Recommended

Hindu

Titik Nol 198: Karachi

Mausoleum Mohammad Ali Jinnah, Bapa Pendiri Pakistan, adalah lanmark Karachi (AGUSTINUS WIBOWO) Karachi, inilah kota terbesar di Pakistan. Inilah salah satu urutan atas kota terbesar di muka bumi. Di sinilah belasan juta manusia Pakistan tumpah ruah, segala macam etnis dan agama campur aduk. Di sinilah segala kebanggaan bangsa, gemilang sejarah, bercampur dengan bau busuk gunung sampah dan sungai tercemar. Perjalanan dengan bus melintasi gurun pasir membawa saya kembali dari dunia Thar ke alam Pakistan. Begitu meninggalkan Umerkot, bus tak henti memutar acara khotbah pengajian dan lantunan syair maatam yang membawa suasana kesedihan Ashura. Penumpang bus, kebanyakan perempuan Hindu dengan sari dan kalung hidung ukuran besar, sama sekali tidak ada yang protes. Karachi, walaupun sudah bukan ibu kota Pakistan lagi, masih memegang kendali sebagai pusat perekonomian negeri ini. Kota pelabuhan ini masih menjadi hub perdagangan internasional dan gerbang utama masuknya komoditi ke seluruh Pakistan. Siapa yang tak terkesima oleh ukuran kota yang sudah masuk kategori megapolitan ini? Siapa yang tak takjub melihat modernitas arsitektur kuburan Muhammad Ali Jinnah – sang Bapak Pendiri Pakistan, sang Quaid-e-Azam (Pemimpin Yang Agung)? Di mana lagi di Pakistan kita bisa melihat hiruk pikuk orang seramai di kota ini, dengan luas sebesar ini, dengan gedung tinggi dan [...]

May 27, 2015 // 3 Comments

Titik Nol 196: Perjuangan Hidup

Di balik tirai benang-benang sulaman, penuh dengan harapan (AGUSTINUS WIBOWO) Mereka memang hidup dari bulir-bulir pasir dan setetes air yang masam lagi pahit. Tetapi mereka pun punya mimpi dan cita-cita. Jamal adalah seorang guru di desa Muslim Ramsar. Muridnya ada 15 orang. Semua kerabatnya sendiri. Gajinya dari pemerintah Pakistan. Kecil sekali. Itu pun sering terlambat. Untuk menambah penghasilan, Jamal membuka toko, satu-satunya toko di desanya. Barangnya semua dari Umerkot. “Sekarang zaman sudah modern,” katanya, “saya tinggal telepon saja ke Umerkot dan barang diantar ke sini keesokan harinya dengan bus padang pasir.” Anda mungkin heran, bagaimana di gurun kering kerontang yang listrik dan air pun tak ada, malah ada telepon. Teknologi telepon nirkabel memang sebuah mukjizat yang tahu-tahu diturunkan kepada masyarakat di gurun pedalaman. Telepon made in China yang dipegang Jamal menyambungkan seluruh penduduk desa ke dunia luar. Gagang telepon ada di rumah Jamal, sedangkan mesin telepon ditinggal di Umerkot. Gagah sekali Jamal dengan gagang telepon itu, seperti punya telepon genggam saja. Gagang telepon yang satu ini, ramai-ramai dipakai penduduk desa sebagai telepon umum, dan Jamal pun dapat sumber pemasukan baru. Toko modern (AGUSTINUS WIBOWO) Di desa Ramsar Hindu juga ada toko kelontong yang persis sama, dengan persediaan barang remeh-temeh yang [...]

