Recommended

Tabubil 18 Oktober 2014: Tuan Tanah yang Miskin

141018-png-tabubil-finalbin-landowner-village-4909Tabubil dihidupi oleh emas dan tembaga. Kemakmuran dan kemodernan kota ini dikelilingi kepungan kemiskinan dan keterbelakangan Papua Nugini tentu membuat orang bertanya-tanya: bagaimana kehidupan warga asli pemilik semua kekayaan alam ini?

Dalam kultur bangsa Melanesia penghuni asli Pulau Papua, berlaku konsep tanah adat yang sangat kuat. Walaupun kita melihat kekosongan di mana-mana karena penduduk pulau raksasa ini sangat jarang, sesungguhnya tidak ada tanah yang tanpa pemilik. Di mana sebuah suku berladang, di situlah tanah adat suku itu. Di mana mereka berburu, di situ pula tanah adat mereka. Bahkan di mana kakek nenek moyang mereka dulu diceritakan pernah berkunjung atau meminum air dari sebuah sungai, di situ bisa pula diklaim sebagai tanah adat mereka. Pendek kata, di hutan atau sungai atau gunung yang paling terpencil mana pun kita berada, kita harus ingat bahwa tetap selalu ada pemilik tanah itu—yang sering kali entah siapa dan berada di mana.

Itulah sebabnya, ketika perusahaan Ok Tedi mau membuka pertambangan emas dan tembaga di daerah pegunungan ini, mereka harus terlebih dahulu mencari suku-suku pemilik tanah adat dan bernegosiasi. Dalam konsep tanah adat bangsa Papua, tidak ada tanah yang dimiliki pribadi—semua tanah adalah milik bersama satu suku tertentu. Dan tanah itu tidak diperjualbelikan, hanya bisa disewakan. Perusahaan Pertambangan Ok Tedi pun tidak bisa mengklaim memiliki tanah di mana pertambangan mereka beroperasi. Mereka hanya bisa menyewa dan membayar kompensasi terhadap suku-suku pemilik tanah.

Tabubil adalah sebuah kota baru yang dibangun oleh perusahaan pertambangan Ok Tedi untuk menunjang aktivitas mereka. Suku-suku asli pemilik tanah aslinya tidak tinggal di kota ini, melainkan tersebar di desa-desa kecil ke arah barat-laut, lebih dekat ke lokasi pertambangan di Gunung Fubilan, sekitar 30 kilometer di barat-laut kota Tabubil. Salah satu dari enam desa para “tuan tanah” itu adalah Finalbin, yang terletak sekitar 20 kilometer dari Tabubil.

Saya menumpang minibus menuju Finalbin. Sepanjang perjalanan saya menyaksikan pipa besi berdiameter besar meliuk-liuk bagai ular naga dari pegunungan cadas dan menyusuri jalan raya yang beraspal tidak terlalu mulus. Dalam pipa ini mengalir semua sumber kekayaan ini: dari perut tambang emas dan tembaga di gunung itu mengalir terus sampai ke kota pelabuhan Kiunga. Keamanan di daerah ini sangat baik—saya bebas berkeliaran sendiri tanpa ketakutan sedikit pun (sesuatu yang sangat langka di Papua Nugini), dan pipa-pipa ini juga beroperasi normal selama puluhan tahun tanpa ada perusakan oleh warga sepanjang seratusan kilometer rutenya.

141018-png-tabubil-finalbin-landowner-village-4912

Satu jam perjalanan naik turun bukit dan berganti bus satu kali, akhirnya saya sampai di Finalbin. Udara di sini jauh lebih dingin daripada di Tabubil. Awan menggelayut sangat rendah, dan pegunungan yang hijau pekat mengepung di semua penjuru.

Memasuki desa, di sebelah kanan terlihat sebuah gedung sekolah yang cukup besar dari bahan seng. Tetapi keadaannya sangat mengenaskan. Papan seng melintang di pintunya, tampaknya gedung ini sudah tidak terpakai lagi. Saya melongok ke dalam, melihat meja-meja dan bangku kayu serta papan tulis kapur. Tidak terlalu buruk sebenarnya untuk ukuran tempat terpencil. Tetapi sangat tidak pantas untuk ukuran para tuan tanah pemilik tambang emas. Ini gedung sekolah yang lama, sudah tidak dipakai lagi, seorang warga menjelaskan kepada saya. Gedung sekolah yang baru ada di sampingnya. Lebih tinggi, lebih megah, dua tingkat dari bahan kayu. Tetapi warna kayu itu yang dicat hijau itu sudah menghitam, seperti ditumbuhi lumut. Saya rasa dalam beberapa tahun lagi gedung itu juga sudah akan ambruk.  Hari ini Sabtu, hari libur. Di hadapan gedung sekolah lama terdapat lapangan basket, dan beberapa anak bersandal jepit bermain tanpa menghiraukan kehadiran saya.

