Recommended

Afghanistan

Selimut Debu 103: Danau Mukjizat

Alkisah, keenam danau yang terletak di antara Yakawlang dengan kota Bamiyan tercipta berkat mukjizat Hazrat Ali, sepupu sekaligus menantu Nabi Muhammad, yang makamnya menjadi ziarah penting di Mazar-e-Sharif. Ia diagungkan umat Syiah Afghanistan sebagai figur mistik dengan segala kekuatan magis yang tiada bandingan, menciptakan berbagai keajaiban di muka bumi. Konon, Lembah Bamiyan dikuasai Barbar, raja zalim yang suka menyiksa dan membunuh rakyatnya. Hazrat Ali datang untuk memberi pelajaran pada Barbar, menyamar sebagai budak. Barbar memerintahkan budak ini membendung aliran sungai yang mengamuk sekaligus membunuh naga yang senantiasa memangsa penduduk Bamiyan. Dengan kekuatan sihirnya, dalam sekejap enam bendungan raksasa tiba-tiba berdiri di tengah kepungan gunung cadas. Itulah keenam danau Band-e-Amir yang kini menghidupi seluruh Lembah Bamiyan. Ali pun melayang menuju pegunungan lainnya, menemui naga raksasa yang bersembunyi di Lembah Ajdahar. Dengan sekali sabet menggunakan pedang sakti bernama Zulfiqar, ibu naga dan anaknya langsung mati, membatu, dan mengeluarkan air mineral yang dipercaya sebagai tangisan mereka. Barbar tercekat dengan kekuatan Ali, langsung memeluk agama Islam, diikuti oleh segenap penduduk Lembah Bamiyan. Bagi para peziarah Syiah Hazara yang mengunjungi Band-e-Amir, kisah naga, mukjizat danau, dan Hazrat Ali bukan legenda kosong. Seperti halnya di makam suci Ali di Mazar, mereka rela menempuh perjalanan berat dan [...]

March 19, 2014 // 5 Comments

#1Pic1Day: Camel Fighting

Camel Fighting The Persian New Year of Naoruz is to signify the arrival of sun in north equinox, or the arrival of spring, and has been used as the day of New Year in Persian calendar since ancient time. Naoruz is usually on 21 March. The most vibrant place to celebrate Naoruz in Afghanistan is in the northern city of Mazar-e-Sharif. The Arab descendants there have tradition of holding camel fighting competition. Many of Afghan traditional games includes fighting, in local language is known as jang (“war”), like dog fighting, camel fighting, bird fighting, even egg fighting. Adu Unta Tahun baru Naoruz adalah penanda tibanya matahari di garis balik lintang utara, merupakan tahun baru dalam penanggalan Persia kuno, biasanya jatuh pada 21 Maret. Di Afghanistan, tempat paling ramai untuk merayakan Naoruz adalah di Mazar-e-Sharif. Masyarakat keturunan Arab di sana punya tradisi mengadu unta. Banyak permainan di Afghanistan yang bersifat mengadu, dalam bahasa setempat disebut jang (perang), seperti perang anjing, perang unta, perang burung, bahkan perang telur. [...]

March 18, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 102: Lalmi

Tidak semua daerah di Afghanistan seberuntung Yakawlang. Walaupun sebagian besar penduduk negeri ini hidup dari pertanian, Afghanistan bukanlah negara agraris yang makmur. Sekitar 75 persen dari wilayah Afghanistan adalah pegunungan, terbentang dari batas utara hingga ke selatan negeri. Sisanya adalah gurun pasir luas. Dari lahan yang ada, tak banyak pula yang ideal untuk diolah menjadi lahan pertanian. Air langka, cuaca ekstrem. Karena musim dingin sama sekali tak mungkin bercocok tanam, dalam satu tahun hanya sekali musim panen, padahal lebih dari 25 juta penduduk Afghan butuh gandum dan beras setiap hari. Panen sering gagal, apalagi ketika kekeringan melanda, hujan tak turun, tanah retak, ladang gandum ”hangus”, kambing kurus kering, bayi-bayi mati kelaparan. Ghor, salah satu provinsi termiksin di Afghanistan, sering dihantam kekeringan. Di sini, air adalah masalah utama. Tak jarang perempuan desa harus berjalan berjam-jam melintasi padang tandus untuk mencari air. Gandum yang seharusnya tumbuh sepinggang, di sini tumbuhnya sering kali tak sampai selutut, berpencaran, lunglai. Bulirnya teramat kecil, tak layak dikonsumsi. Namun kenyataan bahwa orang masih bisa bertahan hidup dalam kondisi alam yang tak bersahabat ini patut mengundang decak kagum. Siapa sangka, gunung-gunung gundul yang dilapisi debu ini ternyata masih bisa menyokong hidup. Di sini, tak ada irigasi, tak ada [...]

