Recommended

Lam Li

Titik Nol 200: Sebuah Desa di Pinggiran Peshawar

Bocah-bocah Safed Sang di atas keledai (AGUSTINUS WIBOWO) Di desa kecil Safed Sang, di pinggiran kota Peshawar, saya melewatkan malam dengan para pemuda Pathan. Salah seorang pemuda itu bernama Ziarat Gul, artinya ‘bunga ziarah’. Umurnya baru 19 tahun. Wajahnya lebar. Bola matanya besar. Hidungnya mancung. Garis wajahnya kuat. Tubuhnya tinggi dan kekar. Kulitnya putih bersih, jauh lebih putih untuk ukuran orang Punjabi atau Sindhi. Ziarat adalah etnis Pashtun, atau dalam bahasa Urdu disebut Pathan. Orang Pashtun juga sering disebut Afghan, suku bangsa dari Afghanistan. Perjumpaan saya dengan Ziarat sebenarnya tak disengaja. Dua bulan sebelumnya, saya sedang berkonsentrasi di depan komputer di sebuah warnet. Ziarat, yang duduk di sebelah saya, memandangi lekat-lekat. Terus-menerus mengajak bicara sampai saya tak bisa konsentrasi. Setengah jam berikutnya, datanglah Lam Li si petualang Malaysia. Mata Ziarat langsung beralih ke arah tubuh wanita itu. Di Pakistan, kaum pria bisa sampai melotot memandang tanpa lepas jika melihat kemolekan wanita, yang terbalut jubah dan jilbab sekali pun. Betapa kecewanya Ziarat ketika tahu sekarang hanya tinggal saya yang ada di Pakistan. Lam Li sudah menyeberang ke Afghanistan, sehingga tak ada lagi kesempatan baginya berkenalan. Tetapi ia tetap membulatkan tekad untuk mengajak saya mengunjungi desanya yang bernama Safed Sang. Peshawar, terletak [...]

May 29, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 199: Perempuan Pakistan di Mata Seorang Perempuan Malaysia

Lollywood – Hollywood dan Bollywood versi Lahore (AGUSTINUS WIBOWO) Masih ingat Lam Li, gadis Malaysia yang berkeliling dunia seorang diri? Setelah berkeliling negeri sendiri-sendiri, sekarang kami berjumpa lagi di Peshawar, dan saling berbagi pengalaman dari Pakistan. Sebelum masuk Pakistan Lam Li sudah dipenuhi oleh ketakutan tentang betapa seramnya kelakuan laki-laki Paksitan terhadap perempuan. Banyak cerita backpacker perempuan yang mengalami pelecehan seksual selama di Pakistan, mulai dari gerombolan laki-laki yang tak pernah puas memandangi tubuh wanita dari ujung kepala sampai ujung kaki, hingga kategori lelaki jalanan yang menjamah dan meremas. Jangankan perempuan, sebagai laki-laki asing pun saya sering mengalami pelecehan. Tetapi ternyata sudah hampir dua bulan Lam Li di sini, sama sekali ia tak mengalami pengalaman tak mengenakkan macam itu. Malah ia sempat terharu oleh keramahtamahan orang Pakistan.  Ketika ia baru menyeberang dari India, di Lahore ia langsung diundang menginap di rumah keluarga tukang rikshaw. Abang si tukang rickshaw adalah resepsionis hotel. Bersama orang tua, istri-istri, dan anak-anak, tiga generasi keluarga besar ini tinggal bersama. Dari rumah mungil inilah, ia mulai mereka-reka serpihan Pakistan. “Menjadi perempuan asing itu berarti punya identitas ganda,” kata Lam Li. Ia bebas makan dan ngobrol bersama kaum pria di keluarga itu. Di lain waktu, Lam Li [...]

