Pengaruh Hindu-Buddha dalam Kehidupan Beragama di Indonesia
Indonesia memang adalah negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Tetapi, Islam baru menyebar luas di Nusantara sekitar lima atau enam abad terakhir, sedangkan selama ribuan tahun sebelumnya, agama yang dominan di kepulauan ini adalah Hinduisme, Buddhisme, dan agama-agama lokal.
Karena itu, walaupun lebih dari 80 persen penduduk Indonesia kini beragama Islam dan sejumlah besar lainnya beragama Kristen, pengaruh Hindu-Buddha masih sangat kuat dalam kehidupan keagamaan di negeri ini, sering tanpa disadari sebagian besar orang. Dari sisi linguistik saja, banyak kosakata yang berhubungan dengan agama dalam bahasa Indonesia, sejatinya berasal dari tradisi Hindu-Buddha.
Yang pertama adalah kata agama sendiri. Alih-alih kata din yang berasal dari bahasa Arab atau religio dari bahasa Latin, dalam bahasa Indonesia digunakan kata agama yang diserap dari bahasa Sanskerta dari India, negeri asal peradaban Hindu-Buddha.
Dalam masyarakat Hindu di India, agama adalah sekumpulan tulisan pasca-Weda yang menjelaskan pengetahuan ritual, filosofi, dan spiritual yang digunakan sebagai pegangan bagi para umat Hindu. Agama berhubungan dengan cara menyembah dewa, cara pembangunan kuil dan patung, cara menyelenggarakan festival dan hari raya. Agama juga berhubungan dengan mantra, yoga, meditasi, doktrin filosofis, dan disiplin mental untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Kata agama kemudian digunakan pula di Jawa. Ada sebuah naskah kuno Jawa abad ke-16 yang berjudul Agama, diteliti oleh M.C. Hoadley dan M.B Hooker. Isinya adalah kitab undang-undang yang mengatur hukum yang berlaku di tengah masyarakat Jawa pada masa itu. Karena itu, makna agama semula adalah peraturan tertulis yang berasal dari tradisi turun-temurun, dan tidak serta-merta berhubungan dengan Tuhan, Nabi, akhirat, atau surga neraka.
Dalam hal beribadah, umat berbagai agama di Indonesia sering menggunakan istilah sembahyang. Kata ini pun berasal dari tradisi pra-Islam. Sembahyang berasal dari dua kata, sembah dan hyang. Istilah hyang ini berasal dari agama-agama lokal di Sunda, Jawa, dan Bali, yang akarnya adalah pada pemujaan arwah leluhur dan roh penjaga alam, yang kemudian dikaitkan dengan dewa-dewa dalam kepercayaan Hindu.
Kata puja yang sering dikaitkan dengan penghormatan kepada Tuhan, juga berasal dari bahasa Sanskerta. Puja di India adalah ritual penyembahan yang dilakukan umat Hindu, Buddha, dan Jain sebagai wujud doa dan penghormatan bagi para dewa atau orang-orang yang sangat dihormati. Dalam tradisi Hindu India, ritual puja biasa dilakukan dengan menggunakan cahaya atau api, bunga, air, dan mempersembahkan makanan bagi dewa. Aturan ritual puja juga diatur dengan sangat mendetail dalam kitab-kitab Veda sejak ratusan tahun silam.
Bentuk ritual lain yang penting bagi orang Hindu India adalah bakti. Kata ini juga diserap dalam bahasa Indonesia, dan dimaknai sebagai kesetiaan terhadap Tuhan, negara, atau orangtua. Orang Kristen rutin menggelar kebaktian di gereja, sebagai bentuk bakti mereka bagi Yang Mahakuasa. Dalam tradisi agama Hindu, kata bhaktibermakna cinta, kesalehan, dan kepatuhan seorang umat terhadap dewa. Dalam kitab Bhagavad Gita, bhakti termasuk salah satu jalan spiritual menuju moksa.
Istilah-istilah yang dipakai untuk menyebut pemimpin agama di Indonesia juga banyak berasal dari tradisi Hindu. Misalnya kata pendeta atau pandita, yang dipakai untuk menyebut pemimpin agama Kristen, Hindu, atau Buddha. Kata pandita dalam bahasa Sanskerta berarti “pemilik pengetahuan” atau “orang terpelajar”. Umat Islam di Minangkabau juga pernah menyebut ulama Muslim sebagai pendeta, sebagaimana terekam dalam novel Siti Noerbaja karya Marah Roesli.
