Recommended

To Live 活着 by Yu Hua 余华 (Penerjemah Bahasa Indonesia: Agustinus Wibowo)

150203-to-live-diterjemahkan-agustinus-wibowo

To Live (活着) karya Yu Hua (余华) adalah buku terjemahan pertama saya dari bahasa Mandarin ke bahasa Indonesia, akan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama, 7 Februari 2015.  Novel kedua karya Yu Hua yang saya terjemahkan, Kisah Pedagang Darah (许三观卖血记) juga akan segera terbit setelah ini.

 

Buku peraih penghargaan yang awalnya dilarang terbit lalu menjadi buku paling berpengaruh di China dekade terakhir ini.

Dari seorang anak tuan tanah kaya yang menghabiskan waktu di meja judi dan ranjang pelacur, Fugui kehilangan harta dan orang-orang yang dicintainya. Dia berusaha bertahan hidup di tengah kekejaman perang saudara, absurditas Revolusi Kebudayaan, hingga bencana kelaparan yang melanda China akibat kekeliruan kebijakan Mao. Kisah tragis kehidupan seorang Fugui merangkum kengerian perjalanan sejarah negeri China di tengah ingar-bingar revolusi komunis.

To Live adalah karya kontroversial salah satu novelis terbaik China yang sempat dilarang beredar di China, telah meraih berbagai penghargaan sastra internasional, difilmkan, dan telah diterjemahkan ke lebih dari 20 bahasa. Dengan kata-katanya yang sederhana namun bergemuruh dan menggugah, Yu Hua bercerita tentang sebuah China. Yang begitu nyata, tanpa basa-basi.

 

Purnakata dari Penerjemah

Berhidup demi Hidup

Saya menemukan tubuh nenek saya terbujur dalam peti mati kecil, matanya terpejam, bagai dalam tidur yang begitu damai. Cuma satu peti mati kotak kayu tipis dan mungil, pas ukuran tubuhnya, polos tanpa ukiran. Bangku pelayat adalah deretan kursi plastik kosong; selain kami sekeluarga tidak ada lagi orang datang untuk mengantar keberangkatannya, membicarakan memori-memori tentangnya. Kematian ini adalah sebuah kematian yang sangat sederhana dan menjadi satu kematian yang tak berarti dengan ribuan kematian lain pada saat yang bersamaan. Jakarta di Mei 1998 itu bagai kota yang diamuk perang: asap hitam membumbung tinggi; massa beringas membabi-buta membakari rumah, mobil, manusia; kaum minoritas meringkuk ketakutan tak tahu lagi bisa menyalahkan siapa. Rombongan perusuh menyerang apartemen yang ditinggali nenek saya, berteriak-teriak mengusir agar orang Tionghoa cepat pulang ke negeri asalnya dan mulai membakari gedung sehingga nenek saya kesulitan bernapas. Sakit jantungnya kambuh, tetapi tidak ada yang bisa membawanya ke rumah sakit tepat waktu; dan di rumah sakit pun tidak ada dokter. Jenazah nenek yang masih utuh harus kita syukuri, karena di gedung kematian sebelah para perusuh sudah menjarah satu peti mati, mengacak-acak mayatnya lalu melemparkan mayat itu ke tengah jalan.

Kematian begitu absurd di tengah kemelut negeri yang juga begitu absurd. Dan dalam novel To Live terbitan 1993 ini Yu Hua juga berbicara tentang kematian yang serba absurd. Dengan bahasa yang paling polos tanpa sedikit pun dimanis-maniskan, To Live menyajikan realita kematian dalam wujudnya yang paling polos dan tragis. Tokoh utama Fugui telah melihat begitu banyak kematian, telah dihantam begitu banyak kematian; rentetan kematian adalah jalinan kisah hidupnya. Berawal dari seorang anak tuan tanah kaya raya yang menghabiskan sebagian besar waktu di meja judi dan ranjang pelacur, karena kebodohannya dalam semalam dia menjadi petani miskin yang hanya punya sepetak tanah lima mu. Ayahnya mati dalam kemarahan dan kehinaan, ibunya mati dalam penantian tak berujung akan anak yang tak pernah pulang di tengah kemelut perang antara kaum nasionalis dan komunis, anak perempuannya menjadi bisu karena demam yang tidak lekas diobati. Tetapi siapa sangka, kemiskinan Fugui justru membuat nyawanya selamat ketika China dilanda hingar-bingar komunisme dan para tuan tanah justru menjadi musuh negara. Fugui melewati kegilaan Revolusi, juga menyaksikan satu per satu anggota keluarganya direnggut kematian. Ketika dunia seperti tidak menyisakan apa-apa lagi bagi Fugui, dan ketika penderitaan telah menjadi bagian dari darahnya, petani tua itu masih riang bersama sapi tuanya, yang juga dia beri nama Fugui, dan percaya bahwa hidup masih akan lebih baik daripada hari ini.