May 25, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 195: Air

Berjalan mencari air (AGUSTINUS WIBOWO) Gemerincing puluhan gelang wanita-wanita Hindu memecah kesunyian padang gurun. Masing-masing kepala mereka menyangga sebuah kendi tanah liat yang menganga lebar. Kaki telanjang menyeret-nyeret di atas pasir lembut gurun Thar yang membakar. Ini adalah perjalanan maha penting –  perjalanan mencari air. Dusun Ramser milik umat Hindu tersembunyi di balik gunung pasir, terpisah dari dusun Muslim. Kumpulan chowra bundar yang sama, bertudung rumput, membercaki kegersangan gurun, tersebar dalam kelompok-kelompok rumah sederhana yang dipagari dalam pekarangan-pekarangan. Beberapa tembok rumah bergambar dekorasi primitif berwujud flora atau fauna, sapi dan kambing – dekorasi makhluk hidup yang tidak dijumpai di rumah-rumah Muslim. Sedangkan sapi-sapi sungguhan, bertubuh kurus kering hingga nampak gamblang tulang belulangnya, berjemur santai di atas lautan pasir, menghabiskan hari-hari yang membosankan. Jaglo, seorang dokter, mengundang saya ke dalam rumahnya. Isinya mirip sekali dengan otagh tempat saya menginap kemarin malam di desa Muslim. Kosong melompong. Ada beberapa kasur kecil, piring makan, cermin, foto-foto kakek moyang, dan gambar-gambar dewa Hindu. Itu saja. Gambar-gambar dewa, mulai dari Syiwa yang berwarna biru sampai kera Hanuman berbibir merah tebal, tertempel rapi di sudut kamar. Ini adalah altar untuk puja. Walaupun miskin dan masuk kasta terendah, orang sini tak pernah lalai memanjatkan puja. Dewa-dewi dan [...]

May 22, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 194: Menanti Hujan

Otagh (AGUSTINUS WIBOWO) “Hidup di sini sangat berat,” keluh Jamal, “sudah empat tahun tak turun hujan. Tidak ada air untuk kami minum. Tidak ada rumput untuk hewan-hewan kami. Tidak ada susu untuk anak-anak kami. Sapi-sapi sudah kurus tanpa tenaga.” Jamal adalah seorang penduduk desa Ramsar, sebuah desa yang boleh dibilang cukup besar di tengah padang gurun Thar. Desa ini dihuni hampir 2000 orang, sekitar 150 keluarga. Ada penduduk Hindu, ada pula yang Muslim. Tetapi mereka tidak hidup bersama-sama. Desa Ramsar Muslim, ditinggali 50 keluarga, sangat dekat dengan jalan raya. Desa Ramsar Hindu masih satu setengah kilometer lagi jauhnya, di balik barisan bukit-bukit pasir di belakang sana. Jamal tinggal di desa Muslim. Dengan ramah Jamal bersedia menjadi tuan rumah saya, yang begitu ingin mengalami kehidupan di tengah padang gurun. Tahu saya sedang menderita hepatitis, Jamal bahkan sampai membeli es batu dari pasar Umerkot, diwadahi termos supaya tetap dingin di bawah teriknya mentari gurun. Di tempat sekering ini, air begitu berharga, apalagi es batu. Saya tinggal di sebuah chowra, rumah tradisional padang Thar. Bentuknya bundar, terbuat dari batu bata dan lumpur. Atapnya dari rumput-rumputan, diikat rapi, menjulang tinggi berujung lancip. Rumah ini sangat berangin, karena jendelanya besar-besar dan tak bisa ditutup. Ada [...]

May 21, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 193: Tharparkar

Pulang, kembali ke tengah kepulan debu di gurun Thar (AGUSTINUS WIBOWO) “Thar dan hatiku adalah dua nama untuk gurun yang sama,” demikian tulis Mazhar-ul-Islam, pujangga Urdu ternama. Di atas atlas bumi, gurun pasir Thar tak lebih dari seonggok wilayah kerontang yang kosong, terbentang lebih dari 400.000 kilometer persegi, melintas perbatasan India dan Pakistan. Namanya membawa aroma kekeringan dan kegerahan. Namun kegarangannya juga membawa puja dan puji. Di padang gurun inilah, budaya Rajashtan, Sindhi, dan Gujarati bersatu padu, menghasilkan warna-warni membara di tengah muramnya gurun. Di gurun luas di propinsi Sindh ini, lebih dari 800 desa dengan sejuta jiwa manusia berjuang untuk mempertahankan hidup. Inilah gurun pasir yang kepadatan penduduknya tertinggi di dunia. Distrik Tharparkar adalah salah satu tempat terpencil dan terlupakan di negeri ini. Umerkot, kota Hindu yang menjadi ibu kota distrik ini, dulunya terisolasi dari dunia luar. Beberapa tahun silam, orang asing dilarang masuk ke sini tanpa izin khusus. Itu pun masih menjadi target pengawasan dinas intelijen Pakistan. Alasannya, daerah ini terbilang sangat sensitif, tempat tinggalnya minoritas Hindu dan dekat perbatasan dengan musuh bebuyutan India, ditambah lagi situasi keamanan provinsi Sindh yang terus bergejolak. Saya beruntung mengenal organisasi Sami Samaj Sujag Sangat yang memberikan bantuan kemanusiaan dan memberdayakan suku-suku [...]

