Recommended

About Home

Third Book, Titik Nol (Point Zero) is Coming

Faraway. Why everybody is obsessed by that word? Marco Polo traveled faraway from Venice to the Mongolian Empire. The explorers adventured through dangerous seven seas. The climbers put their life on the line just for a few moments conquering majestic peaks. He was also overwhelmed by the “faraway”. The Traveler decided to get involved in globetrotting journey. He sneaked to the forbidden land in Himalaya, staying in mysterious Kashmir, and became witness of warzones and massacres. Started by a dream, flowing like a series of dreams, this is a journey of a traveler searching for a meaning. Until to the point that he had traveled very, very far, he was forced to return home, kneel down besides his mother’s bed. And from the story of the very mother who has never traveled anywhere, little by little he revealed the meanings of journey that he was missing. Paperback, 568 pages Published February 2013 by Gramedia Pustaka Utama ISBN: 9789792292718 edition language: Indonesian For the details of this book, please visit : https://agustinuswibowo.com/TitikNol ——————————————————————————————————————————————– My third book, Titik Nol, is being released in Indonesia. This book is so special for me. It [...]

February 7, 2013 // 0 Comments

Tangan Itu Telah Dingin

Tangan itu telah dingin, wajah itu telah mengembang. Tangan yang sama, tangan yang senantiasa membelaiku, tangan yang mencengkeram ranjang ketika merejang melahirkanku, tangan yang begitu terampil membuat kue tart ulang tahunku, tangan yang memukul dan mengajarku, menempeleng sekaligus membelaiku,…. Wajah yang sama, wajah yang senantiasa tersenyum dalam kesakitan, wajah yang begitu jelita, wajah yang lembut namun tidak lemah. Kutatap matanya yang terpejam, begitu tenang, seakan-akan mata itu masih akan membuka perlahan menyambut matahari bersinar. Tangan itu telah dingin, wajah itu telah mengembang, mata itu tak akan lagi terbuka, selamanya. Tanganku bergetar ketika memasukkan butir-butir mutiara ke tujuh lubang di wajahnya. Kedua mata, tempatku memandang dan mengharap penguatan. Kedua telinga, tempatku membisikkan segala keluh kesah. Kedua lubang hidung, yang teliti mengendusi segala aroma. Bibir yang indah, melantunkan suara emas. Aku tak kuasa. Semua begitu dingin…, dingin yang mati… Takkan lagi tangan itu menjadi hangat. Takkan lagi wajah itu bercahaya. Takkan lagi mata itu terbuka. Takkan lagi mulut itu berkata-kata. Ia masih cantik, ia tetap cantik. Mama telah beristirahat dengan tenang…, tenang sekali… Tanganku bergetar. Air mataku membalut ratapan, mengiring ketokan palu yang merapatkan peti matinya. Selamat beristirahat, mamaku tercinta. Lumajang, 1 Agustus [...]

August 1, 2010 // 0 Comments

Puisi dari Puan Atiah Saleh

Puisi dari seorang sahabat, kakak, ibu, yang senantiasa menghiburku di Beijing Untuk Agus pada detik yang suram ini Menangislah Kerana kehilangan yang dikasihi Tanda sepinya hati pada hari-hari menanti Kerana tidak bertemu lagi di mayapada ini Bukan kerana kesal atau tidak meredai Saat manis dengannya Pengorbananmu juga Meskipun sedikit untuknya Pasti kekal menghias hidupmu Menangislah Andaikata sudah pasrah Bayangan untuknya pasti yang indah Salam Takziah daripada: Atiah Saleh 29 Julai [...]

July 30, 2010 // 0 Comments

Bon Voyage, Mama

Bon voyage, Mom, rest in peace…. After a year of suffering, now you are happy at HIS side. After a month of hunger and thirst, now you can eat anything you want. Please forgive your son, who couldnt make you happy and satisfied yet in your life. Rest in [...]