March 18, 2014 // 0 Comments

#1Pic1Day: Buzkashi

Buzkashi Buzkashi, the national sport of Afghanistan, usually held in winter and around the Naoruz New Year celebration. Buzkashi is the ancestor of polo, of which the horse riders fight to get a headless carcass as the ball, and they have to bring the carcass around the ground to be the winner. This sport emphasizes on values of honesty, bravery, strength, and honor—all of which are the pride for the Afghans. Buzkashi, olahraga nasional Afghanistan, biasa dipertandingkan di musim dingin dan di tengah perayaan Tahun Baru Naoruz. Buzkashi adalah nenek moyang olahraga polo, di mana para penunggang kuda berebutan sebuah bangkai binatang tanpa kepala sebagai bola yang dibawa berkeliling lapangan. Olahraga ini mengutamakan nilai-nilai kejujuran, keberanian, kekuatan dan keperkasaan, menjadi peleburan semua nilai kebanggaan Afghanistan. [...]

March 17, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 101: Yakawlang

Sejak berangkat dari Herat, uangku cuma tiga puluh dolar. Sekarang tinggal separuh, entah apakah sanggup mencapai Kabul dengan dompet setipis ini. Belum lagi makan, tiga hari saja kalau setiap hari tinggal di kedai seperti ini uang pasti tak cukup. Dalam kondisi begini, pengeluaran harus dihitung cermat, setiap sen begitu berarti. Tapi aku percaya, Khoda negahdar, Allah Maha Pelindung. Daripada stres, aku menggelar matras di sudut warung. Tidur. Belum lagi aku terlelap, bocah pegawai di warung ini berteriak. ”Bangun! Bangun! Ada kendaraan mau ke Yakawlang! Cepat! Mereka berangkat sekarang juga!” Aku terlompat. Di depan warung ada Falang Coach. Di dalamnya ada dua lelaki, beberapa perempuan dan anak-anak. Mereka semua Hazara. Perempuannya tidak memakai burqa, tetapi menutup wajah mereka dengan kerudung warna-warni. “Cepat naik! Cepat!” kata lelaki gemuk beserban. Matanya memicing, jenggotnya kriwil-kriwil. Wajahnya tampak bersahabat. ”Sebentar lagi hujan! Kalau kita tidak bisa melewati gunung itu, kita tak bisa sampai di Yakawlang.” Angkutan ini tidak gratis, tetapi juga tidak mahal. Rombongan keluarga ini adalah peziarah Syiah yang hendak bersembahyang di danau suci dekat Yakawlang. Aku diangkut, karena setidaknya bisa sedikit membantu mereka meringankan ongkos sewa mobil. Dari Panjao menuju Yakawlang, jalanan sempit dengan batu-batu besar. Itu pun harus mendaki. Tak heran sopir [...]

March 17, 2014 // 1 Comment

#1Pic1Day: The Love We Share #10 (Afghanistan, 2008)

The Love We Share #10 (Afghanistan, 2008) Mom’s Tears—a mother is weeping over her son who is struggling in a Herat hospital, Afghanistan suffering from acute hunger, along with massive food crisis in the country. Air Mata Ibu—seorang ibu menangisi anaknya yang menderita kelaparan akut, di sebuah rumah sakit di Herat, Afghanistan, seiring dengan merebaknya bencana kelaparan di negeri itu.                   [...]

