Blog
May 2011 Metro TV (Indonesia) MetroXinwen [youtube]http://www.youtube.com/watch?v=BlGNjYXVz_E[/youtube] [...]
[VIDEO] TVOne (2011): Selimut Debu dan Garis Batas
Talkshow buku Selimut Debu dan Garis Batas, Agustinus Wibowo, Apa Kabar Indonesia, TVOne, Jakarta, 22 Mei [...]
Tempo (2011): Tujuan Berikutnya, Asia Tengah
22 May 2011 Majalah Tempo: Gaya Hidup Tujuan Berikutnya, Asia Tengah Tujuan Berikutnya, Asia Tengah http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/05/16/GH/mbm.20110516.GH136711.id.html Negara-negara berakhiran “stan” di Asia Tengah makin digemari para backpacker sebagai tujuan petualangan mereka. Mereka ingin menelusuri Jalur Sutra. PERJALANAN Agustinus Wibowo menembus Afganistan membawanya ke tepian Sungai Amu Darya di ujung utara negeri itu. Menunggang keledai di jalan berbatu dan terjal, ia melihat di seberang sungai berseliweran mobil di atas jalan beraspal. Pemandangan itu membuat Agus penasaran dengan kehidupan di negara-negara pecahan Uni Soviet yang berada di seberang sungai. Agus, yang menetap di Beijing, sebenarnya bisa dengan mudah naik pesawat dari Cina. Tapi ia memilih jalan darat dari Afganistan masuk ke Tajikistan. “Jalan darat itu makan waktu lebih lama,” ujar pria berusia 28 tahun ini. “Semakin lama perjalanan, semakin banyak yang bisa saya pelajari.” Dimulai pada 2006, Agus satu tahun lamanya berkeliling Tajikistan, Kirgistan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan Turkmenistan. Hitungannya, ia menghabiskan uang US$ 400 per bulan. “Itu relatif lebih murah daripada ke Eropa,” ujarnya. Kisah perjalanan di negara-negara berakhiran “stan” begitu ia menyebutnya-dibukukan dengan judul Garis Batas. Ahad dua pekan lalu, buku itu jadi bahan diskusi Komunitas Back-packer Dunia di Kafe Pondok Penus, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Selama lima jam nonstop, [...]
Pikiran Rakyat (2011) Menembus Garis Batas Asia Tengah
16 May 2011 Menembus Garis Batas Asia Tengah SAAT duduk di bangku sekolah dasar, di Lumajang, Jawa Timur, Agustinus Wibowo ditanya oleh gurunya, “Cita-citamu menjadi apa?” Dengan tegas Agustinus menjawab, “Saya ingin menjadi turis.” Jawaban itu tidak dapat diterima oleh sang guru karena cita-cita seorang anak haruslah menjadi dokter, pilot, insinyur, dan berbagai predikat “bergengsi” lainnya. Menjadi turis tidak boleh menjadi cita-cita. Akan tetapi, Agustinus tetap bersikukuh ingin menjadi seorang turis. Belasan tahun kemudian, pada 2003, pada usianya yang baru 21 tahun, Agustinus memang menjadi turis. Namun, dia bukan seorang turis biasa. Pemuda yang tampak culun itu sedang berada di Afganistan, negeri yang sedang terca-bik-cabik perang untuk keseki-an kalinya. Keberadaan Agustinus di Afganistan bukan tidak sengaja. Dia merencanakan perjalanan itu sejak 2001 ketika dia melihat berita di televisi tentang Taliban yang menghancurkan patung Buddha raksasa. Bukan masalah hancurnya patung Buddha yang membuat Agustinus ingin mengunjungi Afganistan, tetapi gambar panorama alam di sekitar parung itu yang memukau matanya, sampai terbawa ke alam mimpi. “Saya lihat sekilas di televisi. Afganistan begitu indah. Kemudian saya bermimpi datang ke Afganistan, di sebuah tempat yang hijau, dan ada seorang perempuan bercadar di sana. Saya singkap cadar itu, dan mungkin itu pertanda bahwa saya harus menyingkap [...]