May 28, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 190: Kuning Lagi

Pengobatan tradisional Ayurveda (AGUSTINUS WIBOWO) Punjab diserang badai panas. Harian Dawn 14 Mei 2006 memberitakan, tiga puluhan orang tewas di Sialkot dan Lahore, karena suhu udara yang meledak hingga 50 derajad Celcius. Saya terbaring lemah. Saya juga korban badai panas yang melanda Punjab. Minggu kemarin saya masih nekad keliling Multan dan Bahawalpur dengan berjalan kaki ke mana-mana. Kini, saya cuma bisa menghabiskan hari-hari di atas ranjang rumah Om Parkash Piragani di Umerkot. ‘Kawan lama’ saya, penyakit hepatitis, hinggap lagi di tubuh saya. Hasil cek darah kemarin menunjukkan angka SGPT melonjak dari batas normal 10 menjadi angka fantastis 1355. Bola mata saya kuning pekat, hilang cahaya kehidupannya. Saya tak pernah berhenti melihat cermin, mencoba menerima kenyataan, sekaligus berharap-harap cemas warna kuning menjengkelkan ini lekas-lekas pudar. Satu hal yang patut disyukuri, penyakit liver saya meledak tepat ketika saya mencapai rumah Om Parkash. Di rumah besar yang dihuni puluhan orang ini, saya dibasuh dengan belaian kasih sayang dan perhatian. Saya tak pernah kenal Parkash sebelumnya. Tetapi dia begitu lembut merawat saya, seorang kawan baru, yang terkapar di rumahnya. “Kamu harus istirahat total,” kata Parkash, “jangan berpikir macam-macam. Tidur saja!” “Berapa lama?” “Berapa lama pun kamu mau. Rumah ini adalah rumahmu. Kamu boleh tinggal [...]

May 15, 2015 // 3 Comments

Titik Nol 141: Dari Reruntuhan

Bocah-bocah pengungsi (AGUSTINUS WIBOWO) Mulai hari ini saya punya gelar baru – sukarelawan. Saya sudah berada dalam mobil milik Danish Muslim Aid, sebuah organisasi kemanusiaan, menuju ke Kashmir yang diluluhlantakkan  oleh gempa bumi 8 Oktober 2005. Sudah lama sekali saya ingin ke Kashmir. Saya teringat betapa bulatnya tekad saya untuk menjadi sukarelawan gempa ketika memohon visa Pakistan di New Delhi, lima bulan silam. Tetapi setelah mendapatkan visa, saya malah menyempatkan berkeliling Rajasthan, dan akhirnya mendapat penyakit hepatitis. Mungkin Tuhan mengingatkan saya akan komitmen yang saya buat dahulu. Ada perasaan tertekan dan bersalah, ketika harus menghabiskan hari-hari dengan beristirahat di pegunungan Hunza untuk memulihkan diri dari sakit kuning. Perasaan bersalah akan pengingkaran janji. “Mana Agustinus yang dulu bercita-cita jadi sukarelawan? Mana semangat sosialnya yang menggebu-gebu? Sekarang mengapa malah jadi turis di Hunza?” demikian bunyi e-mail Lam Li yang langsung menampar saya tanpa basa-basi. Hari ini, saya sudah resmi jadi sukarelawan, walaupun terlambat. Seorang kawan di Islamabad menjadi kepala organisasi Danish Muslim Aid (DM-Aid) yang menghimpun dana bantuan dari Denmark. Saya diminta membantu mendokumentasikan kegiatan mereka di lapangan. Saya berada di dalam mobil organisasi bersama Rashid, seorang sukarelawan juga. Rashid masih berumur 25 tahun, tetapi kumis tebalnya membuatnya tampak jauh lebih tua [...]

March 9, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 116: Karakoram Highway

Kakek tua Haider (AGUSTINUS WIBOWO) Di bawah gunung bertudung salju setinggi 7.790 meter, Desa Karimabad diam dalam keheningan. Di sini waktu mengalir lambat-lambat, ditelan keagungan puncak-puncak raksasa. Di bawah sana terhampar Lembah Hunza—terletak di utara Pakistan, diapit tiga gunung besar: Himalaya, Karakoram, dan Pamir. Jalan raya Karakoram Highway berkelok di pinggang gunung, menghubungkan Islamabad—ibu kota Pakistan—dengan kota kuno Kashgar di negeri Tiongkok. “Perjalanan yang benar-benar menyakitkan,” keluh Al, “Saya memang sudah tua. Perjalanan seperti ini sudah bukan untuk umurku lagi.” Saya dan Al baru saja menempuh perjalanan panjang sampai ke dusun Karimabad di jantung Lembah Hunza. Tujuh jam perjalanan Lahore–Rawalpindi plus 22 jam dengan bus menyusuri Karakoram Highway, dan masih ditambah lagi dua jam perjalanan sampai ke Karimabad. Jalannya berkelak-kelok, naik turun, bolong-bolong. Namanya juga jalan gunung. Gunung-gunung di bagian utara Pakistan mengisolasi wilayah pedesaan di seluruh provinsi Northern Areas (NA) di dataran tinggi ini. Ajaib, di liukan tajam punggung bukit, di tepi jurang dengan air sungai yang menggelegak, bisa dibangun jalan raya beraspal yang menghubungkan Pakistan-China, menghidupkan kembali perdagangan Jalur Sutra, dan menyembulkan dusun-dusun Hunza ke atas peta. Namun, bagi Al, itu adalah siksaan. Tak pernah ia semenderita ini. “Masa tak ada pesawat terbang ke Gilgit?” ia mengeluh lagi. [...]