Dalam kata pengantar To Live edisi bahasa Mandarin terbitan Hainan Publishing House tahun 1998, Yu Hua mengatakan:

To Live menulis tentang kemampuan manusia menahan penderitaan dan kesulitan, sebagai pandangan optimis manusia terhadap dunia. Dalam proses menulis ini membuat saya sadar, manusia hidup sesungguhnya adalah demi hidup itu sendiri, dan manusia bukan hidup demi hal-hal apa pun di luar hidup.”

Saya memandang To Live secara sempurna menggambarkan perjalanan hidup manusia, perjuangan untuk melintasi kemelut yang sering kali adalah produk dari permainan besar yang di luar kendali manusia itu sendiri. Dalam lingkup personal, To Live sekaligus membuat kita berhadapan kembali dengan diri kita, mempertanyakan sejauh mana kekuatan kita untuk terus hidup dan demi apa. Kemaestroan Yu Hua adalah menyajikan kompleksitas multidimensi karakter-karakternya dengan menggunakan kalimat-kalimat yang sangat sederhana dan menyajikan filosofi kehidupan dengan kata-kata yang begitu jujur dan terkadang vulgar, sehingga kisah ini dengan begitu realistisnya menggambarkan absurditas kehidupan rakyat kelas bawah China pada masa Revolusi. Sekaligus absurditas realita kehidupan manusia.

To Live adalah sebuah karya kontroversial fenomenal. Topik Revolusi Kebudayaan dan kritikan terhadap kebijakan yang diambil rezim pada saat itu masih merupakan isu sensitif di China, bahkan hingga hari ini. To Live sempat menjadi buku terlarang di China, walaupun kemudian menjadi novel best seller dan termasuk salah satu karya sastra kontemporer yang paling berpengaruh di China. Pada tahun 1994, sebuah film berdasar novel ini dirilis oleh sutradara kawakan Zhang Yimou dan melibatkan Yu Hua dalam adaptasi plotnya. Versi film To Live tidak sepilu novelnya, namun tetap dilarang beredar di China dan sebagai hukuman, Zhang Yimou dilarang oleh pemerintah China untuk membuat film selama dua tahun.

To Live adalah sebuah buku tentang China. Kengerian buku ini adalah karena buku ini bicara terlalu jujur akan kegetiran yang telah dialami negeri itu dan orang-orangnya. Ketika kita sekarang melihat China sebagai salah satu raksasa dunia yang segera mengambil alih posisi Amerika Serikat sebagai kekuatan ekonomi terbesar, mungkin kita lupa bahwa belum lama lalu, hanya lima puluhan tahun lalu, China terpuruk dalam kemiskinan dan kelaparan hebat dengan pembantaian manusia tanpa alasan dan tanpa jeda yang telah menjadi kejadian keseharian yang membuat orang matirasa melihat kematian. Dan apa lagi yang bisa dilakukan sebuah negeri dalam kehancuran seperti itu, selain hanya untuk bertahan hidup?

