tinggi, ganteng, berkulit putih, berpendidikan, gaji tinggi.” Kasta juga jadi salah satu kunci utama, membagi masyarakat dalam kelas-kelas dengan batas yang tak tertembus. Banyak pula yang mengaku sebagai orang asing. Tetapi jangan bayangkan mereka adalah bule yang mencari istri India. Mereka adalah orang India yang tinggal di luar negeri, yang dibanggakan adalah Eropa, Amerika, dan Australia.

Sama seperti kaum prianya, para wanita pun tak kalah – “cantik, lembut, kulit putih, berpendidikan, kasta tinggi.”

Baik bagi pria dan wanita, kulit putih adalah standar ketampanan dan kecantikan yang diagungkan. Hukum penawaran dan permintaan selalu berlaku. Bagi orang India Selatan, yang umumnya berkulit hitam dan sedikit yang berkulit putih, warna kulit juga menjadi salah satu kendala mencari jodoh bagi kebanyakan orang. Demikian juga dengan gelar kesarjanaan, pria yang semakin tinggi gelarnya semakin banyak yang mencari – walaupun tidak selalu sama kasusnya untuk perempuan. Bahkan ada pula kriteria vegetarian dan non-vegetarian. Umat Hindu taat biasanya bervegetarian dan lebih memilih pasangan yang sama menu makanannya.

Maraknya matrimonial di surat kabar menunjukkan bahwa semakin banyak pria dan wanita yang mencari sendiri pasangan hidupnya. Tradisi mengatakan cinta berawal dari kebiasaan, kalau orang Jawa bilang tresna jalaran saka kulina. Tetapi sekarang, cinta bisa diatur dan jodoh bisa dicari.

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 5 Desember 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*