Recommended

Articles by Agustinus Wibowo

Titik Nol 116: Karakoram Highway

Kakek tua Haider (AGUSTINUS WIBOWO) Di bawah gunung bertudung salju setinggi 7.790 meter, Desa Karimabad diam dalam keheningan. Di sini waktu mengalir lambat-lambat, ditelan keagungan puncak-puncak raksasa. Di bawah sana terhampar Lembah Hunza—terletak di utara Pakistan, diapit tiga gunung besar: Himalaya, Karakoram, dan Pamir. Jalan raya Karakoram Highway berkelok di pinggang gunung, menghubungkan Islamabad—ibu kota Pakistan—dengan kota kuno Kashgar di negeri Tiongkok. “Perjalanan yang benar-benar menyakitkan,” keluh Al, “Saya memang sudah tua. Perjalanan seperti ini sudah bukan untuk umurku lagi.” Saya dan Al baru saja menempuh perjalanan panjang sampai ke dusun Karimabad di jantung Lembah Hunza. Tujuh jam perjalanan Lahore–Rawalpindi plus 22 jam dengan bus menyusuri Karakoram Highway, dan masih ditambah lagi dua jam perjalanan sampai ke Karimabad. Jalannya berkelak-kelok, naik turun, bolong-bolong. Namanya juga jalan gunung. Gunung-gunung di bagian utara Pakistan mengisolasi wilayah pedesaan di seluruh provinsi Northern Areas (NA) di dataran tinggi ini. Ajaib, di liukan tajam punggung bukit, di tepi jurang dengan air sungai yang menggelegak, bisa dibangun jalan raya beraspal yang menghubungkan Pakistan-China, menghidupkan kembali perdagangan Jalur Sutra, dan menyembulkan dusun-dusun Hunza ke atas peta. Namun, bagi Al, itu adalah siksaan. Tak pernah ia semenderita ini. “Masa tak ada pesawat terbang ke Gilgit?” ia mengeluh lagi. [...]

February 2, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 115: Mencari Identitas

  Sudahkah saya seperti orang Pakistan? (AGUSTINUS WIBOWO) “Bhai jan, aku sudah seperti orang Pakistan? Bagus tidak?” tanya pria Inggris ini kepada sopir rickshaw, memamerkan pakaian shalwar kamiz yang baru saja didapat dari tukang jahit seharga 1.000 Rupee. Bukan hanya sopir rickshaw, tapi semua orang Pakistan yang dijumpai – tukang jual pisang, penjaga losmen, toko obat, sopir taksi, kondektur bus,… Namanya Al Malik, warga negara Inggris keturunan Pakistan. Umurnya tiga puluhan, tetapi masih belum menikah. Tubuhnya tambun, wajahnya ditumbuhi kumis dan jenggot pendek, tajam-tajam seperti duri. Pandangannya menghunus tajam dari matanya yang berwarna coklat indah itu. Saya pertama kali berjumpa dengannya dalam pertunjukan malam Sufi, di mana ia terpesona oleh suasan mistis yang menghanyutkan. Juga meriahnya musik qawwali yang membuatnya merasa telah mencapai tujuan perjalanannya. Dalam sebulan terakhir, Al telah  mengunjungi empat negara Muslim – Turki, Suriah, Iran, dan sekarang Pakistan. “Suriah, aha, negara itu sangat bebas. Tehran sangat modern. Tetapi justru di sini, di Pakistan, aku menemukan apa yang aku cari. Kesenian Islam modern yang inovatif!” katanya dalam bahasa Inggris dengan logat Britania yang kental. Al, menurut pengakuannya sendiri, adalah pengamat seni. Ia mengunjungi negeri-negeri Muslim untuk mencari kesenian Islam kontemporer, modern, yang bakal digemari penikmat seni Eropa. Kemarin [...]

