Recommended

China

Cina, China, atau Tiongkok?

Saya dibesarkan untuk membenci kata “Cina”. Orangtua mengajarkan kami untuk menyebut negeri leluhur itu dengan nama terhormat Chung Kuo (Tiongkok). Mereka bahkan tidak segan menampar saya apabila saya sampai berani menyebut kata “Cina” di rumah. Kata “Cina” bagi saya memang membangkitkan trauma. Saat masih kecil dulu, saya sering diolok-olok para bocah di gang belakang, “Cina! Cina sipit! Pulang ke negaramu sana!” Sering pula saya dimintai duit hanya karena saya Cina. Semakin saya beranjak dewasa, sirene alarm dalam otak saya berdering semakin nyaring setiap kali mendengar kata itu diucapkan. Tetapi kemudian, saya menemukan satu keanehan. Sebagai kolektor prangko, saya mendapati semua prangko yang diterbitkan Cina pasca tahun 1992 mencantumkan nama negara dalam bahasa Inggris: CHINA. Saya tidak habis pikir. Kalau nama “Cina” itu benar-benar hina, mengapa mereka yang di sana justru bangga menyebut diri sebagai “China”? Bukankah “Cina” dan “China” itu seharusnya sama saja? Di Indonesia pasca Reformasi 1998, penyebutan nama negara Cina dan orang-orang keturunan Cina menjadi perkara sensitif. Media-media resmi pun tampaknya kebingungan. Ada yang masih tetap memakai “Cina”. Ada yang memakai ejaan bahasa Inggris “China”, yang dibaca dengan pelafalan bahasa Inggris Chai-na. Ada pula yang kukuh menggunakan “Tiongkok” dan “Tionghoa”. Mengapa menyebut nama sebuah negara saja bisa begini [...]

February 4, 2021 // 7 Comments

[Detik.com] Filosofi Tembok di Balik Lockdown China

https://travel.detik.com/travel-news/d-5018485/filosofi-tembok-di-balik-lockdown-china Minggu, 17 Mei 2020 18:30 WIB Johanes Randy Prakoso, detikTravel Jakarta – Kebijakan Lockdown di China jadi salah satu rujukan untuk menahan COVID-19. Di baliknya, ada filosofi tembok yang lekat dengan budaya China. Merunut ke tahun 2003 silam, China sudah terlatih menghadapi pandemi SARS jauh sebelum COVID-19 muncul akhir tahun 2019 silam. Sehingga ketika virus corona muncul, China kembali menerapkan ‘tembok’ miliknya yang jauh lebih ketat. Hal itu pun dikisahkan oleh penulis dan penjelajah Agustinus Wibowo (Penulis Selimut Debu dan Titik Nol) dalam sesi Live Instagram bersama Pulau Imaji, Minggu (17/5/2020). Kala itu, Agustinus yang akrab disapa Agus memang tengah mengenyam pendidikan di Beijing. “Waktu SARS di Beijing 2003 bukan lockdown total seperti di Wuhan, tapi lockdown bercluster. Perumahan di lockdown, ada satpam yang jaga,” kenang Agus. Kala itu, sejumlah daerah atau titik ditutup sedemikian rupa. Siapa saja yang berada dalam titik penutupan, tidak diperkenankan keluar dari wilayahnya. Hal itu dilakukan untuk mengkarantina penderita SARS di suatu wilayah. Berbekal dari pengalaman itu, China pun kembali melakukan lockdown untuk skala yang lebih besar ketika corona menyerang “Ketika di Wuhan 400 kasus positif, lockdown total dan levelnya jauh lebih ketat dari Beijing tahun 2003. Bahkan orang tidak boleh [...]

May 22, 2020 // 0 Comments

Lockdown ala Wuhan (4): Haruskah Kita Mengikutinya?