May 20, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 192: Padang Pasir

Sebuah gubuk di tengah gurun (AGUSTINUS WIBOWO) Benteng kuno Umerkot membayangi seluruh penjuru kota kecil ini. Anggun dan gagah, walaupun sudah tak banyak sisanya. Kota kelahiran Akbar-e-Azam, raja terbesar dinasti Mughal, kini menjadi kota Hindu terpencil jauh di pedalaman Sindh di selatan Pakistan. Lebih tragis lagi, tempat kelahiran Akbar, kini ditandai dengan sebuah gedung prasasti kecil tak menarik, terlupakan di pinggiran Umerkot. “Dia memang raja besar, tetapi dia melupakan akarnya, tanah kelahirannya,” keluh seorang penduduk Umerkot. Sejarah masa lalu Umerkot memang pernah sangat gemilang. Raja besar dunia pernah lahir di sini, dan para penakluk perkasa pernah melintasi kota ini untuk menaklukan negeri di seberang beringasnya padang pasir Thar. Tetapi gurun ini tidak selalu ganas dan muram. Di siang hari, wajah kota ini menjadi semarak luar biasa dengan datangnya orang-orang dari pedalaman padang gurun Thar. Wanita-wanita dari gurun terkenal dengan pakaian yang berwarna-warni liar, seperti pemberontakan terhadap kering dan monotonnya padang pasir. Ada warna merah membara bergambar bunga-bunga, ada hijau yang memberi kesegaran, ungu yang sejuk, dan biru gelap seperti warna langit. Yang Hindu kebanyakan memakai choli dan polka, kaus ketat dan rok panjang sampai ke mata kaki. Wanita Muslim biasanya masih setia dengan shalwar kamiz, celana kombor dan jubah panjang. [...]

May 19, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 191: Little India

Para pemuja dewa di Shiva Mandir (AGUSTINUS WIBOWO) Harum dupa semerbak mengisi ruangan. Mantra bermelodi terus mengalir dari mulut pandit, yang membawa nampan dan lilin. Tiga orang umat di belakangnya, ikut mengiringi mantra. Dentingan lonceng mungil bergemerincing, menambah daya magis lantunan mantra-mantra. Di hadapan mereka, sebuah patung biru berdiri gagah. Tangannya banyak, masing-masing memegang senjata dan menjambak kepala-kepala manusia. Di lehernya tergantung kalung dari untaian tengkorak. Lidahnya terjulur, merah membara. Tetapi di balik semua deskripsi seram itu, sepasang mata indah memancarkan kewelasasihan. Ini adalah patung Dewi Kali, pasangan Sang Dewa Syiwa. Mantra terus mengalir memanjatkan puja dan puji, ritual rutin setiap pagi di Shiv Mandir, Kuil Syiwa. Ini bukan India. Ini adalah Umerkot, kota terakhir Pakistan di tepian padang pasir Thar yang luas menghampar. Hiruk pikuknya Umerkot, dengan gang-gang sempit yang berkelok-kelok ruwet seperti benang kusut, diiringi dentuman lagu-lagu Bollywood yang menyalak tiada henti dari tape kuno, dihiasi warna-warni indah dari kuil-kuil Hindu yang bertebaran, dipenuhi percakapan yang tak lupa menyebut kebesaran Syiwa, Brahma, dan Wishnu, memang membuat saya sejenak merasa diterbangkan ke India. Umerkot adalah tempat yang unik di Pakistan. Mayoritas penduduknya Hindu, tersembunyi di pedalaman Republik Islam.. Kota ini didirikan oleh seorang Hindu, Amer Singh, yang menjadi ihwal [...]

