Recommended

Garis Batas 19: Di Atas Reruntuhan Mimpi

Gulnoro dan kesusahan hidupnya. (AGUSTINUS WIBOWO)

Gulnoro dan kesusahan hidupnya. (AGUSTINUS WIBOWO)

Murghab memang didirikan di atas sebuah mimpi: sebuah kota perbatasan Uni Soviet yang tangguh di puncak pegunungan Pamir. Orang-orang dari lembah Wakhan, Shegnon, bahkan Kyrgyzstan, datang ke sini untuk membangun harapan dan impian itu. Tetapi negeri impian tidak selalu indah.

Kota ini terisolasi dari dunia luar setelah perang saudara meletus di negara baru Tajikistan. Penduduk bukan hanya kehilangan pekerjaan, tetapi juga tak punya makanan. Mereka tak seberuntung orang-orang desa yang masih bertahan hidup dari ladang-ladang dan kebun. Di Murghab, orang hanya punya sepetak rumah. Tak ada uang, berarti juga tak ada makanan.

Saya menginap di rumah Gulnoro, wanita berumur 54 tahun, adik khalifa Yodgor dari desa Langar. Gulnoro sudah lama sekali tidak melihat kakaknya. Terakhir kali dua tahun lalu. Jarak dari Murghab ke Langar tak lebih 270 kilometer, tetapi paling murah orang harus membayar 50 Somoni, sekitar 15 dollar. Sedangkan gaji Gulnoro sebagai guru sekolah dasar hanya 80 Somoni per bulan, itu pun masih berat untuk menghidupi keluarganya. Pulang kampung ke Langar adalah prioritas kesekian dari tumpukan tuntutan hidup.

Suami Gulnoro tidak bekerja. Beig, 56 tahun, sudah hampir setahun ini menganggur. Dulu dia bekerja di Rusia. Karena kemiskinan negerinya, banyak sekali pria-pria Tajik yang bekerja ke luar negeri, terutama ke negara-negara kaya macam Rusia, Ukraina, dan Kazakhstan.

“Tetapi bekerja di sana sangat berat. Bagi orang miskin hidup di sana sangat susah. Gajinya pun sebenarnya tidak terlalu tinggi,” keluh Beig.

Orang Tajik, karena kemiskinan dan pekerja migrannya, sering dipandang rendah di seluruh  penjuru bekas Uni Soviet. Kini, keluarga ini sepenuhnya bertumpu pada Gulnoro, si guru SD.

Kata favorit Gulnoro adalah qin dan bichara, susah dan malang.

“Hidup di sini qin dan bichara,” Gulnoro mengucapkan kalimat ini lebih dari selusin kali dalam sehari.

Dengan pendapatannya yang cuma 80 Somoni, ia harus menghidupi suami dan ketiga anaknya. Sekarung tepung harganya sudah 70 Somoni. Itu pun masih belum cukup untuk satu bulan. Nasi, makanan kesukaan Gulnoro, sudah lama lenyap dari menu keluarga itu karena harganya  melambung tinggi di daerah pegunungan ini. Semua barang harus dibeli dari pasar. Dan, semua butuh uang yang tidak sedikit. Kakaknya di Langar masih berbaik hati mengirim karung demi karung kentang kepada Gulnoro, dititipkan kepada truk atau mobil apa pun yang melintas dari Langar.

Terlepas dari kesusahan hidupnya, Gulnoro bukan keluarga miskin. Mereka punya rumah besar. Ada dua ruangan utama. Satu yang lapang untuk musim panas. Satu yang kecil dan rapat untuk musim dingin. Toilet ada di luar, di sebelah rumah, dekat kandang kambing. Tradisi orang Tajik memang tidak menaruh toilet di dalam rumah. Gulnoro punya TV dan satelit digital. Ada juga oven kuno untuk membuat roti. Cerobong tak pernah henti menyemburkan asap ke langit dingin Murghab.

Pagi di Murghab (AGUSTINUS WIBOWO)

Pagi di Murghab (AGUSTINUS WIBOWO)

Walaupun pendapatan Gulnoro mungkin lebih rendah dari pendapatan seorang pengemis di Jakarta, ia tak pernah malu akan hidupnya. Walaupun Tajikistan sangat miskin, di sini tidak ada gelandangan. Panji-panji komunisme yang berkibar bersama Uni Soviet telah mengangkat derajad kaum miskin di seluruh penjuru negeri dan membuat semua orang sejajar. Tidak ada hal yang lebih memalukan daripada meminta-minta belas kasihan orang lain.

Kalaupun ada beban terberat bagi Gulnoro, itu adalah Hadisa, putri bungsunya. Hadisa memang bukan kebanggaan siapa-siapa. Orang tua mana yang bangga punya anak usia 9 tahun dengan otak setara dengan bayi umur 2 tahun? Setiap hari Hadisa butuh sebuah buku untuk disobek-sobek. Kalau senang, tawanya yang lebar menunjukkan gigi-geliginya yang lancip dan tak lengkap tumbuh. Kalau marah, dia berteriak dan menendang-nendang panggung kayu di rumah Gulnoro. Hadisa masih belum bisa membuka bungkus permen sendiri. Air liur membanjiri tubuhnya.

Gadis ini hidup dalam kesendiriannya, dalam dunianya. Namun ada garis-garis tak tampak mata yang menghubungkan dunia Hadisa dengan dunia kita. Rasa ingin tahunya muncul setiap kali melihat orang yang tak dikenalnya. Hadisa selalu berusaha meraih dan menyentuh para tamu Gulnoro dengan jari-jarinya yang basah oleh air liur, seolah berusaha menerjemahkan mereka ke dalam alam pikirnya yang sederhana.

