Recommended

Selimut Debu 53: Kota Burqa

Dengan langkah berat, aku melanjutkan perjalanan ke kota berikut. Hanya dua jam perjalanan dari Kunduz, tiba-tiba aku seperti merasa terlempar ke zaman lain.

Kota Taloqan adalah ibukota Provinsi Takhar, salah satu provinsi di Afghanistan Utara. Takhar dulunya adalah bagian dari provinsi besar bernama Qataghan, yang kemudian dipecah menjadi Kunduz, Takhar, dan Baghlan. Taloqan juga panas di musim panas, tapi masih lebih sejuk kalau dibandingkan Kunduz. Kota ini berdebu, tapi jalanan beraspal mulus yang menghubungkan kota ini langsung dengan ibukota Kabul tampaknya menjanjikan masa depan yang sangat cerah.

Aneh, di kota ini aku merasa seperti berada di Iran.

Tidak seperti halnya kota-kota lain di Afghanistan yang pernah kulihat, Taloqan mempunyai papan penunjuk nama jalan dan rambu-rambu yang jelas dan mengkilap. Beberapa papan penunjuk jalan di pusat kota malah berlatar belakang warna-warni bendera Iran, dan bertuliskan “Afghanistan dan Iran”. Beberapa nama jalan berbau Iran, seperti “Ayatollah Komeini St.” Atau “Hafez St.” Juga ada nama pahlawan Afghanistan yang ada di mana-mana di negeri ini, yaitu “Ahmad Shah Massoud St.”  Ahmad Shah Massoud adalah pejuang etnis Tajik yang berasal dari lembah Panjshir, berperang melawan Taliban dan sekarang diangkat sebagai pahlawan nasional (diakui di Afghanistan kecuali oleh kebanyakan orang-orang Pashtun di Selatan, juga oleh para pendukung Taliban).

Orang-orang Taloqan umumnya adalah etnis Uzbek, tetapi ada pula Pashtun dari Kunduz dan orang-orang Tajik. Pengaruh Taliban di sini sangat minim, tetapi Taloqan adalah kota pertama di Afghanistan yang kulihat hampir 100 persen perempuannya memakai burqa penuh, dari ujung kepala sampai kaki. Nuansanya lebih kuat bahkan dibandingkan dengan Kandahar, yang pernah menjadi basis utama kekuatan Taliban.

Burqa bukan dibawa oleh Taliban. Di Kabul, sebelum masa Taliban, burqa bukanlah mode pakaian yang lazim, tetapi setelah Taliban datang justru menjadi satu-satunya mode busana yang diizinkan. Sebelumnya, pada masa komunis, pemakaian burqa dilarang dan Kabul selalu menjadi kota pertama di Afghanistan dalam hal modernisasi.

Tapi kisah Kabul ini sangat berbeda dengan Taloqan.

Bahkan jauh sebelum Taliban datang, burqa sudah menjadi bagian tradisi warga sini. Sa’dat, jurnalis Radio Takharistan berkata padaku bahwa burqa sudah ada bahkan sejak sebelum Islam datang. Jadi burqa itu tidak Islami. Di dalam Kitab Suci, kata Sa’dat, tidak tertulis perintah agar perempuan menutup semua wajah mereka, apalagi menutup mata mereka. “Pertama-tama itu adalah tradisi, kemudian dicampur dengan agama,” Sa’dat menyimpulkan.

Modernisasi, seringnya diterjemahkan sebagai “melepas kerudung”. Tapi modernisasi seperti itu tidak pernah datang ke Taloqan.

Pada tahun 1919, Raja Amanullah naik takhta, dan bertekad mendorong modernisasi di negaranya. Salah satu programnya adalah memisahkan perempuan dari burqa. Istrinya pergi ke pasar tanpa kerudung, dan propaganda seperti itu ternyata sangat sukses di Kabul. Program melepas kerudung sangat sukses di kota-kota besar seperti Kabul, Herat, Kandahar, dan bahkan Kunduz yang hanya 60 kilometer jauhnya dari Taloqan. Tapi program modernisasi Amanullah mendapat tentangan keras dari masyarakat konservatif tradisional religius yang tinggal di pedesaan. Burqa menjadi satu-satunya busana perempuan di Taloqan bahkan ketika rezim komunis berkuasa. Para komunis juga memaksa perempuan untuk melepas kerudung sama sekali, sehingga jalanan Kabul dipenuhi para wanita karier yang memakai lengan pendek, rok mini, dan rambut tergerai bebas. Di saat itu pun, perempuan Taloqan masih memilih bersembunyi di balik anonimitas burqa.

