Recommended

Port Moresby 9 Agustus 2014 Hari Belanja

Hari belanja

Hari belanja

Bagi banyak ekspatriat, Port Moresby adalah kumpulan dari banyak “pulau”: tempat bekerja, rumah, tempat makan, tempat ibadah, dan—yang paling penting—tempat belanja.

Karena alasan keamanan, orang asing sangat tidak dianjurkan untuk bepergian di Port Moresby dengan berjalan kaki di jalanan. Karena itu, mereka mengemudikan mobil untuk berpindah dari “pulau” yang satu ke “pulau” yang lain. Dan di setiap “pulau” itulah baru orang asing bisa menikmati sedikit kebebasan temporer tanpa kekhawatiran bertemu dengan raskol (perampok).

Di gereja Katolik Don Bosco saya berkenalan dengan Pastor Peter asal Jakarta yang sudah delapan tahun bertugas di Papua Nugini. Daerah tugasnya adalah Kerema, di Provinsi Central, yang dihubungkan dengan jalan raya langsung dengan Port Moresby. Kemudahan transportasi itulah yang membuat Pastor Peter sering datang ke Port Moresby hanya untuk berbelanja. Dia datang dengan truk kosong, memborong barang kebutuhan sekolah dan gereja lalu memuati truknya hingga penuh, dan kembali ke Kerema.

Pastor Peter mengatakan, belakangan ini berbelanja di Port Moresby jauh lebih mudah dan murah, berkat banyaknya pedagang asal China Daratan yang membuka toko-toko kecil. Dengan mobil gereja (walaupun sudah bertahun-tahun tinggal di sini, Pastor tetap tidak merekomendasikan saya berjalan kaki), kami bersama menyusuri jalanan Port Moresby menuju toko-toko orang China.

Xiao Yan melayani pembeli dengan bahasa Pidgin yang lumayan fasih

Xiao Yan melayani pembeli dengan bahasa Pidgin yang lumayan fasih

Di kota ini, bukan hanya ada orang China yang baru datang dari Tiongkok, tetapi juga ada orang China yang sudah lama menetap di Papua Nugini. Salah satu contohnya adalah orang China pemilik supermarket besar J-Mart, yang sudah tinggal sejak sebelum PNG merdeka dan sudah menjadi warga PNG, dan mengirim anak-anaknya bersekolah ke Australia. Kelompok pendatang lama ini, kata Pastor, sering mengeluhkan kehadiran para pendatang baru yang masih segar dari Tiongkok, yang dianggap sering berbuat seenaknya.

Pastor memarkir mobilnya di tengah lapangan parkir pertokoan China di Erima. Kawasan ini adalah sebuah lapangan besar, dengan toko-toko kelontong orang China Daratan berbaris membentuk huruf U mengelilingi lapangan parkir yang luas yang selain dipenuhi mobil juga dipenuhi boks-boks kontainer. Setiap toko itu adalah ruko lantai dua, dengan toko di lantai bawah dan tempat tinggal pemilik toko di lantai atas.

Kami memasuki toko milik Xiao Yan, perempuan muda asal Fuqing yang menjual kaos (seharga K10, jauh lebih murah daripada harga di mal yang ratusan Kina), jaket, kalkulator, lampu, hingga ban sepeda. Semula Xiao Yan sangat enggan menjawab pertanyaan saya. Ketika dalam bahasa Mandarin saya bertanya dia dari mana, dia mengatakan, “Sudah jelas kan saya dari China. Buat apa kamu tanya-tanya?” Tetapi setelah saya mengatakan leluhur saya juga berasal dari provinsi yang sama dengannya, suasana langsung cair dan dia bercerita tentang bisnisnya. Berbeda dengan orang Indonesia yang biasanya langsung akrab dengan bangsa senegara di negara asing, orang China cenderung lebih waspada dengan sesama orang China.

Xiao Yan sudah tinggal di PNG selama satu setengah tahun. Dia datang bersama suaminya, dan toko yang sekarang dia jaga ini adalah milik kakak perempuannya. Apakah dia akan menetap di negara ini sebagaimana para orang Tionghoa yang sudah meraup sukses dan mendirikan supermarket itu? Ataukah seperti leluhur Tionghoa saya yang menetap bergenerasi-generasi hingga menjadikan saya orang Indonesia? Xiao Yan tertawa. “Negara seperti ini? Gila apa? Jangan bandingkan negara ini dengan Indonesia atau negara lain! Di sini sangat membosankan, malam kita tidak bisa keluar ke mana-mana. Di sini cuma tempat untuk cari uang.”

Tapi, orang-orang pribumi berkulit hitam legam ini—Xiao Yan menggunakan istilah tu-ren, yang identik dengan orang suku primitif, atau hei-ren yang artinya orang hitam—sebenarnya juga cukup ramah. Mereka cukup senang dengan hadirnya barang China yang sangat murah. “Harus diakui juga, barang-barang kita berkualitas buruk. Tiga hari dipakai bisa rusak. Tapi sebagian besar mereka juga tidak marah. Terkadang memang ada yang datang pada kita marah-marah, tapi kita jelaskan kalau rusaknya itu gara-gara listrik di sini tidak stabil, jadi barang mereka rusak. Dan kita ganti dengan barang yang lain, mereka pun sudah senang.”

