Recommended

Titik Nol 88: Paniwala

Kakek Mamohan (AGUSTINUS WIBOWO)

Kakek Mamohan (AGUSTINUS WIBOWO)

Hari Om, Ashok, Hari Om, Lilavati” kakek Mamohan menyapa. Jenggot putih menghiasi wajah tuanya. Kami berdua masuk ke padepokannya yang sederhana di pertigaan jalan, di bawah rindangnya pohon besar.

Hari Om…. Ramram…” saya membalas sapanya.

Kemarin Kakek Mamohan memberi nama Hindu bagi kami berdua. Ashok buat saya dan Lilavati buat Lam Li. Ashok, atau dalam bahasa Indonesia disebut Ashoka, adalah nama raja besar India dari Dinasti Maurya, berkuasa abad kedua Sebelum Masehi. Roda Chakra dan Singa Ashoka dijadikan lambang negara dan bendera Republik India modern.

“Ashok, benar-benar nama yang indah,” saya berterima kasih padanya.

Kendi demi kendi air berjajar rapi di halaman. Kakek Mamohan sendiri yang mengisi kendi air itu. Air jernih dan menyegarkan tersedia bagi siapa pun yang melintas.

“Kakek Mamohan, berapakah yang harus dibayar orang yang minum air ini?” saya bertanya.

Kuch nehi. Tidak sama sekali. Air ini tersedia cuma-cuma,” ia menjawab dengan perlahan, tenang, elegan.

Air ini adalah perlambang cinta dan pengabdian. Kakek Mamohan adalah seorang paniwalla. Pani artinya air, dan walla adalah akhiran bahasa Hindi untuk menyebut orang. Tukang air biasanya duduk dengan tenang di sudut jalan Rajasthan dengan kendi di tangan mereka. Air mengucur dari leher kendi siap diguyurkan ke tenggorokan rakyat yang kering. Mereka tidak menarik bayaran sedikit pun untuk pekerjaan ini, walaupun terkadang orang yang meminum memberikan sedekah seadanya.

Kakek Mamohan mengajak kami masuk ke dalam padepokan sederhananya. Lebarnya tak lebih dari satu meter. Kami harus berdesak-desakan di ruang sempit ini.. Dindingnya berwarna putih, bergambar hiasan-hiasan Hinduisme, seperti chakra, tulisan ‘Om’, dan swastika. Di sudut ada altar mungil dengan beberapa gambar Syiwa, dewa pemusnah bertangan banyak.

Di leher Kakek Mamohan tergantung untaian kalung biji rudraksha. Rudraksha, artinya ‘air mata Syiwa’, adalah biji pohon Elaeocarpus granitrus. Dalam tradisi Hindu, Rudraksha bukan biji pohon biasa, tetapi azimat pengusir bala. Saya ingat sepasang pengelana Rusia yang telah terinisasi di India dan menjadi pertapa super aneh di Freak Street di Kathmandu yang menunjukkan koleksi rudraksha-nya. Ada yang bersudut enam, ada yang delapan. Tiap jumlah sudut yang berbeda, berbeda pula artinya. Waktu itu saya tidak begitu paham mengapa orang Rusia ajaib ini begitu keranjingan mengoleksi berbagai biji pohon yang di mata saya tak berarti sama sekali. Tetapi melihat untaian Rudraksha di leher Kakek Mamohan di padepokannya yang sepi ini, saya menemukan tempat yang tepat bagi bulir-bulir biji suci itu.

Wajah Kakek Mamohan tenang sekali. Umurnya sudah 56 tahun, dan ia tinggal sendirian di sini. Di pagi hari ia bekerja di kantor listrik. Sore hari ia kembali ke tempat yang sunyi ini, meneruskan tradisi keluarganya secara turun-temurun.

“Keluarga kami sudah menjalani tradisi sebagai paniwalla turun-temurun. Mulai dari kakek saya, ayah saya, dan sekarang saya,” Kakek Mamohan bercerita.

Padepokan mungil di bawah pohon rindang ini sudah puluhan tahun, menyimpan cerita banyak generasi. Saya melihat di dinding kamar ini, tergantung potret-potret tua.