May 18, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 190: Kuning Lagi

Pengobatan tradisional Ayurveda (AGUSTINUS WIBOWO) Punjab diserang badai panas. Harian Dawn 14 Mei 2006 memberitakan, tiga puluhan orang tewas di Sialkot dan Lahore, karena suhu udara yang meledak hingga 50 derajad Celcius. Saya terbaring lemah. Saya juga korban badai panas yang melanda Punjab. Minggu kemarin saya masih nekad keliling Multan dan Bahawalpur dengan berjalan kaki ke mana-mana. Kini, saya cuma bisa menghabiskan hari-hari di atas ranjang rumah Om Parkash Piragani di Umerkot. ‘Kawan lama’ saya, penyakit hepatitis, hinggap lagi di tubuh saya. Hasil cek darah kemarin menunjukkan angka SGPT melonjak dari batas normal 10 menjadi angka fantastis 1355. Bola mata saya kuning pekat, hilang cahaya kehidupannya. Saya tak pernah berhenti melihat cermin, mencoba menerima kenyataan, sekaligus berharap-harap cemas warna kuning menjengkelkan ini lekas-lekas pudar. Satu hal yang patut disyukuri, penyakit liver saya meledak tepat ketika saya mencapai rumah Om Parkash. Di rumah besar yang dihuni puluhan orang ini, saya dibasuh dengan belaian kasih sayang dan perhatian. Saya tak pernah kenal Parkash sebelumnya. Tetapi dia begitu lembut merawat saya, seorang kawan baru, yang terkapar di rumahnya. “Kamu harus istirahat total,” kata Parkash, “jangan berpikir macam-macam. Tidur saja!” “Berapa lama?” “Berapa lama pun kamu mau. Rumah ini adalah rumahmu. Kamu boleh tinggal [...]

May 15, 2015 // 3 Comments

Titik Nol 189: Terkapar

Kaum perempuan keluarga Piragani (AGUSTINUS WIBOWO) Dari Punjab yang panas membakar lalu perjalanan panjang dan menyiksa dalam gerbong kereta api kelas ekonomi, akhirnya sampai juga saya ke jantung propinsi Sindh. Saya terseok-seok lemas melangkah, memulai perjalanan di tempat yang sama sekali asing ini. Tak sampai sepuluh menit saya singgah di Hyderabad. Kota ini dulunya terkenal sebagai Paris of India, karena konon jalanannya berbasuh harum wewangian. Sekarang di benak saya, yang tertinggal cuma jalan bolong-bolong, becek, kumuh, dan campur aduk. Bus mini berguncang-guncang. Saya pun ikut bergetar beraturan, berdesak-desakan dengan penumpang di bangku belakang. Tujuan saya adalah Umerkot, tersembunyi di ujung pelosok Sindh, di tepian padang pasir Thar Parkar, berhadapan dengan India di seberang. Karena cukup terpencil, kendaraan langsung sudah tak ada, saya harus ganti kendaraan dulu di kota Mirpur Khas. Pemandangan di luar sana sungguh kontras dengan hijaunya Punjab. Pasir kuning menghampar di mana-mana. Pohon padang pasir yang mirip nyiur berbaris renggang-renggang. Langit biru menudungi. Anehnya, walaupun gersang, saya tak merasa panas. Tak ada lagi sengatan mentari yang mematikan seperti di Punjab sana. Angin sejuk semilir membasuh muka saya dari kaca jendela bus. Dua jam perjalanan, saya tertidur pulas. Jalan raya berhenti di Umerkot, di ujung bumi Pakistan. Selepas ini [...]

May 14, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 184: Makam Suci

Chowkidar tak pernah berhenti memutar tasbih (AGUSTINUS WIBOWO) Tempat suci ini adalah kota kuno bertabur makam orang suci. Bangunan dari zaman kaum derwis berjenggot putih diselimuti nuansa mistis. Di sini keajaiban dan mukjizat bertabur. Uch Sharif, kota yang agung, bermandi cahaya mentari dan rembulan. Terperangkap waktu, demikianlah yang saya rasakan ketika menyusuri gang-gang kecil di pasar berdebu Uch Sharif, berkelok-kelok menyesatkan. Segala macam pedagang ada di sini. Mulai dari sirup sharbat, minuman segar faluda, sup lentil, nasi biryani, sampai pengeras suara Made in China. Tetapi di dalam labirin pasar kuno inilah tersembunyi tempat-tempat paling suci di Pakistan. Di antara ratusan orang suci yang pernah berdiam di kota Uch ratusan tahun silam adalah Sayyid Jalaluddin Bukhari, guru Sufi dari abad ke-15 yang termasyhur akan mukjizatnya. Jahanian Jahangasht, atau Pengelana Dunia, demikan julukannya. Sang Baba – orang suci – telah menjelajah muka bumi untuk mempelajari hakikat Islam. Dari tanah leluhurnya di Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan, sang guru sudah ke Mekkah, Medina, Bagdhad, Persia, dan akhirnya menetap di Punjab. Saya teringat Guru Nanak pendiri agama Sikh yang juga berkelana ke seluruh penjuru bumi untuk menemukan kebenaran hakiki. “Baba, dengan kekuatan magisnya bisa memindahkan mihrab dari Delhi ke Uch,” kata chowkidar – juru kunci [...]