Jawa Pos (2011): Agustinus Wibowo dan Petualangan Bertahun-tahun di Afghanistan
16 May 2011 Agustinus Wibowo dan Petualangan Bertahun-tahun di Afghanistan Lolos dari Perampokan, Pernah Ditawar Pria Homo Agustinus Wibowo bisa disebut sebagai petualang langka asal Indonesia. Dia menjelajah daratan Asia Tengah, mulai dari Beijing, Tiongkok, hingga Afghanistan. Setiap selesai berpetualang, dia bukukan pengalaman tersebut. ——————————————————- AGUNG PUTU ISKANDAR, Bandung —————————————————— Secara fisik, orang mungkin tidak akan percaya bahwa lelaki yang karib dipanggil Agus ini pernah blusukan ke kampung-kampung di Afghanistan. Tidak tanggung-tanggung, tiga tahun lebih dia tinggal dan berkumpul dengan masyarakat di negara yang dilanda konflik berkepanjangan itu. Tubuhnya kecil dan tampangnya lugu. Kulitnya putih bersih dan tidak ada kesan sebagai petualang di daerah yang banyak terdapat perbukitan dan padang pasir itu. “Saya di Afghanistan sudah biasa setiap hari dengar ada bom. Bahkan, saya pernah tinggal di daerah paling rawan. Malah kalau sehari nggak ada bom, terasa aneh,” kata Agus lantas terkekeh saat ditemui di toko buku Tobucil, Bandung (13/5). Entah, sudah berapa kali Agus pulang ke Indonesia. Setelah petualangan panjang dia pada 2003 dan disambung 2005?2009 berakhir, Agus tinggal di Beijing, Tiongkok. Dia bekerja sebagai [...]
Jawa Pos (2011): Traveling Tak Sekadar Jalan-Jalan
15 Mei 2011 Jawa Pos Traveling Tak Sekadar Jalan-Jalan JUDUL: Garis Batas, Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah PENULIS: Agustinus Wibowo PENERBIT: PT Gramedia Pustaka Utama TERIT: April 2011 TEBAL: xiv, 510 halaman Menceritakan petualangan ke negara-negara yang “tak masuk peta” dengan bahasa yang mengalir. Mendefinisi ulang makna garis batas. SEIRING dengan kemajuan ekonomi dan membaiknya kesejahteraan, traveling kini bukan lagi barang mewah di Indonesia. Entah traveling ikut group tour atau model menggelandang gaya backpacker, semuanya sudah jadi gaya hidup anak muda sampai orang tua. Para pelakunya pun seperti berlomba mendokumentasikan perjalanannya. Baik dalam bentuk buku maupun dipajang di situs jejaring sosial untuk sekadar pamer ke teman atau kolega. Namun, di antara sekian banyak buku yang bertebaran itu, tak ada yang seistimewa Garis Batas, Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah, karya Agustinus Wibowo. Istimewa lantaran buku ini tak hanya menginformasikan tempat makan, tempat pelesiran, atau penginapan. Di sini Agustinus mengajak kita bertualang di negara-negara berakhiran Stan yang nyaris jarang mendapat kunjungan. Mulai Tajikistan, Kirgizstan, Kazakhstan, Uzbekistan, dan berakhir di Turkmenistan. Garis Batas adalah buku kedua Agustinus setelah Selimut Debu yang membahas tentang Afghanistan. Saat bertatap muka di Beijing, Tiongkok, akhir April silam, siapa yang menyangka sosok inilah yang berkelana mendaki gunung, mengarungi [...]
Garis Batas – Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah (Borderlines)
My second published travel writing book, on journey to Central Asian countries (The “Stans”). Indonesian language. Borderlines – Journey to the Central Asian States Everyday, Afghan villagers stare to “a foreign country” which is just a river away. They look at passing cars, without even once experiencing sitting inside the vehicles. They look at Russian-style villas, while they live in dark mud and stone houses. They look at girls in tight jeans, while their own women are illiterate and have no freedom to travel. The country across the river seems magnificent—a magnificent fantasy. The same fantasy brings Agustinus Wibowo travel to the mysterious Central Asian states. Tajikistan. Kyrgyzstan. Kazakhstan. Uzbekistan. Turkmenistan. The “Stan brothers”. This journey will not only bring you step on snowy mountains, walk accross borderless steppes, adsorbing the greatness of traditions and the glowing Silk Road civilization, or having nostalgy with Soviet Union communism symbols, but also finding out the mystery of fate of human beings who are always being separated in the boxes of borderlines. Paperback, 528 pages Published April 14th 2011 by Gramedia Pustaka Utama ISBN13 9789792268843 primary language Indonesian original title Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah url http://www.gramedia.com/buku-detail/84515/Garis-Batas ————– Garis Batas: Perjalanan [...]