July 29, 2010 // 15 Comments

Mama…

Mama yang mengejang sewaktu melahirkanku , Merana kalaku terlahir, Membesarkanku, Menyuapiku, Membuatkan kue tart pada ulang tahunku, Membelaiku… Aku hanya mengipasinya kala ia terbaring di rumah sakit, tak berdaya, Betapa berdosanya aku… Mama yang mendidikku, Mengajarkanku arti perjuangan, Mengajarkanku semangat, keberanian untuk tidak diinjak, Mengajarkanku perlawanan, Aku hanya membiayai sebagian biaya rumah sakit, Dan aku sudah menepuk dada sebagai anak yang berbakti, Betapa berdosanya aku… Mama yang tersenyum bangga kala aku berhasil di sekolah Menangisi kepergianku ke Tiongkok, Meneteskan air mata setiap mendengar berita bom di Pakistan dan Afghanistan, Menantikan datangnya telefonku dari negeri antah berantah, Dan aku hanya mengiriminya kartu pos Mengirimi artikel-artikel yang dimuat di majalah dan koran, Betapa berdosanya aku… Mama yang tersenyum dalam penderitaan, Menahan setiap rasa sakit yang menghujam, Mengelus-elusi kanker yang menggumpal, Bermimpi untuk cepat-cepat meninggalkan rumah sakit, Dan aku hanya bisa berucap, dari ribuan kilometer, “Mama, janganlah engkau terlalu lama menderita,” Betapa berdosanya [...]

July 20, 2010 // 10 Comments

Surabaya – Ciuman Terakhir?

Hari ini mungkin adalah hari yang paling penuh air mata bagiku, walaupun aku sudah berusaha tegar, setegar-tegarnya. Aku tak mampu menulis banyak, perasaanku masih berguncang. Sudah 12 hari ini mama masuk rumah sakit Adi Husada di Surabaya. Mama adalah penderita kanker. Tahun lalu mama kena kanker ovarium, sudah dioperasi di Surabaya. Waktu itu, dokter yang membedah mama melihat ada kanker lain di usus. Bukannya diangkat, kanker itu malah didiamkan. Dua hari sesudah operasi mama malah dikemo. Tentu saja tubuh mama jadi lemah. Aku langsung terbang meninggalkan semua kehidupanku di Afghanistan, untuk membawa mama berobat di rumah sakit Heng Sheng di Shenzhen. Di sana mama dikemo dua kali, lalu dioperasi. Dokter menjanjikan kami, setelah mama dioperasi, mama akan hidup sebagaimana orang normal. Kami senang sekali, dan mama pun sangat semangat. Mama adalah perempuan tangguh. Darinya aku belajar arti perjuangan. Mama tidak pernah mengeluh atau menangis. Setiap pagi dia selalu membangunkan aku untuk olah raga bersama. Aku berlari, mama bersenam. Sorenya pun mama masih pergi menari di lapangan seberang rumah sakit. Dua bulan di Shenzhen adalah dua bulan yang penuh arti. Aku memang menemani mama yang sedang sakit, tetapi sebenarnya mamalah yang banyak memberiku energi positif. Sepulang dari Shenzhen, baik aku dan [...]

July 9, 2010 // 26 Comments

Medan – A Meeting with Medan Photographers

His name is Andi Kurniawan Lubis, a photographer of North Sumatran media, Analisa, which is quite popular among Medan Chinese population. Andi Lubis is quite famous photographer in Indonesia and I met him for the first time when I was going to Aceh one month after the tsunami catastrophic. Andi was very excited when I told him I would go home, and he invited me to stop for a night or two in Medan. He is my old friend whom I was very delighted to see. He arranged everything for me once I arrived in Medan, as he said, “don’t worry on anything, bro. You are my guest in Medan.” There was a little bit accident when I arrived there. My plane departed at 7:30 from Malaysia, so if the flight was about an hour, he thought I should arrive at 8:30 in Medan. He forgot that Medan had one hour time difference with Kuala Lumpur. I had to wait for an hour in the Medan airport, quite harassed by the aggressive taxi drivers but they couldn’t do anything as I didn’t have any Rupiah to satisfy their demand. I was delighted to be invited to a warung, to eat [...]

February 9, 2007 // 2 Comments

Medan – Touching Indonesia

The modern and luxurious Kuala Lumpur International Airport (KLIA) was not designed to carter budget airlines, which now flourished Southeast Asian sky. Indeed the wind of cheap airlines had made flight more and more affordable for most people. And Malaysia was among the pioneers with their widespread Air Asia. Kuala Lumpur airport authority has made a separate airport for the passengers of these budget airlines at LCCT terminal. This airport was small, crowded, and messy. Even if it was a younger brother of the KLIA and just several kilometers away, it didn’t match the latter in any sense. Most of the people in waiting lounge were Indonesians, distinguishable from their strong Javanese or Sumatran accent. I have learnt that many Indonesians working in Malaysia tried their best to change their accent, due to fact that Malaysians quite disliked Indonesians. Some said there were more than 1 million Indonesians now in Malaysia, legally or illegally, and the Malaysians cursed the cause of criminal cases in their country was the Indonesian migrants. There were always sentiments between the two neighbors, as most other neighboring countries in the world. Even if the Indonesians and Malaysians possessed so much proximity in their culture and [...]

February 9, 2007 // 3 Comments