Titik Nol 62: Badai
Ziarah ke tempat-tempat suci bukan hanya berkunjung dan berdoa. Setiap langkah dalam ziarah ada maknanya. Setiap tapak kaki adalah penyucian diri. Orang berjalan menempuh ratusan kilometer melewati alam yang tak selalu bersahabat, untuk mencapai tanah suci di Muktinath.
Para peziarah ini banyak datang dari India. Ada rombongan sadhu berjubah kuning, bersandal jepit, berjenggot putih nan lebat. Ada barisan bikuni Tibet, berjubah merah marun, berambut hampir botak. Ada pula umat jelata, mencari kesembuhan dan mukjizat di tempat suci. Yang paling banyak adalah rombongan turis dengan berbagai macam tujuan – mencari arti hidup, menikmati kedahsyatan gunung raksasa, menjelajah Shangrila dan negeri yang hilang, berziarah di kuil kuno, memotret, menghabiskan liburan, melaksanakan misi keliling dunia, membebaskan diri sehabis wajib militer, pendekatan dengan pacar, dan lain sebagainya.
Hikmah dari ziarah suci bagi tiap orang, setelah melintasi jarak yang jauh dan medan yang berat, tentunya berbeda-beda pula. Ada yang puas, telah berhasil ‘menaklukkan’ tantangan. Ada yang terpekur oleh kebesaran alam. Ada pula yang hanya capek dan tak berhenti mengomel.
Saya berjalan lambat-lambat ke arah Jomsom. Setelah Thorung La, yang ada cuma turun dan terus turun, kembali ke habitat normal di dataran rendah sana. Kalau sebelum melintas Thorung La, setiap perjalanan saya hanya terus memikirkan angka ketinggian, betapa beratnya naik, dan betapa jauhnya desa berikutnya, setelah lewat puncak tinggi itu, jiwa saya rasanya lepas. Lega.
Perjalanan ini begitu indah, ketika kita hanya berjalan, tak lagi memikirkan target jarak, waktu, tujuan. Lekak-lekuk sungai Kali Gandaki nampak sempurna. Bukit-bukit cadas berwarna kelabu pun cantik. Peziarah Hindu dan Budha seakan mengingatkan, trekking bukan sekadar trekking, ziarah bukan sekadar ziarah. Lintasan berat ini adalah gambaran perjalanan hidup manusia – lepaskan bebanmu, berjalanlah sebebasnya, dan engkau akan semakin menikmati hidupmu.
Turun dari Muktinath, lanskap kering dan gersang. Gunung cadas perkasa berdiri di kanan kiri. Gua bertebaran di tebing yang curam di hadapan.
“Dulu di sana memang ada orangnya,” kata seorang pemuda dari Dusun Khingar yang wajahnya mirip orang Tibet, “Saya pernah ikut tim arkeologi Jerman meneliti kehidupan gua itu.”
Pemuda itu bercerita bagaimana susahnya untuk masuk ke gua di puncak tebing yang tegak lurus. Tim arkeolog harus memanjat dengan tambang, seperti atlet olah raga panjat tebing. Manusia purba hidup di dalam gua, yang semula tak terlalu jauh dari permukaan bumi. Evolusi daratan terus berjalan, dan sekarang lubang-lubang gua itu ratusan meter tingginya dari tepi sungai.
Satu jam perjalanan dari Khingar, kami sampai di pertigaan. Yang ke kanan menuju Kagbeni, yang ke kiri Jomsom. Kagbeni adalah lembah hijau yang menjadi batas akhir dunia. Di utara Kagbeni adalah negeri terlarang Mustang, negeri kuno misterius yang hidup dalam dunianya sendiri. Pemerintah Nepal menetapkan Mustang sebagai restricted region. Orang asing yang masuk ke sana harus membayar permit 700 dolar, ditambah lagi aturan grup wisata yang ketat, untuk mengurangi pengaruh buruk turisme di tempat misterius yang tak banyak lagi sisanya di muka bumi.