May 7, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 182: Pilar Dunia

Makam Rukni Alam (AGUSTINUS WIBOWO) Kota kuno Multan adalah salah satu dari tempat-tempat di negeri Pakistan yang pertama kali dirambah Islam dalam ekspedisi yang dipimpin oleh Mohammad bin Qasim. Sekarang kota ini tetap menjadi kota penting di mana ribuan peziarah datang dari seluruh penjuru negeri ke puluhan makam suci yang bertaburan. Syahdan, Multan adalah bagian sebuah kerajaan Brahmin yang beribukota di Brahmanabad (kota Brahmin), sekarang di wilayah propinsi Sindh. Yang memerintah adalah Raja Dahir, putra Chach. Walaupun yang memerintah adalah orang Hindu, tetapi penduduknya mayoritas beragama Budha. Orang Arab waktu itu melihat banyak patung pemujaan milik orang Budha, lalu mendapat kosa kata budd – dari nama Budha – untuk menyebut ‘patung’. Kata budd yang berarti patung ini masih dipakai dalam bahasa Urdu di Pakistan. Pasukan Muhammad bin Qasim dari dinasti Ummayyah pertama-tama menaklukkan kota Daibul, kemudian ibu kota Brahmanabad, terus ke utara hingga Sukkur di perbatasan Sindh, masuk ke Punjab ke kota Multan – kota tertua dalam sejarah Asia Selatan. Waktu itu kota Multan dipenuhi berbagai kuil emas pemujaan dewa matahari Aditya. Perlahan-lahan suku-suku Sindh dengan sukarela memeluk Islam. Walaupun dalam suasana perang dan masih pada zaman ribuan tahun silam, kebebasan beragama benar-benar dihormati. Orang Budha dan Brahmin yang tidak [...]

May 5, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 175: Air Mata yang Tergenang

Kuil Hindu yang terlupakan (AGUSTINUS WIBOWO) Dikisahkan dalam hikayat Brahmana, Dewa Shiva (Syiwa) menangisi kematian istri tercintanya, Sati, yang mengorbankan nyawanya demi kehormatan sang Dewa. Setetes air mata jatuh di Pushkar, satunya lagi di Katas. Yang satu menjadi tempat pemujaan para umat, satunya lagi menjadi genangan air dikelilingi puing-puing kuil tua. Katas, kota kecil di Provinsi Punjab, hanya sekitar 135 kilometer jauhnya dari Islamabad. Tetapi di sini, hiruk pikuknya kota modern itu bagaikan kehidupan di dunia lain. Kotanya sendiri biasa saja, tidak semrawut, tapi tak juga istimewa. Yang membuatnya menarik dikunjungi adalah reruntuhan kuil Hindu kuno di puncak bukit. Adalah sebuah legenda indah yang mengawali sejarah kuil kuno ini. Dikisahkan, Suti, istri Dewa Syiwa, membakar dirinya sendiri untuk membuktikan cintanya kepada Syiwa.  Suti melakukan ini semata-mata untuk melawan ayahandanya yang tidak menghormati Syiwa. Teladan Suti kemudian masih berlanjut di India berabad-abad kemudian, ketika janda-janda Hindu yang baru ditinggal mati suaminya ikut menceburkan diri ke dalam api yang membakar jenazah sang suami. Kata ‘Suti’ kemudian merujuk kepada kegiatan bunuh diri janda Hindu. Bahkan hingga awal abad XX, kebiasaan bakar diri janda Hindu ini masih hidup di Pulau Bali. Danau suci dan kuil agung yang kini tinggal puing-puing (AGUSTINUS WIBOWO) Nama Katas [...]

