Titik Nol 22: Shigatse
Shigatse, kota terbesar kedua di Tibet, menggeliat dalam modernisasi. Toko-toko orang China bermunculan, sementara para biksu masih larut dalam lautan mantra dan sutra.
Kota baru Shigatse bisa dibilang cukup rapi. Toko, apotek, restoran, rumah sakit, hotel, diskotek, kelap-kelip lampu neon bertulis huruf China, semua ada di sini. Bahkan teknik restoran menarik pembeli yang lagi populer di pedalaman China sudah sampai ke sini. Restoran baru bernama “Bu Haochi – Tidak Enak” malah berhasil menarik banyak pelanggan yang penasaran. Warung Sichuan mendominasi pusat kota. Restoran makanan Tibet tergusur ke pinggiran.
Sementara sisi lain kota Shigatse, di kompleks perumahan orang Tibet di dekat kuil agung Tashinlhunpo sungguh kumuh. Walaupun jalan sudah beraspal mulus, trotoar nyaman dinaungi rindangnya pohon, berjalan di sini perlu kehati-hatian tingkat tinggi. Kotoran manusia bertebaran di trotoar. Orang Tibet, dari anak-anak sampai kakek nenek, laki-laki maupun perempuan, seenak hati tanpa sungkan berhajat di pinggir keramaian.
Tashilhunpo adalah salah satu kuil terbesar dan terpenting umat Budha Tibet, khususnya bagi sekte Topi Kuning aliran Gelugpa. Di sinilah dulunya Panchen Lama, pemimpin spiritual Tibet terpenting kedua setelah Dalai Lama, bertahta. Karenanya, dalam Revolusi Kebudayaan ketika tempat-tempat ibadah dan pemujaan di seluruh Tiongkok mengalami kerusakan parah, sebagian besar patung kuno dan artefak berharga di altar suci Tashilhunpo masih selamat.
Seperti kuil-kuil lainnya di Tibet, masuk Kuil Tashilhunpo pun dikenakan harga karcis yang tidak murah. Orang Tibet gratis. Orang China dan orang asing wajib bayar 55 Yuan. Kalau mau memotret atau mengambil film di dalam altar, biayanya lebih besar lagi.
Kuil ini seperti kota kecil dipagari tembok tinggi. Waktu zaman Panchen Lama masih tinggal di sini, sedikitnya 4.000 lama dan drapa tinggal di sini. Sekarang, jumlah biksu sudah menyusut drastis menjadi ratusan saja setelah pemerintah China menerapkan aturan ketat dalam perekrutan biksu. Biara tak bisa seenaknya saja menambah biksu tanpa persetujuan pemerintah.
Biara Tashilhunpo punya banyak relik permata nasional. Salah satunya adalah patung Budha Maitreya, Jambu Chyenmu, disimpan dalam gedung tinggi di kompleks kuil ini. Patung Maitreya dibangun oleh Panchen Lama kesembilan, setinggi 26 meter, menggunakan 279 kilogram emas dan ratusan ribu kilogram tembaga, permata, berlian, dan batu berharga lainnya.
“Panchen Lama keempat disemayamkan di sini,” kata seorang pemandu wisata yang mengawal rombongan turis dari China, menunjukkan Ruang Stupa yang gelap. Di situ terdapat sebuah stupa besar menjulang setinggi 11 kilogram, diselimuti 85 kilogram emas, ditambah beragam jenis batu berharga dan intan permata.
Tempat persemayaman Panchen Lama ke-10 lebih besar lagi stupanya, menggunakan 614 kilogram emas murni. Betapa kayanya para lama yang berkuasa di Tibet, emas dan permata menghiasi kuil dan altar, sedangkan rakyatnya masih hidup dalam kemelaratan, hanyut dalam penyerahan diri sepenuhnya kepada pemimpin spiritual dan penguasa.
