Recommended

Indonesia

Leiden, 20 November 2016: Diaspora Jawa Suriname Menyoal Makna Menjadi Jawa

“Apakah yang menjadikan Anda orang Jawa?” Pertanyaan itu diajukan pembawa acara kepada Johan Reksowidjojo, pemimpin Forum Javanen in Diaspora Nederland (JID-NL), atau Forum Orang Jawa dalam Diaspora di Belanda. Lelaki paruh baya itu terhenyak. Rupanya dia tidak menduga akan ditembak pertanyaan yang menohok itu, tepat setelah dia selesai membacakan sambutan pembukaan pada acara diskusi Identitas Orang Jawa (Suriname): Antara Pelestarian dan Pembaharuan. Merenung sejenak, sambil tertawa terkekeh Johan akhirnya menjawab, dia menjadi Jawa karena orangtuanya adalah orang Jawa, dia makan makanan Jawa, dan dia hidup secara orang Jawa. Tetapi, cukupkah itu untuk membuat seseorang menjadi Jawa? Acara diskusi ini digelar di Museum Volkenkunde, Leiden, dihadiri lima puluhan warga keturunan Jawa Suriname, di samping beberapa orang Belanda berkulit putih. Secara fisik, orang Jawa Suriname sangat mirip dengan orang-orang Jawa di Indonesia. Mereka berkulit cokelat terang hingga cokelat gelap, berpostur relatif pendek, beberapa memakai kopiah atau kebaya. Tetapi bahasa yang digunakan sepanjang acara hampir seluruhnya bahasa Belanda, sesekali diselingi kalimat-kalimat bahasa Jawa. Mereka ada karena migrasi. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai mengirimkan orang-orang Jawa ke Suriname untuk menjadi pekerja di perkebunan. Kebanyakan mereka, laki-laki maupun perempuan, sama sekali tidak tahu akan dibawa ke mana mereka. Mereka ditipu, bahwa mereka akan dibawa [...]

November 30, 2016 // 8 Comments

Agustinus Wibowo in Ubud Writers & Readers Festival 2016

This is my schedule for this year’s awaited literary festival, UWRF 2016. I have got quite a busy schedule, but I am really excited to see you all there. And I really love this year’s theme: “I am you, you are me“.   Live Music & Arts: Pecha Kucha http://www.ubudwritersfestival.com/program/pecha-kucha/ 26 Oct 2016 20:30 – 22:00 After Dark / Live Music & Arts IDR 75,000 Betelnut . Jl. Raya Ubud (Google Maps) Ignite your ideas with a fast and furious Pecha Kucha night at Betelnut. Brave Festival artists step out on stage to share what they’re passionate about in the 20×20 format: 20 images, 20 seconds each. Tickets available at the door. Featuring: Agustinus Wibowo, Emmanuela Shinta, Madelaine Dickie, Mayank Austen Soofi, Melizarani T Selva, Yassmin Abdel-Magiied Book Launch: Zero: When Journey Takes You Home http://www.ubudwritersfestival.com/program/zero-journey-takes-home/ 27 Oct 2016 16:30 – 18:00 Book Launches / Free Events Free Rondji Restaurant. Jl. Raya Campuhan (Google Maps) After 10 years, the traveller returns home and comes face-to-face with one reality he has always feared: his mother is on the brink death. He recounts his journey, page after page, to his dying mother who has barely ever left their little village in Java. [...]