The Jakarta Globe (2011): An Indonesian’s Lust for Asian Travel
An Indonesian’s Lust for Asian Travel Lisa Siregar | May 26, 2011 http://www.thejakartaglobe.com/lifeandtimes/an-indonesians-lust-for-asian-travel/443364 For Agustinus Wibowo, a travel writer who has explored and lived in some of the most dangerous parts of Central Asia, traveling is all about gaining fresh perspectives — even if it means going unshowered for months or getting kicked out of an Afghan man’s house for refusing the generous offer of a male prostitute. “It’s not about the number of stamps in your passport. It’s the traveler’s point of view that matters,” he said last week during the launch of his new travel book, “Garis Batas” (“Borderlines”). He showed up to the launch proudly wearing a white flowing tunic known as a shalwar kameez from Afghanistan, where he had lived for several years. Agustinus, now a translator based in Beijing, is famed for his travel columns published in Kompas newspaper as well as his first book, “Selimut Debu” (“Blanket of Dust”), published in January last year. Most people like holidays in luxurious, or at the very least comfortable, spots. Agustinus is a bit more adventurous. His new book, for example, details his sometimes nightmarish experiences in Tajikistan, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Turkmenistan and Uzbekistan. Once, his things were [...]
MyTrip (2011): Agustinus Wibowo Si Kutu Buku yang Akhirnya Malang-Melintang di Afghanistan
MyTrip Vol 1/2011 Maret 2011 Pewawancara: Mayawati Nur Halim Foto: Dokumentasi pribadi Agustinus Wibowo, Mayawati Nur Halim (foto Agustinus menandatangani buku) Pertama kali melihat sosok Agustinus Wibowo, saya tak mengira dialah petualang pemberani yang mblusuk-mblusuk pedalaman Afghanistan, negeri yang penuh gejolak. Posturnya sedang, kulitnya putih, cara bicaranya lembut. Jauh dari kesan petualang. Padahal bukan cuma Afghanistan; Mongolia, Iran, Tibet, Nepal, India, Pakistan, Tajikistan, Kirghiztan, Kazakhstan, Uzbekistan dan Turkmenistan, juga Laos telah dirambahnya. Semakin besar tantangannya, semakin ia menikmatinya. Di satu kesempatan Juli lalu, Gus Weng, begitu ia dipanggil, berbagi cerita dengan myTrip. Kebetulan saat itu ia tengah kembali ke Indonesia dan datang ke Jakarta untuk memenuhi undangan temu muka dengan anggota milis Jalansutra. Berpuluh halaman pun sebenarnya tak cukup untuk menuangkan kisah-kisah menakjubkan yang dituturkannya. Jadi, bacalah buku pertamanya Selimut Debu jika ingin menikmati ceritanya lebih detil. Tapi yang disarikan pemuda 28 tahun asal Lumajang, Jawa Timur ini, khusus dibagikannya untuk pembaca myTrip. Momentum yang membuat kamu seperti sekarang? “Saat menjadi relawan di Aceh, Januari 2005, setelah tsunami (Desember 2004), beberapa bulan sebelum saya lulus kuliah di Beijing. Sejak saat itu saya memutuskan tidak akan melanjutkan studi S2 di bidang ilmu komputer dan total menjadi jurnalis. Padahal saat itu saya [...]
TraxFM (2011): Selimut Debu
http://www.traxonsky.com/trax-guide/book/1054-selimut-debu Kalau mendengar Negara Afghanistan, pasti yang tertanam di otak kita adalah negeri dengan perang tanpa henti, kemiskinan, kehancuran, dan bom tanpa henti. Dengan segala ancaman yang ada di Afghanistan, negeri tersebut tetap menyimpan banyak misteri. Misteri-misteri itulah yang menyebabkan Agustinus Wibowo, penulis buku ini, untuk menjelajahi negeri Afghanistan untuk menyibak misteri yang tersimpan di dalamnya, dan petualangan itu dia lakukan sendirian! Buku ini menarik banget buat dibaca, dengan alur yang juga nggak ribet dan jalan cerita yang bikin kita penasaran akan endingnya. Highly recommended! [...]