February 2, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 97: Pernikahan Muslim India

Permainan menyuapi calon pengantin pria (AGUSTINUS WIBOWO) Masih ingat Aman, seorang pria Muslim pemilik hotel yang akhirnya mengundang saya dan Lam Li ke rumahnya untuk merayakan Idul Fitri? Hubungan kami bukan hanya hubungan biasa antara pemilik hotel dan tamunya. Aman sudah menganggap saya bagian dari keluarganya dan wanti-wanti saya harus hadir dalam pesta pernikahan adik perempuannya. Khusus untuk acara ini, saya memutar haluan dari Bikaner kembali ke Jaipur. Lam Li tak bisa datang. Ia punya prinsip yang dipegang teguh selama perjalanannya keliling dunia – tak sekalipun mengulang jalan yang pernah dilalui. Saya sendiri lebih mengutamakan pencarian pengalaman sepanjang jalan, tak peduli kalau harus mulai lagi dari titik awal. Aman memang sudah menyiapkan segalanya untuk saya. Begitu saya datang ke Jaipur, saya sudah disiapkan kamar di losmennya yang gelap. Sekarang kualitas losmen yang tak seberapa ini di mata saya begitu luar biasa, karena kemurahan hati pemiliknya. Bahkan Aman sempat wanti-wanti kepada manajernya yang baru untuk memperlakukan saya sebaik-baiknya, karena gelar saya adalah the family’s most important guest, seperti yang tertulis di buku daftar tamu. “Kenapa kamu tidak datang kemarin?” tanya Aman, “kamu sudah kelewatan satu acara penting dalam prosesi panjang pernikahan. Kemarin malam adalah acara mehndi, pembubuhan cat henna ke tangan [...]

January 6, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 93: Bishnoi

Di desa tandus ini, setiap rumput dan pohon punya nyawa (AGUSTINUS WIBOWO) Tak secuil pun daging pernah masuk kerongkongan mereka, karena mereka adalah pengasih semua makhluk yang ada di alam raya. Kakek Mamohan membonceng saya dan Lam Li di atas sepeda motor tuanya. Lam Li di tengah dan saya di belakang. Rasanya sungguh menyeramkan dengan kendaraan ini naik turun bukit, menyusuri gang sempit kotakuno yang disliweri oleh sapi, bocah, rickshaw, sampai mobil butut.Tetapi Kakek Mamohan sangat piawai mengendalikan kendaraannya, hingga kami tiba di tempat resepsi pasangan kemarin. Resepsi adalah puncak dari rangkaian acara pernikahan India. Keluarga kaya mengundang ribuan tamu, menunjukkan eksistensi dan posisi mereka dalam masyarakat. Ada ratusan gadis cantik berpakian sari indah, penuh warna dan keanggunan. Para pelayan pun hilir mudik menyajikan makanan bagi para tamu. Yang ada hanya goreng-gorengan, roti chapati, dan nasi. Yang menjadi favorit pengunjung adalah martabak. Tak ada daging di sini. Semu amakanan adalah vegetarian. Dalam agama Hindu ada ajaran cinta kasih yang besar terhadap sesama makhluk hidup, terutama binatang. Vegetarian adalah jalan hidup yang demikian utama. Tetapi umat Hindu di Jodhpur ini tidaklah terbandingkan dengan kecintaan orang Bishnoi terhadap alam lingkungan mereka. Bukan hanya mereka tak membunuh hewan, umat Bishnoi bahkan tak menebang [...]