Kota Wuhan, episentrum pertama Covid-19, mulai memberlakukan lockdown pada 23 Januari 2020, ketika jumlah kasus positif di kota itu mencapai 495 orang. Tiga minggu pasca diberlakukannya lockdown yang disebut-sebut sebagai yang paling ketat di seluruh dunia itu, wabah Covid-19 di Wuhan mencapai puncak, dan setelah itu, jumlah kasus baru harian berangsur menurun hingga akhirnya menjadi nihil. Setelah dikurung selama 11 minggu, warga Wuhan pun akhirnya dibebaskan dari lockdown. Wuhan kini telah menjadi tempat yang aman ketika dunia justru sedang diterjang badai pandemi. Jadi, haruskah kita meniru lockdown ala Wuhan untuk memenangi perang atas pandemi ini? Lockdown total ala Cina adalah hal yang sangat sulit dibayangkan di negara lain, dan sempat dipandang skeptis oleh banyak pengamat dunia. Alih-alih melakukan lockdown seperti Cina, sejumlah negara Eropa dan Amerika pada mulanya berpandangan bahwa Covid-19 akan berlalu dengan sendirinya ketika masyarakat telah mencapai herd immunity (kekebalan kawanan) secara alami. Biarkan saja penyakit itu menyebar bebas di tengah masyarakat, nanti lama-lama mereka akan kebal sendiri. Ini pada hakikatnya adalah sebuah seleksi alam yang kejam. Masalahnya, dibutuhkan setidaknya setengah dari populasi telah terpapar virus untuk menghasilkan kekebalan kawanan secara alami. Kita tidak tahu berapa lama itu bisa terwujud, namun yang pasti, akan terjadi bencana kemanusiaan yang mengerikan. [...]

April 23, 2020 // 2 Comments

Lockdown ala Wuhan (3): Teknologi Pelacakan Modern

Warga Wuhan diwajibkan untuk memindai Kode Kesehatan untuk bisa naik MRT. (Foto: AP) Lockdown tidak mungkin dijalankan terus-terusan. Kehidupan masyarakat yang normal perlahan-lahan harus dipulihkan. Seiring dengan semakin terkendalinya wabah corona di Wuhan dan Provinsi Hubei pasca diberlakukannya lockdown, pemerintah Cina kemudian berusaha menggerakkan warganya untuk kembali bekerja secara normal. Tentu ini sangat berisiko, mengingat pandemi Covid-19 belum sepenuhnya berlalu.   Demi mencegah wabah kembali merebak luas, pemerintah Cina telah menerapkan mekanisme pemantauan yang sangat sistematis terhadap pergerakan warganya. Para petugas di dikerahkan di stasiun kereta api, hotel, maupun gerbang kompleks hunian, untuk mencatat data semua orang yang bepergian, mulai dari nama, nomor KTP, nomor telepon, sampai histori perjalanan terkini. Di sejumlah kota, warga bahkan diwajibkan meregistrasi nomor telepon melalui aplikasi sebelum diizinkan menggunakan transportasi publik.    Belakangan Cina juga menggunakan inovasi teknologi mutakhir untuk memperkuat kemampuan mereka dalam melacak penyebaran virus. Melalui telepon pintar masing-masing, setiap warga Cina akan mendapatkan “Kode Kesehatan” (健康码) berbentuk kode QR dalam tiga warna. Warna kode ini menunjukkan status kesehatan orang tersebut dan seberapa bebas dia boleh bepergian: Hijau berarti bebas bepergian ke mana pun. Kuning berarti harus tinggal di rumah selama 7 hari. Merah berarti harus karantina 14 [...]