March 14, 2014 // 7 Comments

Selimut Debu 100: Lagi-Lagi, Cheragh

Aku bermalam di sebuah kedai teh gelap dan luas di Lal. Dalam hitungan beberapa menit saja, aku sudah melahap habis nasi palao dan kari kentang yang disediakan, saking laparnya. Malam hari gelap gulita, lolongan anjing membahana memecah kesunyian. Semakin dekat dengan pegunungan Hazarajat, udara semakin dingin. Aku meringkuk di bawah selimut apak yang disediakan pemilik warung. Ketika pagi menyingsing, aku kembali terbayang betapa beratnya perjalanan ini. Petualangan kemarin sungguh tak mengenakkan. Juga hari-hari sebelumnya ketika aku harus tertambat di berbagai desa sunyi menunggu kendaraan. Aku melangkah gontai menuju jalan. Kembali duduk di emperan menunggu mobil melintas. ”Salam! Kamu masih di sini?” Tiba-tiba Cheragh menepuk pundakku. Ia tertawa seperti tanpa dosa, tampak sekali suasana hatinya sedang ceria. ”Ayo, ikut sarapan bersama kami. Kami tinggal di warung seberang.” Sebenarnya aku tak terlalu menaruh banyak harapan lagi dengan orang-orang Hazara ini. Aku duduk di sudut. Semua sopir, mekanik, dan kenek Hazara duduk bersila sepanjang dastarkhon. Mereka bersiap menyantap roti nan panjang ditemani krim susu kemasan dan teh hijau manis. “Kamu mau ke Bamiyan?” tanya Cheragh, ”Kami bisa mengangkutmu sampai ke Panjao.” Kali ini ia menawarkan. Aku sebenarnya sudah malas dengan mereka. Tetapi di tempat seperti ini sering kali kita tak punya pilihan. “Kami [...]

March 14, 2014 // 0 Comments

#1Pic1Day: The Love We Share #9 (Afghanistan, 2008)

  The Love We Share #9 (Afghanistan, 2008) Duty—a little boy is accompanying her mother sewing, in a herder settlement of the Kyrgyz nomads, Pamir mountains, Afghanistan. Kewajiban—seorang bocah menemani ibunya menjahit, di daerah permukiman penggembala Kyrgyz, pegunungan Pamir, Afghanistan             [...]

March 13, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 99: Siapa Lagi yang Bisa Dipercaya?

“Jangan khawatir. Kita naik angkot saja sampai ke Daulatyar. Gratis. Nanti dari Daulatyar banyak truk. Kamu bisa menumpang dengan mudah,” kata Khaliq menghiburku, ketika kami sama-sama ketinggalan kendaraan. Khaliq tidak punya angkot. Ia juga penumpang, sama sepertiku. Sopir angkot—tentu saja—tetap menarik ongkos. Ia tidak membawaku ke Daulatyar, tapi ke dusunnya di Shinia. Ia tak punya truk, jadi tak mungkin menjanjikan angkutan sampai ke Bamiyan. Dan di desa ini tak ada truk yang lewat, cuma keledai. Shinia bukan tempat yang baik untuk mencari kendaraan. Di sini hanya ada satu jalan berdebu sempit. Kios-kios dari tanah liat berbaris dalam sepi. Kotak-kotak susu dari Pakistan sudah dibungkus debu. Demikian pula radio ringsek dari Cina dan botol sampo dari Iran. Tak ada pembeli. Penjual hanya melewatkan hari. Rombongan kambing dan keledai bergantian melintas mengisi kekosongan hari. Khaliq bersungguh-sungguh mengundangku ke rumahnya untuk makan siang. Aku ogah-ogahan mengikutinya, takut tertinggal kendaraan. Sudah dua jam menunggu, tak ada satu pun yang lewat. Bagaimana kalau waktu menikmati makanan justru ada kendaraan lewat? Bagaimana kalau ketinggalan satu kendaraan saja berarti harus menginap tiga hari di dusun terpencil ini? Baru saja aku melangkah mengikuti Khaliq ke timur, dari kejauhan mengepul debu yang diterbangkan oleh hewan berat. ”Kamaz!!!” aku bersorak. [...]

March 13, 2014 // 5 Comments

#1Pic1Day: The Love We Share #8 (Afghanistan, 2008)

The Love We Share #8 (Afghanistan, 2008) Beauty and the Beast—A Kyrgyz mother in Pamir mountains, Afghanistan, is combing the hair of her daughter she just washed. Harus Bersih—Ibu Kyrgyz di pegunungan Pamir, Afghanistan sedang menyisir rambut putrinya yang baru saja dicuci.             [...]