October 1, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 92: Rajput

Taman Mandore (AGUSTINUS WIBOWO) Rajasthan adalah tanah kekuasaan kaum kesatriya yang gemilang. Nama aslinya adalah Rajputana, negeri kaum Rajput. Dari penginapan Gopal di Jodhpur, saya meraba-raba kegemilangan masa lalu para petarung ini. Rumah kuno Gopal boleh dibilang seiris sejarah. Kamar-kamar tua beratap tinggi, dengan tata ruang yang seakan membawa saya seakan kembali ke masa kolonial Inggris. Foto-foto tua hitam putih melukiskan masa lalu India di bawah pemerintahan British Raj. Ayah dan kakek Gopal adalah para pejuang. Wajah yang tergambar pada foto tua itu sangat tampan – alis matayang keras, hidung mancung, tatapan mata tajam, kumis tipis menyiratkan aura kejantanan. Surban besar bertengger di atas kepala yang anggun. Pedang tersematdi tubuh, menunjukkan pria-pria ini bukan orang sembarangan. Gopal berasal dari kasta Rajput, salah satu klan kasta Khsatriya – kaum pejuang. Rajput berasal dari bahasa Sanskerta Rajaputra, artinya putera raja. Levelnya sedikit lebih rendah dari kasta Brahmana, masih termasuk kelompok yang dihormati dalam struktur kemasyarakatan India. Tengoklah Rajasthan ini yang penuh dengan benteng dan istana megah, mulai dari Jaipur hingga Jodhpur, dari Jaisalmer di utara sampaiUdaipur di selatan. Semuanya adalah peninggalan para raja, pejuang kasta khsatriya. Tak heran Gopal begitu bangga dengan masa lalu keluarganya. Untuk mengagumi kebesaran klan kaum ksatriya ini, [...]

September 30, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 91: Pernikahan Tengah Malam (2)

Pernikahan tengah malam (AGUSTINUS WIBOWO) Sorak sorai bergemuruh ketika sang dulha –pengantin pria, berhasil menaiki kuda putih dengan pelana berbalut permadani cantik. Ia kini bagaikan seorang pangeran dari negeri fantasi di atas kuda putih, berangkat untuk menjemput sang putri. Arak-arakan ini sungguh ramai. Puluhan gadis dengan sari yang cantik menari sepanjang jalan, mengiringi tetabuhan genderang dan trompet yang bersahut-sahutan. Kami bersama-sama menyusuri jalan-jalan kota kuno Jodhpur yang sempit. Kuda putih sang pengantin memimpin. Tari-tarian dan band menyusul. Selanjutnya barisan orang yang tertawa riang, dalam busana mereka yang terbaik, bak parade karnaval akbar. Di musim kawin India, arak-arakan ramai seperti ini ada setiap hari membawa suasana semarak ke tengah kota. Barat artinya iring-iringan pengantin pria menyambut sang wanita. Dalam tradisinya, pengantin menunggang kuda putih sampai ke rumah sang gadis. Tetapi sekarang zaman sudah modern. Sudah ada mobil dan bus. Apalagi rumah sang pengantin wanita di kota Nagaur, lebih dari 100 kilometer jauhnya dari sini. Iring-iringan kuda pengantin hanya beberapa ratus meter saja sampai kami mencapai jalan utama. Di sana sudah ada dua bus besar menunggu, siap mengantar semua orang dalam iringan barat ini. Berawal dari turis yang memotret-motret band kawinan, sekarang kami berdua malah sudah duduk dalam bus bersama sanak saudara [...]

September 29, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 90: Pernikahan Tengah Malam (1)

Siap berangkat menjemput istri (AGUSTINUS WIBOWO) Di malam bertabur bintang, ketika saya sedang menikmati langit malam yang tenang di atap rumah, merenungi hamparan kota kuno Jodhpur yang bak mozaik masa lalu, mensyukuri betapa beruntungnya takdir yang menuntun sampai ke tempat ini, seringkali saya dikejutkan oleh bunyi genderang, musik band yang fals lagi keras, dan ledakan petasan. Itulah hiruk pikuknya pernikahan India yang memecah keheningan malam gelap. Matahari siang terik bersinar. Gang kota Jodhpur meliuk-liuk bak labirin, mudah sekali tersesat di sini. Tetapi justru terperangkap dalam ruwetnya jalan kecil ini yang mengantar kami berdua pada pengalaman pernikahan kasta Brahmana dari Rajasthan. Bunyi genderang dan tetabuhan bertalu-talu. Sepuluh orang berseragam merah dengan untaian sulam-sulaman cantik dari benang emas dengan penuh semangat memainkan berbagai alat musik. Mereka adalah anggota Vishal Band, band acara kawinan yang lumayan ternama di Jodhpur. Ada lima orang peniup trompet yang sampai merah mukanya kehabisan nafas. Ada para penabuh genderang dari ukuran besar sampai kecil yang memukul dengan penuh semangat. Ada yang mengusung bendera band. Ada anak-anak tetangga yang ikut menari riang. Musiknya cepat, naik turun, menggugah semangat. Tetangga melongokkan kepala dari jendela lantai atas rumah mereka. Kalau dalam film Bollywood keributan orkestra jalanan macam ini pasti langsung diiringi [...]