October 23, 2016 // 0 Comments

Benkim 25 Oktober 2014: Patok Batas Negeri

Sudah dua bulan lebih saya melakukan perjalanan yang sangat berat secara mental dan fisik menyusuri perbatasan RI—PNG. Saya bahkan sudah beberapa kali melintasi perbatasan, masuk ke Indonesia dan kembali lagi ke Papua Nugini secara ilegal. Tetapi belum pernah sekali pun saya menyaksikan garis perbatasan itu berwujud gamblang di depan mata saya. Yang saya lihat hanya hutan rimba dan gunung, sungai atau rawa. Keinginan saya begitu menggebu. Saya berteguh hati berkata pada Papa Felix, “Apa pun yang terjadi, saya mau lihat patok perbatasan itu!” Tepat di antara Digo dan Binkawuk terdapat satu desa bernama Benkim. Di sinilah terdapat salah satu dari seratusan patok penanda perbatasan yang berderet sepanjang 740 kilometer perbatasan darat antara RI dan PNG. Perjalanan dari Digo dan Tarakbits sebenarnya bisa lewat Benkim, sedikit lebih jauh dan memutar daripada rute “jalur pintas” yang berupa garis lurus melintasi hutan yang kami ambil waktu datang ke sini. “Perut saya sakit,” kata Papa Felix, “Saya cuma ingin cepat-cepat pulang ke Binkawuk. Kalau lewat Benkim nanti malam baru kita sampai Binkawuk.” “Tetapi melihat patok itu penting bagi saya,” kata saya. Saya menjanjikan sedikit uang kepadanya. Papa Felix bilang pikir-pikir dulu, lihat keadaan nanti. Pagi itu juga, setelah menyantap pisang rebus (semua pisang masih [...]

October 18, 2016 // 15 Comments

Digo 24 Oktober 2014: Sekolah Papua Nugini di Indonesia

Pagi yang dingin, sekujur punggung saya pegal karena semalaman tidur di atas bilah kayu lantai gubuk yang renggang-renggang. Saya terbangun oleh sayup-sayup suara anak-anak menyanyikan lagu kebangsaan Papua Nugini dengan nada sumbang di kejauhan. O arise all you sons of this land,     Let us sing of our joy to be free,     Praising God and rejoicing to be     Papua New Guinea. Saya sedang berada di Digo, sebuah kamp yang dihuni para pengungsi OPM (Organisasi Papua Merdeka) dari wilayah Papua Indonesia yang melarikan diri ke wilayah Papua Nugini pada tahun 1984. Tetapi banyak penduduk sini yang tidak menyadari bahwa Digo sebenarnya berada di wilayah Indonesia, bukan di Papua Nugini. Letak Digo adalah sekitar 5 kilometer di barat garis perbatasan lurus antara kedua negara. Bagaimana lagu kebangsaan Papua Nugini bisa dinyanyikan di wilayah Indonesia? Saya bergegas menuruni tangga rumah panggung, berlari menuju gedung sekolah. Di kamp pengungsi ini, semua dari 40an rumah panggung yang ada terbuat dari bahan-bahan hutan, yaitu kayu, kulit pohon sagu, dan daun sagu, sedangkan sekolah yang terletak di tengah lapangan bertanah merah itu dindingnya terbuat dari seng. Seng—yang bahannya harus dibeli dari pasar di kota, minimal dua hari perjalanan dari sini—sudah terbilang sangat mewah untuk kehidupan [...]

October 17, 2016 // 8 Comments

Digo 23 Oktober 2014: Takut Bendera Merah Putih

Saya sebenarnya sudah berada di Indonesia, atau sekitar 5 kilometer di sebelah barat garis lurus yang menjadi perbatasan RI—PNG. Inilah Digo, sebuah kamp yang dihuni para pelarian West Papua, bagian gerakan pengungsian akbar Organisasi Papua Merdeka (OPM) ke Papua Nugini pada tahun 1984. Mereka melarikan diri dari Indonesia, tetapi mereka tidak sadar bahwa mereka masih berada di Indonesia. Setelah seharian berjalan menembus hutan lebat, naik turun bukit, menyeberangi begitu banyak sungai dan rawa dan lautan lumpur, saya dan Papa Felix tiba di Digo. Kamp ini terletak di atas bukit hijau. Rumah-rumah gubuk berpanggung bertebaran di atas tanah lapang berwarna merah. Semua rumah di sini terbuat dari bahan hutan: kayu pohon yang masih kasar dan atap dari daun sagu. Kejauhan di bawah bukit sana, terlihat Sungai Ok Ma, yang hulunya di wilayah Indonesia, tetapi mengalir ke arah Papua Nugini, dan akan bergabung dengan Sungai Ok Tedi dan Sungai Fly. Anak-anak bertelanjang bulat atau bertelanjang dada berlarian di lapangan, beberapa bermain egrang, dengan tubuh kurus dan perut buncit kekurangan gizi. Beberapa bocah itu juga menderita kurap yang sangat parah, di badan maupun di kepala. Bocah-bocah itu juga mengganggu para babi kurus dan para anjing kerempeng, yang menguik memelas dan menggonggong berlari dikejar-kejar [...]