[VIDEO]中国中央电视台CCTV-13:“新春亚洲行”特别节目(走进文莱和印尼)
本期介绍 本期节目主要内容: 1、新春亚洲行–走进文莱和印尼; 2、昨天互动问题的答案:“黄梨”谐音“旺来”喻示好兆头; 3、文莱:新春亚洲行: (1)文莱并不遥远,古称渤泥国; (2)五万华人为社会作出积极贡献; (3)吴尊为您介绍文莱华人过春节; (4)华人新春活动迎来“神秘贵宾”; 4、文莱:今天的互动问题:今年文莱华人团拜会的贵宾是谁; 5、文莱–大年初一要放假; 6、文莱:新春亚洲行:几代华人依然保留着过年习俗; 7、印尼–春节是法定假日;
Reader’s Digest Indonesia (2010): Menyingkap Selimut Debu Afghanistan
N U K I L A N READER’S DIGEST INDONESIA DESEMBER 2010 Menyingkap Selimut Debu Afghanistan Perjalanan menelusuri raga negeri yang biasa dihadirkan lewat gambaran reruntuhan bangunan, korban ranjau, atau anak jalanan mengemis di jalan umum, akan membuka mata Anda kepada prosesi kehidupan di tanah magis itu. Oleh Agustinus Wibowo “Selimut Debu” oleh Agustinus Wibowo; diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama, 2010 Khaak adalah Afghanistan. Dalam bahasa Dari dan Pashto – dua bahasa resmi Afghanistan, khaak berarti debu. Tak ada yang bisa lari dari khaak. Kerudung pria Afghan tidak menghalangi khaak. Khaak terbang menembus kisi-kisi burqa yang membungkus kaum perempuan. Bulir-bulir debu mengalir bersama angin, menyelinap melalui setiap rongga udara, langsung menembus ke sanubari. Debu memang menyelimuti seluruh penjuru Afghanistan, dari utara hingga selatan, dari timur hingga barat, menjadi makanan sepanjang hari, mengalir bersama embusan napas. Namun khaak juga bisa berarti tanah kelahiran, tumpah darah, segenap hidup dan mati. Saya melewati portal garis batas Pakistan. Sekitar 20 meter di depan saya, tampak gapura Afghanistan. Saya berdiri terseok-seok, bersama khaak dan setumpuk mimpi. Jubah qamiz dan celana kombor shalwar bekas yang saya pakai sudah lusuh. Khaak sudah memenuhi ronga mulut, kerongkongan dan paru-paru. Ada bimbang dalam hati, ketika melangkah perlahan di antara [...]
U-Mag (2010): Agustinus di Titik Nol
November 2010 Rubrik Adam U-MAG Agustinus di Titik Nol Dikenal sebagai backpacker sejati, bertahun-tahun dia berjalan tanpa pernah pulang. Agustinus Wibowo adalah nomaden yang mengumpulkan aneka identitas dari setiap negara yang dia kunjungi. Qaris Tajudin TITIK NOL PERTAMA: Lumajang, Republik Indonesia (112°53’-113°23’ Bujur Timur dan 7°54’-8°23’ Lintang Selatan) Di bawah konstelasi bintang berbentuk singa dan dalam naungan sayap ayam jago (8 Agustus 1981), dia lahir. Bulan kelahirannya diambil untuk salah satu kata dalam namanya: Agustinus Wibowo. Beberapa tahun kemudian, dia mengoleksi prangko luar negeri, jendela sempit yang memungkinkan dia mengintip negeri terjauh. Ketika guru sekolah dasarnya bertanya, “Apa cita-citamu?”, dengan lantang dia berteriak: “Aku pengen jadi turis!” Gurunya mungkin melongo, tapi segera mengatakan bahwa orang tak boleh bercita-cita menjadi turis, karena itu bukan pekerjaan. Agustinus Wibowo lalu mengganti cita-citanya. Dari pendeta, polisi, hingga guru. Sempat juga ingin menjadi ahli bahasa. Tapi semangatnya menjadi turis tidak berhenti. Saat menginjak kelas III SD, dia bertekad menulis novel. Ceritanya tentang sebuah keluarga yang ingin berkeliling dunia, start dari Inggris. Peta dan rute perjalanan sudah disiapkan. Rencananya, setiap halaman bercerita tentang satu kota. Rencananya juga, setiap hari dia menyelesaikan satu halaman. Pada hari kesepuluh dia berhenti. Catatannya lalu hilang. Kelak, catatan perjalanannya (juga [...]