”Mengapa orang-orang asing ini selalu ribut tentang burqa?” tanya seorang bapak guru sekolah menengah dengan gusar ketika aku bertanya padanya tentang sejarah burqa di Taloqan. ”Ini sudah bagian dari budaya kami beratus-ratus tahun. Kami tidak merasa tertekan. Tetapi orang luar selalu mengira burqa ini lambang keterkungkungan.”

Abdul Matin Saferaz adalah jurnalis muda dan ambisius dari Kunduz, sekarang bekerja di Takhar. Dia juga bekerja untuk Radio Takharistan, selain untuk Pajhwok dan sebuah majalah perempuan “Sarv”. Dia baru saja terpilih untuk belajar ilmu jurnalistik dan studi perbandingan di Slovakia.

Sebagai editor majalah perempuan, Sarferaz mengalami kesulitan di tempat kerja maupun di masyarakat. Beberapa anggota timnya adalah perempuan, dan mereka adalah anggota penting karena ini majalah untuk perempuan. Tetapi masyarakat dan budaya tidak mengizinkan orang-orang berlawanan jenis kelamin untuk bekerja bersama di tempat yang sama. Radio Takharistan misalnya, punya ruang kerja khusus staf perempuan, di bawah tanah. Majalah bulanan Sarv yang hanya terbit 8 halaman tentu tidak punya kemewahan itu. Masyarakat masih memandang rendah perempuan yang bekerja. Sarferaz harus mengutus bocah kecil untuk mengambil artikel dari rumah-rumah para penulis perempuan, dan sering kali Sarferaz yang harus mengambil sendiri. Selain itu, birokrasi untuk meminta izin wawancara ke sekolah perempuan juga sangat sulit.

Dr. Syed Amin adalah seorang warga Taloqan yang pernah bekerja sebagai kepala dinas kesehatan di provinsi Badakhshan, dan sekarang bertugas di Kunduz. Dia mengatakan, keadaan masih tidak memungkinkan dokter lelaki mengobati pasien perempuan, walaupun kenyataannya jumlah dokter perempuan masih sangat terbatas. Larangan ini bukan dari hukum, tapi dari tradisi.

Mana yang hukum, mana yang agama, mana pula yang tradisi? Di Afghanistan, batas-batas menjadi kabur, menghasilkan tumpukan aturan yang bertindihan, begitu menekan dan mengikat.

 

(bersambung)

 

Versi lain dari serial ini diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Selimut Debu: Impian dan Harapan dari Negeri Perang Afghanistan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2010.

 

1.Para perempuan di Taloqan mayoritas mengenakan burqa (AGUSTINUS WIBOWO)

1. Para perempuan di Taloqan mayoritas mengenakan burqa (AGUSTINUS WIBOWO)

2.Nama jalan dan bendera Iran di Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO)

2. Nama jalan dan bendera Iran di Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO)

3.Bendera Iran menghiasi sudut jalan Taloqan (AGUSTINUS WIBOWO)

3. Bendera Iran menghiasi sudut jalan Taloqan (AGUSTINUS WIBOWO)

4.Mereka mulai mengenakan burqa pada usia yang sangat muda  (AGUSTINUS WIBOWO)

4. Mereka mulai mengenakan burqa pada usia yang sangat muda (AGUSTINUS WIBOWO)

5.Anak-anak perempuan memakai kerudung (AGUSTINUS WIBOWO)

5. Anak-anak perempuan memakai kerudung (AGUSTINUS WIBOWO)

6.Hanya laki-laki yang terlihat jelas di tempat umum (AGUSTINUS WIBOWO)

6. Hanya laki-laki yang terlihat jelas di tempat umum (AGUSTINUS WIBOWO)

7.Ritme cepat dan lambat (AGUSTINUS WIBOWO)

7. Ritme cepat dan lambat (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

1 Comment on Selimut Debu 53: Kota Burqa

  1. Diktaktor2 militer dan diktaktor komunis memang sekuler(memisahkan agama dgn negara )tapi tentu saja,kekuasan tunggal bisa sekuler tidak demokratis.Jadi sebuah negeri bisa saja sekuler tapi tapi tdk demokrasi,sebaliknya sebuah negeri tdk mungkin demokrasi tanpa sekuler

Leave a comment

Your email address will not be published.


*