Recommended

Lockdown ala Wuhan (3): Teknologi Pelacakan Modern

Warga Wuhan diwajibkan untuk memindai Kode Kesehatan untuk bisa naik MRT. (Foto: AP)

Lockdown tidak mungkin dijalankan terus-terusan. Kehidupan masyarakat yang normal perlahan-lahan harus dipulihkan. Seiring dengan semakin terkendalinya wabah corona di Wuhan dan Provinsi Hubei pasca diberlakukannya lockdown, pemerintah Cina kemudian berusaha menggerakkan warganya untuk kembali bekerja secara normal. Tentu ini sangat berisiko, mengingat pandemi Covid-19 belum sepenuhnya berlalu.  

Demi mencegah wabah kembali merebak luas, pemerintah Cina telah menerapkan mekanisme pemantauan yang sangat sistematis terhadap pergerakan warganya. Para petugas di dikerahkan di stasiun kereta api, hotel, maupun gerbang kompleks hunian, untuk mencatat data semua orang yang bepergian, mulai dari nama, nomor KTP, nomor telepon, sampai histori perjalanan terkini. Di sejumlah kota, warga bahkan diwajibkan meregistrasi nomor telepon melalui aplikasi sebelum diizinkan menggunakan transportasi publik.   

Belakangan Cina juga menggunakan inovasi teknologi mutakhir untuk memperkuat kemampuan mereka dalam melacak penyebaran virus. Melalui telepon pintar masing-masing, setiap warga Cina akan mendapatkan “Kode Kesehatan” (健康码) berbentuk kode QR dalam tiga warna. Warna kode ini menunjukkan status kesehatan orang tersebut dan seberapa bebas dia boleh bepergian:

Hijau berarti bebas bepergian ke mana pun.

Kuning berarti harus tinggal di rumah selama 7 hari.

Merah berarti harus karantina 14 hari.

Kode Kesehatan tiga warna yang saat ini diberlakukan di Cina.

Kode Kesehatan adalah semacam “surat jalan digital”. Sejumlah kota di Cina saat ini telah mewajibkan para calon penumpang bus, kereta api, dan MRT untuk memindai Kode Kesehatan, demi menyaring siapa saja yang dianggap aman untuk menggunakan layanan transportasi. Banyak pula restoran, toko, perkantoran, maupun kompleks perumahan yang mewajibkan hal yang sama bagi semua pengunjung yang berniat masuk.  

Kode Kesehatan ini terhubung dengan dua aplikasi utama yang dipakai di Cina, yaitu aplikasi pesan instan Wechat (lebih dari 1 miliar pengguna) dan aplikasi pembayaran Alipay (900 juta pengguna). Mekanisme Kode Kesehatan ini pertama kali dikembangkan di kota Hangzhou, kini telah diaplikasikan di lebih dari 200 kota di Cina, dan akan diperluas ke seluruh penjuru negeri.

Ada dua faktor yang menentukan warna Kode Kesehatan. Yang pertama adalah kondisi kesehatan fisik yang dilaporkan pengguna, misalkan apakah suhu badannya di atas normal atau apakah dia menderita gejala menyerupai Covid-19. Yang kedua adalah histori perjalanannya, yaitu apakah dia pernah berkontak dekat dengan pembawa (carrier) virus corona. Karena itu, warna Kode Kesehatan bisa berubah-ubah sesuai keadaan. Misalkan, seseorang yang kodenya berwarna hijau, makan di sebuah restoran yang kebetulan pada saat yang sama didatangi oleh seorang penderita corona, maka kode QR orang itu bisa otomatis berubah menjadi kuning atau merah.  

Kode Kesehatan ini adalah sebuah teknologi canggih yang mengaplikasikan kecerdasan buatan berdasar Mahadata (Big Data). Setiap kali seseorang memindai kode QR menggunakan gawainya, maka semua informasi mengenai jati dirinya, alamat tinggalnya, kondisi kesehatannya, hingga lokasi keberadaannya akan secara otomatis terkirim ke server. Data ini kemudian disimpan dan dikomputasi untuk menentukan apakah orang itu pernah berada di tempat yang sama dan pada waktu yang sama dengan seorang pembawa virus.