Anda mendapat apa yang Anda bayar, adalah prinsip yang selalu diucapkan para pedagang China. Uang Anda sedikit? Tak masalah. Anda mendapat baju yang langsung bolong dipakai kurang dari seminggu, atau radio yang langsung rusak dipakai hanya tiga hari. Walaupun begitu, kehadiran barang-barang buatan China ini sudah menyeret harga-harga barang di PNG turun drastis, kata Xiao Yan. Australia, semula sebagai pengekspor utama produk di PNG, sudah mulai ketar-ketir karena kehadiran produk-produk Asia mengurangi dominasi mereka di pasar negara ini.

Pastor Peter mengatakan padaku, negara ini sudah terlalu lama dibodohi orang-orang Australia itu, sehingga hanya selalu bergantung pada tetangga selatan mereka. Mereka diberitahu bahwa tanah mereka tidak bisa ditumbuhi padi, sehingga mereka selalu mengimpor beras dari Australia. Baru belakangan ini saja mereka menyadari bahwa mereka memiliki tetangga bernama Indonesia yang bisa memasok barang dengan harga jauh lebih murah. Salah satu program keberhasilan yang dibanggakan oleh PM Peter O’Neill adalah membina hubungan dengan negara tetangga Indonesia yang “selama 37 tahun telah terabaikan”. (Indonesia adalah satu-satunya nama negara yang disebut dalam 10 program keberhasilan 2012 Perdana Menteri itu).

Pelayan restoran China

Pelayan restoran China

Mr. Ni di balik teralis

Mr. Ni di balik teralis

Tetapi berbisnis di sini bukan hanya sekadar meraup keuntungan. Untuk memasuki restoran China yang ada di dekat pasar, kita harus melewati dua lapis pintu yang masing-masing dijaga dua pria Papua bertubuh kekar. Pemilik restoran ini adalah orang China, pegawai kasirnya orang Filipina, sedangkan para perempuan Papua berpakaian cheongsam merah membawa menu dan makanan ke meja para tamu. Memiliki staf lokal orang Papua sangatlah penting untuk setiap bisnis, untuk alasan keamanan. Sedangkan toko Mr. Ni di kawasan “ChinaTown”, lebih mirip penjara daripada toko. Mr. Ni yang juga berasal dari Fuqing berada di balik teralis besi tebal yang berjajal vertikal. Kenapa harus ada teralis besi seperti ini? “Oh kamu masih belum tahu Papua Nugini. Di sini, orang bisa memanjat dan meloncati lemari kaca ini lalu merampok langsung ke kasir. Mereka juga bawa senjata. Kalau sudah begitu, habislah kita.”

“Pernah terjadi?” saya bertanya.

“Pernah. Malah waktu malam hari, pernah juga perampok masuk dari langit-langit,” Mr. Ni menunjuk ke atas, “lalu menodongkan senapan ke arah kami sekeluarga.” Mereka tinggal di toko ini juga.

“Tidak takut?”

“Mau bagaimana lagi? Dijalani saja.”

Saya merasakan resonansi penderitaan dan perjuangan mereka. Kakek buyut dan kakek saya lahir di China, menerjang melintasi Laut China Selatan hingga ke Nusantara, dan merintis hidup baru dengan berdagang kelontong persis seperti Xiao Yan dan Mr. Ni, dengan berbagai kesulitan berbahasa maupun ancaman keamanan tidak terduga. Orang sering hanya melihat contoh-contoh keberhasilan, seperti orang Tionghoa pemilik supermarket atau hotel, tetapi melupakan perjuangan dari nol yang merupakan titik awal dari perjalanan penderitaan panjang menuju keberhasilan itu.

Itu juga pernah dikatakan oleh Pak Hidayat kepada Pastor Peter. Pak Hidayat adalah seorang Tionghoa Indonesia yang kini sukses membuka jaringan supermarket SVS dan memasarkan berbagai produk Indonesia di PNG. SVS adalah distributor tunggal Indomie ke PNG, dan sangat sukses di PNG. Sebungkus Indomie dijual dengan harga K1.20, hampir tiga kali lipat dari harga di Indonesia, dan saya dengar mereka sanggup menjual hingga dua kontainer per bulan. Itu belum termasuk barang-barang lainnya seperti makanan ringan, sepatu, baju, obat-obatan dan sebagainya. Sayang, tidak banyak orang Indonesia yang melirik peluang bisnis yang luar biasa di PNG, atau takut dengan risiko keamanan yang luar biasa. Tetapi, sebagaimana prinsip orang Tionghoa, di dalam krisis bahaya selalu ada kesempatan. Justru di tempat-tempat berbahaya dan menderita seperti inilah, sebenarnya terbuka peluang yang lebih besar bagi mereka yang sanggup mengatasinya.