April 21, 2020 // 0 Comments

Lockdown ala Wuhan (2): Rumah Sakit Darurat

Gedung olahraga yang disulap menjadi rumah sakit darurat di Wuhan. (Foto: Getty Images) Negara-negara dunia yang sedang menghadapi pandemi corona mengalami permasalahan yang serupa di mana-mana: jumlah pasien tiba-tiba membeludak, rumah sakit kewalahan, sedangkan penularan di kalangan masyarakat terus semakin merajalela, dan angka kematian pun terus menanjak. Wuhan juga menghadapi masalah yang sama, yang membuat kota itu akhirnya terpaksa mengambil langkah lockdown yang sangat ketat sejak 23 Januari 2020. Pada saat itu, rumah sakit yang ada di Wuhan sudah tidak sanggup lagi menangani pasien yang membanjir. Banyak warga yang ketakutan menderita virus corona, berbondong-bondong memeriksakan diri ke rumah sakit, padahal sejumlah besar dari mereka itu sebenarnya tidak apa-apa. Akibatnya pasien yang benar-benar sakit justru tidak bisa mendapatkan penanganan yang memadai. Ketika rumah sakit sudah angkat tangan, orang-orang yang tanpa gejala atau gejalanya ringan akhirnya disuruh pulang untuk karantina mandiri di rumah.   Tetapi karantina mandiri itu sangat bermasalah. Pertama-tama, para pasien ini sangat berkemungkinan menularkan penyakitnya pada anggota keluarga. Diperkirakan sekitar 75 hingga 80 persen penularan Covid-19 terjadi di dalam keluarga. Pasien bisa mengalami tekanan psikologis yang besar, karena mereka sadar bahwa penyakit yang mereka derita itu bisa membahayakan nyawa orang-orang tercinta di sekeliling mereka. Pengawasan terhadap karantina mandiri sulit [...]

April 19, 2020 // 10 Comments

Lockdown ala Wuhan (1): Mengapa Cina Bisa?

Wuhan sunyi di masa lockdown (Foto:Weibo) Kota Wuhan, episentrum pertama virus corona di Cina, mulai memberlakukan lockdown pada 23 Januari 2020. Pada hari itu, di Wuhan sudah ada 495 orang yang terinfeksi, dan 23 meninggal. Lockdown Wuhan ini menjadi karantina yang paling akbar dan paling ketat sepanjang sejarah modern. Dalam bahasa Cina, lockdown disebut fengcheng (封城), secara harfiah berarti penyegelan atau penutupan kota. Lockdown sendiri ada beberapa level, dan diterapkan secara bertahap. Tahap pertama adalah mengisolasi kota Wuhan. Semua akses jalan keluar-masuk ke kota itu ditutup, termasuk jaringan pesawat terbang, kereta api, dan bus antarkota. Layanan transportasi publik di dalam kota juga dihentikan. Lockdown langsung berlaku dalam beberapa jam setelah diumumkan. Wuhan pun mendadak lengang dan sunyi bak kota mati. Lockdown ini mengurung 11 juta warga Wuhan di dalam kotanya. Pada hari-hari berikutnya, lockdown terus diperluas hingga akhirnya mencakup semua kota di Provinsi Hubei, mengurung 57 juta dalam karantina raksasa. Hari keempat lockdown, 26 Januari, mobil pribadi dilarang turun di jalan. Hanya kendaraan dengan surat izin khusus yang diizinkan beroperasi, seperti kendaraan angkutan barang, kendaraan pengangkut staf, dan sebagainya.  Kebetulan pada saat diberlakukannya lockdown itu sudah mendekati masa Tahun Baru Imlek, sehingga sekolah dan universitas sudah libur. Libur sekolah ini [...]