March 12, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 98: Kejujuran Memang Mahal

Hidup di negeri yang bersimbah perang selama puluhan tahun telah membunuh urat takut. Cheragh, sopir Kamaz ini, nekat melakukan apa pun untuk keluar dari kubangan Afghanistan. Tubuhnya gemuk. Jubah kelabunya lusuh dan coreng-moreng oleh minyak. Cambang dan jenggotnya lebat, sangat tak lazim di kalangan etnis Hazara. Matanya sipit namun tajam, miring ke atas membentuk huruf V. Namanya berarti ”lampu” atau ”cahaya”, sungguh nama yang indah di kegelapan pedalaman Afghanistan yang belum diterangi listrik. ”Jangan khawatir,” katanya, ”karena kamu orang Indonesia, besok kamu boleh ikut truk ini sampai ke Bamiyan.” Ternyata Cheragh pernah tinggal di Indonesia. ”Aku dulu tinggal di sebuah pulau, di dekat Jakarta. Pulau kecil, tak ingat namanya.” Taliban menguasai Afghanistan. Kaum Hazara yang Mongoloid dan penganut Syiah mengalami pembantaian massal. Tak banyak pilihan, mereka mengumpulkan segala yang dimiliki untuk meninggalkan kampung halaman yang sudah berubah menjadi neraka. Cheragh naik kapal, berdesakan dengan empat ratus pengungsi Afghan lainnya, menyelundup dari Malaysia menuju Australia. Malang, Angkatan Laut Indonesia menangkap kapal yang ditumpangi para pendatang ilegal ini. Impian Cheragh dan rekan-rekan seperjalanannya untuk mencapai Australia kandas di pulau mungil. Tak banyak yang bisa dilakukan di Indonesia. ”Pekerjaan tak ada. Hidup tak ada. Walaupun mereka mengizinkan tinggal dua bulan, aku tak tahan [...]

March 12, 2014 // 0 Comments

Pikiran Rakyat (2014): Berselimut Debu, Menembus Garis Batas

MINGGU  (PAHING)  9 MARET 2014 7 JUMADIL AWAL 1435  H JUMADIL AWAL 1947   Agustinus Wibowo Berselimut Debu, Menembus Garis Batas SULIT juga ”menangkap” pria yang satu ini. Dalam dua hari kunjungannya ke Bandung, travel writer Agustinus Wibowo (33) disibukkan dengan aktivitas menjadi pembicara di berbagai tempat dari pagi hingga tengah malam. Wartawan Pikiran Rakyat, Endah Asih, baru bisa menemui nya Minggu (2/3/2014) pagi, sambil mengobrol di atas kereta api yang melaju dari Stasiun Kiaracondong ke Cicalengka, Kabupaten Bandung. Memang, tak ada cara yang lebih menyenang kan untuk berakhir pekan dengan traveller, selain melakukan perjalanan itu sendiri meski singkat.   SETELAH berkeliling Asia selama 13 tahun, Gus, begitu ia biasa disapa, akhirnya bermukim di Indonesia sejak Februari 2013. Dalam terminologi seorang backpacker “kahot“, harap dimaklumi bahwa kata bermukim itu hanya diartikan sebagai tinggal sekurang-kurangnya satu tahun di suatu tempat. “Saya memang rencana mau pulang ke Indonesia nengok keluarga dan ngeluarin buku ketiga waktu itu, tapi ternyata Ayah saya meninggal tepat dua minggu sebelum jadwal pulang, akhirnya saya mempercepat agenda pulang kampung,” kata pria kelahiran Lumajang Jawa Timur ini, memulai perbincangan. Pagi itu, suasana Stasiun Kiaracondong masih agak lengang. Dalam satu malam, barang-barang yang seluruhnya memiliki  berat 100 kilogram, selesai di-packing.  [...]

March 11, 2014 // 1 Comment

#1Pic1Day: The Love We Share #7 (Afghanistan, 2008)

The Love We Share #7 (Afghanistan, 2008) Sleep, My Baby—a mother in Wakhan, Badakhshan, Afghanistan is lullabying her baby laying on a little hammock. Tidurlah, Sayang—seorang ibu di Wakhan, Badakhshan, Afghanistan berusaha menidurkan anaknya yang terbaring di atas ayunan mungil.                 [...]