April 24, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 173: Tuan Rumah

Rumah mewah bertabur di Islamabad (AGUSTINUS WIBOWO) Konsep mehman begitu mengakar dalam sanubari kehidupan orang Pakistan. Sebagai tamu, saya tidak hanya merasa malu saja, kali ini saya bahkan dirundung perasaan berdosa. Sudah beberapa hari ini saya tinggal di rumah Syed Ijaz Gillani, seorang kawan dekat yang juga sukarelawan selama di Kashmir. Dari namanya, Syed, menunjukkan ia orang yang dihormati karena konon adalah keturunan langsung Nabi Muhammad. Di negara ini, biasanya orang yang mengenal sang Syed langsung menyentuhkan tangan mereka ke sepatunya, lalu menempelkan tangan ke jidat mereka. Kalau bersalaman mereka sampai mencium tangan dan untuk kasus ekstrim sampai mencium kaki. Penghormatan seperti ini adalah cara orang Hindu menghormati kasta pandita. Kultur India ini belum luntur di Republik Islam Pakistan. Selain karena namanya, Syed Ijaz juga orang terpandang. Rumahnya seperti istana kecil di Islamabad. Rumah-rumah di kota yang jarang-jarang penduduknya ini bisa dikatakan hampir semuanya tergolong mewah, sungguh kontras dengan perumahan kumuh di Rawalpindi, saudara kembar kota ini. Ijaz punya bisnis keluarga yang cukup sukses. Selain itu beberapa kerabat dekatnya adalah pemuka agama penting di seluruh Pakistan. Ayah Ijaz yang sudah tua dan sangat taat beragama (AGUSTINUS WIBOWO) Kekayaan Ijaz dan kawan-kawannya membuat saya terperangah. Pernah saya diundang ke rumah Madam [...]

April 22, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 170: Mehndi

Calon pengantin yang berbahagia (AGUSTINUS WIBOWO) Berakhir sudah hari-hari saya di Kashmir. Hari ini seorang kawan sukarelawan, Syed Ijaz Gillani, menjanjikan akan membawa saya ke sebuah pesta pernikahan di Islamabad. “Pesta ini pasti akan menarik buat kamu,” katanya, “besok kamu siap jam 8 pagi ya, kita berangkat ke Islamabad sama-sama.” Saya menunggu di Muzaffarabad sedangkan Ijaz akan datang dari dusun Noraseri. Saya punya banyak kawan di Muzaffarabad yang ingin mengucapkan selamat jalan. Ali, pemuda Kashmir berumur 16 tahun misalnya, sudah berniat mengantar saya dengan sepeda motornya untuk menyantap sarapan pagi. Saya menolak, karena Ijaz akan datang jam 8 pagi. “Ah, pasti terlambat,” katanya, “aku orang Pakistan dan aku tahu bagaimana kebiasaan orang Pakistan. Ayolah, pergi sama-sama.” Saya tetap memilih menunggu di rumah kontrakan di Muzaffarabad. Tapi Ali memang benar, Ijaz baru datang jam 1 siang. Itu pun dengan melenggang santai tanpa beban. Jam karet sudah bagian dari darah dan daging. Kami baru tiba di Islamabad pukul 8:15, padahal kata Ijaz acara pernikahan dimulai pukul 8. Tetapi dia santai sekali, sama sekali tidak takut terlambat. Kami masih sempat kembali ke rumahnya, ganti baju, dan mengumpulkan seisi rumahnya untuk berangkat bersama. Yang perempuan diangkut di satu mobil, yang laki-laki di mobil lainnya. [...]

April 17, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 126: India di Hati

Film India mendominasi persewaan VCD di Pakistan (AGUSTINUS WIBOWO) India adalah musuh bebuyutan Pakistan. Jutaan dolar dihabiskan Pakistan untuk membangun pertahanan kuat menghadapi negeri tetangganya yang raksasa itu. Tetapi saya masih merasakan jiwa India hidup di sini. Karimabad mungkin adalah sebuah dusun kecil yang terlupakan dalam peta dunia. Kehidupan tenang tanpa gelora mengalir lambat di lereng pegunungan yang hening dan sejuk ini. Salju yang sejak kemarin mengguyur Karakoram menjadikan tempat ini terbungkus putih yang sempurna. Di tengah kesepian itu, menyeruak lagu Bollywood dari televisi kabel. Salman Khan beradu dengan Akshay Kumar di tepi pantai, menarik-narik lengan Priyanka Chopra seperti lomba tarik tambang. Mereka berdendang riang, Mujhse Shaadi Karogi…, Menikahlah Denganku…. Sejurus berikutnya, gambar berganti dengan panggung gegap gempita. Emran Hashmi, sang superstar Bombay yang selalu tampil dalam film-film seksi, menjadi bintang lagu Aashiq Banaya Aap Ne, Kau Jadikan Aku Kekasih, soundtrack dari film berjudul sama. Ketika saya di Rajasthan beberapa bulan lalu, semua orang memutar lagu ini. Dari radio, televisi, sampai ke pedagang kaki lima di pinggir jalan semua memutar Aashiq Banaya berulang-ulang. Selang berapa bulan, di Pakistan lagu ini juga meledak. Kakek Haider dan kawan-kawannya, sekelompok lelaki tua berjenggot, datang ke pondok. Begitu listrik datang, mereka bersorak. Televisi langsung [...]