Data seperti ini sangat berguna untuk melacak siapa saja orang-orang yang harus diawasi dan diisolasi. Berdasarkan data ini, ketika seseorang telah didiagnosis positif corona, maka semua orang yang pernah berdekatan dengannya dalam 14 hari terakhir otomatis akan terlacak juga. Semua orang itu kemudian akan mendapat perintah karantina melalui Kode Kesehatan di telepon masing-masing.

Sistem pelacakan menggunakan aplikasi gawai yang serba otomatis ini memungkinkan pelacakan yang lebih cepat, lebih luas, lebih praktis, dan lebih bisa diandalkan dibandingkan cara-cara tradisional. Biasanya, ketika seseorang terdiagnosis positif, petugas kesehatan akan melakukan wawancara panjang lebar mengenai histori perjalanan orang itu dalam 14 hari terakhir, dan kemudian aparat keamanan akan melacak secara manual keberadaan orang-orang yang ditengarai pernah berdekatan dengan si pasien. Masalahnya, pasien itu tidak mungkin ingat persis semua detail perjalanannya sendiri, dan tidak semua orang yang pernah berdekatan dengannya mudah untuk ditemukan. Akibatnya, banyak orang yang potensial membawa virus akan lolos dari pengawasan dan menyebarkan virus ke tengah masyarakat.   

Bukan hanya Cina, sejumlah negara di Asia juga telah menerapkan teknologi pelacakan yang canggih berdasarkan kecerdasan buatan.

Di Singapura, pemerintah menggunakan aplikasi TraceTogether yang menggunakan sinyal Bluetooth untuk mengidentifikasi siapa saja yang pernah berada dalam jarak kurang dari 2 meter dari seseorang yang potensial membawa virus.

Di Hong Kong, sejumlah warga diwajibkan memakai gelang pintar yang terhubung dengan gawai, untuk memberi sinyal kepada aparat apabila ada dari mereka yang melanggar aturan karantina.

Di Korea Selatan, pemerintah menggunakan data-data elektronik seperti transaksi kartu kredit, data lokasi GPS pada gawai, dan video CCTV untuk memetakan lokasi pembawa virus secara real-time, sehingga masyarakat bisa menghindari mereka.

Di Israel, badan intelijen nasional telah diizinkan menggunakan data telepon seluler warga yang semula dikumpulkan secara rahasia demi kepentingan anti-terorisme, untuk melacak pergerakan orang-orang dan memonitor siapa saja yang harus dikarantina.

Amerika Serikat terbilang cukup terlambat dibandingkan negara-negara Asia dalam hal ini. Apple dan Google saat ini masih dalam proses mengembangkan aplikasi serupa menggunakan sistem sinyal Bluetooth, untuk menyusun rekaman data anonim dari orang-orang yang pernah berdekatan dengan pengguna. Bagaimana pun juga, terlambat masih lebih baik daripada tidak sama sekali.    

Tidak bisa dipungkiri bahwa teknologi seperti ini adalah inovasi yang sangat luar biasa untuk membantu memutus rantai penularan virus. Namun kita harus menyadari bahwa teknologi secanggih apa pun tidak bisa sepenuhnya akurat dan tidak selalu bisa diandalkan. Seseorang bisa saja sengaja meninggalkan hape di rumah supaya pergerakannya tidak terdeteksi. Selain itu, aplikasi-aplikasi pelacakan seperti ini juga membutuhkan partisipan dalam jumlah besar, misalnya minimal 20 persen dari populasi, untuk bisa menghasilkan pemetaan yang cukup akurat dan memprediksi penyebaran penyakit.   

Ketidakakuratan ini bisa jadi berbahaya karena memberikan rasa aman yang palsu. Seseorang bisa saja telah terpapar virus corona walaupun aplikasi pada gawainya tidak memberikan notifikasi apa-apa. Mengira dirinya aman, orang itu bisa saja dengan santainya mengunjungi teman-teman atau keluarganya yang berusia lanjut, padahal dia sudah menjadi carrier virus.

Sebaliknya, aplikasi pelacakan ini juga bisa terlalu sensitif dan semena-mena mengurung orang. Seorang penumpang yang kebetulan satu kereta dengan penderita corona bisa saja ditengarai sebagai pembawa virus oleh aplikasi, walaupun dia sebenarnya duduk di gerbong yang berbeda. Di Cina, sejumlah pengguna mengeluh Kode Kesehatan mereka tiba-tiba secara ajaib berubah warna, dan mewajibkan mereka menjalani karantina tanpa mereka tahu alasannya.