September 27, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 89: Arranged Marriage

Sebuah acara pernikahan di India. Jumlah tamu bisa mencapai ribuan. (AGUSTINUS WIBOWO) Alangkah meriahnya pernikahan India, batin saya, ketika Ram menunjukkan foto-foto pernikahan kakaknya yang sampai mengundang 4.000 tamu dengan mas kawin sampai 10 lakh Rupee. Pernikahan akbar pangeran tampan dan putrid cantik seperti dalam fantasi negeri dongeng, atau imajinasi film Bollywood. Saya sungguh mengagumi semangat bertualang Lam Li, si gadis Malaysia ini. Bukan hanya sebagai seorang perempuan seorang diri ia menempuh perjalanan darat dari negaranya, melintasi Indochina hingga ke Tibet, Nepal, sampai ke sini, hasratnya untuk selalu belajar, menjelajah, dan menemukan hal-hal yang baru sungguh luar biasa. Lam Li mengajak saya menyusuri gang-gang kecil kota Jodhpur. Bukan hanya di daerah kota biru yang ramai dikunjungi turis, kami juga merambah jalan-jalan sempit di daerah kota, melintasi perkampungan, tempat pembuangan sampah, sampai mengunjungi rumah-rumah penduduk. Inilah sisi lain kota Jodhpur yang jarang dilihat turis asing, yang umumnya sudah cukup terpesona dengan benteng raksasa, istana mewah, dan birunya rumah-rumah. Tak banyak orang yang punya semangat bertualang seperti Lam Li, mencoba segala jenis makanan, memasuki semua gang dan jalan, bercakap dengan segala macam manusia. Hingga tibalah kami berkenalan Ram, seorang pria Hindu yang mengajak kami masuk ke rumahnya. Kami sempat membuat keributan di [...]

September 26, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 88a: Mehrangarh

Kota biru Jodhpur. (AGUSTINUS WIBOWO) “Apa yang salah dengan kaum pria India?” tanya Lam Li retorik, “Apakah mereka memang punya hasrat nafsu yang menggebu-gebu? Ataukah citra perempuan asing di sini begitu buruknya, murahan dan bergaul bebas?” Kota biru Jodhpur memang sesuai dengan julukannya. Sejauh mata memandang, yang nampak adalah rumah-rumah biru tersebar tak beraturan, namun menjadi sebuah mosaik yang punya ritme dan harmoni. Memandangi warna biru yang bak lautan di tengah padang gersang Rajasthan sungguh sejuk rasanya. Dari mana asal-muasal warna biru ini? Orang-orang kasta Brahmana punya kebiasaan mengecat rumahnya dengan warna biru muda. Alkisah ketika Jodhpur didirikan, tak banyak kaum pandita Brahmana di sini. Raja Jodhpur kemudian mendatangkan kaum pemimpin agama ini dari berbagai wilayah. Orang Brahmin adalah pengikut setia agama Hindu. Mereka mematuhi semua perintah agama dengan sepenuhnya, mulai dari garis kasta, ritual pada dewa dewi, vegetarian ketat, bahkan sampai anjing peliharaan mereka pun jadi vegetarian. Untuk membedakan mereka dari kasta lainnya, mereka mewarnai rumah dengan warna biru. Sekarang warna biru bukan hanya monopoli orang Brahmin. Bahkan Muslim di kota tua Jodhpur pun mengecat rumah mereka dengan warna biru. Ada lagi yang mengatakan bahwa Jodhpur, selain dikenal sebagai blue city, juga dijuluki sebagai sun city karena panasnya matahari [...]