Saya melanjutkan perjalanan memasuki desa. Sebelum benar masuk desa Finalbin, terdapat sebuah lapangan kosong, di mana beberapa ibu-ibu duduk di atas balok kayu di bawah payung, berjualan minuman dan kudapan.

“Tuan tanah pemilik emas dan tembaga harus berjualan di tanah seperti ini?” tanya saya pada Francis Luwoyum, warga Finalbin yang menemani saya.

“Mereka bukan orang sini,” katanya, “Mereka adalah orang-orang dari West Papua.”

Memasuki Finalbin semakin membuat saya bertanya-tanya, apakah benar ini kehidupan tuan tanah? Ya, desa mereka terlihat sedikit lebih makmur. Tiang listrik di mana-mana (Sebagaimana di Tabubil, listrik di sini gratis). Rumah mereka adalah rumah panggung bertingkat dari tripleks dan atap seng, lengkap dengan pipa penyalur air hujan dan selokan. Tetapi sama sekali tidak ada kegemilangan atau kemewahan pemilik tanah emas. Saya membayangkan vila, mobil, dan orang-orang yang berpakaian lebih mentereng. Tidak ada itu. Jalanan di dalam kampung pun adalah jalanan berbatu. Beberapa rumah sengnya sudah berkarat hitam-hitam, malah masih ada gubuk dengan atap daun. Rumput tumbuh tinggi; desa tampak tak terawat.

141018-png-tabubil-finalbin-landowner-village-4908

Dan orang-orangnya, nyaris tidak terlihat sama sekali. Tiga perempuan muda duduk mengobrol di bawah tiang listrik, mereka semua pakai sandal jepit. Tiga ibu yang lain bermain basket dengan anaknya di bawah rumah. Beberapa anak bertelanjang dada. Untuk pakaian, memang sedikit lebih bagus daripada rata-rata orang Papua Nugini di daerah ini—tidak ada pakaian yang robek-robek atau usang. Tetapi juga tidak istimewa: hanya kaos, celana, jaket, dan sepatu yang biasa kita lihat di pasar barang obral di Indonesia.

“Sebagian besar orang di sini tidak bekerja,” kata Francis, “95 persen hanya duduk-duduk dan menunggu turunnya uang pembayaran dari perusahaan.”

“Dan kalian mendapat banyak uang?” tanya saya.

“Kami memang tuan tanah, tetapi kami tidak mendapat banyak,” kata Francis. Dia memberi perhitungan kasar. Finalbin rata-rata mendapat 300.000 kina per bulan dari perusahaan, atau sekitar 150.000 dolar (Rp 1,5 miliar). Jumlah penduduk desa ini kurang dari 300 orang, dibagi menjadi 6 kelompok, sehingga masing-masing kelompok mendapat 600.000 kina per tahun. Itu artinya, rata-rata setiap penduduk Finalbin mendapat 12.000 kina (6.000 dolar atau Rp 60 juta) setiap tahun tanpa perlu bekerja. Bayangkan jika satu keluarga terdiri dari empat orang saja, sudah berapa penghasilan mereka.

Dan Francis masih berkata, “Kami tidak mendapat banyak.”! Para tuan tanah ini hidup bukan hanya dari uang kompensasi perusahaan. Perusahaan membuat aturan bahwa semua bisnis yang ada di Tabubil tidak boleh 100 persen dimiliki orang luar. Bisnis orang luar harus bermitra dengan penduduk setempat, baru diizinkan beroperasi. Karena itu, para tuan tanah ini pun ongkang-ongkang kaki saja sudah dapat pemasukan dari keuntungan bisnis mitra mereka.

Lelaki 30 tahun itu adalah seorang akuntan, dan dia sangat mengkhawatirkan keadaan desanya. “Kebanyakan orang hanya punya uang untuk satu bulan, dan untuk bulan-bulan berikutnya sepanjang tahun mereka hidup dengan berhutang. Ketika hari pembayaran itu datang, para kreditor sudah ikut bersama mereka untuk mengantre di bank untuk pelunasan hutang, ditambah bunga yang sangat besar.”

Sulit bagi saya untuk mempercayai keadaan seperti ini.

141018-png-tabubil-finalbin-landowner-village-4907

“Kebanyakan kami di sini tidak berpendidikan, jadi kami tidak tahu cara memakai uang. Orang-orang punya hutang di sana sini, uang mereka umumnya langsung habis untuk beli barang seperti makanan dan bir. Itu sebabnya semua yang di sini tampak tidak terawat. Mereka tidak bekerja, tidak berpikir jangka panjang, tidak menabung dan tidak berinvestasi.”