October 14, 2016 // 4 Comments

Digo 22 Oktober 2014: Menuju Kamp OPM di Wilayah Indonesia

Tujuan saya datang ke sini adalah untuk mengunjungi sebuah kamp pengungsi OPM (Organisasi Papua Merdeka). Kamp itu terletak di tengah hutan rimba, dan saya akan harus menyeberangi sungai-sungai yang berbahaya. Lebih aneh lagi, kamp itu ternyata terletak di dalam wilayah Indonesia! Hujan yang mengguyur Tarakbits seharian tak kunjung reda, saya mulai gelisah. Saya tidak ingin menghabiskan waktu terlalu lama di desa ini. Tetapi dengan cuaca begini, dan tanpa pemandu, saya tak mungkin bisa mencapai tempat itu. Sore sekitar pukul 15, hujan mengecil, lalu berhenti. Kepala sekolah Stanis Angoro berlari tergopoh-gopoh ke rumahnya—tempat saya menginap—untuk menyuruh saya berkemas. “Cepat, ada dua murid dari desa Binkawuk mau pulang ke desa mereka. Kamu ikut mereka. Sampai di sana, kamu cari orang yang bisa antar kamu sampai ke Digo,” katanya. Binkawuk adalah sebuah desa yang jauh lebih kecil daripada Tarakbits, katanya hanya satu jam perjalanan saja. Tetapi sungguh saya tidak menyangka, perjalanan yang bagi orang-orang sini paling mudah, justru telah membuat saya babak belur. Sekitar sepuluh menit kami berjalan meninggalkan Tarakbits, tiba-tiba hujan turun lagi dengan begitu derasnya. Tanpa payung, saya harus menaruh tas punggung saya di balik jaket. Lagi pula, jalanan di daerah ini berbukit-bukit, mendaki sangat curam lalu turun dengan curam, di [...]

October 13, 2016 // 5 Comments

Kiunga 2 Oktober 2014: Membujuk Pengungsi Papua Merdeka untuk Pulang

Di wilayah Western Province, Papua Nugini, yang berbatasan dengan Indonesia, masih banyak tinggal para pengungsi dari Papua. Mayoritas dari mereka adalah pendukung gerakan Papua Merdeka. Kini Indonesia membuka pintu bagi mereka untuk pulang ke kampung halaman. Tetapi bagi mereka, ini bukan masalah semudah mengatakan ya atau tidak. Kebetulan pada saat saya berada di Kiunga, datang rombongan dari Konsulat Jenderal Indonesia di Vanimo bersama Pemerintah Provinsi Papua untuk bertatap muka dengan para pengungsi Papua yang tinggal di kota itu. Delegasi pemerintah Indonesia berupaya membujuk para pengungsi untuk pulang. Sesudah pertemuan itu, rombongan pemerintah Indonesia mendatangi ke Gereja Katolik, yang selama ini menaungi sebagian besar pengungsi dari Papua. Saya diundang seorang pastor dari Flores untuk ikut pertemuan di Gereja. Pertemuan dihadiri oleh sejumlah anggota Gereja dan warga pengungsi Papua. Kepada Uskup Gereja, Konsul Jendral Indonesia, Jahar Gultom dengan penuh semangat mengatakan bahwa pertemuan dengan para pengungsi tahun ini cukup memuaskan. “Tahun lalu poin mereka hanya satu. Hanya Merdeka,” katanya, “Tapi kemarin ada banyak warga yang bertanya tentang pemulangan. Ada pula yang berkomentar, ‘Saya tidak tahu saya ini siapa, apakah saya orang Papua Nugini atau orang Indonesia.’” Para pengungsi adalah orang tanpa identitas. Sebagian besar pengungsi bermigrasi dari Indonesia ke Papua Nugini pada [...]