March 11, 2014 // 0 Comments

Selimut Debu 97: Tidak Takut Taliban

Angin berembus perlahan, namun sudah cukup untuk menebarkan debu ke seluruh pelosok kota ini. Rumah lumpur tersebar semrawut. Cheghcheran, walaupun tampak bak metropolis setelah perjalanan panjang di gunung-gunung tak bertuan, sejatinya adalah kota kecil yang merana. Sebagai ibu kota provinsi Ghor, Cheghcheran sama sekali tak memancarkan kejayaan Dinasti Ghorid, yang berabad silam pasukannya tiba-tiba muncul dari gunung terpencil dan terlupakan, meruntuhkan kekuasaan Dinasti Ghaznavi yang ditakuti hingga ke tanah Hindustan. Dari pegunungan di jantung Afghanistan inilah, Ghiyasuddin Agung meluaskan wilayah negeri Afghan dari Irak hingga ke India, dari Kashgar di Turkestan hingga ke Teluk Persia. Ghor adalah provinsi terisolasi, salah satu yang termiskin di seluruh negeri miskin ini. Cheghcheran, walaupun secara geografis terletak tepat di jantung Afghanistan, seakan terlupakan. Di seluruh provinsi tak ada semeter pun jalan beraspal. Kekeringan sering melanda. Ketika hujan tak juga turun, para penggembala yang kelaparan terpaksa menjual domba dan kambing dengan harga teramat murah di pasar kota ini, supaya tetap bertahan hidup. Jaringan listrik nihil. Semua penduduk harus bergantung pada generator untuk menonton televisi, menyalakan lampu, mendengarkan lagu-lagu India, dan menjalankan bisnis. Malam hari, yang ada cuma gelap total. “Kami ini berada di pusat Afghanistan, tetapi kenapa kami miskin?” kata seorang lelaki pegawai pemerintah, gusar. [...]

March 11, 2014 // 6 Comments

#1Pic1Day: The Love We Share #6 (Afghanistan, 2008)

The Love We Share #6 (Afghanistan, 2008) A Warmth Called Home—young Kyrgyz kids in Pamir Mountains, Afghanistan, are peeping from inside their yurt. Kehangatan Rumah—bocah-bocah Kyrgyz di pegunungan Pamir, Afghanistan, mengintip dari dalam kemah yurt mereka.           [...]

March 10, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 96: Menggapai Cheghcheran

Lebih dari lima jam untuk memperbaiki truk yang rusak. Lihatlah Jaffar dan sang kenek yang sudah hitam legam. Mereka marah, terus menggerutu menyumpahi truk bobrok yang harus mereka bawa sampai ke Cheghcheran. Tapi ternyata tak sampai empat puluh menit kami berjalan, mobil yang kutumpangi mogok lagi. Ah, kali ini rusaknya lebih parah. Mesin mobil sampai mengeluarkan asap. Parahnya, tempat mogok kali ini adalah di lembah sempit antara dua gunung. Bayang-bayang gunung menghalangi jatuhnya sinar mentari. Angin pun bertiup kencang menerpa wajah. Satu jam… dua jam…. Di sini waktu tak ada harganya, berlalu begitu saja bersama angin gunung. Tak ada kawan bicara, aku hanya mengamati truk lekat-lekat dan mendapatkan pengetahuan yang berharga, misalnya truk ini adalah Toyota buatan Jepang dengan mesin dari Jerman, plat nomornya sudah copot. Ada dua roda depannya dan delapan roda belakangnya. Satu roda buatan Iran, tujuh India, dan dua Thailand. Kendaraan ini diimpor dari pasar barang bekas Dubai dan didatangkan ke Kabul oleh sebuah perusahaan yang stikernya tertera di kaca depan. Hmmm… barang bekas dengan kombinasi komponen dari berbagai negara. Truk ini sudah mati. Kondensornya rusak. Mesin tak lagi bisa memutar roda-roda besarnya. Tak ada harapan. Langit pun beranjak gelap. “Tak ada cara lain,” kata Jaffar, “kamu [...]

March 10, 2014 // 1 Comment

#1Pic1Day: The Love We Share #5 (Afghanistan, 2008)

The Love We Share #5 (Afghanistan, 2008) Father’s Face—a young girl of an Uzbek nomadic shepherd is gazing at her father in the steppes of Badakshan, Northern Afghanistan. Wajah Ayah—seorang gadis dari keluarga gembala nomaden Uzbek menatap wajah ayahnya di tengah padang rumput Badakhshan, Afghanistan utara.         [...]

