Recommended

materialisme

Titik Nol 25: Runyam

Perempuan Tibet pun tangguh menjadi kuli bangunan. (AGUSTINUS WIBOWO) Bicara soal politik di Tibet bisa berakhir runyam. Jangan sembarangan berdiskusi tentang Dalai Lama, kontroversi Panchen Lama, kehidupan beragama, dan hal-hal sensitif lainnya kalau tidak ingin terlibat dalam kesulitan. Menjadi orang asing di Tibet memang tidak mudah, apalagi kalau kita masuk ilegal dan tidak mengikuti peraturan pemerintah Tiongkok yang membatasi semua gerak-gerik di daerah ‘terlarang’ ini. Selain permit yang harganya menggila, orang asing juga tidak diizinkan naik kendaraan umum, apalagi menumpang truk di jalan. Yang diperbolehkan cuma jip turis, khusus disewa dari biro tur yang harganya tentu saja melangit. Saya, sebagai backpacker miskin, berusaha mencari jalan belakang – menyamar sebagai orang China. Beruntung karena masih berwajah Asia dan cukup fasih berbahasa Mandarin, saya masih bisa ‘lewat’. Membeli tiket bus menuju Shegar di kaki Everest misalnya, saya sama sekali tak mengalami kesulitan. Beda halnya dengan seorang backpacker bule dari Kanada yang sudah bolak-balik terminal selama tiga hari terus gagal juga mendapat karcis. Saya membantunya membelikan karcis, tetapi loket penjual sudah curiga dan tetap tak mau memberi tiket. Ia sudah menyetop truk, tetapi tak satu pun yang mau berhenti. Sungguh memusingkan. Sebenarnya bukan karena sopir tak mau uang, tetapi karena mengangkut orang asing [...]

June 4, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 24: Pagoda Selaksa Buddha

Kuil Selaksa Budha. (AGUSTINUS WIBOWO) Kota Gyantse, kota terbesar ketiga di Tibet, terletak di tenggara kota Shigatse. Dulunya kota ini adalah perbatasan Tibet, tempat para pejuang Tibet bertempur melawan Inggris di bawah komando Younghusband. Benteng dzong di atas bukit mendominasi pemandangan kota tua ini, melenggak-lenggok di atas bukit terjal, mengingatkan kita akan kejayaan Tibet masa lalu. Namun sekarang Gyantse menjadi kota kecil yang tenang, perlahan-lahan dirambah modernitas yang berhembus dari Tiongkok. Dulu, Gyantse adalah persimpangan penting jalur perdagangan antara Lhasa dengan Ladakh, Nepal, India, Sikkim, dan Bhutan. Karavan unta dari Ladakh, Nepal, dan Tibet melintas di kota ini, membawa emas, garam, wol, bulu, gula, tembakau, teh, katun, dan sebagainya. Buku-buku yang saya baca menyebutkan bahwa Gyantse adalah kota Tibet yang paling kecil pengaruh China-nya. Tetapi mungkin buku-buku itu sudah terlalu kadaluwarsa. Gyantse pun sudah dipenuhi gedung-gedung tinggi, pertokoan baru, dan orang Han dari Sichuan di mana-mana. Orang China hidup di kota baru, sedangkan kota lama di sekitar kuil Pelkor Chode masih didominasi rumah batu penduduk asli. Daerah kota orang Tibet tertata rapi di sepanjang jalan lebar. Beberapa dari mereka membuka usaha toko yang menjual baju adat dan perlengkapan sembahyang. Beberapa pria nampak sibuk memintal benang wol. Kota ini terkenal dengan [...]

June 3, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 23: Biksu Era Handphone

Biksu era handphone (AGUSTINUS WIBOWO) Salah satu hal yang membuat saya cukup ternganga melihat modernitas Tibet, kehidupan kuno di atap dunia yang diarak menyambut abad milenium, adalah pemandangan biksu-biksu bertelepon genggam. Biksu-biksu muda yang tinggal di Tashilhunpo boleh dibilang beruntung. Setiap bulan mereka mendapat uang saku dari pemerintah. Ada yang 1200 Yuan, ada yang sampai 1400. Yang bertugas menjual karcis lebih tinggi lagi penghasilannya. Ada pula biksu guide, mengajak turis berkeliling kompleks kuil raksasa ini sambil menjelaskan seluk beluk kehidupan umat Budha Tibet dalam bahasa Inggris yang fasih. Mereka memasang tarif yang sama dengan standar pemerintah, 50 Yuan per jam. Dengan adanya penghasilan yang bisa dibilang tidak sedikit ini, para biksu boleh mengikuti kemajuan zaman. Saya diundang masuk ke asrama biksu penjaga pintu di dekat gerbang. Ruangan ini gelap. Cahaya mentari menyeruak masuk dari jendela kayu, membilas wajah kamar kecil dengan tungku di tengahnya. Foto Thubten Gyatso, mendiang Dalai Lama ke-13, dan Choekyi Gyaltsen, mendiang Panchen Lama ke-10, terpajang di dinding. Di sini ada empat biksu muda, berusia antara dua belas sampai delapan belas tahun. Baju mereka merah marun, bersimpang di dada. Kepala mereka botak, seperti layaknya biksu seharusnya. Tetapi menjadi biksu bukan berarti hanya hidup di balik kungkungan biara, [...]

