[Detik.com] Penulis Perjalanan Berkisah Agama Kejawen di Benua Amerika
Jumat, 22 Mei 2020 05:32 WIB Femi Diah, detikTravel
Jakarta – Travel writer Agustinus Wibowo mengisahkan perjalanan ke Suriname di Amerika Selatan. Dia menceritakan kepercayaan di Jawa yang menjadi agama resmi di sana: kejawen.
Agustinus mengungkapkan lewat IG Live bersama bukugpu tengah pekan lalu. Dia bilang saat melakukan perjalanan ke Suriname, sebuah negara bekas jajahan Belanda dengan salah satu komunitas penghuninya adalah orang Jawa, menemukan bahasa Jawa masih digunakan sebagai bahasa percakapan sehari-hari di negara tersebut.
“Saat saya melakukan perjalanan ke Suriname, bukan hanya komunitas Jawa yang saya temukan, namun saya bisa menjadi bangga sekali menjadi orang Jawa, yang dibesarkan di Jawa dan bisa berbahasa Jawa. Di sana bahasa Jawa sangat terpakai dan memudahkan saya melakukan riset,” kata Agustinus.
Bukan cuma itu, bahkan penulis buku Selimut Debu, Garis Batas, dan Titik Nol itu menceritakan tentang Islam Timur, Islam Barat, dan agama Kejawen di Suriname. Seperti apa?
“Umat Islam Jawa terbagi menjadi dua, sholat kiblat ke barat dan sholat kiblat ke timur. Mereka saling bermusuhan, tidak saling menyapa, tidak saling menghadiri acara satu sama lain,” kata Agustinus.
“Saya masuk ke masjid-masjid yang menghadapi kiblat ke barat dan ke timur untuk memahami sudut pandang masing-masing dan sisi lain,” dia menambahkan.
“Saya menyaksikan kelahiran agama baru, yakni agama Kejawen. Di Suriname agama ini menjadi agama resmi yang diakui pemerintah. Pemuka agama Kejawen itu juga mendapatkan gaji dari pemerintah dan hari raya Kejawen juga akan menjadi hari libur nasional di sana,” ujar dia.
Kejawen itu, kata Agustinus, merupakan agama yang berusaha untuk menghapus unsur-unsur Islam agar hanya tersisa tradisi Jawa. Meskipun, upaya itu tak benar-benar bisa dilakukan.
“Agama Kejawen di Suriname itu muncul karena mencoba menciptakan ritual baru. Mereka membersihkan dengan cara menghapus unsur-unsur Islam, sehingga yang tersisa adalah tradisi Jawa. Orang Jawa di Suriname baru 130-140 tahun lalu dan karena itu Islam dan tradisi Jawa bercampur,” ujar Agustinus.
Salah satu tradisi yang lekat dalam agam Kejawen itu adalah selametan dan bersih desa. Acara bersih desa itu merupakan bersih-bersih dari roh jahat.
Tradisi lain yang dalam agama Kejawen yang sangat Jawa adalah penggunaan bahasa kromo inggil, bahasa Jawa halus, dalam doa-doa yang dirapalkan.
Aksara Jawa yang dikenal dengan honocoroko (lima abjad pertama aksara Jawa) juga digunakan dalam catatan doa. Aksara itu ada di beberapa tempat ibadah agama Kejawen.
“Honocoroko itu memiliki makna spiritual yang sangat dalam,” ujar Agustinus.
Hanya saja, pengaruh Islam sulit dihapus. Misalnya, ketika akan memulai ritual doa, sebagian pemeluk Kejawen tetap melakukan wudlu.
Uniknya, agama Kejawen memiliki sempalan. Setidaknya ada 30-40 sempalan sehingga pemerintah Suriname belum mendapatkan kata sepakat untuk menentukan hari libur nasional agama tersebut.
“Jarak Suriname itu 10 ribu km dari Jawa. Padahal, di Jawa saja kejawen itu tidak diakui, tapi di sini (Suriname) justru menjadi agama resmi. Bukan hanya orang Jawa, namun juga dianut oleh orang India, keturunan Afrika. Itu sangat berkesan dan menimbulkan kebanggaan saya sebagai orang Indonesia dan orang Jawa,” kata dia.
Selain Kejawen, Suriname mengakui agama Kristen, yang merupakan mayoritas, Islam, Hindu, dan Winti.
***
Ralat: redaksi membuat kesalahan mengutip bagian terakhir yang menyebut penulis mempertanyakan tentang agama impor. Kalimat itu bukan berasal dari Agustinus Wibowo, melainkan jawaban orang Kejawen di Suriname. Dengan ini, artikel itu sudah diperbaiki.
Leave a comment