January 30, 2015 // 10 Comments

Titik Nol 114: Malam Sufi

Berputar… berputar… berputar… (AGUSTINUS WIBOWO) Asap hashish mengepul, memenuhi ruangan yang penuh sesak oleh ratusan pria ini. Genderang bertambur bertalu-talu, menghipnotis semua yang ada. Dua orang pria berputar-putar di tengah lingkaran, bergedek bak pecandu ekstasi. Semua lebur dalam kecanduan spiritual. Sufisme, dikenal juga sebagai tasawuf, adalah aliran mistis dalam Islam yang percaya bahwa mendekatkan diri kepada Tuhan tidak hanya bisa melalui satu cara saja, termasuk musik dan tarian. Di Asia Tengah dan anak benua India, Sufisme adalah bagian dari budaya Islam itu sendiri. Kamis malam, bulan bersinar terang merambah kegelapan, susasana kuburan Baba Shah Zaman di daerah kota tua Ikhra di Lahore seakan melemparkan saya ke alam magis. Daerah ini seakan hidup dalam dunianya sendiri, dalam dunia yang berbeda dengan hiruk pikuk modernitas kota Lahore. Saya menyusuri anak tangga menuju ke makam suci ini. Semua orang harus melepas sandal di depan pintu. Di balik pintu gerbang, ada halaman berlantai pualam. Di sini hanya ada laki-laki. Perempuan dilarang masuk. Ratusan pria berjubah shalwar kamiz berusaha menerobos masuk ke halaman sempit yang terbatas ini. Saya mendapat tempat di antara kerumunan pria berjenggot. Semerbak baru harum bunga mawar bercampur dengan asap yang mengepul di mana-mana. Bau hashish, candu, menusuk dalam-dalam. “Ini adalah cara [...]

January 29, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 113: Qawwali

Musik qawwali, mistis dan menghanyutkan (AGUSTINUS WIBOWO) Hanya beberapa jengkal dari perbatasan India, denyut jantung kehidupan Pakistan langsung bervibrasi kuat. Ada dunia lain di balik garis perbatasan itu. Dalam sekejap, India yang penuh warna, pertapa Hindu miskin yang berkeliaran, orang yang tidur di atas trotoar, serta peziarah Sikh dengan surbannya yang khas, tinggal kenangan. Kota Lahore yang terhampar di hadapan terasa gersang. Debu beterbangan. Para pria mengenakan pakaian yang sama semua – celana kombor shalwar dan jubah kamiz yang panjangnya sampai ke lutut dengan belahan di kedua tepinya. Warna shalwar dan kamiz biasanya sama, memberikan aksen monoton. Perempuan hampir tidak nampak sama sekali. Kalaupun terlihat di jalan, hanya satu atau dua, mengenakan cadar hitam pekat dan hanya menyisakan sepasang mata saja. Selamat datang di Republik Islam Pakistan. Tubuh saya lemah karena penyakit yang saya derita. Nafsu makan saya sudah mulai normal, tetapi sekarang saya harus berhati-hati memilih makanan. Kalau di Amritsar kemarin saya masih bisa menenggak sup China yang lezat dan bergizi, di Pakistan saya kesulitan kesulitan mencari makanan. Semuanya berminyak. Gara-gara penyakit kuning ini, saya selalu mual kalau melihat minyak. Akhirnya, saya terpaksa duduk di restoran mewah bernama Pizza Hut, di pinggir jalan utama Mall Road. Restoran ini terletak [...]

January 28, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 112: Gerbang Kemerdekaan

Bus bersejarah itu pun tiba di wilayah India (AGUSTINUS WIBOWO) “Pakistan memang diciptakan untuk membuat jarak antara kita dan mereka, memecah belah persaudaraan kita. Tak perlu kita teruskan lagi [permusuhan ini].” Demikian sebuah koran India menurunkan artikel di rubrik opini. Kedua negara tetangga ini sudah berseteru sejak kelahirannya. Pakistan tercipta dari British India tahun 1947 ketika umat Muslim India minta diberi negara sendiri. Pakistan berarti ‘Negeri yang Murni’, cita-cita luhurnya adalah negara umat Muslim yang berdiri di atas kesucian dan kemurnian Islam. Tetapi, pertikaian dan perselisishan selalu mewarnai sejarah kedua negara, menyebarkan benci yang merayap sampai ke sanubari rakyat jelata. Ingat kasus bom di New Delhi yang serta merta membuat orang India langsung menunjuk hidung Pakistan sebagai kambing hitam? Ingat betapa susahnya orang India mendapat visa Pakistan dan juga sebaliknya? Orang India menggunakan kata Pakistan sebagai umpatan yang paling kasar – “Chalo Pakistan!”, artinya “Enyahlah ke Pakistan”. Mengapa Pakistan selalu digambarkan sebagai tempat bak neraka yang penuh kesengsaraan? Mengapa imej Pakistan di India hanya hitam dan kelabu? India dan Pakistan punya garis perbatasan sekitar 3000 kilometer, tetapi hanya satu perbatasan resmi yang dibuka. Perbatasan Wagah teramat sepi, kecuali di sore hari ketika upacara penurunan bendera berlangsung. Tak banyak orang yang [...]