June 2, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 22: Shigatse

Kuil Tashilhunpo (AGUSTINUS WIBOWO) Shigatse, kota terbesar kedua di Tibet, menggeliat dalam modernisasi. Toko-toko orang China bermunculan, sementara para biksu masih larut dalam lautan mantra dan sutra. Kota baru Shigatse bisa dibilang cukup rapi. Toko, apotek, restoran, rumah sakit, hotel, diskotek, kelap-kelip lampu neon bertulis huruf China, semua ada di sini. Bahkan teknik restoran menarik pembeli yang lagi populer di pedalaman China sudah sampai ke sini. Restoran baru bernama “Bu Haochi – Tidak Enak” malah berhasil menarik banyak pelanggan yang penasaran. Warung Sichuan mendominasi pusat kota. Restoran makanan Tibet tergusur ke pinggiran. Sementara sisi lain kota Shigatse, di kompleks perumahan orang Tibet di dekat kuil agung Tashinlhunpo sungguh kumuh. Walaupun jalan sudah beraspal mulus, trotoar nyaman dinaungi rindangnya pohon, berjalan di sini perlu kehati-hatian tingkat tinggi. Kotoran manusia bertebaran di trotoar.  Orang Tibet,  dari anak-anak sampai kakek nenek, laki-laki maupun perempuan, seenak hati tanpa sungkan berhajat di pinggir keramaian. Tashilhunpo adalah salah satu kuil terbesar dan terpenting umat Budha Tibet, khususnya bagi sekte Topi Kuning aliran Gelugpa. Di sinilah dulunya Panchen Lama, pemimpin spiritual Tibet terpenting kedua setelah Dalai Lama, bertahta. Karenanya, dalam Revolusi Kebudayaan ketika tempat-tempat ibadah dan pemujaan di seluruh Tiongkok mengalami kerusakan parah, sebagian besar patung kuno [...]

May 30, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 21: Debat

Para biksu berdebat sengit di Kuil Sera. (AGUSTINUS WIBOWO) Kuil Sera, salah satu dari tiga universitas Budhisme penting di Tibet, terletak lima kilometer di  utara pusat kota Lhasa. Sempat ditutup selama Revolusi Kebudayaan, kini dibuka kembali dan menjadi tontonan para turis yang menyaksikan debat keagamaan setiap hari. Seperti halnya kuil-kuil penting lainnya di Lhasa, Kuil Sera pun menarik karcis dari pengunjung. Orang asing dan orang China membayar 50 Yuan, penduduk Tibet 1 Yuan. Tidak bisa ditawar. Untuk ukuran kantong saya, uang itu termasuk besar. Berat sekali rasanya mengeluarkan uang sebanyak itu untuk tiket masuk tempat ibadah. Saya tak pernah setuju kalau tempat ibadah menarik karcis dengan memaksa. Daripada mendukung materialisasi agama, saya memilih beribadah mengelilingi kuil suci ini. Dalam agama Budha Tibet, mengelilingi tempat suci juga termasuk ibadah. Seperti kora mengitari Kailash dan Manasarovar, atau lingkhor mengitari Potala dan Chokpuri di Lhasa, kuil-kuil suci pun punya lintasan untuk dikelilingi. Di sekitar Kuil Sera, orang Tibet dengan khusyuk melaksanakan ibadah mengelilingi kuil. Mereka mendaki batu-batu cadas, dengan mulut berkomat-kamit dan tangan terus memutar roda sembahyang. Ada barisan silinder emas bertulis mantra suci, setiap kali memutarnya, pahala semakin bertambah. Batu-batu besar di lereng tebing pun dilukis gambar dewa. Ada Yama, Dewa Kematian [...]

May 29, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 19: Biksu Muda

Biksu muda dari Qinghai di depan Istana Potala. (AGUSTINUS WIBOWO) “Tashidelek!” dua orang biksu muda menghentikan saya yang sedang berjalan di jalan raya Lhasa. “Budha memberkati.” Mereka membungkuk. Saya ikut membungkuk, membenturkan kepala kami sebagai tanda salam yang paling terhormat. Jalanan kota Lhasa tak pernah sepi. Bendera warna-warni menghias sepanjang jalan, merayakan 40 tahun berdirinya Daerah Otonomi Tibet. Empat puluh tahun ini, sudah begitu banyak perubahan di atap dunia ini. Mobil hilir mudik di jalan utama yang lapang dan beraspal mulus. Toko-toko berbaris, menunjukkan ekonomi yang sedang berkembang. Restoran Sichuan menebarkan aroma masakan Tiongkok yang menggoda. Orang-orang berpakaian trendi, bersepatu hak tinggi atau bersemir hitam mengkilat, berjalan di ruas jalan yang sama dengan para biksu, pria berjubah bulu, atau perempuan berpakaian tradisional. Lhasa adalah percampuran berbagai unsur kehidupan. Para lama atau biksu hilir mudik di jalanan yang kelap-kelip oleh lampu neon modern, sibuk berbicara dengan telepon genggam mode terbaru. Ada pula yang menikmati jalan-jalan sore di kota, membeli yangrouchuan – sate kambing, dari sebuah warung Sichuan. Para biksu muda di ibu kota ini cukup berduit juga rupanya. Selain membaca sutra dan mantra di dalam kuil, mereka pun keluar merambah kesenangan duniawi di kota ramai. “Tashidelek,” dua biksu berambut pendek nyaris [...]

May 27, 2014 // 6 Comments