Reader’s Digest Indonesia (2010): Terpukau Oleh Peradaban dan Alam
October 2010 Reader’s Digest Indonesia Memori Destinasi bukan lagi menjadi sesuatu yang penting, tetapi bagaimana proses yang terjadi selama perjalanan itu sendiri. Oleh Agustinus Wibowo Ini adalah perjalanan yang dimulai dari sebuah mimpi. Mimpi untuk menyingkap rahasia negeri Afghan. Mimpi yang membawa saya berjalan ribuan kilometer untuk menemukan rohnya, menikmati kecantikannya, merasakan air mata yang membasahi pipinya….” Begitulah tulisan dalam buku harian kumal yang menemani perjalanan panjang saya dari Beijing hingga ke Afghanistan. Hanya dengan berbekal 300 dolar, menumpang kereta kelas kambing, bus, truk, melintasi gunung-gunung Pakistan utara, bertahan hidup dengan jajanan pasar, menembus keganasan panasnya kota Peshawar dan terguncang-guncang dalam mobil berdebu saat menembus perbatasan. Sampai akhirnya saya berdiri penuh takzim di hadapan reruntuhan patung Buddha Bamiyan, Afghanistan. Surga yang cantik, dengan ranjau bertebaran di mana-mana. Perang dan pertumpahan darah seperti cadar hitam yang menyelubungi tanah Bangsa Afghan, yang diselimuti debu tebal dan dilupakan orang. Tragis memang, karena negara itu sebenarnya sangat indah dan permai. Dan meski begitu berat dan melelahkan, saya terus berjalan mengelilingi Afghanistan, untuk menemukan rahasia dan misteri negeri kuno itu, dan menjalin persaudaraan dengan warga Afghan, yang ternyata menerima saya dengan tangan terbuka, penuh cinta dan persahabatan. Tanpa terasa, dua tahun saya habiskan untuk [...]
Tangan Itu Telah Dingin
Tangan itu telah dingin, wajah itu telah mengembang. Tangan yang sama, tangan yang senantiasa membelaiku, tangan yang mencengkeram ranjang ketika merejang melahirkanku, tangan yang begitu terampil membuat kue tart ulang tahunku, tangan yang memukul dan mengajarku, menempeleng sekaligus membelaiku,…. Wajah yang sama, wajah yang senantiasa tersenyum dalam kesakitan, wajah yang begitu jelita, wajah yang lembut namun tidak lemah. Kutatap matanya yang terpejam, begitu tenang, seakan-akan mata itu masih akan membuka perlahan menyambut matahari bersinar. Tangan itu telah dingin, wajah itu telah mengembang, mata itu tak akan lagi terbuka, selamanya. Tanganku bergetar ketika memasukkan butir-butir mutiara ke tujuh lubang di wajahnya. Kedua mata, tempatku memandang dan mengharap penguatan. Kedua telinga, tempatku membisikkan segala keluh kesah. Kedua lubang hidung, yang teliti mengendusi segala aroma. Bibir yang indah, melantunkan suara emas. Aku tak kuasa. Semua begitu dingin…, dingin yang mati… Takkan lagi tangan itu menjadi hangat. Takkan lagi wajah itu bercahaya. Takkan lagi mata itu terbuka. Takkan lagi mulut itu berkata-kata. Ia masih cantik, ia tetap cantik. Mama telah beristirahat dengan tenang…, tenang sekali… Tanganku bergetar. Air mataku membalut ratapan, mengiring ketokan palu yang merapatkan peti matinya. Selamat beristirahat, mamaku tercinta. Lumajang, 1 Agustus [...]
Puisi dari Puan Atiah Saleh
Puisi dari seorang sahabat, kakak, ibu, yang senantiasa menghiburku di Beijing Untuk Agus pada detik yang suram ini Menangislah Kerana kehilangan yang dikasihi Tanda sepinya hati pada hari-hari menanti Kerana tidak bertemu lagi di mayapada ini Bukan kerana kesal atau tidak meredai Saat manis dengannya Pengorbananmu juga Meskipun sedikit untuknya Pasti kekal menghias hidupmu Menangislah Andaikata sudah pasrah Bayangan untuknya pasti yang indah Salam Takziah daripada: Atiah Saleh 29 Julai [...]
Bon Voyage, Mama
Bon voyage, Mom, rest in peace…. After a year of suffering, now you are happy at HIS side. After a month of hunger and thirst, now you can eat anything you want. Please forgive your son, who couldnt make you happy and satisfied yet in your life. Rest in [...]