January 27, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 111: Negeri Berjuta Warna

Negeri berjuta warna (AGUSTINUS WIBOWO) Hindustan, negeri Bharat yang jaya, meninggalkan berbagai kenangan. Berjuta warna satu per satu diputar kembali dalam memori saya, ketika matahari mulai perlahan-lahan terbenam menerbakan semarak senja di kota Amritsar. Ini adalah senja terakhir yang saya lihat di negeri ini. Saya datang ke India dengan secarik mimpi. Mimpi yang saya dapatkan dari beberapa film Bollywood yang pernah saya tonton. Gadis cantik berpakaian bak putri raja tinggal di rumah seperti istana, mengejar cintanya pada pangeran tampan, yang kemudian menari bersama diiringi ratusan orang yang entah muncul dari mana. Mimpi Hindustan yang saya bawa adalah mimpi tentang kehidupan gemerlap, semua orang kaya, punya mobil mewah, punya lusinan pembantu, sopir berseragam, kepala rumah tangga yang cerdas, dan helikopter di atap rumah. Tetapi, secuil Hindustan tempat saya menginjakkan kaki pertama kali adalah stasiun kota Gorakhpur, di mana pengemis bocah merintih tanpa henti, sapi berkeliaran di dalam peron, dan orang yang tidur di lantai tanpa alas. Selanjutnya adalah New Delhi yang penuh dekan tukang tipu di pasar, teriakan “Hallo! Hallo!”, bau pesing, jalan bolong-bolong, losmen tempat pasangan manusia mengumbar nafsu birahi, penderita kusta dan tumor terbaring tak berdaya di pinggir jalan yang hiruk pikuk oleh pejalan lalu-lalang namun tak satu pun [...]

January 26, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 110: Chalo, Pakistan

Bendera Pakistan dan India turun bersamaan (AGUSTINUS WIBOWO) Pakistan di hadapan mata. Perasaan berdosa menyelimuti diri saya. Mengapa saya masih belum juga melintas gerbang perbatasan itu? Enam minggu yang lalu, saya bersorak gembira ketika visa Pakistan tertempel di paspor saya. Orang-orang Kashmir menyemangati saya, dan ikut merayakan kemenangan perjuangan visa saya. Tawa itu, air mata kebahagiaan itu, tak akan pernah saya lupakan. Tetapi, bukannya cepat-cepat berangkat ke Pakistan, saya masih menyempatkan bermain ke Rajasthan, dengan justifikasi untuk menenangkan diri setelah frustrasi berhari-hari di New Delhi. Banyak pengalaman menarik yang saya alami, membuat saya semakin betah di India, semakin melupakan Pakistan. Hingga pada akhirnya datang penyakit ini – kuning merambah mata dan tubuh, lemas melambatkan langkah, rasa mual mengeringkan perut. Mungkin peringatan dari Tuhan, mungkin pula hukuman karena saya melupakan komitmen sendiri. Saya berdiri di depan pintu perbatasan, tertunduk lesu. Sementara di sekeliling saya suasana gegap gempita menggelorakan jiwa nasionalisme India. “Bharat mata ji, jay! Bunda India, jayalah!” ribuan orang India bersorak sorai di depan perbatasan Pakistan. Genderang bertalu-talu. Gemuruh siswa sekolah serempak melantunkan    “Hindustan Zindabad! Hindustan Zindabad! Hidup India! Hidup Hindustan!” Perbatasan India dan Pakistan terletak tepat di antara kota Amritsar dengan Lahore. Dulu, sebelum India dan Pakistan dibelah, [...]

