Selimut Debu 24: Menuju Bamiyan
Aku pertama kali mengunjungi lembah Bamiyan pada bulan Juli 2003, sekitar tiga tahun silam. Sepanjang jalan, yang terlihat bangkai tank sisa perang yang mengingatkan semua pengunjung bahwa tanah ini telah dicabik-cabik oleh perang yang berkepanjangan. Kengerian dan kesedihan semakin dikuatkan oleh bangkai senjata dan penanda ranjau di sepanjang jalanan yang berdebu dan berbadai.
Hari ini, aku datang kembali ke Bamiyan. Sendirian. Kendaraan umum, masih seperti tiga tahun lalu, juga berangkat saat pagi-pagi buta dari Kabul. Sulitnya bepergian dari Kabul adalah di ibukota Afghan ini terdapat terlalu banyak terminal bus, dan setiap terminal punya bus yang hanya pergi ke tujuan tertentu. Karena itu, penting untuk memastikan dari terminal mana bus kita akan berangkat. Kesulitan lainnya adalah waktu. Mayoritas bus berangkat pagi-pagi buta, dan sesudah pukul enam pagi sudah tidak ada lagi kendaraan, jadi para penumpang harus sudah siap berangkat sekitar pukul 4:00 atau 5:00 subuh. Masalahnya, terminal bus terletak jauh dari tempat permukiman di pusat kota, sehingga kita perlu naik taksi, yang mungkin sangat sulit ditemui pagi-pagi buta begitu.
Kendaraan 4WD yang nyaman menuju Bamiyan berangkat dari terminal Kote Sangi (Pul-e-Koshta), dan biayanya sebesar 400 Af (US$ 8) untuk jarak 150 kilometer. Kedengarannya mahal, tetapi untuk jarak itu diperlukan waktu 8 hingga 9 jam perjalanan. Kecepatan rata-ratanya bahkan kurang dari 20 kilometer/jam! Jalanan ini masih tetap bergerunjal dan berdebu, persis sama seperti tiga tahun lalu!
Begitu meninggalkan Kabul, langit langsung berubah dengan drastis. Di daerah pedesaan, langit Afghanistan begitu biru kelam. Rumah-rumah di sini sangat sederhana, mayoritas terbuat dari lempung dan punya warna yang seragam: cokelat. Rasanya sungguh seperti dilemparkan ke masa lalu, apalagi ketika melintas seorang kakek tua berjenggot putih dengan jubah tradisional dan topi, duduk nyaman di atas keledai kecil. Makhluk malang itu masih mengangkut begitu banyak barang bawaan, yang hanya Tuhan yang tahu berapa banyak dan berapa beratnya. Kakek dan keledainya melintas perlahan, seolah waktu pun tidak pernah mengalir. Anak-anak juga berlarian melewati jalanan berlumpur bersama ternak mereka. Ketika mobil kami mendekat, anak-anak itu seperti disiram dan dimandikan oleh debu. Semua tampak berdebu, senang dan tertawa tergelak-gelak.
Jalanan desa ini tidak lagi menunjukkan suasana mencekam dan kesunyian seperti yang kurasakan tiga tahun silam. Lembah ini justru menampilkan pemandangan surgawi dengan puncak-puncak tajam menjulang dramatis dan permadani rumput hijau menghampar. Ini justru mengingatkanku pada padang gembala Kirgizstan di tengah suburnya musim panas. Begitu damai. Afghanistan berbeda dengan Pakistan, nuansa ini lebih Asia Tengah daripada Asia Selatan.
Ketika mobil kami melintasi jalan berlumpur, seluruh badan jalan tertutup air. Mobil kami tersangkut dalam lumpur. Kedalaman air sampai selutut, dan ini semua lumpur lengket. Seluruh penumpang lelaki (total ada enam penumpang lelaki plus seorang perempuan yang duduk di depan) turun dari mobil dan berusaha keras menggerakkan mobil ini dari lumpur. Mendorong, menarik, … semua sia-sia belaka. Mereka juga berusaha meletakkan bebatuan di bawah mobil agar roda bisa berputar, tetapi lumpur ini terlalu dalam.
Kami terpaksa menunggu datangnya kendaraan lain yang bisa menarik mobil kami keluar dari genangan.
Mobil yang pertama lewat menolak mentah-mentah, dan malah memacu kendaraannya cepat-cepat.
Mobil kedua berhenti sebentar, dan mengatakan mereka tidak bisa membantu. Maaf.
Baru saat mobil ketiga datang, mobil kami diikat dengan tampar, dan ditarik oleh mobil itu. Tetapi tali itu tidak cukup kuat untuk sepenuhnya mengangkat mobil kami dari lumpur. Untungnya, bantuan itu sudah cukup untuk membuat mobil kami keluar dari genangan lumpur.
Perjalanan pun dilanjutkan.
Babak belur aku sampai di Bamiyan, ketika matahari sudah mulai beranjak ke barat pada pukul dua petang. Dinginnya pegunungan langsung menyambut. Udara yang segar, langit yang biru, aku menghirup napas dalam-dalam.
Setiap perjalanan di Afghanistan adalah petualangan.
(bersambung)
Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.
mas mobil nya kepenuan
mas… kapan berkunjung ke Lombok?
kaq Agus dh k lombok….ayo kita undang biar k lmbok lg…