Hadisa selalu bahagia dalam dunia yang hanya dipahaminya sendiri. Dia tak mempunyai kekhawatiran akan hari esok, seperti yang dimiliki Gulnoro, suaminya, dan tatapan mata redup lainnya di seluruh penjuru Murghab. Hidup tanpa kekhawatiran adalah surga yang sebenarnya.

Perlahan-lahan saya mulai mengagumi kecantikan Hadisa.

Hadisa mungkin adalah aib bagi Gulnoro dan suaminya Beig. Mereka tak pernah memamerkan Hadisa kepada kawan-kawan mereka. Tentu saja, tak ada yang bisa dibanggakan memiliki anak macam Hadisa. Tetapi, Hadisa adalah curahan kasih sayang seluruh anggota keluarga itu. Ketika Hadisa mengantuk, dia menangis keras-keras seperti layaknya bayi, dan Beig akan menciuminya dengan penuh kasih sayang hingga gadis itu terlelap. Ketika Hadisa bangun, giliran Gulnoro yang dengan lembut mencium dahinya, hidungnya, bibirnya, sambil memasangkan kancing-kancing bajunya. Akim dan Olim, kakak-kakak Hadisa, juga suka bercanda dengannya. Tawa gadis itu menjadi tawa seluruh keluarga. Hadisa, bukan lagi menjadi beban yang ditangisi, tetapi berkah Tuhan yang harus disyukuri.

Seketika,  wajah-wajah Hadisa bermunculan di sekeliling saya. Tetangga tepat di sebelah rumah Gulnoro, orang Kirghiz, juga punya cerita yang sama. Anak lelaki mereka yang lahir satu bulan sesudah Hadisa, juga cacat mental. Meterbek, nama bocah ini, bisa jalan keluar rumah sendiri, dan bisa membuat kalimat-kalimat sederhana. Kerjanya menggoda anak-anak sekolah yang baru pulang. Seringainya terkembang, memamerkan barisan giginya yang jarang.

Di seberang rumah Gulnoro juga ada bocah bernasib serupa. Di belakang rumah juga ada. Di bagian lain kota ini juga ada. Dan, yang disembunyikan di balik tembok-tembok rumah juga lebih banyak lagi. Anak-anak ini berusia antara 9 hingga 11 tahun. Tahun kelahiran mereka adalah saat-saat susah di provinsi GBAO, yang menderita karena diisolasi oleh pemerintah negaranya sendiri. Jangankan layanan kesehatan bagi ibu hamil, makanan untuk mengisi perut pun tak ada.

Seringai gigi bolong anak-anak cacat mental adalah wajah Murghab yang senantiasa tergurat di benak saya. Juga tatapan mata kosong dari orang-orang yang hanya membuang waktu menghabiskan hidup. Tak ada pekerjaan, tak ada lagi impian. Betapa mengenaskannya pasar kota Murghab. Orang berjualan barang-barang yang tak terjangkau harganya oleh calon pembeli. Istri Dudkhoda, dengan 10 nan yang dibawanya, cuma berhasil menjual tiga roti, setelah menunggu dari pagi hingga sore di pasar.

Ekonomi mati. Orang berjualan tak ada yang beli. Yang hendak membeli pun tak punya uang. Yang ingin punya uang tak ada pekerjaan. Orang-orang suka ke pasar hanya untuk melihat-lihat barang. Itu sudah cukup untuk melipur impian mereka yang hampa. Yang lain hanya duduk-duduk di teras rumah sepanjang hari, mengisi hidup dengan bualan dan omongan kosong. Ada lagi yang hanya menyusuri jalan-jalan kecil, berjalan ke berbagai arah tapi tanpa tujuan. Pria-pria melepaskan kebosanan hidupnya dengan menenggak vodka dan teler di tengah pasar. Jangan tanya dari mana mereka dapat uang untuk beli vodka. Yang jelas Murghab bukan tempat yang nyaman untuk keluyuran di malam hari. Para polisi yang menjaga daerah perbatasan ini pun digerogoti kebosanan yang tiada akhirnya. Salah satu hiburan mereka adalah menggoda gadis-gadis Kirgiz yang berangkat sekolah.

Apa cita-citamu kalau besar nanti, saya bertanya kepada Olim, anak Gulnoro yang berumur 14 tahun yang belajar di sekolah menengah.

“Ingin jadi supir,” katanya mantap. Ketika anak-anak di belahan dunia lain bercita-cita menjadi dokter, insinyur, dan presiden, bocah Murghab ini malah ingin menjadi supir.

“Supir pesawat atau supir bus?” saya masih penasaran.

“Tentu saja supir bus.”

“Saya juga ingin jadi supir,” kata Tursunboy, anak tetangga sebelah, lebih mantap.

Beig yang mendengar percakapan ini langsung berubah air mukanya.

“Apa-apaan ini? Aku tak ingin punya anak yang cita-citanya cuma ingin jadi supir. Mau jadi apa hidup ini nanti? Sama sekali tidak ada harapan. Tidak ada tujuan hidup!”

Gulnoro menenangkan suaminya yang sudah hampir setahun jadi pengangguran.

“Apa salahnya sih jadi supir? Di Tajikistan, supir juga sekolah di universitas!”

“Jadikan GBAO sebagai pintu gerbang emas bagi masa depan gemilang Tajikistan,” demikian slogan Presiden Emomali Rahmon yang terpampang di mana-mana. Ada impian, ada harapan. Tetapi itu datangnya jauh dari Dushanbe sana.

Inikah negeri impian yang dulu pernah saya lihat dari seberang sungai sana?

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan ulang sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 1 April 2008

1 Comment on Garis Batas 19: Di Atas Reruntuhan Mimpi

  1. Kerasnya hidup di situ ya bang Agus 🙁

Leave a comment

Your email address will not be published.


*