Mama…
Mama yang mengejang sewaktu melahirkanku , Merana kalaku terlahir, Membesarkanku, Menyuapiku, Membuatkan kue tart pada ulang tahunku, Membelaiku… Aku hanya mengipasinya kala ia terbaring di rumah sakit, tak berdaya, Betapa berdosanya aku… Mama yang mendidikku, Mengajarkanku arti perjuangan, Mengajarkanku semangat, keberanian untuk tidak diinjak, Mengajarkanku perlawanan, Aku hanya membiayai sebagian biaya rumah sakit, Dan aku sudah menepuk dada sebagai anak yang berbakti, Betapa berdosanya aku… Mama yang tersenyum bangga kala aku berhasil di sekolah Menangisi kepergianku ke Tiongkok, Meneteskan air mata setiap mendengar berita bom di Pakistan dan Afghanistan, Menantikan datangnya telefonku dari negeri antah berantah, Dan aku hanya mengiriminya kartu pos Mengirimi artikel-artikel yang dimuat di majalah dan koran, Betapa berdosanya aku… Mama yang tersenyum dalam penderitaan, Menahan setiap rasa sakit yang menghujam, Mengelus-elusi kanker yang menggumpal, Bermimpi untuk cepat-cepat meninggalkan rumah sakit, Dan aku hanya bisa berucap, dari ribuan kilometer, “Mama, janganlah engkau terlalu lama menderita,” Betapa berdosanya [...]
Surabaya – Ciuman Terakhir?
Hari ini mungkin adalah hari yang paling penuh air mata bagiku, walaupun aku sudah berusaha tegar, setegar-tegarnya. Aku tak mampu menulis banyak, perasaanku masih berguncang. Sudah 12 hari ini mama masuk rumah sakit Adi Husada di Surabaya. Mama adalah penderita kanker. Tahun lalu mama kena kanker ovarium, sudah dioperasi di Surabaya. Waktu itu, dokter yang membedah mama melihat ada kanker lain di usus. Bukannya diangkat, kanker itu malah didiamkan. Dua hari sesudah operasi mama malah dikemo. Tentu saja tubuh mama jadi lemah. Aku langsung terbang meninggalkan semua kehidupanku di Afghanistan, untuk membawa mama berobat di rumah sakit Heng Sheng di Shenzhen. Di sana mama dikemo dua kali, lalu dioperasi. Dokter menjanjikan kami, setelah mama dioperasi, mama akan hidup sebagaimana orang normal. Kami senang sekali, dan mama pun sangat semangat. Mama adalah perempuan tangguh. Darinya aku belajar arti perjuangan. Mama tidak pernah mengeluh atau menangis. Setiap pagi dia selalu membangunkan aku untuk olah raga bersama. Aku berlari, mama bersenam. Sorenya pun mama masih pergi menari di lapangan seberang rumah sakit. Dua bulan di Shenzhen adalah dua bulan yang penuh arti. Aku memang menemani mama yang sedang sakit, tetapi sebenarnya mamalah yang banyak memberiku energi positif. Sepulang dari Shenzhen, baik aku dan [...]
The Jakarta Post (2010): A thrill ride to Afghanistan
http://www.thejakartapost.com/news/2010/06/27/a-thrill-ride-afghanistan.html A thrill ride to Afghanistan Indah Setiawati, The Jakarta Post, Jakarta | Feature | Sun, June 27 2010, 10:30 AM Several years ago, a man dreamed of traveling to Afghanistan to see what was behind the dust — the seemingly endless war, the grenades, the refugees, the Taliban. In his dream, he saw two gigantic statues of Buddha located in Bamiyan valley and was mesmerized by a soft, deep whisper from a girl with beautiful eyes, who stared at him from behind a blue burqa. In 2003, Indonesian Agustinus Wibowo made his dream come true and backpacked from Beijing to Afghanistan with only US$300. After his journey, he wrote Selimut Debu (Blanket of Dust) which gives his insights on daily life in the war-ravaged country. The author views Indonesia from the perspective of the Afghans as he unveils the beauties, miseries and ironies of a country where warfare is reported daily on televisions and in the newspapers. His description on cultural and ethnic diversity in Afghanistan as well as some branches within Islam somehow reminds us of the same situation back home. He also mentions about humanity being ignored by people who busily introduce religious absolutism. Agustinus, who can [...]