Melihatnya dari Sisi Berbeda
Agustus 2019, Katedral Norwich menjadi kontroversi di seluruh Inggris. Di ruang altar utama Katedral, mereka memasang mainan perosotan yang disewa dari sebuah sirkus. Norwich adalah kota di Inggris dengan jumlah gereja terbanyak, tetapi sekaligus yang paling ateis. Apa yang menyebabkan orang Inggris enggan ke gereja? Dan apakah masa depan dari gereja?
Tampaknya, umat gereja telah menjadi makhluk yang teramat langka di Inggris sekarang.
Sudah lebih dari tiga puluh tahun Brandon meninggalkan gereja, dan sejak itu pula dia tidak pernah bertemu lagi dengan seorang pun umat gereja. Brandon dibesarkan sebagai penganut Katolik Roma yang taat, bahkan pernah aktif sebagai penyanyi paduan suara gereja di masa kecilnya. Dia berhenti sama sekali beribadah ke gereja pada usia 13 tahun, di tahun 1970an, karena merasa tidak cocok lagi dengan institusi gereja yang dipandangnya munafik. Namun, terhadap gereja sebagai bangunan, dia masih sangat mencintainya. Dia suka atmosfer gereja yang sunyi dan syahdu. Itu sebabnya dia bekerja sebagai relawan paruh waktu pada pameran seni Abad Pertengahan di bekas gereja St. Peter Hungate ini. Ketika pameran kosong sama sekali dari pengunjung (dan itu adalah untuk sebagian besar waktu), Brandon merasa dirinya kembali menyatu dengan kesunyian dan kesyahduan yang teramat spiritual dari bangunan tua ini.
Jadi apa yang membuat orang Inggris meninggalkan gereja? Brandon teringat di masa kecilnya, para penganut Katolik Roma di gerejanya berbondong-bondong meninggalkan gereja pada awal 1980an. Saat itu, gereja Katolik yang semula menggunakan bahasa Latin untuk ritual-ritual suci, menggantikannya dengan bahasa Inggris yang lebih mudah dipahami para umat. Namun perubahan itu justru mengecewakan sejumlah besar umat yang terbiasa dengan tradisi ritual yang sama sekali tidak berubah selama ratusan tahun. “Bagi mereka, perubahan dari bahasa sakral ke bahasa sehari-hari itu telah mengurangi kesakralan gereja,” jelas Brandon.
Tetapi Brandon percaya tren besar-besaran orang Inggris berhenti beribadah ke gereja terjadi lebih awal daripada itu, yaitu pada tahun 1970an, dan dia menduga penyebabnya adalah kemapanan dan kemakmuran ekonomi. Sebagai seorang tukang bangunan, Brandon pernah menetap dan bekerja cukup lama di beberapa negara Eropa, seperti di Prancis dan Italia. Di situ dia mengamati adanya cara hidup yang sangat berbeda antara orang Inggris dengan orang-orang Eropa lainnya. “Di Eropa, misalnya di Prancis tempat saya tinggal selama lima tahun, orang menaruh perhatian penting pada keluarga. Setiap hari Minggu mereka makan siang bersama seluruh anggota keluarga, di sana itu adalah hal yang biasa. Bagi mereka, nomor satu adalah keluarga, nomor dua tempat tinggal, nomor tiga makanan, uang mungkin nomor tujuh. Tetapi di Inggris, nomor satu adalah uang, dan itu membuat orang tidak punya tempat lagi bagi spiritualitas.”
Sama seperti Brandon, Sarah Perry dulunya juga adalah seorang umat gereja yang sangat taat. Sama seperti Brandon pula, Sarah kemudian juga meninggalkan gereja, walaupun untuk alasan yang cukup berbeda.
Saya bertemu dengan novelis yang sedang naik daun di Inggris dan bermukim di Norwich ini dalam sebuah restoran India di kota tua Norwich. Kepada saya, Sarah menceritakan bagaimana dia dibesarkan dalam sebuah keluarga Kristen Protestan yang menganut aliran Strict Baptist. Sesuai dengan namanya, sekte yang berakar di Inggris pada abad ke-17 ini menekankan kedisiplinan pada aturan-aturan yang ultra-ketat. Tidak boleh menonton televisi. Tidak boleh menonton bioskop. Tidak boleh menari. Tidak boleh mendengarkan musik. Pada hari Minggu tidak boleh membelanjakan uang dan tidak boleh bertemu teman. Perempuan harus berambut panjang, berbaju panjang, dan menutup kepala dengan kerudung. Mereka harus patuh pada semua aturan, karena mereka percaya semua orang harus berjaga-jaga demi Hari Penghakiman yang bisa datang sewaktu-waktu. Mereka juga tidak boleh mempertanyakan tentang Tuhan atau penafsiran Alkitab, karena pertanyaan-pertanyaan seperti itu dianggap berasal dari setan.
