Recommended

Titik Nol 71: Surat-surat

Bagi warga negara India, visa Pakistan sangat tak mudah didapat. (AGUSTINUS WIBOWO)

Bagi warga negara India, visa Pakistan sangat tak mudah didapat. (AGUSTINUS WIBOWO)

Gagal mendapatkan visa Pakistan hampir membuat saya gila. Saya hanya ingin cepat-cepat menuju Pakistan, tetapi sekarang malah terjebak dalam ramah-tamah penuh diplomasi dan birokrasi dalam gedung besar bernama Kedutaan Besar Republik Indonesia atau KBRI.

Sudah berulang kali saya mondar-mandir gedung Kedutaan, seperti pelamar kerja yang gigih memperjuangkan nasib. Ke mana-mana saya selalu membawa map berisi surat-surat. Ada surat permohonan untuk Pak Dubes, ada fotokopi dokumen, surat-surat referensi, dan sebagainya.

“Surat kamu sudah dibaca Pak Dubes,” kata ibu staf.

Banyak staf kedutaan ini yang ramah dan memperhatikan saya, salah satunya ibu ini yang terus membantu memikirkan cara bagaimana menembus birokrasi ini. Tetapi kali ini, ia pun nyaris putus asa.

“Percuma saja, dari Pak Dubes surat itu diturunkan lagi kepada Bapak Diplomat yang kemarin, cuma dibubuhi kalimat ‘Bagaimana Menurut Anda?’ Artinya, kamu masih berurusan dengan Bapak Diplomat lagi.”

Saya sudah lelah. Pintu yang ini sudah tertutup rapat. Saya tak terbiasa dengan diplomasi, berkata-kata manis untuk memohon-mohon. Lebih baik cari cara lain.

Tiba-tiba saya teringat tante saya yang menjadi guru les putra-putri diplomat di KBRI Beijing. Saya langsung meneleponnya, minta tolong untuk disambungkan dengan diplomat penting bagian konsuler di Beijing.

Tak saya sangka, Bapak Diplomat nun jauh di sana merespon dengan cepat. “Memang sudah seharusnya kami membantu,” katanya. Saya mengirimkan faksimili berisi fotokopi paspor dan surat permohonan. Esok harinya, surat pengenal resmi berkop KBRI Beijing langsung dikirim via faksimili ke sebuah warnet di Paharganj. “Surat sakti,” demikian saya menjulukinya, menumbuhkan kembali harapan saya.

Saya langsung menuju ke kedutaan Pakistan. Seperti hari-hari sebelumnya, kedutaan ini ramai dikerumuni pelamar visa yang harus menginap bermalam-malam penuh perjuangan. Dan seperti hari-hari sebelumnya pula, para pelamar India ini dengan penuh hormat memberi jalan kepada saya untuk menembus antrean, sehingga saya langsung berhadapan dengan petugas visa Pakistan.

Paspor, foto, surat pengantar, semuanya langsung saya serahkan kepada petugas itu. Tanpa ditanya, mungkin karena grogi dan gelisah berlebihan, dengan polosnya saya langsung bilang, “Sir, surat pengantar saya dari KBRI Beijing.”

Petugas Pakistan itu langsung berubah mukanya.

“Tidak bisa! Kamu harus bawa surat dari KBRI New Delhi! Bagaimana mungkin kami menerima surat dari KBRI Beijing?”

“Tapi Sir, saya tinggal di China. Kedutaan Indonesia di Beijing lah yang bisa memberi pengakuan kepada saya.” Saya menunjukkan paspor saya yang diterbitkan di Beijing, cap stempel KBRI Beijing, dan izin tinggal di RRC yang sudah kadaluwarsa.

“Kalau begitu, minta surat dari Kedutaan China!”

Sahab, paspor saya Indonesia, bagaimana mungkin minta surat dari Kedutaan China?”

“Begini,” orang Pakistan itu sudah tidak sabar, “kalau negara kamu tidak mengakui kamu, bagaimana kami bisa mengakuimu?”

Dia langsung beralih kepada pengantre berikutnya.

Sedih, kecewa, gelisah, putus asa, semua campur aduk. Saya begitu lemas sampai tak kuat berdiri lagi ketika meninggalkan antrean ini.

Tetapi saya tak sendiri. Siapa sangka saya punya begitu banyak suporter di sini. Para pemohon visa yang melihat saya diperlakukan tidak adil, langsung menyemangati.

“Kenapa kamu tidak protes,” kata seorang kakek dari Kashmir, “Ayo. Maju lagi! Jangan buang waktu di sini.”

“Hei, kamu kan sudah pernah ke Pakistan sebelumnya,” kata yang lain lagi, “tidak ada alasan mereka menolak visamu!”

“Ayo! Coba lagi! Bagaimana kalau lewat pintu gerbang utama, bicara langsung dengan konsul? Tidak ada gunanya berbantahan dengan kroco-kroco di loket ini!”

Saya mendinginkan kepala sebentar, berjalan-jalan keliling kompleks. Setengah jam kemudian, semangat bertarung dan keberanian saya muncul kembali.

Pemohon visa sampai harus tidur di pelataran kedutaan demi mendapat visa. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pemohon visa sampai harus tidur di pelataran kedutaan demi mendapat visa. (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya kembali ke loket. Saya coba loket yang lain, dengan petugas lain yang tanpa curiga menerima berkas-berkas saya. Tetapi sial, petugas yang duduk di sebelahnya adalah petugas yang tadi sudah menolak saya

“Mengapa kamu datang lagi? Saya bilang tidak bisa ya tidak bisa!”

Saya tak ingin perjuangan saya berakhir di sini. Saya tak tahu keberanian dari mana yang membuat saya mengisahkan cerita panjang lebar tentang kecintaan saya pada Pakistan, tentang keinginan saya berbakti pada korban gempa, dan bagaimana saya ingin cepat-cepat meninggalkan India menuju ke negeri yang saya cintai itu.

Mehrbani karenge. Please. Tolonglah,” saya mengakhiri ungkapan isi hati saya yang tertimbun kecemasan bertumpuk-tumpuk, akumulasi frustrasi berhari-hari.

Tak disangka, Petugas itu luluh hatinya. Ia menerima berkas saya setelah ternganga melihat penjelasan saya yang berapi-api. Saya menyerahkan 2.160 Rupee untuk biaya visa.

“Datang lagi besok sore jam 2 untuk ambil paspor!” kata petugas itu sambil menyerahkan tanda terima. Ada huruf Urdu di atasnya: lam-tho-ye-fe, Latif – tanda tangan petugas visa itu.

Sorak sorai langsung menyambut saya. Para pemohon visa yang terkesima melihat perjuangan saya akhirnya membawa hasil langsung merangkul saya. Saya menerima pelukan dan ucapan selamat dari para pemohon visa yang ikut gembira. Ada yang menciumi, menepuk badan, bahkan membelikan teh. Ada pula yang merangkul saya kuat-kuat,  mengangkat saya berputar-putar di udara. Saya diperlakukan bak seorang atlet yang telah membawa harum nama negara.

Saya terharu. Kawan-kawan baru yang hanya berinteraksi sebagai sesama pejuang pemohon visa Pakistan juga terharu. Kegigihan memang diperlukan demi secarik visa Pakistan. Walaupun seharusnya saya tidak boleh senang dulu, karena nasib visa saya baru akan ditentukan esok pagi.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 10 November 2008

Leave a comment

Your email address will not be published.


*