January 23, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 109: Sikh

Mencelupkan diri dalam air danau suci (AGUSTINUS WIBOWO) Danau suci memantulkan bayangan kuil emas bersinar gemerlap. Mantra mengalun tanpa henti dengan iringan nada datar musik lembut. Saya terpekur di bawah keagungan tempat ini. Perjalanan panjang dari New Delhi ke Amritsar di negara bagian Punjab membuat tubuh saya semakin lemas. Mata saya kembali kuning karena kelelahan sepanjang malam. Tetapi entah mengapa, di hadapan kuil emas yang menjadi tempat paling suci bagi umat Sikh, saya merasa segala letih dan sakit lenyap seketika. Tempat ini adalah gurdwara paling terkenal, kebanggaan umat Sikh di seluruh dunia. Gurdwara adalah kuil peribadatan pemeluk Sikh. Gurdwara di Amritsar, nama resminya Harmandir Sahib, berwarna emas, bersinar gemilang diterpa sinar matahari pagi. Kuil ini terletak di tengah danau berbentuk persegi. Tanah di sekitarnya berupa lantai pualam. Amritsar semula adalah nama danau ini. Amrit Sarovar berarti danau air suci. Kemudian menjadi nama kompleks kuil ini. Sampai akhirnya, seluruh kota ini dinamai Amritsar. Danau ini begitu suci. Ratusan umat Sikh mencelupkan diri ke dalam airnya yang sejuk. Ritual mandi ini bukan sekadar membasuh diri secara badani, tetapi punya juga pembasuhan dan penyucian jiwa spiritual. Ada sedikitnya 15 juta penganut agama Sikh di India. Pria Sikh dikenali dengan mudah dari turban mereka [...]

January 22, 2015 // 6 Comments

Titik Nol 108: Dukun

Kakek sakti itu melarang saya menenggak obat-obatan dokter yang saya terima dari rumah sakit (AGUSTINUS WIBOWO) Air lucah terciprat dari mulutnya, membasahi wajah saya yang menguning. Kakek tua ini adalah dukun sakti. “Tiga hari lagi, kau akan sembuh!” Siapa yang tak kenal kakek tua ini. Semua orang di pasar Paharganj menganjurkan saya mencarinya. “Kawan,” kata seorang pedagang buku bekas, “maafkan saya kalau lancang. Kamu kena jaundis?” Saya mengangguk. “Saya kenal seorang sakti di Paharganj sini. Semua penderita hepatitis sembuh total dalam hitungan hari. Dan penyakit kuning itu tidak akan muncul kembali.” Si pedagang buku itu menceritakan kesaksiannya. Dulu dia langganan menderita jaundis, setiap tahun selalu kena. Sampai suatu hari, kawan-kawannya mengajaknya untuk bertemu dengan dukun Hindu yang sakti ini. “Saya sebenarnya ragu,” ceritanya, “siapa yang percaya dengan dongeng seperti ini? Tetapi si kakek tua itu tenang sekali. Suaranya datar namun tegas. ‘Saya akan membayarmu seribu rupee kalau penyakitmu ini kambuh lagi tahun depan!’” Dan ajaib, sakit kuningnya tinggal kenangan. Sebenarnya saya tidak terlalu percaya dengan sihir-sihiran atau sakti-saktian. Tetapi dalam keadaan lemah seperti ini, terjepit oleh visa India yang akan habis tiga hari lagi, saya pun berpikir tidak ada salahnya mencoba. Menyusuri gang-gang Paharganj yang ruwet seperti benang kusut untuk [...]

January 21, 2015 // 8 Comments

Titik Nol 107: Dipertemukan oleh Takdir

Mahasiswi kedokteran menempuh ujian praktek (AGUSTINUS WIBOWO)           “Bagaimana keadaanmu?” tanya dokter Gurpreet ramah. Kulitnya hitam manis, rambutnya tergerai. Wajahnya cantik sekaligus nampak sangat terpelajar. “Kamu suka tinggal di rumah sakit ini?” Saya mengangguk. Suka dan duka bercampur di sini. Selain pasien-pasien India yang ramah dan murah hati, dokter-dokter muda di sini juga sangat perhatian. Dokter Gurpreet sedang sibuk belajar untuk ujian minggu depan, tetapi masih menyempatkan waktu mendengarkan kisah-kisah perjalanan saya. Saya pun senang dengan perhatiannya. “Hari ini,” kata dokter Gurpreet, “kami mau minta tolong lagi. Kamu masih mau kan jadi bahan ujian?” Nampaknya saya juga tak punya banyak pilihan. Kemarin tiga sesi pemeriksaan oleh mahasiswi pesera ujian sangat melelahkan. Hari ini saya harus diperiksa lima orang. Masing-masing satu jam. Sebagai pasien, ‘jam kerja’ saya ternyata lumayan banyak juga. Kalau kemarin pemeriksaannya menyenangkan karena sebentar-sebentar, sekarang saya dijadikan contoh kasus long case.. Mahasiswi tidak hanya mendiagnosa temperatur dan tekanan darah saja, tetapi menanyakan masa lalu saya. “Sudah pernah melakukan hubungan seksual?”, “Berapa kali? Memakai alat kontrasepsi kah?”, “Pernah menghisap madat?”, “Bagaimana lingkungan pergaulanmu?”, dan berbagai pertanyaan privasi lainnya. Ada mahasiswi yang juga mengukur tinggi dan berat badan segala, padahal saya cuma penderita [...]