April 13, 2016 // 10 Comments

Terorisme Tidak Punya Agama—Benarkah?

Awal tahun lalu Paris dikejutkan dengan penembakan keji di kantor koran satir Charlie Hebdo, yang sering menerbitkan karikatur yang mengolok-olok Islam (di samping Kristen, Yahudi, dan berbagai kelompok lain di dunia). Pada November tahun yang sama, Jumat tanggal 13, Paris kembali diguncang ledakan bom simultan dan penembakan di sejumlah kafe, restoran, sebuah teater, menewaskan setidaknya 130 orang. Pelakunya adalah para radikal Muslim yang berkaitan dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Kemudian giliran Belgia, minggu lalu mengalami aksi teror paling mengerikan dalam sejarahnya: dua bom meledak di bandara Brussel dan satu bom di stasiun metro, menewaskan setidaknya 38 orang. ISIS juga mengaku bertanggung jawab untuk serangan ini. Berbeda dengan masa dahulu, aksi teror tidak dilakukan oleh orang asing. Para teroris dalam serangan di Paris dan Belgia adalah warga Eropa sendiri, generasi keturunan migran Muslim yang lahir dan besar di Eropa. Itu salah kalian sendiri. Begitu komentar Donald Trump, calon presiden Amerika dari Partai Republik terhadap insiden teror di Brussel. Trump sebelumnya sempat meneriakkan ide “gila” bahwa dia akan melarang semua pengunjung Muslim dari negara-negara Muslim (termasuk Indonesia) masuk ke Amerika Serikat, demi melindungi keamanan AS dan rakyat AS. Mayoritas warga Amerika tidak setuju dengan ide Trump ini, tetapi tidak sedikit [...]

April 11, 2016 // 76 Comments

Kiunga 30 September 2014: Benderamu Menghalangi Matahariku

Sudah hampir 30 tahun John Wakum tinggal di Papua Nugini. Dia adalah salah satu orang yang paling dihormati kalangan masyarakat pengungsi Papua Barat di kota ini. Dia seorang aktivis OPM (Organisasi Papua Merdeka). Tiga puluh tahun sejak dia datang ke negeri ini, impiannya masih sama: Papua harus merdeka dari Indonesia. Lelaki 67 tahun ini kurus kering. Jenggot putih tebal menyelimuti janggutnya. Syal melingkar di lehernya. Dia terus terbatuk, mengaku sudah dua hari dia tidak bisa turun dari ranjang, dan baru hari ini dia bisa keluar menikmati matahari. Kami duduk di beranda rumahnya yang terbuat dari kayu. Di dalam rumah itu, tepat di hadapan pintu masuk, terpampang sebuah bendera besar dengan lambang bintang dan garis-garis putih biru. Itu bendera Bintang Kejora. Bendera Papua Merdeka. John Wakum berasal dari Biak, menuntut ilmu tata negara di Universitas Cendrawasih. Pendidikan tinggi yang ditempuhnya di Indonesia justru membuatnya selalu bertanya kenapa negerinya masih juga terjajah. Dia pernah menjadi kepala bagian sebuah badan pembangunan, sehingga dia bekerja ke daerah-daerah terpencil dan rawan di pedalaman Papua. Misalnya di Asiki, dia bekerja pada proyek pengasapan karet dan di Nabire untuk pembuatan sagu. Selama bekerja di pedalaman Papua, dia terus menanamkan pemahaman tentang kemerdekaan terhadap orang-orang Papua yang ditemuinya. [...]