March 7, 2014 // 2 Comments

Selimut Debu 95: Apanya yang Cantik?

Aku menggigil. Sekarang masih pukul tiga dini hari namun semua orang sudah bergegas berangkat. Subuh di pegunungan Ghor menyakitkan dinginnya. Tanganku, yang semula masih bergetar, sekarang sudah kaku tak bisa digerakkan sama sekali. Ujung-ujung jari kaki pun begitu berat, untuk berjalan pun sakit sekali. Aku bahkan tak sanggup melompat ke badan truk dan harus didorong oleh si kenek Hazara untuk naik. Mungkin karena mendaki puncak Gazzak kemarin, truk ini sekarang bagaikan penderita TBC akut yang sudah ringkih. Jalannya tersendat-sendat. Mendaki sedikit saja, asap hitam langsung mencoreti angkasa. Tak sampai tiga jam, ketika matahari baru saja mulai terbit menghapus gelap, truk Jepang yang kutumpangi mogok total. Sopir meloncat turun. Mesin rusak. Roda rusak. Aku rasa, semuanya pun bakalan rusak sebelum kami sampai di Cheghcheran. Kami mengumpulkan semak belukar untuk membuat api. Suara api bergemeretak, membakar tumpukan rumput dan batang kering. Sedikit energi hangat menjalar. “Demi Nabi! Truk sekarat ini rusak lagi!” umpat Jaffar keras. Ini kedua kalinya truk mogok, padahal kami baru berjalan dua jam. Tampaknya truk-truk ini memang sudah waktunya pensiun. Kali ini rusaknya serius. Mekanik truk, yang disebut masteri, sudah coreng-moreng wajahnya. Sedari tadi ia berbaring di bawah mesin dengan segala macam perkakas. Hasilnya, nihil. Satu jam, dua jam, [...]

March 7, 2014 // 1 Comment

#1Pic1Day: The Love We Share #4 (Afghanistan, 2008)

The Love We Share #4 (Afghanistan, 2008) Mom’s Burqa—A young boy is hiding behind his mother’s burqa veil during food distribution by a missionary charity organization, in Kabul. Burqa Ibu—seorang bocah bersembunyi di balik burqa ibunya pada saat pembagian makanan dari sebuah organisasi misionaris kemanusiaan di Kabul.       [...]

March 6, 2014 // 1 Comment

Selimut Debu 94: Parade Gunung-Gunung

Seperti keledai tua dengan bawaan berat di punggungnya yang terengah-engah, truk Kamaz perlahan mendaki pinggang gunung. Truk merayap perlahan menyusuri tebing curam. Jalan berbelok ke kanan, naik sedikit, balik ke kiri, naik sedikit lagi, berbelok ke kanan lagi. Setiap belokan truk harus berhenti. Perjuangannya sungguh tak mudah. Matahari membakar, debu halus membungkus rapat-rapat. Bahkan di dalam badan mobil pun aku merasakan mesin truk sudah begitu panas, seperti hampir meledak. Keringat menetes di pelipis Jaffar. Gas sudah ditekan keras-keras, Kamaz tak mau juga merangkak naik. Kendaraan ini mengeluarkan bunyi keras menjengkelkan. Semburan asap hitam bercampur dengan debu halus beterbangan. Sekarang jalan pun tak terlihat, tertutup rapat oleh selimut debu dan gas beracun. Kenek berlari ke arah kepulan debu. Dengan gerakan tangannya, ia menunjukkan ke mana truk harus membelok. Jalanan ini sangat curam sehingga Kamaz harus berhati-hati mendaki. Sedikit halangan saja, kendaraan raksasa ini bisa meluncur kembali ke bawah. Di dalam badan truk, kami gerah. Mesin truk ini sudah luar biasa panas sehingga udara pegunungan yang sejuk pun terasa begitu membakar. Setiap tikungan truk harus berhenti beberapa menit, mendinginkan mesin, persiapan untuk tanjakan berikutnya. Setapak, setapak, setapak… pendakian ke puncak Gazzak seperti tak kunjung berakhir. Jaffar berjingkrak kegirangan, dua jam kemudian. Emosinya [...]

March 6, 2014 // 3 Comments

1 6 7 8 9 10 23