Kata santri pun berasal dari bahasa Sanskerta shastri, yang memiliki akar kata yang sama dengan sastra, yang berarti kitab suci atau pengetahuan. Karena itu, shastri berarti orang yang telah mendapatkan sastra. Di India sendiri, shastri kini bermakna gelar sarjana dari institusi pendidikan tinggi, sehingga masih meneruskan makna aslinya dalam bahasa Sanskerta. Sedangkan di Indonesia, santri kini identik dengan pelajar agama Islam yang belajar di pesantren. Kata pesantren sendiri berasal dari kata santri yang diberi imbuhan pe-an.
Ibadah puasa merupakan bagian penting dalam ibadah umat Islam dan Katolik, tapi kata ini pun dalam bahasa Indonesia berasal dari tradisi Hindu. Asal kata puasa adalah upavasa (upawasa) dalam bahasa Sanskerta, merupakan ritual pengendalian diri yang dilakukan oleh penganut ajaran Hindu. Kata ini terdiri dari kata vas yang berarti hidup, dan upa yang berarti dekat. Kata ini bisa diartikan sebagai “ritual untuk hidup dekat dengan Yang Maha Agung”. Kata ini kemudian diserap dalam bahasa Jawa menjadi pasa, dan dalam bahasa Melayu atau Indonesia menjadi puasa.
Tradisi Hindu-Buddhis senantiasa menekankan pada pentingnya samadhi, yang berarti pemusatan pikiran untuk bermenung, atau bermeditasi. Bagi pengikut ajaran Buddha, meditasi adalah jalan yang sangat penting untuk mencapai kebijaksanaan. Dalam masyarakat Jawa, samadhi juga mengakar erat dalam kehidupan sehari-hari. Tapa brata masih dijalankan oleh masyarakat Muslim tradisional di Jawa selama berabad-abad.
Namun kini sayangnya kata semadi atau semedi dalam percakapan sehari-hari di Indonesia memiliki makna konotatif, sering diidentikkan dengan hal-hal yang mistik atau eksentrik. Saya juga menemukan fenomena serupa di India dan Pakistan, dua negara yang sama-sama mewarisi peradaban Sanskerta. Di India yang mayoritas Hindu, samadhi masih merupakan jalan spiritual yang suci, sedangkan di Pakistan yang mayoritas Muslim, kata ini juga bermakna konotatif sebagai pemujaan berhala.
Ketika agama berganti, budaya bergeser, kata-kata pun bisa mengalami perubahan makna sehingga menjadi sangat jauh dari makna aslinya. Misalnya konsep surga dan neraka yang sangat penting dalam ajaran agama-agama monoteistik, di Indonesia menggunakan kata-kata dari peradaban Hindu-Buddhis yang memiliki konsep surga dan neraka yang sangat berbeda.
Kata surga dalam bahasa Indonesia berasal dari kata svarga atau swarga loka, adalah salah satu dari tujuh loka tinggi dalam kosmologi Hindu. Swarga Loka dipercaya berada di atas gunung suci Meru, merupakan tempat transit bagi roh-roh orang suci sebelum memasuki putaran inkarnasi atau penitisan berikutnya. Sedangkan neraka berasal dari kata naraka bahasa Sanskerta, merupakan tempat orang-orang berdosa dihukum setelah kematian, dan terletak di selatan semesta atau di bawah bumi. Sebagaimana svarga, naraka juga adalah tempat sementara, karena setelah roh-roh itu menyelesaikan hukuman siksaannya, mereka akan dilahirkan kembali sebagai makhluk fana sesuai karma perbuatan mereka yang terdahulu.
Dalam konsep agama-agama monoteistik Abrahamik, konsep dosa dan pahala pun sangat penting untuk menentukan apakah seseorang akan masuk surga atau neraka. Menariknya, kedua kata ini pun dalam bahasa Indonesia juga diserap dari tradisi Hindu-Buddhis, dengan pemaknaan yang sangat berbeda.
Kata dosa berasal dari bahasa Sanskerta dvesha yang merupakan istilah Buddhis untuk kebencian atau ketidaksukaan. Dosa menurut ajaran Buddhis termasuk kemarahan, kebencian, ketidaksenangan, ketidakterimaan, dan penolakan. Ketika seseorang penuh dosa, pikirannya dikuasai kebencian, maka dia akan mengakibatkan penderitaan pada diri sendiri dan orang lain. Dosa adalah salah satu sumber dari kejahatan, juga salah satu sumber ketidakbahagiaan, di samping nafsu keserakahan (lobha atau tanha) dan kebodohan batin (moha).
Sedangkan pahala berasal dari kata phala bahasa Sanskerta yang berarti “buah”, yaitu buah dari perbuatan, termasuk perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Jadi makna phala dalam konsep Buddhis bukan hanya imbalan dari perbuatan baik sebagaimana dipahami dari konsep Islam, tapi juga balasan yang akan diterima terhadap perbuatan buruk, yang termanifestasi dalam perilaku fisik, ucapan, maupun pikiran.
