Recommended

Lockdown ala Wuhan (2): Rumah Sakit Darurat

Gedung olahraga yang disulap menjadi rumah sakit darurat di Wuhan. (Foto: Getty Images)

Negara-negara dunia yang sedang menghadapi pandemi corona mengalami permasalahan yang serupa di mana-mana: jumlah pasien tiba-tiba membeludak, rumah sakit kewalahan, sedangkan penularan di kalangan masyarakat terus semakin merajalela, dan angka kematian pun terus menanjak.

Wuhan juga menghadapi masalah yang sama, yang membuat kota itu akhirnya terpaksa mengambil langkah lockdown yang sangat ketat sejak 23 Januari 2020. Pada saat itu, rumah sakit yang ada di Wuhan sudah tidak sanggup lagi menangani pasien yang membanjir. Banyak warga yang ketakutan menderita virus corona, berbondong-bondong memeriksakan diri ke rumah sakit, padahal sejumlah besar dari mereka itu sebenarnya tidak apa-apa. Akibatnya pasien yang benar-benar sakit justru tidak bisa mendapatkan penanganan yang memadai. Ketika rumah sakit sudah angkat tangan, orang-orang yang tanpa gejala atau gejalanya ringan akhirnya disuruh pulang untuk karantina mandiri di rumah.  

Tetapi karantina mandiri itu sangat bermasalah. Pertama-tama, para pasien ini sangat berkemungkinan menularkan penyakitnya pada anggota keluarga. Diperkirakan sekitar 75 hingga 80 persen penularan Covid-19 terjadi di dalam keluarga. Pasien bisa mengalami tekanan psikologis yang besar, karena mereka sadar bahwa penyakit yang mereka derita itu bisa membahayakan nyawa orang-orang tercinta di sekeliling mereka. Pengawasan terhadap karantina mandiri sulit juga ditegakkan secara ketat, dan ketidakdisiplinan pasien bisa menyebabkan virus menyebar ke komunitas masyarakat sekitar.

Selain itu, karantina mandiri juga berisiko membahayakan nyawa pasien, karena tidak ada tenaga medis yang memonitor perkembangan penyakit mereka setiap saat dan tidak ada penanganan medis yang tersedia tepat-waktu ketika mereka benar-benar membutuhkan bantuan. Akibatnya, banyak orang yang gejala penyakitnya mendadak serius dan langsung meninggal di rumah tanpa mendapat perawatan medis. 

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah Cina kemudian secara bertahap menerapkan tiga level karantina medis, baik bagi pasien yang sudah terdeteksi positif maupun mereka yang diawasi.  

Level pertama adalah karantina bagi orang-orang dalam pengawasan (ODP), yaitu orang-orang yang belum terdeteksi positif namun ditengarai pernah bersinggungan dengan pasien corona, misalnya keluarga dekat pasien. Mereka dijemput dan ditempatkan dalam kamar-kamar hotel atau asrama-asrama kampus yang sudah diambil alih oleh pemerintah.

Di masa wabah ini, hotel-hotel banyak yang kosong karena tidak ada tamu, sedangkan asrama kampus pun kosong karena sebagian besar siswa sudah pulang ke rumah masing-masing untuk libur Imlek, sehingga bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk dijadikan tempat karantina. Khusus untuk hotel, pemerintah membayar biaya sewa kamar-kamar yang digunakan untuk karantina, sehingga bisa menghidupi bisnis perhotelan yang sedang mati di tengah wabah.

Dalam tempat karantina di hotel dan asrama kampus ini, para staf semuanya mengenakan baju pelindung lengkap. Mereka juga didampingi sejumlah petugas medis profesional yang bersiaga 24 jam. Dua kali dalam sehari, para petugas medis mengumpulkan data suhu tubuh dari semua orang yang dikarantina.

Orang-orang yang dikarantina di hotel dan asrama ini mendapatkan kamarnya masing-masing, namun mereka yang datang sebagai satu keluarga bisa dikarantina bersama-sama dalam satu kamar sehingga tidak kesepian. Mereka tentunya sama sekali tidak diizinkan untuk meninggalkan kamar masing-masing hingga batas waktu yang ditetapkan oleh pihak berwenang. Soal makanan mereka tidak perlu khawatir, karena sudah disediakan secara gratis oleh pemerintah daerah dan didistribusikan secara teratur di depan pintu-pintu kamar.

Karantina level pertama ini sangatlah penting. Apabila ODP dibiarkan untuk karantina mandiri di rumah, sebagian dari mereka yang sebenarnya sudah terinfeksi sangat mungkin menulari relawan, pedagang makanan, tetangga, dan sebagainya, sehingga penyebaran virus pun menjadi sangat luas. Kebijakan untuk mengarantina ODP ini kemudian dijalankan dengan lebih agresif lagi di Wuhan. Petugas kesehatan aktif berkunjung dari rumah ke rumah untuk memeriksa kesehatan warga, dan siapa pun yang sakit langsung dikirim untuk menjalani karantina di tempat-tempat yang sudah ditetapkan pemerintah. 

Hotel yang dijadikan tempat untuk mengarantina keluarga pasien corona. (Foto: EPA)

Level kedua adalah karantina bagi pasien yang sudah terkonfirmasi positif namun gejalanya ringan atau tanpa gejala. Supaya mereka tidak menulari keluarga dan lingkungan, mereka ditempatkan di rumah sakit darurat (rumah sakit fangcang). Ini adalah area publik berukuran besar, seperti stadion atau gedung pameran, yang disulap menjadi fasilitas kesehatan sementara dengan peralatan medis yang memadai.