Di sebelah bangunan stupa, ada Gudong atau Istana Panchen Lama. Sekarang titisan Panchen Lama ke-11 yang menjadi pemimpin spiritual tertinggi Budhisme Tibet di dalam wilayah teritorial Republik Rakyat China. Pemandu wisata menjelaskan fungsi Panchen Lama yang mengesahkan titisan Dalai Lama. Tetapi tidak semua hal diceritakannya.
Orang Budha percaya reinkarnasi. Dalai Lama, Sang Budha Hidup, Lautan Kebijaksanaan, setelah meninggal rohnya akan menitis lagi ke tubuh bayi yang baru lahir. Kemudian para biksu akan mencari ke seluruh penjuru Tibet menemukan titisan roh Dalai Lama.. Kemudian Panchen Lama yang berkuasa mengesahkan bocah yang dipercaya sebagai titisan sang Dalai. Demikian pula sebaliknya, titisan Panchen juga dinominasikan oleh Dalai Lama.
Di sinilah letak kontroversi. Dalam penentuan titisan Panchen Lama ke-11, Dalai Lama Tenzin Gyatso, menominasikan Gedhun Choekyi Nyima, seorang bocah Tibet kecil dari desa pinggiran yang tiba-tiba lenyap tanpa berita.. Dikabarkan, ia sedang berada dalam ‘perlindungan pemerintah’. Beijing, mengabaikan pilihan Dalai Lama, menunjuk Qoigyi Jabu sebagai Panchen Lama ke-11. Sang Panchen hidup di Beijing, kebetulan adalah putra anggota Partai Komunis. Istananya yang di Tashilhunpo tak ditinggali, kosong dan tertutup bagi semua pengunjung.
Kontroversi ini adalah rahasia umum. Banyak yang tahu, tetapi tak ada yang berani membicarakannya. Menggunjingkan Panchen Lama dan Dalai Lama di Tibet, di mana setiap dinding punya mata dan telinga, sama artinya mencari jalan menuju penjara. Walaupun bukan pilihan sang Dalai, umat Tibet mengamini bahwa Qoigyi Jabu adalah pemimpin suci yang harus dihormati semua umat yang patuh. Foto pria muda ini tersebar di mana-mana, diletakkan di altar, menjadi jimat pembawa keberuntungan. Sedangkan foto Dalai Lama Tenzin Gyatso dan Panchen pilihannya adalah barang tabu di seluruh Tibet. Yang menyimpan apalagi memamerkan di depan umum langsung dipenjara.
Pemandu wisata pun harus teramat berhati-hati dengan isu ini.
“Sejak zaman Dinasti Qing, pemerintah Beijing memang berhak dan punya andil dalam mengesahkan Panchen dan Dalai Lama.” Ini adalah sejarah versi resmi pemerintah.
“Kalau Dalai Lama yang sekarang cepat mati, masalah di Tibet akan selesai,” seorang turis menanggapi, menumpahkan kebenciannya pada Dalai yang dianggap sebagai pemecah persatuan bangsa, perusak stabilitas nasional.
Agama di Tibet bukan sekadar kehidupan spiritual. Intrik politik kental bercampur di dalamnya. Tak ada benar salah di sini, tak ada hitam dan putih. Andaikan pemerintah China tak campur tangan di Tibet, mungkin Tibet masih akan hidup dalam dunianya sendiri, pendewaan Dalai Lama, berbahagia dalam surganya yang miskin dan terbelakang. Setelah China masuk, orang Tibet ‘terbebaskan’ dari feodalisme kaum lama dan biksu terhormat, pembangunan jalan merambah desa-desa terpencil, pendidikan di mana-mana, layanan kesehatan menggantikan perdukunan, dan di sisi lain, pengaruh adat kuno dan fanatisme agama terus berkurang.
Tak ada hitam dan putih. Tibet sudah berada di abad ke-21 menjalani takdirnya di bawah kibaran bendera merah dengan lima bintang.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 2 September 2008
the City of Avatar