Ke arah Kagbeni-lah Oi Lye melangkah. Kami berangkulan, sungguh berat rasanya berpisah.
“Moga-moga kita berjumpa kembali, di suatu tempat, di suatu waktu,” katanya, “tetaplah menjaga hubungan, adikku.”
Saya mengenal Oi Lye hanya dalam perjalanan ini. Kami bersama-sama merasakan perjuangan perjalanan ini, saling menguatkan bila ada yang terjatuh, saling belajar tentang arti hidup. Perpisahan, bagi pengembara adalah hal yang biasa. Tetapi tak jarang, rasa pedihnya terasa juga.
Saya dan Jörg terus berjalan ke arah Muktinath. Kami tak banyak bicara. Saya tak lagi bertanya pada Jörg yang memegang peta Annapurna, “Masih berapa jauh? Masih berapa lama?” Kami hanya berjalan dalam bisu, mengagumi kebesaran alam yang terhampar. Betapa Thorung La telah mengubah saya lahir batin.
Saya sekarang melihat dunia dengan mata yang berbeda. Dulu, hanya mengasihani penduduk yang harus tinggal di medan berat seperti ini. Sekarang, saya jadi sadar bahwa setiap pencipataan ada maknanya. Memang hidup di tempat terpencil seperti ini tidak mudah, tetapi penduduk setempat punya dunia mereka sendiri. Shangrila mereka, surga mereka.
Setelah melintasi dusun Eklabati, alam berubah menjadi gurun gersang dikelilingi tebing tinggi, kering dan merana. Tepat setelah pukul 11 siang, alam yang damai berubah menjadi desingan badai. Angin menderu ribut, menerbangkan debu dan kerikil, menghantam kaki peziarah, membutakan mata. Dinginya menusuk, terpaannya menampar wajah.
Kalau sebelum Thorung La perjalanan sebagian besar adalah naik turun bukit terjal, sekarang saya melintasi tanah lapang bagai padang pasir yang luas, datar dalam artinya yang paling harafiah. Tetapi, setiap potongan perjalanan punya tantangannya sendiri. Padang ini pun tak mudah dilalui. Sesekali angin kencang tak mengizinkan kaki melangkah maju. Sesekali bulir pasir menyerodok masuk ke dalam hidung, membuat saya tersedak. Mulut dipaksa menelan bulir pasir yang pahit, mengisi setiap rongga gigi. Mata saya terpejam, tak mungkin lagi melawan badai.
Dari arah berlawanan, barisan peziarah Hindu dan Budha dari India melintas. Mereka pun melangkah maju melawan badai. Badai harian yang menghantam bantaran sungai Kali Gandaki yang mengering ini tak pernah pilih kasih. Yang datang dari bawah maupun dari atas semua dihajar. Sesekali angin berhembus searah, membuat langkah terasa ringan bagaikan terbang. Namun tak jarang, badai dari arah berlawanan menghajar, menghentikan langkah, membekukan semangat. Tetapi, kaki para peziarah yang hanya bersandal jepit tetap melangkah, setapak demi setapak, di atas batu-batuan, melawan terpaan angin keras. Alam memang dahsyat, tetapi manusia terus berjuang.
Bukan hanya badai yang membuat jalan datar ini jadi susah. Karena datar dan luas, lintasan jalan setapak pun tak terlihat. Sebelumnya, dalam pendakian menuju Thorung La, hanya ada seruas jalan, sempit namun jelas. Sekarang, segala penjuru bisa menjadi lintasan. Kalau tak hati-hati, kita akan terjebak jeram sungai deras yang tak terlihat karena tertutup batu. Berkali-kali saya berbalik memutar, gara-gara sungai deras yang tak terlihat dari kejauhan. Saya tersesat, dalam terpaan badai menuju Jomsom.
Potongan hidup yang kelihatannya mudah, sebenarnya tak selalu mudah untuk dijalani.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 28 Oktober 2008
Leave a comment