September 25, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 88: Paniwala

Kakek Mamohan (AGUSTINUS WIBOWO) “Hari Om, Ashok, Hari Om, Lilavati” kakek Mamohan menyapa. Jenggot putih menghiasi wajah tuanya. Kami berdua masuk ke padepokannya yang sederhana di pertigaan jalan, di bawah rindangnya pohon besar. “Hari Om…. Ramram…” saya membalas sapanya. Kemarin Kakek Mamohan memberi nama Hindu bagi kami berdua. Ashok buat saya dan Lilavati buat Lam Li. Ashok, atau dalam bahasa Indonesia disebut Ashoka, adalah nama raja besar India dari Dinasti Maurya, berkuasa abad kedua Sebelum Masehi. Roda Chakra dan Singa Ashoka dijadikan lambang negara dan bendera Republik India modern. “Ashok, benar-benar nama yang indah,” saya berterima kasih padanya. Kendi demi kendi air berjajar rapi di halaman. Kakek Mamohan sendiri yang mengisi kendi air itu. Air jernih dan menyegarkan tersedia bagi siapa pun yang melintas. “Kakek Mamohan, berapakah yang harus dibayar orang yang minum air ini?” saya bertanya. “Kuch nehi. Tidak sama sekali. Air ini tersedia cuma-cuma,” ia menjawab dengan perlahan, tenang, elegan. Air ini adalah perlambang cinta dan pengabdian. Kakek Mamohan adalah seorang paniwalla. Pani artinya air, dan walla adalah akhiran bahasa Hindi untuk menyebut orang. Tukang air biasanya duduk dengan tenang di sudut jalan Rajasthan dengan kendi di tangan mereka. Air mengucur dari leher kendi siap diguyurkan ke tenggorokan [...]

September 24, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 87: Hidup Menurut Buku Panduan

Sarapan pagi pun saya membaca Lonely Planet. (AGUSTINUS WIBOWO) Mengapa hidup kita harus selalu dituntun oleh buku panduan? Tidakkah kita memiliki hasrat lebih besar untuk melakukan pengembaraan, menemukan rahasia alam yang tak terduga? Terilhami dari perang omelet di Jodhpur, saya jadi berpikir sejauh mana buku panduan macam Lonely Planet sudah memengaruhi cara orang menjelajah dunia. Coba perhatikan, berapa banyak turis yang berkeliaran di India yang yang tidak membawa-bawa buku suci tebal berjudul Lonely Planet, atau buku panduan wisata lainnya? Semua orang membawa buku yang sama, pergi ke tempat yang sama seperti yang ditulis dalam buku, menginap di hotel-hotel yang sama, sampai makan omelet pun di tempat yang sama. Turis-turis ini hanya melakukan perjalanan napak tilas seperti yang dituntunkan oleh buku. Bahkan beberapa edisi terbaru Lonely Planet sudah mencantumkan rute pilihan penulis. Apa jadinya? ‘Petualang’ atau bahasa kerennya traveler zaman sekarang, sudah jauh berbeda dengan para pengelana dunia pada zaman dahulu, bahkan tak bisa dibandingkan dengan para hippie yang menapaki hippie trail dari Istanbul sampai Kathmandu pada era 70-an. Perjalanan backpacker zaman sekarang terlalu terikat dengan petuah dan petunjuk Lonely Planet. Semua pergi ke tempat yang sama, semua mencicip makanan di restoran yang sama, dan menyelami pengalaman perjalanan yang sama. Apa [...]

September 23, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 86: Perang Omlet (2)

Direkomendasikan oleh Lonely Planet. (AGUSTINUS WIBOWO) Kios omelet di depan pintu gerbang jam kota Jodhpur memang nampak biasa dari kejauhan. Yang tidak biasa adalah persaingan sengit di antara mereka gara-gara sebuah buku panduan turis berjudul Lonely Planet. “Terletak di pintu gerbang utara menara jam kota Jodhpur, kios omelet ini memang tampak seperti kios biasa. Tetapi konon mereka berhasil menjual 1.000 telur per hari dan penjualnya sudah berkecimpung dalam bisnis ini selama 30 tahun.” Demikian Lonely Planet India menulis tentang toko omelet ini di bagian “Tempat Makan” di kota Jodhpur. Sebuah paragraf yang bahkan saya lirik pun tidak, tetapi gara-gara mendengar kisah persaingan seru kios-kios omelet di sekitar jam kota, saya pun tertarik membaca. Sebait paragraf sederhana ini, ditambah lagi informasi tentang pedasnya omelet dan harganya yang murah, ternyata berarti luar biasa bagi bapak tua pemilik warung. Kepalanya sedikit botak, kaca matanya tebal, dan dengan bangga ia berkata, “saya sudah bekerja 33 tahun!” Seperti di warung sebelah, pemilik warung ini juga lebih sibuk menunjukkan testimoni kejayaannya daripada menyajikan omeletnya. Saya disuguhi dua lembar fotokopian ukuran besar dari halaman Lonely Planet yang menyebut tokonya, dilaminating pula. Ini adalah kebanggaannya yang paling besar. Paragraf itu di-highlight, bagian ‘wajib baca’ untuk semua turis yang [...]