Bertelanjang kaki belanja di supermarket

Bertelanjang kaki belanja di supermarket

Hari belanja nan ceria

Hari belanja nan ceria

Berbelanja di mal-mal Port Moresby membuat saya terbelalak dan menganga berkali-kali. Supermarket menjual sayur dan buah-buahan impor (harga cabai US$40/kg, apel US$6/kg), dan sebagian besar pengunjungnya adalah kalangan ekspatriat. Sedangkan di luarnya, ada barisan toko alat elektronik yang menjual barang-barang dengan harga empat hingga enam kali lipat di negara kita, sedangkan para pengunjungnya adalah orang-orang Papua Nugini berbaju kaos kumal atau daster yang sudah pudar warnanya, hanya dengan bersandal jepit atau bertelanjang kaki.

“Jangan hanya melihat mereka dari pakaiannya,” kata Cecilia seorang staf KBRI, “Mereka bisa membayar perawatan di salon dan membayar K1000 ($500) cash.”

Pakaian yang kumal itu memang disengaja. Selain karena budaya berpakaian juga masih baru di negara ini sehingga untuk urusan fashion mereka sangat ketinggalan, banyak orang berduit yang juga memakai baju seperti itu untuk menghindari raskol (perampok). Jangan salah, orang-orang yang berbelanja di supermarket Waterfront ini adalah kelompok berduit, karena untuk mencapai tempat ini mereka mengendarai mobil pribadi karena pusat perbelanjaan di permukiman eksklusif ini cukup sulit dijangkau. Hal yang sama saya temukan juga di mal lain, Vision, yang memiliki foodcourt dengan mi laksa semangkuk seharga K20 ($10 dan masih terbilang murah), juga supermarket RH milik perusahaan Malaysia Rimbunan Hijau yang terus memasang peringatan bagi pengunjung untuk tidak mengunyah buai (sirih) dan tidak meludah.

Buai adalah nuansa Papua Nugini yang membuai imajinasi saya. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di bandara, saya sudah menemukan bercak-bercak merah di lantai toilet, yang semula saya kira adalah darah, tetapi adalah ludahan buai dari mulut orang-orang Papua. Bercak-bercak merah di lantai, juga di gigi dan bibir, saya temukan lebih banyak di pasar tradisional Malaoro, yang menjual barang-barang dengan harga jauh lebih murah daripada supermarket milik orang asing.

Para pedagang di pasar tradisional

Para pedagang di pasar tradisional

Kesibukan di pasar tradisional

Kesibukan di pasar tradisional

Malaoro adalah sebuah lapangan terbuka, para pedagang Papua menggelar dagangan sayur-mayur dan buah-buahan di meja atau di tanah. Melihat saya membawa kamera, orang-orang bergantian memanggil saya minta difoto. Para lelaki, para ibu-ibu dan anak-anak, bergaya sambil tersenyum riang gembira memamerkan barang dagangan mereka. Cara berdagang mereka pun sangat langsung, tanpa proses tawar menawar. Di setiap dagangan sudah terpasang harga di papan kayu kecil. Itu harga untuk setiap ikat sayur bayam, atau setumpuk kecil tomat, atau sebuah pepaya, atau setandan pisang. Sangat jauh dari kompleksitas trik-trik bisnis yang dilakukan para pedagang dari China atau para orang asing pemilik mal dan supermarket.

Saya membayangkan, jika orang-orang Papua ini kelak suatu saat akan menjadi tuan di tanah mereka sendiri.

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

18 Comments on Port Moresby 9 Agustus 2014 Hari Belanja

  1. Thanks for sharing it, Agustinus Wibowo. Rasanya seperti ada di sana. Titip mata terus ya 😀

  2. jadi tahu sedikit gambaran papua nugini.. negeri tetangga yg tidak pernah diekspos..

  3. Sesuai dengan kisah rekan saya yang pernah tugas disana.

  4. jadiin novel lagi aja

  5. Ternyata PNG mirip dgn papua, org2nya pake baju kumal jrg ganti, hobi mengunyah pinang, cara jual dagangan di pasar tradisional juga sama, mungkin karena etnis yang sama kali ya..

  6. slalu tak tunggu,tulisan2 dr cak agus,,dimanapun cak agus brada,,selalu ada kisah2 menarik,yg tak pernah aku tau.. sukses selalu dimanapun dan kapanpun yo cak..

  7. Ceritanya selalu mengalir dengan detail yg menarik

  8. Terima kasih untuk pengetahuannya; smoga sehat selalu…

  9. wuuuuik…gitu ya. menarik mas..semoga tulisan ini bisa jadi buku..tak tunggu cerita berikutnya..hati2 sama malaria mas kalo mulai masuk pedalaman

  10. Terima kasih Gus, sudah berbagi pengetahuan tentang negara tetangga kita yang tidak pernah di ekspos. Semoga Agus selalu dalam lindungan dan limpahan hidayah dari Allah.

  11. hhmmm.., 很好哥哥。。。。。

  12. Cerita yang luar biasa,. ..toko dengan teralis besi vertikal dan bercak merah dilantai,semua peristiwa tergambar dengan jelas.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*