April 18, 2020 // 8 Comments

Virus yang Mengikatkan Takdir Kita Semua

Beberapa tahun sebelum Covid-19 menjadi momok yang merajalela di seluruh penjuru dunia seperti sekarang ini, saya sudah pernah mengalami getirnya hidup bersama virus corona.  Di musim semi tahun 2003 itu, kota Beijing yang saya tinggali menjadi episentrum wabah penyakit SARS. Ada virus misterius berbentuk seperti mahkota yang konon menyebar di udara, menyebabkan radang paru-paru aneh yang sangat menular dan sangat mematikan. Menghadapi situasi yang tidak biasa ini, pemerintah Beijing menerapkan kebijakan “isolasi kota”. Perpindahan antar-kota dan antar-provinsi dihentikan total, dan para pendatang dari kota lain harus terlebih dahulu dikarantina selama dua minggu. Penduduk juga dilarang meninggalkan kompleks perumahan masing-masing. Sekolah dan universitas ditutup, transportasi publik ditiadakan, kantor dan toko berhenti beroperasi, kendaraan tidak boleh berlalu-lalang di jalanan. Beijing mendadak menjadi kota mati.   Hidup dalam karantina selama berminggu-minggu tentu sangat menyiksa, sangat sulit untuk tetap menjaga kewarasan di tengah belenggu yang memenjara kebebasan kita. Namun isolasi yang sangat ketat yang diterapkan oleh pemerintah Cina itu—metode yang kini populer dengan istilah lockdown—terbukti paling efektif untuk menghentikan wabah penyakit baru yang sangat mengerikan itu. Pada musim panas 2003, hanya beberapa bulan sejak merebaknya wabah, pemerintah Cina sudah bisa mengumumkan kemenangan umat manusia atas virus yang menewaskan tujuh ratusan [...]

April 11, 2020 // 13 Comments

Ferghana: Lembah Hijau Bertabur Konflik

Artikel ini ditulis untuk majalah Chinese National Geography. “Pergilah ke kampung halaman kami di Lembah Ferghana,” seorang Uzbek pernah berkata kepada saya. “Di sana akan kau temukan keramahtamahan orang Uzbek yang sesungguhnya. Setiap pintu akan terbuka bagi semua tamu, bahkan bagi orang yang tidak dikenal sekalipun.” Lembah Ferghana menempati posisi istimewa di hati orang Uzbekistan. Ferghana sering dianggap sebagai jantung kebudayaan Uzbek. Di sinilah konon dituturkan bahasa Uzbek yang paling murni. Islam juga mengakar kuat dalam keseharian hidup orang-orangnya, bercampur dengan tradisi budaya mereka yang sangat kental. Kondisi geografis Ferghana juga istimewa. Manakala sebagian besar wilayah Uzbekistan dan Asia Tengah didominasi padang rumput, gurun pasir, dan pegunungan, wilayah Ferghana yang dikepung oleh Pegunungan Tian Shan di utara dan Gissar-Alai di selatannya ini justru utamanya berupa dataran luas yang sangat subur. Kesuburan Ferghana ini adalah berkat aliran anak-anak sungai Syr Darya, yang menjadikannya sebagai sumber makanan terpenting di seluruh Asia Tengah, dengan produk utama berupa beras, gandum, kapas, dan buah-buahan. Kesuburan itu pulalah yang menjadikan Ferghana sebagai daerah yang paling padat penduduknya di kawasan ini. Sekitar seperempat populasi Asia Tengah (14 juta dari 63 juta) tinggal di lembah yang seluas 22.000 kilometer persegi, atau kurang dari 5 persen luas wilayah Asia Tengah ini. Namun terlepas [...]