Bahkan para pedagang dan pemilik warung di sini adalah orang-orang pengungsi dari West Papua! Mereka berasal dari sisi Indonesia, adalah orang-orang yang kehilangan tanah dan akar. Tetapi mereka lebih keras bekerja, dan tampaknya mereka lebih punya kesempatan untuk bertahan seandainya pertambangan ini tutup (dan itu tidak akan terlalu lama lagi).

Saya dengar dari Francis, proyek pembangunan sekolah dasar di desa ini terhenti karena tidak ada dana. Lagi pula, mayoritas muridnya berasal dari desa lain. Sekitar 90 persen anak-anak di sini tidak sekolah, karena orangtua mereka dapat uang gratis yang turun dari langit seperti hujan. “Itu sebabnya kami tidak punya guru, dokter, bahkan pendeta sendiri. Masalah kami adalah: uang datang terlebih dahulu, baru pendidikan.”

Bahkan semua orang yang duduk di pasar adalah orang luar. Toko-toko dimiliki orang luar. Ada satu warung kecil di desa dimiliki paman Francis, dan dia satu-satunya orang yang berbisnis di desa ini. Francis sendiri dulu bersekolah di Goroka Tech College, dan kini menjadi staf perusahaan pertambangan. Hanya tiga atau empat orang di desa ini, termasuk dirinya, yang punya pekerjaan.

Perusahaan sebenarnya sangat menaruh perhatian pada kesejahteraan warga desa. Perusahaan memberi beasiswa kepada anak-anak desa tuan tanah ini, bahkan kalau mereka mau bersekolah ke Australia sekali pun, tetapi kesempatan ini jarang dipakai. Mereka membangun semua rumah yang ada di sini, dan setiap 10 tahun mereka datang untuk memperbaiki rumah yang rusak. Perusahaan Ok Tedi juga sudah beberapa kali mengirim tim untuk memberi pelatihan mengenai cara memakai uang, tetapi warga sini jarang yang mendengarkan, sehingga nyaris tidak ada perubahan apa-apa di desa sini.

141018-png-tabubil-finalbin-landowner-village-4910

Pemasukan yang diterima warga Finalbin dari perusahaan pertambangan sebenarnya bukan pemasukan tetap. Mereka adalah pemegang saham, yang artinya, pemasukan mereka sangat tergantung pada keuntungan perusahaan. Ketika harga emas naik, uang yang mereka lebih banyak; dan ketika emas anjlok, mereka pun menderita. Francis menjelaskan, orang sini sebenarnya tidak terlalu mengerti bagaimana uang mereka dihitung. Beberapa kali warga Finalbin menemui Perusahaan, dan minta mereka menaikkan uang kompensasi. Tetapi pihak perusahaan mengatakan bahwa mereka sudah memberi terlalu banyak, cukup atau tidak itu tergantung bagaimana cara mereka mengatur uang.

Ok Tedi juga tidak bernegosiasi dengan semua tuan tanah warga desa ini, melainkan hanya dengan tiga atau empat orang pemimpin mereka. Para pemimpin ini semuanya tinggal di ibukota Port Moresby, dan merekalah yang punya kendali besar terhadap berapa jumlah uang yang dikucurkan ke Finalbin. Ok Tedi membayar para pemimpin itu dengan uang yang sangat besar, yang warga desa tidak tahu berapa jumlahnya. Sedangkan warga desa sendiri tidak punya hak apa-apa untuk bernegosiasi dengan Ok Tedi.

Kekhawatiran Francis sekarang adalah jika tambang tutup. Ketika itu terjadi, orang-orang sini akan kembali ke cara hidup lama. Ditambah sebuah lubang besar di tanah mereka. Sebuah lubang yang sangat besar! Gunung Fubilan sekarang sudah habis dikeruk, dan sungai mereka sudah rusak. Bagaimana hidup setelah itu, tak seorang pun berani membayangkan.

“Tambang ini hanya akan beroperasi untuk sepuluh tahun lagi. Sebagian besar kami di sini tak punya kuasa apa-apa untuk berkata apa pun, bahkan apakah untuk memberi izin kepada Ok Tedi untuk melanjutkan operasi atau tidak,” keluh Francis.

“Apakah kau membenci mereka, para pemimpin kalian?”

“Tidak,” katanya sambil tersenyum, “Para pemimpin itu adalah anggota keluarga saya sendiri.”

141018-png-tabubil-finalbin-landowner-village-4911

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

8 Comments on Tabubil 18 Oktober 2014: Tuan Tanah yang Miskin

  1. Nggak bisa bayangin setelah perusahaan Hengkang, trus mereka ngapain? kembali berburu dalam lubang menganga ??? entahlah.

  2. Tercengang membaca ending-nya. 🙁

Leave a Reply to Agus Nina Wati Cancel reply

Your email address will not be published.


*