January 20, 2015 // 10 Comments

Titik Nol 106: Opname

Fasilitas rumah sakit Lady Hardinge (AGUSTINUS WIBOWO) “Selamat pagi!” Suntikan vitamin K itu menjurus tajam melintasi pembuluh vena, tepat ketika saya baru membuka mata. Suster kembali memasang jarum infus. Sakit. Sepanjang malam cairan gula disuntikkan terus-menerus ke dalam tubuh saya. Tak sebutir pun nasi mengalir melalui mulut saya. Semuanya ditembakkan langsung ke pembuluh darah. Rombongan dokter India ‘berpatroli’ dari ranjang ke ranjang. Saya dikelilingi delapan orang dokter, semua berjubah putih. Ada bu dokter yang berambut tergerai, ada pak dokter yang gemuk, berkumis tebal dan berkaca mata. Ada yang menginterogasi, ada yang mencatat. “Bagaimana keadaanmu?  Sudah mendingan? Bagaimana tidurnya? Apa warna air seninya?” Di sebelah saya ada seorang Amerika yang juga diopname tanpa alasan jelas. Turis Amerika yang satu ini tampaknya kelelahan, keliling seluruh penjuru India dari Shimla sampai Tamil Nadu, dari Rajasthan sampai Bengal, hanya dalam waktu satu bulan. Kalaupun sakit itu sudah wajar. Dia hanya menderita pusing-pusing, lemas, dan diare, dokter sudah memerintahkan opname. Saya sendiri sebenarnya penyakitnya ringan saja. Berapa juta penduduk India yang kena hepatitis kelas berat? Pasien di ranjang sebelah dari ujung kepala sampai ujung kaki warnanya kuning mengerikan. Di luar sana banyak pasien yang menderita TBC, kusta, tumor, dan penyakit seram lainnya, yang harus menunggu [...]

January 19, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 105: Ruang Gawat Darurat

Anjing di ruang gawat darurat (AGUSTINUS WIBOWO) Jarum infus disuntikkan ke tangan saya yang sudah menguning. Saya ingin berbaring, tapi tak bisa. Sudah ada dua orang lain di atas dipan. Mata kuning pekat pasien-pasien lain membuat saya semakin takut. Sementara anjing kecil berkeliaran di antara kasur ruang gawat darurat rumah sakit ini. Rumah Sakit Lady Hardinge didirikan lebih dari 90 tahun lalu ketika Ratu Mary mengunjungi New Delhi. Sekarang rumah sakit yang merangkap sebagai sekolah kedokteran ini adalah salah satu yang paling direkomendasikan di ibu kota. Saya pun menaruh harapan kesembuhan dari penyakit kuning. Tetapi perjuangan masih panjang. Ratusan orang lalu lalang tanpa henti di halaman rumah sakit. Gedungnya besar sekali, saya tak tahu harus ke mana. Puluhan perempuan duduk bersila di atas lantai karena tidak ada cukup tempat duduk. Sampah berserakan di mana-mana. Tak ada tempat bertanya karena semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Orang sakit punya egoisme yang tinggi juga. Susah payah saya menemukan ruang konsultasi. Sudah ada antrean dua puluhan pasien perempuan. Masing-masing membawa formulir registrasi. “Di mana kita bisa mendapat formulir?” saya bertanya pada seorang pasien yang menutup wajahnya dengan kerudung. Ia tak memberi jawaban jelas. Pertama kali seumur hidup saya merasakan diinfus. Sekujur tubuh sudah [...]

January 16, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 104: Terkapar di New Delhi