Seorang paniwalla di Jaipur (AGUSTINUS WIBOWO)

Seorang paniwalla di Jaipur (AGUSTINUS WIBOWO)

“Ini adalah ayah saya,” Kakek Mamohan menunjuk sebuah foto seorang pria tua India yang dalam bayangan saya adalah pertapa suci.

Ayah Kakek Mamohan dahinya sudah botak. Rambutnya putih memanjang, dan jenggot putihnya lebat menyentuh dada. Ia tak berbaju. Pinggangnya dibalut lungi putih. Di dahinya antara kedua alis ada guratan garis panjang tika atau tilak berwarna merah oranye, seperti biasanya yang dibubuhkan orang Hindu sehabis sembahyang.

Ayah Kakek Mamohan, yang konon adalah orang suci, sudah meninggal beberapa tahun silam. Semasa hidupnya dulu, sang ayah mengabdikan diri juga sebagai paniwalla. Bukan hanya orang setempat yang kenal dia. Padepokan ini dulu juga ramai dikunjungi orang asing.

“Bahkan ada yang sampai menginap berbulan-bulan di tempat ini,” kenang Kakek Mamohan.

Kakek Mamohan menyodorkan buku testimoni peninggalan ayahnya. Ternyata di Jodhpur bukan hanya pemilik hotel, tukang rickshaw, dan pedagang omelet saja yang punya buku testimoni. Bahkan orang suci penyedia air segar yang tidak dibayar pun punya buku macam ini.

Kami membolak-balik buku tua itu, harta karun Kakek Mamohan yang tak ternilai harganya. Isinya jauh lebih menarik daripada buku tebal kepunyaan tukang omelet. Di sini ada surat-surat, foto, kartu pos yang dikirim dari berbagai penjuru dunia, dari berbagai irisan zaman.

Buku ini adalah sepotong sejarah. Saya membaca paragraf demi paragraf surat yang dikirim para petualang dunia yang pernah singgah di tempat ini, berjumpa dengan sang pertapa, dan menulis secuplik kehidupan manusia di tempat ini.

Seorang petualang dari tahun 1969 menulis, “Bapa India-ku, engkau adalah semangat hidupku.” Sang petualang mengisahkan semenjak ia meninggalkan padepokan sang pertapa, betapa sedih ia mendengar tentang pembunuhan zaman Indira Gandhi, dan bagaimana petualangannya di Pakistan yang penuh dengan bom. Sang pengelana menulis sepucuk surat ini dari Afghanistan, sebuah negeri yang kala itu adalah persinggahan favorit kaum hippy. Kepada sang swami ia mengisahkan pengalaman batinnya di negeri Afghan.

Ia memanggil sang Bapa India dengan sebutan swami, sebutan guru suci Hindu, sang pemilik diri sendiri. Kata swami ini kemudian sampai ke ranah bahasa Melayu menjadi ‘suami’.

Sang swami punya aura yang sangat dalam. Seorang pengelana bahkan rela tidur berbulan-bulan di atap gubuk padepokan ini hanya demi melihat wajah sang pertapa. “Tak perlu ada kata-kata yang terucap. Kami tak perlu banyak bercakap. Hanya melihat wajahmu aku merasakan keteduhan tak terkira dalam jiwaku.”

Terima kasih untuk airmu yang menyegarkan, dan juga terima kasih untuk ‘minuman hijau’ itu.”

Sepenggal tulisan yang membuat saya tergelak. Minuman hijau yang dimaksud adalah bhang, serbuk hasil tumbukan daun dan bunga ganja, dicampur air dan diminum. Walaupun termasuk dadah, minuman ini sakral. Kakek Mamohan menyiapkan bhang dengan menggerus dan menumbuk daun ganja di belakang padepokan. Kami menolak tawarannya untuk mencicip.

Kakek Mamohan hanya tersenyum. Ia pun memancarkan sebuah aura kesucian seperti ayahnya, sang swami. Sungguh saya pun merasa kedamaian berada di padepokan sepi ini, di mana pengabdian jauh lebih bernilai daripada kekayaan materi apa pun.

Hari Om

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 3 Desember 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*