February 16, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 114: Malam Sufi

Berputar… berputar… berputar… (AGUSTINUS WIBOWO) Asap hashish mengepul, memenuhi ruangan yang penuh sesak oleh ratusan pria ini. Genderang bertambur bertalu-talu, menghipnotis semua yang ada. Dua orang pria berputar-putar di tengah lingkaran, bergedek bak pecandu ekstasi. Semua lebur dalam kecanduan spiritual. Sufisme, dikenal juga sebagai tasawuf, adalah aliran mistis dalam Islam yang percaya bahwa mendekatkan diri kepada Tuhan tidak hanya bisa melalui satu cara saja, termasuk musik dan tarian. Di Asia Tengah dan anak benua India, Sufisme adalah bagian dari budaya Islam itu sendiri. Kamis malam, bulan bersinar terang merambah kegelapan, susasana kuburan Baba Shah Zaman di daerah kota tua Ikhra di Lahore seakan melemparkan saya ke alam magis. Daerah ini seakan hidup dalam dunianya sendiri, dalam dunia yang berbeda dengan hiruk pikuk modernitas kota Lahore. Saya menyusuri anak tangga menuju ke makam suci ini. Semua orang harus melepas sandal di depan pintu. Di balik pintu gerbang, ada halaman berlantai pualam. Di sini hanya ada laki-laki. Perempuan dilarang masuk. Ratusan pria berjubah shalwar kamiz berusaha menerobos masuk ke halaman sempit yang terbatas ini. Saya mendapat tempat di antara kerumunan pria berjenggot. Semerbak baru harum bunga mawar bercampur dengan asap yang mengepul di mana-mana. Bau hashish, candu, menusuk dalam-dalam. “Ini adalah cara [...]

January 29, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 112: Gerbang Kemerdekaan

Bus bersejarah itu pun tiba di wilayah India (AGUSTINUS WIBOWO) “Pakistan memang diciptakan untuk membuat jarak antara kita dan mereka, memecah belah persaudaraan kita. Tak perlu kita teruskan lagi [permusuhan ini].” Demikian sebuah koran India menurunkan artikel di rubrik opini. Kedua negara tetangga ini sudah berseteru sejak kelahirannya. Pakistan tercipta dari British India tahun 1947 ketika umat Muslim India minta diberi negara sendiri. Pakistan berarti ‘Negeri yang Murni’, cita-cita luhurnya adalah negara umat Muslim yang berdiri di atas kesucian dan kemurnian Islam. Tetapi, pertikaian dan perselisishan selalu mewarnai sejarah kedua negara, menyebarkan benci yang merayap sampai ke sanubari rakyat jelata. Ingat kasus bom di New Delhi yang serta merta membuat orang India langsung menunjuk hidung Pakistan sebagai kambing hitam? Ingat betapa susahnya orang India mendapat visa Pakistan dan juga sebaliknya? Orang India menggunakan kata Pakistan sebagai umpatan yang paling kasar – “Chalo Pakistan!”, artinya “Enyahlah ke Pakistan”. Mengapa Pakistan selalu digambarkan sebagai tempat bak neraka yang penuh kesengsaraan? Mengapa imej Pakistan di India hanya hitam dan kelabu? India dan Pakistan punya garis perbatasan sekitar 3000 kilometer, tetapi hanya satu perbatasan resmi yang dibuka. Perbatasan Wagah teramat sepi, kecuali di sore hari ketika upacara penurunan bendera berlangsung. Tak banyak orang yang [...]

January 27, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 111: Negeri Berjuta Warna

Negeri berjuta warna (AGUSTINUS WIBOWO) Hindustan, negeri Bharat yang jaya, meninggalkan berbagai kenangan. Berjuta warna satu per satu diputar kembali dalam memori saya, ketika matahari mulai perlahan-lahan terbenam menerbakan semarak senja di kota Amritsar. Ini adalah senja terakhir yang saya lihat di negeri ini. Saya datang ke India dengan secarik mimpi. Mimpi yang saya dapatkan dari beberapa film Bollywood yang pernah saya tonton. Gadis cantik berpakaian bak putri raja tinggal di rumah seperti istana, mengejar cintanya pada pangeran tampan, yang kemudian menari bersama diiringi ratusan orang yang entah muncul dari mana. Mimpi Hindustan yang saya bawa adalah mimpi tentang kehidupan gemerlap, semua orang kaya, punya mobil mewah, punya lusinan pembantu, sopir berseragam, kepala rumah tangga yang cerdas, dan helikopter di atap rumah. Tetapi, secuil Hindustan tempat saya menginjakkan kaki pertama kali adalah stasiun kota Gorakhpur, di mana pengemis bocah merintih tanpa henti, sapi berkeliaran di dalam peron, dan orang yang tidur di lantai tanpa alas. Selanjutnya adalah New Delhi yang penuh dekan tukang tipu di pasar, teriakan “Hallo! Hallo!”, bau pesing, jalan bolong-bolong, losmen tempat pasangan manusia mengumbar nafsu birahi, penderita kusta dan tumor terbaring tak berdaya di pinggir jalan yang hiruk pikuk oleh pejalan lalu-lalang namun tak satu pun [...]