Dalam ajaran spiritualitas tasawuf Jawa yang masih digunakan hari ini, sering digunakan kata sunyata untuk menyatakan kebenaran hakiki. Kata ini pun berasal dari bahasa Sanskerta dan merupakan konsep penting dalam ajaran Buddhis. Sunyata Buddhis adalah kondisi terbebasnya diri dari keakuan (anatta atau tanpa-aku). Dalam pemahaman Zen, sunyata adalah kondisi kekosongan yang sempurna. Kata dasarnya adalah sunya, yang berarti nol atau kosong. Kesunyataan bisa dikatakan sebagai pencerahan tertinggi, ketika seseorang sudah memahami hakikat kebenaran dan sanggup terbebas dari segala kemelekatan.
Semua kata yang dibahas di sini membuktikan betapa besar pengaruh ajaran Hindu-Buddhis bagi orang Indonesia, walaupun mayoritas orang Indonesia sudah tidak menganut agama-agama besar dari India ini lagi. Sebenarnya, pengaruh Hindu-Buddhis itu masih sangat luas, dan merasuk dalam kehidupan sehari-hari orang Indonesia di berbagai bidang.
Misalnya Pancasila, yang dijadikan sebagai falsafah hidup sekaligus ideologi bagi bangsa Indonesia. Nama Pancasila sebenarnya juga berasal dari tradisi Sanskerta. Pancasila dalam ajaran Buddhis berarti lima aturan dasar (sila), yang merupakan panduan moral bagi seseorang untuk menjalani kehidupan yang bersih secara spiritual. Pancasila merupakan ajaran religius yang berlaku di India sejak 3.000 tahun lalu, terdiri atas lima tuntunan sila: (1) tidak membunuh (2) tidak mencuri (3) tidak berbuat asusila (4) tidak berbohong (5) tidak mengonsumsi zat yang menyebabkan lemahnya kesadaran. Sila (moralitas), di samping samadhi (konsentrasi) dan panna (kebijaksanaan) merupakan jalan utama dalam Buddhisme untuk menuju kebahagiaan sejati.
Lambat nasional Indonesia, Garuda, dalam peradaban aslinya di India merupakan makhluk mitologi menyerupai burung. Umat Hindu percaya bahwa Garuda adalah kendaraan (vahana) bagi Dewa Wisnu, sedangkan Buddhis percaya bahwa garuda adalah pelindung ajaran dhamma. Selain Indonesia, India dan Thailand yang sama-sama mewarisi peradaban Sanskerta juga sering menggunakan Garuda dalam simbol-simbol resmi negara mereka.
Slogan nasional Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika juga tentunya tak lepas dari falsafah Hindu-Buddhis. Kalimat ini diambil dari kakawin Sutasoma dari Kerajaan Majapahit abad ke-14. Kalimat lengkapnya berarti: Kebenaran Buddha dan Syiwa adalah tunggal. Berbedalah itu, tapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran. Kalimat ini menunjukkan bahwa ajaran Buddha dan Syiwa (Hindu) yang hidup bersama di Majapahit secara harmonis itu memanglah berbeda, tapi keduanya adalah kebenaran yang sama.
Kalimat ini kemudian diwarisi dalam kehidupan Indonesia modern, dan mendapat pemaknaan baru tentang keberagaman identitas yang ada di Indonesia. Kata bhinneka kini menjadi sinonim bagi keberagaman, walaupun banyak pengguna kata ini yang lupa akar aslinya dalam konsep Hindu-Buddhis tentang Kebenaran universal yang tunggal walaupun bermacam-macam bentuk dan rupanya.
Tidaklah perlu heran jika mendapati unsur-unsur dari agama tua masih merasuk begitu mendalam dalam kehidupan modern di Indonesia. Pada dasarnya memang tidak ada agama yang murni, semuanya adalah hasil perpaduan dari berbagai agama dan kebijaksanaan berbagai budaya. Semua itu, bermacam-macam nama dan wujud rupanya, pada dasarnya adalah manifestasi dari Kebenaran yang tunggal. Bhinneka Tunggal Ika.
beraneka ragam yang ada di indonesia menjadi negara kita sebagai bangsa yang besar.. tidak bisa dipungkiri semua budaya yang ada sudah menjadi ciri khas dari indonesia.. indahnya bertoleransi..
silahkan baca juga berita budaya lainnya di link ini >>> https://bit.ly/37FsF9Y
Terima kasih atas artikel ini Mas Agus. Saya punya satu permintaan jika Mas Agus bisa menulis sebuah lagi artikel yang menjelaskan tentang persamaan & perbedaan di antara Hindu Bali dan Hindu lainnya? Thanks in advance