Stasiun kereta api Chhatrapati Shivaji Terminus (AGUSTINUS WIBOWO) Tak ada jalan lain bagi saya untuk segera kembali ke Delhi. Penyakit kuning yang saya derita semakin parah. Tubuh saya lemas. Tetapi Delhi lebih dari seribu kilometer jauhnya, dua puluh empat jam perjalanan yang berat dengan kereta. “Mungkin kamu harus pulang, Gus, jangan memaksakan perjalanan ini,” saran seorang teman dari Jakarta. “Hepatitis, itulah keadaan di mana banyak backpacker mengakhiri pengembaraannya,” seorang kawan backpacker senior dari Inggris menulis email. “Hepatitis adalah penyakit di mana seorang harus istirahat, bed rest total, satu bulan penuh minimal. Sebaiknya memang kamu pulang,” tulis yang lain. Tetapi saya tak mau berakhir di sini. Saya tak mau menyerah dengan penyakit ini. Dari sekian banyak surat dari kawan, hanya satu yang menyemangati saya untuk terus maju. “Jangan menyerah, Gus. Maju terus. Gue yakin kamu pasti bisa,” tulis Andi Lubis, seorang wartawan senior di Medan. Sepatah kalimat pendek itu yang membuat saya terus bertahan. Saya yakin saya pasti bisa, mencapai cita-cita saya melihat ujung dunia. Saya tak gentar perjalanan panjang kereta api menuju New Delhi. Saya harus segera sampai ke Pakistan, di mana gunung-gunung salju pegunungan Himalaya dan Karakoram akan menjadi tempat saya beristirahat. Hati saya dipenuhi segala macam rancangan, impian, [...]

January 15, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 103: Mimpi di Air Keruh (2)

Tukang setrika berpose dengan bajunya yang terbaik (AGUSTINUS WIBOWO) “Tunggu dulu,” kata Muhammad, lelaki dari Bihar. Kulitnya hitam, matanya kuning tak bercahaya. Senyum bahagia tersungging di wajahnya. Ia memilih pakaiannya yang paling bagus, jubah panjang berwarna coklat bermotif bunga-bunga emas. “Sekarang kamu boleh potret saya,” katanya. Dengan bangga ia berpose di ruang kerjanya yang sempit, pengap, dan kumuh. Muhammad adalah tukang setrika. Tumpukan ratusan baju dari dhobi ghat Mahalaksmi mengalir ke ruang sempit ini. Setrika andalannya entah berasal dari zaman mana sebelum saya lahir. Bentuknya sederhana. Tebal lempeng besinya hanya sekitar tiga sentimeter. Pegangannya sudah dibalut banyak tembelan. Kabel listrik yang sudah melintir tertancap pada salah satu sudut setrika itu. Seperti Vinoj si tukang cuci, dulu Muhammad juga datang ke Mumbai dengan sebongkah mimpi. Mimpi yang sama pula. Nasibnya pun tak jauh berbeda, berakhir di ruangan kecil bertembok merah muda, dengan dinding yang sudah terkelupas di mana-mana. Tempat tinggal Muhammad tak jauh dari dhobi ghat. Ini adalah kampung para penjemur dan tukang setrika. Saya melihat lautan kain putih tergantung di tambang yang berseliweran di lapangan ini. Tanahnya tertutup beberapa lapis sampah, mulai dari kulit pisang, plastik, kertas.. Bau busuk menyebar ke mana-mana. Di sinilah mereka tinggal. Rumah-rumah kecil dan sederhana [...]

January 14, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 102: Mimpi di Air Keruh

Pencucian dhobi ghat di Mahalaksmi (AGUSTINUS WIBOWO) Di antara beragam suratan nasib yang diterima umat dari berbagai kasta, ada jutaan yang ditakdirkan menjadi dhobi, tukang cuci. Di kota Mumbai, para dhobi tenggelam dalam perkampungan kumuh yang terbentang menggurita tersembunyi bisnis binatuan terbesar di Asia. Sebut saja Vinoj. Pria berusia tiga puluhan tahun ini berasal dari propinsi Bihar, dua ribu kilometer jauhnya dari sini. Sepuluh tahun lalu, Vinoj datang ke Mumbai membawa sebongkah mimpi—hidup makmur bergelimang harta, bangkit dari kenistaan kemiskinan di kampungnya. Ini adalah mimpi yang sama dengan puluhan juta manusia lainnya yang menghuni kawasan miskin di kota metropolis ini. Tetapi kota ini sudah terlalu penuh sesak oleh orang-orang penuh mimpi seperti Vinoj. Kota ini kejam, rodanya menggilas mereka-mereka yang hanya datang dengan mimpi. Sudah belasan juta mulut yang mengais rezeki di sini. Tak semua orang seberuntung artis Bollywood. Nasib Vinoj, istri, dan kedua anaknya berakhir di dhobi ghat, di antara ruas-ruas batu, air keruh, dan ratusan ribu helai kain. Ghat, dalam bahasa Sansekerta, berarti anjungan di pinggir sungai, biasanya untuk membasuh tubuh. Di tepian sungai Gangga atau di tepi danau suci Pushkar tersedia undak-undakan tempat umat Hindu melakukan mandi suci. Dhobi ghat adalah ghat untuk para dhobi—tukang cuci. Bentuknya [...]