Rumah sakit fangcang mulai dibuka di Wuhan pada 5 Februari 2020, atau dua minggu setelah diberlakukannya lockdown. Ini adalah inovasi baru dalam dunia medis, namun idenya berasal dari rumah sakit darurat di medan perang. Sekilas rumah sakit fangcang ini memang terlihat sederhana dan apa adanya: ratusan ranjang kecil berjajar berbaris-baris dan bersaf-saf dalam satu aula besar. Walaupun begitu, ini adalah rumah sakit yang beroperasi penuh, dengan tenaga medis dan peralatan medis yang sudah cukup memadai untuk mengatasi gejala penyakit yang ringan. Pasien yang dikarantina di sini juga tidak kesepian, karena mereka bisa bersosialisasi dengan sesama pasien positif lainnya.

Dalam waktu yang relatif sangat singkat, pemerintah Wuhan telah menyiapkan sejumlah rumah sakit darurat di berbagai penjuru kota, dengan kapasitas total 20.000 ranjang. Jumlah ranjang untuk rumah sakit darurat ini terbilang cukup besar, karena diperkirakan sekitar 80 persen kasus Covid-19 termasuk yang gejala ringan atau tanpa gejala, dan tidak memerlukan penanganan medis yang terlalu intensif. Namun apabila ada pasien di rumah sakit darurat ini yang gejala penyakitnya memburuk, maka akan segera dirujuk ke karantina level yang lebih tinggi.  

Level ketiga adalah rumah sakit khusus untuk penderita corona. Ini dikhususkan bagi para pasien dengan gejala serius. Rumah sakit khusus ini memiliki peralatan medis yang paling lengkap dan paling mutakhir, juga dokter dan tenaga medis yang terkonsentrasi dalam jumlah besar.

Untuk mengatasi kurangnya daya tampung rumah sakit, pemerintah Cina dalam masa wabah ini membangun dua rumah sakit raksasa hanya dalam hitungan hari, khusus bagi penderita corona. RS Huoshenshan dan RS Leishenshan memiliki kapasitas total 2.300 ranjang. Selain itu, para dokter dan tenaga medis juga diinapkan secara kolektif dalam hotel-hotel atau bangunan asrama. Ini untuk memudahkan transportasi para tenaga medis itu ke rumah sakit, dan mengurangi kemungkinan mereka menjadi pembawa virus dari rumah sakit ke lingkungan masyarakat.  

Sistem karantina medis tiga level ini sebenarnya juga menggunakan gagasan “Tembok” yang mengakar kuat dalam pemikiran bangsa Cina. Dalam konsep Tembok ini, orang-orang dengan tingkat risiko yang sama dikumpulkan menjadi satu, sehingga tidak bercampur dan tidak memengaruhi orang-orang dengan tingkat risiko berbeda. Sistem tiga level karantina medis yang digabungkan dengan lockdown ketat yang diberlakukan di tengah masyarakat sangat efektif untuk menekan penularan virus.

Hanya dalam dua minggu setelah dimulainya karantina di rumah sakit darurat, atau satu bulan setelah diberlakukannya karantina total di tengah masyarakat Wuhan, jumlah pasien yang harus dikarantina di rumah darurat mencapai titik stabil, dan terus menurun sesudah itu. Jumlah ranjang kosong di rumah sakit darurat pun terus menurun, hingga akhirnya benar-benar tidak ada lagi pasien yang tersisa pada 10 Maret.

Grafik data jumlah pasien dan ketersediaan ranjang di rumah sakit darurat.

Berkurangnya penularan di kalangan masyarakat ini berarti berkurangnya jumlah pasien yang harus ditangani rumah sakit, dan para petugas medis pun bisa berkonsentrasi penuh menangani pasien-pasien yang membutuhkan perawatan intensif. Angka kematian pun bisa ditekan secara signifikan, dan penyebaran wabah Covid-19 bisa dikendalikan.  

Bersambung

Artikel-artikel dalam serial ini:
Lockdown ala Wuhan (1): Mengapa Cina Bisa?
Lockdown ala Wuhan (2): Rumah Sakit Darurat
Lockdown ala Wuhan (3): Teknologi Pelacakan Modern
Lockdown ala Wuhan (4): Haruskah Kita Mengikutinya?

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

10 Comments on Lockdown ala Wuhan (2): Rumah Sakit Darurat

  1. Rizki Sahana // April 19, 2020 at 9:03 am // Reply

    Mekanisme ini bs jd inspirasi bagi para pengambil kebijakan di negeri ini👍👍
    Tentu selama mrk ga berhitung untung-rugi dlm menyelesaikan persoalan bangsa.

  2. Wiyono Se Yon // April 19, 2020 at 9:24 am // Reply

    Wuhan sekarang memasuki ledakan kedua Covid-19. Beritanya begitu, entah valid atau tidak, tak ada jaminan kesahihan informasi demikian karena itu bersumber dari negeri “tertutup” RRT. Mas punya perspektif lain?

  3. trs apakah yg meninggal di apartments itu benar?

  4. Berlian Cahyadi // April 19, 2020 at 11:49 am // Reply

    Di berita teranyar menyebutkan kalau angka kematiannya mendadak melonjak drastis sebanyak 1,290 orang.

    • itu terjadi karena koreksi data. Sebelumnya di Wuhan angka kematian hanya berdasar orang yang sudah terdeteksi positif, dan yang masih ODP dan PDP tidak dihitung. ini sama dengan yang sekarang sedang dilakukan di indonesia. setelah Cina berhasil mengontrol wabah, mereka mengoreksi data dengan menambahkan ODP dan PDP yang meninggal ke total angka kematian, sehingga terjadi “lonjakan” ini.

Leave a comment

Your email address will not be published.


*