Terlepas dari itu semua, kekhawatiran terbesar bagi kebanyakan orang akan aplikasi pelacakan canggih seperti ini adalah soal privasi. Apa jadinya jika pemerintah negara kita bisa terus-terusan memantau setiap gerak-gerik kita? Sistem Kode Kesehatan di Cina pada hakikatnya telah memaksa warga untuk meninggalkan jejak digital ke mana pun mereka pergi, dan pemerintah Cina bisa mendapatkan akses terhadap data privasi itu. Setidaknya menurut laporan kantor berita resmi Xinhua, aparat penegak hukum adalah salah satu mitra penting yang dilibatkan dalam pengembangan Kode Kesehatan Cina ini.

Berbagai teknologi pelacakan ini pada hakikatnya adalah teknologi surveilans (pemantauan dan pengumpulan data) yang teramat canggih, yang potensial dimanfaatkan oleh pemerintah suatu negara untuk mengawasi dan memata-matai gerak-gerik rakyatnya sendiri. Di masa lalu, negara-negara otoriter seperti Uni Soviet dan Jerman Timur mengerahkan jutaan agen rahasia untuk mengumpulkan informasi tentang kehidupan pribadi rakyat. Tetapi seberapa banyak pun informasi yang dikumpulkan para informan KGB atau Stasi, tidak sebanding dalam hal skala maupun keakuratannya dengan jutaan paket data yang tanpa kita sadari terus-menerus dikirimkan oleh telepon seluler di saku kita, ke mesin-mesin server yang kita tidak pernah tahu di mana.  

Jangan terkejut apabila dalam dunia pasca-corona nanti, sistem pelacakan otomatis pergerakan berbasis telepon akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari hidup kita, karena pemerintah negara-negara kita berdalih bahwa teknologi seperti itu adalah vital bagi keamanan nasional dan penting untuk melindungi kita. Apakah ini akan menjadi distopia di mana setiap gerak-gerik kita terus-menerus diawasi oleh Sang Big Brother setiap saat? Hal itu sama sekali tidak mustahil.    

Pandemi Covid-19 adalah krisis global. Sebagaimana krisis-krisis global mahabesar lainnya dalam sejarah dunia, dia akan meninggalkan perubahan permanen dalam kehidupan manusia. Perang Dunia I membuat negara-negara Eropa menciptakan sistem paspor dan visa untuk mengendalikan perpindahan rakyat, dan kini satu abad telah berlalu, kita masih hidup bersama sistem paspor dan visa. Demikian juga dengan peristiwa teror 9/11 yang menciptakan kelaziman baru dalam dunia penerbangan, yang memaksa semua penumpang untuk menjalani pemeriksaan keamanan super-ketat sebelum bisa duduk di dalam pesawat. Dunia kita terus berubah, sistem manusia terus berubah untuk menghadapi berbagai tantangan baru, dan kita pun mau tidak mau akan terus beradaptasi dalam normalitas dunia yang baru.

Apa pun kemungkinan suram yang akan terjadi pada dunia di masa depan, kita harus ingat bahwa masa pandemi ini adalah masa-masa krisis luar biasa, dan kita membutuhkan cara-cara luar biasa untuk bisa keluar dari krisis ini terlebih dahulu. Dalam masa-masa luar biasa ini, kebaikan bersama tetap lebih urgen daripada kebebasan pribadi, dan nyawa-nyawa yang harus diselamatkan pada hari ini tetap lebih prioritas daripada ketakutan akan masa depan yang belum terjadi. Bagaimana kita akan beradaptasi dalam dunia yang baru nanti, mungkin hanya waktu yang bisa menjawabnya. Saat ini kita hanya bisa berharap, badai ini segera berlalu, dan kita bisa segera hidup normal lagi.   

Bersambung

Artikel-artikel dalam serial ini:
Lockdown ala Wuhan (1): Mengapa Cina Bisa?
Lockdown ala Wuhan (2): Rumah Sakit Darurat
Lockdown ala Wuhan (3): Teknologi Pelacakan Modern
Lockdown ala Wuhan (4): Haruskah Kita Mengikutinya?

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*