January 13, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 101: Dua Dunia

Pemukiman kumuh bertumbuh bersama metropolis modern (AGUSTINUS WIBOWO) Mumbai adalah dua dunia yang hidup bersama, kontras-kontras yang saling berpadu, membentuk sinergi warna-warni kehidupan yang dinamis, energik, namun juga penuh derita dan air mata. Tak seharusnya saya mengeluh terlalu banyak dengan penyakit kuning yang saya derita. Setidaknya saya masih bisa tidur di atas kasur, minum air gula banyak-banyak, berjalan-jalan, memotret, dan segala kenikmatan lain yang mungkin hanya mimpi bagi para gelandangan yang tidur beralas kertas karton di trotoar. Saya tinggal di daerah Colaba di selatan Mumbai atau Bombay. Daerah ini hiruk pikuk. Gedung megah berarsitektur kolonial berbaris rapi. Jalan beruas-ruas, sempit, digerayangi mobil-mobil mewah. Orang-orang Mumbai yang berlalu lalang berpacu dengan modernitas. Tak sedikit perempuan yang bermake-up tebal, memakai baju dengan mode terkini. Yang pria pun bertubuh kekar, berpakaian ketat, seperti bintang Bollywood. Imej India yang ditemukan dari film-filmnya memang ada di sini. Tetapi, di distrik yang sama, di tempat di mana orang-orang kelas atas berlalu lalang membeli pakaian terkini dan makanan menu internasional, hidup pula kelompok manusia kelas bawah. Ada ibu dan tiga anaknya yang terpejam pulas di trotoar. Ada pula yang tidur di atas kereta dorong kaki lima. Air liur mengalir di pipi pria muda ini, ia larut dalam [...]

January 12, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 100: Sakit Kuning

Kereta api menuju Mumbai (AGUSTINUS WIBOWO) Tubuh saya lemas. Tenggorokan kering. Tak ada nafsu makan sedikit pun.. Saya sempat muntah beberapa kali, yang keluar hanya cairan bening. Dengan keadaan yang lemas ini saya masih harus bersaing dengan puluhan penumpang yang tidak sabaran. Semua orang punya karcis, seharusnya tidak perlu berebut. Tetapi jangan berdiskusi soal kebiasaan buru-buru. Orang India selalu berebut setiap kali naik atau turun kendaraan, seolah-olah mereka adalah manusia super sibuk yang selalu dikejar waktu. Padahal di saat lainnya biasa berleha-leha membuang waktu yang tak berharga. Saya membeli karcis yang agak mahal, sebuah ranjang yang bisa digunakan untuk tidur sepanjang perjalanan panjang dari Jaipur ke kota Mumbai di selatan. Satu kompartemen terdiri dari empat ranjang, masing-masing dua susun berhadap-hadapan. Saya memilih ranjang di bawah karena takut terjatuh kalau tertidur dalam kereta yang berguncang-guncang hebat. Perjalanan ini melintasi jarak 1.200 kilometer, membuat saya akan meloncat langsung dari warna-warni tradisional Rajasthan menuju kota metropolis Mumbai yang sering muncul di film-film glamor Bollywood. Tetapi saya tidak berpikir apa-apa. Saya hanya ingin tidur sepanjang perjalanan ini. Tak bisa tidur. Ranjang bawah tempat tidur saya berfungsi sebagai tempat duduk para penumpang sekompartemen. Mereka makan dan minum sepanjang perjalanan. Bocah-bocah bersenda gurau, menumpahkan bumbu masala [...]

January 9, 2015 // 9 Comments

Titik Nol 99: Pelecehan

Kejorokan ada di mana-mana (AGUSTINUS WIBOWO) Pagi yang gelap gulita di kamar losmen yang gelap. Saya justru mengalami peristiwa paling memalukan dalam hidup saya di sini. Saya terbaring lemah di atas kasur. Sejak kemarin malam hingga pagi ini, saya mengalami diare hebat. Sebenarnya di India, diare sudah menjadi akrab dengan kehidupan sehari-hari saya di sini. Satu minggu kalau tidak diare malah aneh rasanya. Tetapi kali ini, bukan hanya diare, tubuh saya begitu lemah sampai bangun pun susah. Sebuah kamar sempit di lantai dua losmen murah adalah tempat tidur saya. Untuk ke kamar mandi pun saya harus keluar, berjalan beberapa meter, turun tangga, dan membuang hajat. Kali ini, untuk naik dan turun tangga pun rasanya sudah menjadi penderitaan hebat. Mengapa saya jadi selemah ini? Saya tak tahu jelas. Mungkin kurang minum, tetapi sekarang untuk keluar beli air minum pun saya tak kuat lagi. Gelap gulita. Listrik padam lagi, seperti biasa. Di kota ini, karena ada krisis listrik, setiap pagi listrik dipadamkan selama dua jam. Ini pemadaman rutin, tetapi membuat saya semakin menderita. Sinar matahari tak masuk ke kamar saya yang lebih mirip penjara ini. Kipas angin tak berputar. Gerah. Pengap. Saya menghirup nafas perlahan, menghembus lagi. Perut rasanya sakit sekali, rasa [...]