September 22, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 85: Perang Omlet

Buku testimonial adalah senjata ampuh warung-warung omelet untuk menarik pelanggan. (AGUSTINUS WIBOWO) Siapa yang tak kenal Lonely Planet? Tampaknya hampir semua backpacker yang berkeliaran di India berpegang teguh pada buku tebal yang sudah menjadi seperti kitab suci ini. Tetapi  siapa sangka Lonely Planet juga sudah mempengaruhi pasar di India? Jodhpur, kota biru Rajasthan, adalah salah satu magnet turis India. Kota ini dibanjiri oleh wisatawan dari berbagai kelas, mulai dari penghuni hotel bintang lima di puri kuno sampai backpacker kere penghuni losmen murah. Dari Pushkar yang masih ramai dan mahal, saya datang bersama Lam Li, menyusuri gang kota Jodhpur yang menyesatkan untuk mencari penginapan yang sesuai dengan cekaknya kantong kami. Kami mengunjungi lebih dari empat losmen. Setiap kali kami datang melihat losmen, yang pertama kali diperlihatkan kepada kami bukan kamar, melainkan kitab tebal berisi testimoni para tamu yang pernah menginap di sini. Guest Book, buku tamu, adalah alat promosi ampuh untuk menarik pelanggan. Yang namanya tercantum dalam kitab suci Lonely Planet dengan bangga menulis di plakat, “We are in Lonely Planet.” Yang tidak pun tetap optimistis, seraya berkata, “Kami masih baru, jadi masih belum terdaftar di Lonely Planet. Tapi jangan khawatir dengan pelayanan kami!” Sebegitu pentingnyakah terdaftar di Lonely Planet? Mungkin, [...]

September 19, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 84: Ajmer Sharif

Selamat datang di dunia Jain. (AGUSTINUS WIBOWO) Sebelas kilometer dari Pushkar yang menjadi kota sucinya umat Hindu, Ajmer Sharif adalah salah satu kota paling suci bagi umat Muslim India. Di sini, guru Sufi Chishsti bersemayam dan raja-raja Afghan menghancurkan patung-patung berhala Jain. India, walaupun namanya Hindustan dan mayoritas penduduknya beragama Hindu, bukanlah negara Hindu. Di sini, beragam agama dan kepercayaan kuno terlahirkan, jauh sebelum datangnya Kristen dan Islam. Jain, agama asli India sudah ada sejak beratus tahun sebelum Masehi, masih hidup hingga hari ini, dengan sisa-sisa kebesaran masa lalunya. Kuil Merah Nasiyan di kota Ajmer membuat saya ternganga. “Seumur hidupmu, engkau tak akan pernah melihat tempat seindah ini,” kata bapak tua penjual karcis. Ia benar. Saya tak pernah begitu terpesona melihat sebuah kuil seperti saat ini. Ruang utama Nasiyan disebut Swarna Mandir, Kuil Emas, karena segala sesuatu yang berkilau di sini adalah … emas. Sebuah negeri dongeng, penafsiran dunia dalam mitologi Jain, kota kuno Ayodhya dan Prayoga, terukir dari seribu kilogram emas murni setinggi bangunan dua lantai. Negeri antah berantah ini dijuluki Swarna Nagari – Negeri Emas. Ada istana berkubah besar dengan raja dan hulubalangnya. Ada pandita Jain sekte Digambar yang tak berpakaian sama sekali. Ada para penari wanita dengan [...]

September 18, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 82: Festival Padang Pasir