April 14, 2019 // 6 Comments

China dan Jalur Sutra Baru

China mempromosikan mimpi besar untuk membangun Jalur Sutra modern demi kemakmuran bersama. Apakah mimpi ini bisa terwujud, atau sekadar menjadi slogan utopia semata? Laporan untuk Visiting Program for Young Sinologist di Beijing, riset saya mengenai usulan China untuk membangun Jalur Sutra Baru. Jalur Sutra Abad Milenium Hampir 22 abad silam, Kaisar Han mengutus Zhang Qian mendatangi kerajaan Dayuan di Asia Tengah demi membentuk aliansi militer. Perjalanan ini kemudian melahirkan rute perdagangan legendaris Jalur Sutra. Berselang dua milenium, China sekali lagi mengajak negara-negara di sekelilingnya untuk bergabung dalam aliansi multinasional yang dijuluki Jalur Sutra Baru. Dalam kunjungan kenegaraan di Kazakhstan pada 7 September 2013, Presiden Xi Jinping mengusulkan pembangunan Sabuk Ekonomi Jalur Sutra (Silk Road Economic Belt). Berselang tiga minggu kemudian, di hadapan parlemen Indonesia di Jakarta, Xi mengemukakan konsep Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 (21st Century Maritime Silk Road). Kedua konsep ini, yang digabungkan menjadi inisiatif Satu Sabuk dan Satu Jalur (OBOR), adalah desain akbar untuk menghubungkan negeri-negeri yang dilintasi rute perdagangan bersejarah itu, mulai dari Asia Tengah hingga Eropa dan Afrika, mulai dari Asia Tenggara hingga Jazirah Arab. Menurut data ADB, kebutuhan pendanaan pembangunan infrastruktur di Asia mencapai US$ 800 miliar setiap tahunnya. Sebagai negara dengan cadangan devisa terbesar [...]

October 5, 2015 // 3 Comments

Beijing 7 Juli 2015: China dan Jalur Sutra

Sebuah catatan dari Visiting Program for Young Sinologists, 7-24 Juli 2015 Ibn Battuta pernah menyusuri Jalur Sutra Laut dari Arab sampai ke Quanzhou di China Orang sering mengaitkan Jalur Sutra dengan peradaban China. Pemerintah China di abad ke-21 ini juga menggalakkan pembangunan “Jalur Sutra Baru”. Tetapi, menurut pakar sejarah Prof. Ge Jianxiong dari Universitas Fudan, dalam sejarahnya China justru lebih banyak mengabaikan Jalur Sutra. Istilah “Jalur Sutra” sendiri tidak pernah ditemukan dalam catatan sejarah China. Istilah ini pertama kali digunakan oleh ahli geografi Jerman pada akhir abad ke-19, Ferdinand von Richtofen, yang menyebut jalur perdagangan sepanjang 6.000 kilometer dari China sampai ke negeri Romawi itu sebagai “Seidenstraße” atau “Jalan Sutra”. Dalam bahasa Indonesia, kita menyebutnya sebagai “jalur” bukan “jalan”, karena lintasan ini bukan hanya berupa satu jalan melainkan beratus lintasan yang bercabang-cabang. Selain itu, lintasan bukan berupa jalan besar, tetapi kebanyakan berwujud hanya jalan setapak bagi karavan. Setelah orang Barat dan Jepang banyak meneliti sejarah Dunhuang dan daerah-daerah di China Barat yang dilintasi Jalur Sutra, barulah China mulai menaruh perhatian pada Jalur Sutra. Mengapa demikian? Prof. Ge Jianxiong dalam presentasinya kepada kami pada pertemuan Sinologis Muda di Beijing ini menjawab dengan tegas, “Karena di mata China, Jalur Sutra itu tidak [...]

September 29, 2015 // 3 Comments

The Palace of Illusions

When drawing a picture about memory of the past, we tend to have only two alternatives. Either we amplify good memories and minimize the bad ones, or the other way round. When the nostalgia is about history, this can be dangerous, as the history may turn to an illusion, no matter how real the events are. The incidence of nostalgia may bring you to homesickness. American physicians in nineteenth century even pointed out that acute nostalgia led to “mental dejection”, “cerebral derangement” and sometimes even death. In Indonesia, the so-called history is never so long ago. Some people say, Indonesians have such short memories as they suffer from “history amnesia”. With most of its population are less than 30 years old, majority people did not really experience the whole history of the Republic, from the Independence struggle era (1940s), Sukarno’s Old Order (1950s), the chaos before the arrival of Suharto’s New Order (1960s), and the never ending period of our-president-is-him-again-and-him-again (1970s-1990s). When grumbling about the hardship in current democratic period, people tend to turn their head to the past: how strong and respected our country during Sukarno! How things were cheap and life were happy under Suharto! How we need [...]

December 15, 2013 // 7 Comments