January 8, 2015 // 19 Comments

Titik Nol 98: Pernikahan Ganda

Sepasang pengantin (AGUSTINUS WIBOWO) ‘Cantik’, adalah kata yang terlalu sederhana untuk melukiskan kedua gadis ini. Emas bertabur di sekujur tubuh mereka, dari dahi hingga ke ujung kaki. Keduanya tertunduk di sudut ruangan, dengan kepala terbungkus kerudung merah. Keduanya, bersama-sama, akan menapaki bahtera kehidupan bersama pria yang tak mereka kenal. Arak-arakan barat pengiring Muhammad Salim, sang pengantin pria, datang ke rumah Aman, disambut gegap gempita bunyi terompet dan tetabuhan. Akad nikah akan dilangsungkan di rumah ini, rumah dulhan – mempelai wanita. Pernikahan Muslim India sebenarnya mengikuti aturan upacara adat yang mirip dengan pernikahan Hindu, hanya berbeda aturan-aturan keagamaannya. Misalnya mehndi – pembubuhan warna-warni di tangan dan kaki, jehez – mas kawin dari pihak perempuan, barat – arak-arakan untuk menjemput pengantin perempuan, perhitungan hari baik dan tanggal baik berdasar astrologi, semuanya ada dalam kultur umat Hindu. Tetapi pernikahan Muslim lebih menonjolkan unsur kesederhanaan. Kesan gegap gempita penuh warna-warni tak terlalu nampak di sini. Selain itu, pemisahan laki-laki dan perempuan sangat ketat. Tamu perempuan yang datang langsung digiring ke dalam rumah, untuk berkumpul dengan pengantin perempuan. Tamu laki-laki di lapangan terbuka, di bawah terpal, bersama pengantin pria. Pengantin tak bersanding, para tamu pun dipisahkan berdasar jenis kelamin. Sang dulha, pengantin pria, berkalung bunga-bunga. [...]

January 7, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 96: Dunia Tikus

Tikus-tikus suci dari kuil Karni Mata (AGUSTINUS WIBOWO) India, negeri raksasa dengan semilyar penduduk, beratus bahasa, lusinan agama yang memuja berlaksa dewa. Segala macam budaya, pemikiran, keajaiban berpadu, berbenturan, melebur menjadi satu. Dan salah satu hasilnya – kuil pemujaan tikus. Alkisah hidup seorang suci atau dewi bernama Shri Karni Mata, Sang Bunda Karni, berasal dari kasta Charan. Karni Mata melakukan banyak mukjizat dan dipercaya sebagai titisan Dewi Durga, Sang Dewi Perang. Suatu hari, seorang bocah kerabatnya meninggal dunia. Karni Mata langsung bertemu dengan Yama, Dewa Kematian, untuk memintanya menghidupkan kembali nyawa anak yang malang itu. Yama menolak karena roh bocah itu sudah menitis. Karni Mata naik pitam. Ia bersumpah bahwa untuk seterusnya roh kasta Charan akan menitis sebagai tikus dan lepas dari campur tangan Yama. Itulah asal muasal 20.000-an ekor tikus hitam yang berlarian ke sana ke mari di chua mandir, kuil tikus. Kuil Karni Mata di desa padang pasir Deshnok, 20 kilometer di selatan kota Bikaner di tepi barat Rajasthan. Dari luar mandir (kuil) ini nampak biasa saja. Tetapi di balik pintu gerbang tinggi berwarna emas itu, ada pemujaan yang tiada duanya di dunia – pemujaan tikus. “Ini bukan tikus biasa,” kata penjaga kuil, “ribuan kaba (tikus) yang ada [...]

January 5, 2015 // 13 Comments

1 2 3 4 18