Sarah hidup dengan kepatuhan total pada aturan-aturan dari gerejanya. Namun dia adalah seorang pemikir dan pembaca, sehingga benaknya selalu dipenuhi pertanyaan-pertanyaan kritis tentang agama. Mengapa institusi agama justru membuat orang penuh ketakutan? Mengapa orang yang taat beragama justru tidak berani melakukan ini dan itu dengan mengira bahwa semua larangan itu berasal dari Tuhan?
Sebuah peristiwa mengubah kepatuhan Sarah secara drastis. Di tahun 2008 itu, ramai perdebatan bahwa Inggris akan melegalisasi pernikahan gay. Sikap gereja jelas, yaitu menolaknya. Pada saat itulah, pertanyaan-pertanyaan di dalam diri Sarah membuncah, tidak terbendung lagi. “Apabila Tuhan melarang dua orang yang sesama jenis untuk saling mencintai dengan tulus, maka saya tidak mau percaya pada Tuhan yang demikian,” katanya mengenang pemikirannya saat itu.
Sarah saat itu berusia 28 tahun, baru menikah setahun dengan seorang pria yang juga penganut Strict Baptist yang taat. Tidak pernah sekali pun mereka membahas isu homoseksualitas. Sarah tidak tahu apa pandangan suaminya mengenai isu ini, dan khawatir bahwa perbedaan pandangan atas isu yang baginya sangat prinsipiil ini bisa mengganggu pernikahan mereka. Tetapi kegelisahan dalam batinnya sudah tidak terbendung lagi. Malam itu juga, ketika berkendara bersama di dalam mobil, Sarah mengutarakan isi hatinya pada suaminya.
Sungguh tidak disangka, sang suami ternyata punya pandangan yang sama dengannya. Itu sangat melegakan hati Sarah. Mereka kemudian memutuskan untuk bersama-sama berhenti ke gereja sama sekali. Bukan hanya itu, mereka juga memutuskan untuk pindah ke daerah permukiman lain di kota London yang lebih sekuler, karena di daerah hunian mereka sekarang yang sangat religius ini, siapa pun yang absen dari gereja akan selalu dihubungi dan dibujuk oleh anggota jemaat yang lain untuk kembali ke gereja. Setelah mereka pindah rumah, mereka jadi bisa menikmati kebebasan yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Berjalan-jalan menikmati keindahan danau di hari Sabtu, menikmati sarapan pagi di kafe pada hari Minggu… hal-hal yang bagi orang lain sangat biasa ini, adalah larangan besar bagi penganut Strict Baptist seperti mereka. “Betapa indahnya kebebasan dari rasa takut itu,” kata Sarah berulang kali.
Manusia senantiasa berubah, masyarakat manusia pun terus berubah. Demikian juga dengan pandangan manusia tentang Tuhan dan agama. Sepanjang sejarah peradaban manusia, tidak ada agama yang abadi, semuanya mengalami siklus kelahiran, pengembangan, perubahan, penurunan, hingga kematian. Banyak agama yang dulunya pernah sangat besar dengan ratusan juta umat, kini telah punah dan menjadi sejarah. Di Eropa sendiri, kemajuan sains sejak Era Pencerahan menciptakan gelombang keraguan yang semakin besar terhadap isi kitab suci. Kemajuan teknologi juga mengurangi ketergantungan manusia terhadap Tuhan dalam memecahkan berbagai persoalan hidup. Pengalaman yang terlalu mengerikan dalam Perang Dunia II yang banyak memasukkan unsur agama untuk memotivasi perang, menjadi pelajaran berharga bagi negara-negara Eropa untuk semakin teguh memisahkan agama dari arena politik secara total. Pemisahan agama dan politik ini adalah hal terpenting yang membedakan Eropa zaman modern dengan Abad Pertengahan—agama kini dibatasi untuk berada hanya di ranah pribadi.
Di samping itu, zaman modern juga ditandai dengan berkembangnya nilai-nilai humanisme sekuler yang semakin menjunjung tinggi kesetaraan manusia secara universal. Masyarakat Inggris yang pada awal abad ke-20 masih mengkriminalisasi kaum homoseks, di abad ini justru menjadi salah satu yang terdepan dalam membela hak-hak LGBT. Perubahan nilai di tengah masyarakat Eropa yang sangat cepat di masa sekarang ini membuat banyak orang menemukan bahwa sejumlah nilai penting yang mereka yakini dalam kehidupan mereka ternyata bertentangan dengan pandangan organisasi agama. Ini termasuk soal standar moralitas, kebebasan pemikiran, kesetaraan gender, dan penerimaan terhadap homoseksualitas. Semua ini menyebabkan masyarakat Eropa (terutama Eropa Barat) semakin sekuler, semakin menjauhi agama yang terorganisasi. Inilah senjakala bagi agama-agama mapan di Eropa.