Warna-warni Rajasthan. (AGUSTINUS WIBOWO) Pushkar yang suci tidak hanya dipenuhi oleh peziarah dan pedagang unta. Eksotisme danau suci dan pasar unta tak luput dari perhatian turis dari seluruh penjuru dunia. “Japani! Japani!”  Dua orang perempuan berkerudung, yang satu merah jambu satunya merah membara, berteriak ke arah kami sambil berlari, mengumbar senyum pada sebaris gigi kuning yang mengkontraskan wajah hitam. “Foto! Foto!” mereka menggeret tangan saya. Walaupun sempat tergoda oleh pakaian mereka yang sangat etnis, aksesori berwarna-warni dan berat, saya memaksa diri untuk tidak memotret. Perempuan dan gadis-gadis ini selalu meminta imbalan Rupee atau dolar. Mereka datang dari kelas sosial yang cukup rendah, menjual ‘kecantikan padang gurun’ untuk kenang-kenangan para turis mancanegara yang berkantong tebal. “Kelihatan, mana yang orang kasta tinggi mana yang orang gurun,” kata Lam Li, “walaupun sama-sama berwaju warna-warni dan mencolok mata, pakaian orang gurun ini sudah tambal sulam. Kosmetik yang mereka pakai menghias wajah pun sering kali amburadul, bentrok sana-sini, norak luar biasa.” Ada yang gincunya ungu gelap, membuat wajah hitamnya bertambah seram, ada pula yang bedaknya terlalu tebal sampai seperti orang sakit kulit. Walaupun demikian, siapa yang tak terkesima melihat gelora kaum perempuan Rajasthan ini yang begitu dahsyat. Kerudung tembus pandang menutup wajah mereka sepenuhnya, melindungi [...]

September 16, 2014 // 0 Comments

Titik Nol (81): Pasar Unta

Pasar unta di Pushkar. (AGUSTINUS WIBOWO) Purnama berpancar penuh di Bulan Kartika. Kartik Purnima, purnama yang membawa keberuntungan, bersinar di antara atap mandir yang menjulang. Asap dupa bertebar, kolam suci memancarkan sinar. Dan kota Pushkar dipenuhi segala jenis hewan ternak Kartik Purnima diagungkan oleh umat Hindu, Sikh, dan Muslim India. Jatuhnya di sekitar bulan November. Ketika bulan bersinar sepenuh-penuhnya, kolam suci menjanjikan penyucian diri yang paling sempurna. Umat Hindu dari seluruh penjuru negeri berdatangan ke kolam Pushkar. Mulai dari sadhu yang berbungkus kain kumal, berselimut aroma dupa dan wangi bunga, hingga ke peziarah jelata yang datang berombongan dalam bus pariwisata. Pada saat yang bersamaan, padang pasir Pushkar menjadi arena pasar unta terbesar di dunia. Suku-suku pengembara padang gurun mengadu nasib di sini, mentransformasi kekayaan potensial mereka menjadi gepokan uang. Seekor unta mencapai 20 ribu Rupee, harta karun paling utama bangsa pengembara. Bukan hanya unta, ada pula kambing, domba, kuda, dan segala macam ternak lainnya. “Saya datang dari Nagaur,” kata pria bersurban berkumis tebal dan bermata garang, “Empat hari jauhnya jalan kaki dari sini. Sang pedagang unta membawa tiga ekor unta besar dan dua kuda gagah, mendirikan kemah kecil di tengah padang untuk tinggalnya dan bocahnya. Mereka sekeluarga sudah datang di [...]

September 15, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 80: Kota Suci

Para peziarah mencelupkan diri dalam danau suci. (AGUSTINUS WIBOWO) “Hare Krishna Hare Krishna, Krishna Krishna Hare Hare, Hare Rama Hare Rama, Rama Rama Hare Hare” Kabut masih menyelimuti pagi yang dingin di Pushkar. Pukul enam tepat, hari baru di kota danau suci ini dimulai dengan bacaan mantra enam belas kata Hare Krishna. Enam belas kata, diikuti enam belas kata berikutnya, diikuti enam belas lagi, berulang-ulang, dari pagi hingga tengah hari. Ribut sekali, dinyalakan dari kaset yang sudah hampir rusak pitanya. Kenapa pukul enam? Tepat jam enam pagi Undang-undang Polusi Suara tak berlaku lagi. Isi Undang-undang ini adalah segala jenis kebisingan dilarang mulai dari jam 10 malam sampai 6 pagi. Kebisingan ini meliputi drum, terompet, pengeras suara, klakson mobil dan sepeda motor, dan lain sebagainya. Larangan ini juga berlaku bagi semua tempat ibadah. Begitu jarum jam menunjuk pukul enam, kedamaian dan ketentraman pun seketika menguap bersama terbitnya mentari. Kuil-kuil berlomba dengan loudspeaker mereka, melantunkan mantra suci dari pagi sampai malam. Maha-mantra Hare Krishna seharusnya punya kekuatan dahsyat, menyucikan diri dan membawa pencerahan, diucapkan dari hati yang paling dalam dengan suara bergetar. Tetapi sekarang orang tak perlu repot membaca dari pagi sampai malam, cukup menyalakan kaset tua dengan pengeras suara berkualitas buruk, [...]

September 12, 2014 // 1 Comment

1 2 3