Recommended

Jalan Panjang Melatih Kesadaran Pikiran

Saya duduk memejamkan mata, berkonsentrasi mengamati napas. Seekor semut, entah dari mana datangnya, perlahan merayapi kepala saya, lalu turun ke atas daun telinga, dan berbelok ke alis mata. Saya tidak membuka mata sama sekali, tapi saya yakin itu ulah semut. Saya bisa merasakan entakan setiap kaki mungilnya.

Rasa gatal merambat, mengikuti jejak semut itu merayapi kulit. Sungguh besar godaan dalam diri saya untuk mengangkat tangan, mengibaskannya untuk mengusir semut itu pergi. Tetapi saya semakin teguh memejamkan mata, berjuang keras untuk tidak menggerakkan tangan atau bagian tubuh mana pun juga.

Ini adalah perjuangan biasa dalam bermeditasi. Pagi itu, saya akhirnya berhasil melewati satu jam penuh tanpa bergerak sama sekali. Semut itu adalah guru bagi saya, yang melatih tekad kuat dan kesabaran saya.

Tentu pengalaman saya ini tidak ada apa-apanya dibandingkan para biksu Buddhis Theravada di Thailand. Saya dengar mereka lazim bermeditasi di tengah hutan rimba, dan bisa tetap duduk tanpa bereaksi sekalipun badan mereka digerayangi ular atau diendus singa.

Tujuan utama meditasi adalah untuk mencapai kebahagiaan. Tapi di mana letak bahagianya duduk diam berjam-jam tanpa bergerak sama sekali? Bukankah ini lebih terlihat seperti penyiksaan diri daripada pencarian kebahagiaan?

Meditasi yang saya praktikkan adalah teknik Vipassana, yang dalam bahasa Pali namanya berarti “melihat dengan cara mendalam”. Dalam teknik Vipassana, kebahagiaan itu dicapai melalui pembersihan kekotoran batin, yang bisa terwujud dengan menjaga ketenang-seimbangan (equainimity) setiap saat. Itu berarti, kita tidak membangkitkan nafsu keinginan terhadap hal yang menyenangkan, dan sebaliknya, tidak membangkitkan kebencian terhadap hal yang tidak menyenangkan.

Seimbang, dan terus seimbang.

Dalam enam tahun terakhir mempraktikkan meditasi ini, manfaat terbesar yang saya rasakan adalah saya semakin peka terhadap pikiran saya sendiri, dan semakin memahami bagaimana pikiran saya bekerja. Pengendalian pikiran itu, saya percaya, adalah kunci kebahagiaan.

Sebagaimana dikatakan Sang Buddha Gautama, pikiran kita terdiri dari empat bagian utama. Yang pertama adalah vinnyana, yang bertugas untuk mengenali, mengindra, atau merekognisi. Ini berhubungan dengan kelima indra kita, juga benih-benih pemikiran (thought) di otak kita.

Selanjutnya bagian kedua adalah sannya, yang menjalankan fungsi kognisi. Dia mengolah rangsangan dari indra atau buah pikir itu, dengan mencocokkan dengan pengetahuan atau memori kita, lalu memberi penilaian apakah rangsangan itu merupakan hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan.

Bagian ketiga adalah vedana, yang membangkitkan sensasi tubuh. Ini adalah kontribusi Sang Buddha, yang menemukan bahwa ada hubungan erat antara badan fisik dan pikiran. Ketika otak kita sudah memberi penilaian bahwa sesuatu itu menyenangkan, maka pada badan fisik kita juga akan timbul perasaan menyenangkan. Dan demikian pula sebaliknya, hal yang tidak menyenangkan akan menimbulkan perasaan tubuh yang tidak menyenangkan pula.

Contohnya begini, ketika ada seseorang memaki kita, “Anjing lu!”, pertama-tama indra telinga kita berkontak dengan suara itu, dan di sinilah vinnyana kita bekerja. Selanjutnya, sannya memberi penilaian: ini makian, makian itu ditujukan kepadaku, dan ini sangat tidak menyenangkan. Setelah itu, vedana akan membangkitkan sensasi pada tubuh kita. Rasa marah membuat badan kita terasa panas, jantung berdegup kencang, dan rasa sakit merambat di bagian tertentu di tubuh.

Bagian pikiran keempat adalah sankhara, yang merupakan aksi dari pikiran. Inilah bagian yang menentukan reaksi kita terhadap rangsangan luar. Ketika rasa marah kita memuncak, sankhara itulah yang menggerakkan kita untuk membentak atau bahkan menempeleng orang yang memaki kita itu.

Apa yang dikatakan Sang Buddha 2.500 tahun silam itu telah dikonfirmasi oleh ilmu neurosains modern. Tapi ada perbedaan mendasar antara sekadar mengetahui secara intelektual bagaimana proses otak kita bekerja, dengan benar-benar mengalaminya sendiri melalui praktik meditasi.

Bagi kebanyakan orang, aksi perbuatan itu lebih penting daripada pikiran. Seseorang baru dinyatakan bersalah oleh hukum setelah dia melakukan aksi perbuatan kejahatan. Sekadar memikirkan kejahatan tidak dianggap sebagai kejahatan. Namun bagi orang yang telah membina kesadaran diri, pikiran itu jauh lebih penting daripada perbuatan, karena pikiran itulah yang mengawali perbuatan. Orang tidak akan membunuh sebelum terlebih dahulu mengembangkan kemarahan dan kebencian dalam kepalanya. Orang tidak akan berzina sebelum terlebih dahulu pikirannya dikuasai nafsu birahi.

Karena itulah, kontrol pikiran adalah latihan penting dalam praktik meditasi kesadaran-diri. Agar kita setiap saat menyadari bagaimana vedana itu senantiasa muncul dan lenyap dalam tubuh kita, dan mengendalikan agar sankhara tidak muncul. Setiap saat sadar terhadap fenomena diri, setiap saat sadar terhadap isi pikiran, sehingga setiap saat juga sadar mengendalikan laku perbuatan.

Saya sendiri bisa dikatakan cukup pemula di jalan ini. Namun kemajuan yang saya rasakan adalah kini semakin mawas terhadap pikiran. Ketika benih pikiran mulai muncul, saya kini terbiasa untuk otomatis mengevaluasinya: apakah dasar benih pikiran itu adalah kebencian, nafsu, keserakahan, kemarahan, ketakutan, atau berbagai kekotoran batin lainnya? Apabila iya, otak saya pun dengan sadar menghentikan benih pemikiran itu untuk berkembang lebih lanjut.

Bagi saya yang seorang overthinker, praktik ini sungguh mengurangi waktu yang saya habiskan untuk kegalauan yang tanpa guna. Dengan semakin banyaknya pikiran negatif yang tersaring, maka semakin banyak pula ruang tersisa dalam otak saya untuk memikirkan dan melakukan hal-hal yang positif, yang pada akhirnya membawa makna hidup, rasa kepuasan, dan kebahagiaan yang lebih permanen dalam diri saya.

Tentu saya tidak selalu berhasil. Terkadang, pikiran saya masih membawa saya pada overthinking, depresi, atau bermalas-malasan menunda pekerjaan. Tapi bagaimanapun juga, negativitas itu terus berkurang dan semakin berkurang.

Jalan panjang menuju pulang ke dalam diri ini memang bukanlah proses yang instan. Juga tidak selalu penuh kemeriahan perayaan. Tapi saya akan terus melangkah perlahan menyusurinya.  

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

Leave a comment

Your email address will not be published.


*