Setelah ekonomi hancur lebur pasca satu dekade penuh Revolusi Kebudayaan, China mulai membuka pintunya bagi dunia luar. Saya datang pertama kali ke Beijing pada tahun 2000, yang walaupun orang bilang sudah jauh lebih baik daripada masa sepuluh tahun lalu, tetapi kekumuhan dan kekacauannya serta begitu banyaknya pengemis di jalan yang tak segan membentur-benturkan kepala ke tanah hanya demi sekeping uang mao tak akan membuat siapa pun percaya bahwa kota yang sama itu kelak akan sanggup menjadi kota berkelas dunia yang mampu menyelenggarakan Olimpiade, hanya delapan tahun sesudahnya. Gedung-gedung tinggi bermunculan seperti dibangun kemarin malam, sedangkan rumah-rumah tua dan gang-gang tradisional dihancurkan demi membuka jalan bagi pembangunan modern. China berubah terlalu cepat, jauh lebih cepat dari apa yang bisa diantisipasi warganya sendiri dan dunia. Dan tentu saja tidak semua orang menikmati kue kemakmuran yang sekonyong-konyong ini. Kemakmuran ini di sisi lain justru memperluas jurang antara kaya dan miskin di China—sebuah antitesis dari perjuangan kelas Revolusi Kebudayaan yang dikisahkan dalam novel To Live ini—dan ratusan juta orang pada lapisan sosial terbawah lebih tergerus lagi di tengah persaingan ketat negeri berpenduduk 1,3 miliar ini. Suara mereka kelas bawah di China nyaris tak terdengar, protes mereka para pekerja migran dan buruh yang termarginalisasi dalam dunia kapitalisme itu terbungkam oleh sistem yang berusaha menampilkan bahwa ini adalah negeri yang terus melangkah semakin dekat menuju gerbang kebahagiaan. Apa lagi yang bisa mereka lakukan, selain untuk tetap berjuang demi bertahan hidup?

To Live juga adalah refleksi psikologi kaum minoritas Tionghoa di seluruh dunia. Kerja keras dan kerja keras, agar “ayam bisa menjadi angsa, angsa menjadi kambing, kambing menjadi sapi.” Semua kerja keras itu sesungguhnya adalah sebagai upaya pertahanan hidup yang paling realistis. Anda mungkin melihat Fugui-Fugui di sekeliling Anda: orang-orang yang ditimpa bencana dan tetap menjalani hidupnya tanpa keluh kesah, orang-orang yang dihancurkan oleh kematian tetapi kemudian bangkit lagi, orang-orang yang memandang kembali hidupnya dari berbagai kematian yang telah mereka lalui. Anda mungkin menemukan Fugui dalam diri Anda sendiri, sebagaimana saya menemukan Fugui dalam diri saya. Bertubi-tubi kematian yang saya saksikan dalam hidup saya, mulai dari yang absurd sampai yang alamiah, membuat saya tersadar, bahwa kematian sesungguhnya bukanlah sebuah akhir, melainkan awal sebuah jalan yang baru. Sebuah jalan untuk terus menjalani hidup, dan menemukan makna.

Sebagaimana Fugui yang dalam sepi malam dingin dia diam-diam mengubur anak lelakinya dengan tangan telanjangnya sendiri. Menatap kematian putranya, yang terlalu tiba-tiba sebagai akibat ketidakadilan pihak berkuasa, Fugui berkata:

Aku melihat jalan kecil berkelok-kelok menuju kota itu. Tak terdengar suara lari kaki telanjang anakku. Rembulan menyinari jalanan, berkilauan seperti habis ditaburi garam.

 

Agustinus Wibowo

18 Januari 2015

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

18 Comments on To Live 活着 by Yu Hua 余华 (Penerjemah Bahasa Indonesia: Agustinus Wibowo)

  1. wah, keren euy sdh nerbitin buku, mas gust!

  2. Hi Agustinus! I am back in Afghanistan. Congratulations for all your publications!!

  3. Mau baca, nanti setelah kembali ke tanah air ^_^

  4. Mudah bagimu, Mas, menerjemahkan novel. Karena tulisan Mas Agus selama ini memang nyastra banget.
    Ditunggu 07 Februarinya di Gramedia.

  5. Mas Agustinus, bisa pesan online untuk buku ini tidak? Kalau bisa, mohon petunjuknya ya. 🙂 terima kasih.

  6. Mas, kalau mau pesan online bisa kah?

  7. Wah bagus ini, sudah difilmkan sama Zhang Yi Mou

  8. masuk dalam belanjaan buku nih!!

  9. ambil nomor antrian nih….

  10. terjemahkan brothers juga

  11. Ini karya terjemahan pertama ?

  12. Claudia Audiana // May 5, 2015 at 12:01 am // Reply

    Wah kak Agustinus.. saya senang bgt baca2 blog kakak.. kalau mau beli buku nya di kirim ke luar negri bisa gak ya? Tolong info nya kak.. makasih.

  13. Kak, kalo boleh tau kenapa novel to live ini bisa menjadi novel yg paling berpengaruh di Cina ya?

Leave a Reply to obed nugroho Cancel reply

Your email address will not be published.


*