Namun meninggalkan agama tidak otomatis berarti mereka menjadi ateis. Kehidupan spiritual di Eropa pada zaman modern ini sebenarnya masih sangat dinamis. Globalisasi dan migrasi menyebabkan negara-negara Eropa juga semakin multikultur, sehingga terjadi interaksi yang semakin intens dengan agama-agama dan budaya-budaya dari luar. Agama-agama Timur, misalnya Buddhisme, menunjukkan pengaruh yang semakin besar kehidupan masyarakat Eropa hari ini. Di Norwich, tidak jauh dari Katedral bersejarah itu, telah berdiri Pusat Buddhis yang selalu ramai dengan para warga yang tertarik untuk berlatih meditasi kesadaran diri. Mindfulness telah menjadi kosakata baru yang ramai dibicarakan orang.
Selain itu, terjadi pula kebangkitan paganisme, yaitu agama-agama lokal pra-Kristen yang menghormati dewa-dewa lokal Eropa. Dulu di masa Abad Pertengahan yang didominasi Kekristenan, orang bisa dibunuh karena dituduh sebagai penganut pagan atau penyihir, namun di abad milenium ini, sebagian orang Inggris modern justru bangga menyebut diri mereka sebagai pagan atau penyihir. Masa lalu yang teramat jauh telah menyediakan jawaban bagi pencarian spiritualitas mereka, sekaligus menjadi sumber kebanggaan identitas yang baru. Di kota tua Norwich bahkan telah ada toko yang menjual alat-alat sihir dan pernak-pernik ritual khusus bagi kaum pagan.
Bagi Sarah, meninggalkan gereja bukan berarti dirinya telah meninggalkan spiritualitas. Dia bahkan mengaku dirinya masih tetap seorang Kristen, yang masih rutin membaca Alkitab dan masih berdoa kepada Tuhan. “Saya pernah mencoba menjadi ateis,” katanya, “tetapi saya tidak bisa. Supernatural itu ada di dalam diri, dan itu tidak bisa saya ingkari. Saya hanya merasa bahwa spiritualitas saya tidak hanya didapatkan melalui pergi ke gereja dan mengikuti ritual gereja.”
Banyak orang Inggris yang sekarang alih-alih mengaku “ateis”, lebih memilih untuk menyebut diri mereka “spiritual, tetapi tidak religius”. Demikian juga halnya dengan Brandon, relawan di bekas gereja St. Peter Hungate, Norwich, yang mengaku tidak beragama tetapi tidak menolak spiritualitas. “Itulah yang mungkin disebut roh atau spirit, saya menyebutnya personalitas,” katanya, “Waktu ayah saya meninggal, saya tidak menangis, karena saya tahu yang meninggal itu hanya badan, tetapi personalitas mereka masih ada, roh mereka masih ada bersama saya sekarang.”
Orang-orang mungkin memang sudah tidak lagi pergi ke gereja, namun mereka masih percaya pada keberadaan roh suci yang abadi itu. Brandon bercerita pada saya, bahwa pada tahun 2012 para relawan pernah menyelenggarakan pameran kesenian gereja di bekas gedung gereja St. Peter Hungate ini. Brandon bertugas memasang sebuah layar partisi, untuk memisahkan zona panti umat (“nave”) dengan zona altar suci. Saat pameran berlangsung, banyak pengunjung yang tidak berani melangkah ke belakang layar itu, karena mereka tahu bahwa daerah di belakang layar pada sebuah gereja adalah zona sakral yang tidak boleh sembarangan dimasuki. Orang-orang tetap mempunyai insting itu, walaupun St. Peter Hungate sudah lama tidak berfungsi lagi sebagai gereja. Itu karena di dalam pikiran bawah sadar mereka, roh suci dari gereja ini senantiasa abadi dan tidak akan terhapuskan, apa pun fungsi dari bangunan ini sekarang.
Halaman Selanjutnya
Mengasyikkan sekali membaca liputan ini, seperti sedang naik roller coaster, klimaks antiklimaks, naik turun, penuh kejutan. Terima kasih.
Menarik sekali.
Mas Wibowo, air mata saya juga menetes membaca ini. Tulisan yang dibuat sepenuh hati, memang selalu merasuk sanubari. Terima kasih mas, atas tulisannya.