January 26, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 110: Chalo, Pakistan

Bendera Pakistan dan India turun bersamaan (AGUSTINUS WIBOWO) Pakistan di hadapan mata. Perasaan berdosa menyelimuti diri saya. Mengapa saya masih belum juga melintas gerbang perbatasan itu? Enam minggu yang lalu, saya bersorak gembira ketika visa Pakistan tertempel di paspor saya. Orang-orang Kashmir menyemangati saya, dan ikut merayakan kemenangan perjuangan visa saya. Tawa itu, air mata kebahagiaan itu, tak akan pernah saya lupakan. Tetapi, bukannya cepat-cepat berangkat ke Pakistan, saya masih menyempatkan bermain ke Rajasthan, dengan justifikasi untuk menenangkan diri setelah frustrasi berhari-hari di New Delhi. Banyak pengalaman menarik yang saya alami, membuat saya semakin betah di India, semakin melupakan Pakistan. Hingga pada akhirnya datang penyakit ini – kuning merambah mata dan tubuh, lemas melambatkan langkah, rasa mual mengeringkan perut. Mungkin peringatan dari Tuhan, mungkin pula hukuman karena saya melupakan komitmen sendiri. Saya berdiri di depan pintu perbatasan, tertunduk lesu. Sementara di sekeliling saya suasana gegap gempita menggelorakan jiwa nasionalisme India. “Bharat mata ji, jay! Bunda India, jayalah!” ribuan orang India bersorak sorai di depan perbatasan Pakistan. Genderang bertalu-talu. Gemuruh siswa sekolah serempak melantunkan    “Hindustan Zindabad! Hindustan Zindabad! Hidup India! Hidup Hindustan!” Perbatasan India dan Pakistan terletak tepat di antara kota Amritsar dengan Lahore. Dulu, sebelum India dan Pakistan dibelah, [...]

January 23, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 108: Dukun

Kakek sakti itu melarang saya menenggak obat-obatan dokter yang saya terima dari rumah sakit (AGUSTINUS WIBOWO) Air lucah terciprat dari mulutnya, membasahi wajah saya yang menguning. Kakek tua ini adalah dukun sakti. “Tiga hari lagi, kau akan sembuh!” Siapa yang tak kenal kakek tua ini. Semua orang di pasar Paharganj menganjurkan saya mencarinya. “Kawan,” kata seorang pedagang buku bekas, “maafkan saya kalau lancang. Kamu kena jaundis?” Saya mengangguk. “Saya kenal seorang sakti di Paharganj sini. Semua penderita hepatitis sembuh total dalam hitungan hari. Dan penyakit kuning itu tidak akan muncul kembali.” Si pedagang buku itu menceritakan kesaksiannya. Dulu dia langganan menderita jaundis, setiap tahun selalu kena. Sampai suatu hari, kawan-kawannya mengajaknya untuk bertemu dengan dukun Hindu yang sakti ini. “Saya sebenarnya ragu,” ceritanya, “siapa yang percaya dengan dongeng seperti ini? Tetapi si kakek tua itu tenang sekali. Suaranya datar namun tegas. ‘Saya akan membayarmu seribu rupee kalau penyakitmu ini kambuh lagi tahun depan!’” Dan ajaib, sakit kuningnya tinggal kenangan. Sebenarnya saya tidak terlalu percaya dengan sihir-sihiran atau sakti-saktian. Tetapi dalam keadaan lemah seperti ini, terjepit oleh visa India yang akan habis tiga hari lagi, saya pun berpikir tidak ada salahnya mencoba. Menyusuri gang-gang Paharganj yang ruwet seperti benang kusut untuk [...]

January 21, 2015 // 8 Comments

1 2 3 4