March 16, 2016 // 26 Comments

Dari Frankfurt ke Ubud—Jalan Panjang Kebebasan Sastra Indonesia

Hanya beberapa pekan silam, dunia sastra dan perbukuan Indonesia merayakan sebuah momen bersejarah: Indonesia didapuk menjadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair 2015. Ini adalah ajang pameran buku tertua dan terbesar di dunia. Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Anies Baswedan pada pembukaan pameran itu, 13 Oktober 2015, jelas menyiratkan optimisme atas keberhasilan yang telah dicapai Indonesia, terutama dalam hal demokrasi dan “memanajemen perbedaan”. “Inilah negeri dengan 17.000 pulau, 800 bahasa, 300 tradisi lokal,” kata Anies, “Berabad-abad, melalui perdagangan atau diplomasi, perang atau damai, keanerakagaman itu belajar untuk hidup bersama.” Karena itu, dia mewakili Indonesia “mengajak Eropa dan Dunia ke dalam sebuah percakapan yang lebih luas. Terutama di masa ini, ketika Eropa menemukan apa yang di Indonesia kami sebut sebagai “ke-bhineka-an”, keanekaragaman ekspresi dan cara hidup.” Sementara pada hari yang sama, ribuan kilometer jauhnya di Jakarta, puluhan massa justru menggelar unjuk rasa di depan Kementerian yang dipimpin Anies. Mereka menuding adanya agenda gelap yang dibawa Anies dalam ajang Frankfurt Book Fair, karena delegasi yang dibawa disusupi pembahasan dan pameran peristiwa kasus G30S/PKI 1965. Frankfurt Book Fair adalah ajang bisnis perbukuan terbesar di dunia Leila Chudori bicara di The Blue Sofa Sejumlah penulis dalam rombongan besar delegasi yang dibawa Indonesia ke Frankfurt [...]

October 30, 2015 // 9 Comments

Indonesia: The Dollar Worshipers

I am Indonesian. I had to go abroad urgently. Thinking myself a nationalist, I automatically logged into the website of the national carrier—my pride—Garuda Indonesia. I did the e-booking for the international flight ticket. I was surprised that all prices were quoted in US Dollars, instead of in my own currency, Rupiah. I was confused, but I had to pay anyway. I got more confused that none of my national bank debit cards was accepted for the payment. Garuda only wanted Credit Card with the international logo of Visa or Mastercard. I was heartbroken. Our country’s national airline refused our own money and denied our own national banks. Alas. My Credit Card was over limit. I rushed to a private tour agent. I was relieved because they said they could help. But they quoted a price much more expensive than the one I saw earlier on the website. And yes, it was also in US dollars. I asked whether I could pay in rupiah, or use my debit cards. No, they said. Better bring us crispy US dollar bills, otherwise you have to agree with our unfavorable exchange rate. I ran to the nearby ATM, withdrew about a hundred pieces [...]

June 5, 2015 // 13 Comments

My Healing with Vipassana (3): The Art of Simple Life

The Vipassana experience was magical for me as I could now sense the sensation of the surface of my whole body, from top of the head to toe. I could sense the interior of my body. My left brain, my right brain, my stomach and my intestines, my bones… all were producing never-ending subtle vibrations. I could even sense the parts of the body when I was sleeping. When I was dreaming, it was more like watching a movie rather than being involved in the actions of the fantasy. At this point, the meditation was not merely about sitting anymore. When we take breath, we meditate. When we walk, we meditate. When we eat and drink, we meditate. Even when we sleep, as long as the awareness is there, we also meditate. By Day 6, I started to notice small details I used to neglect. I started to see the movement of grass and leaves of the trees, appreciate the freshness of the air and the beauty of the occasional noise from the neighborhood, and be thankful to all my weaknesses and flaws, all achievements and failures, all happy and sad moments in my life. All the findings and the [...]

May 12, 2015 // 15 Comments

My Healing with Vipassana (2): Nothing is Permanent

Goenka the Teacher had reminded all the students that the Day 2 and Day 6 in our 10-day course of Vipassana would be the most difficult. At least, I can say, the Day 2 was really the biggest torture. I came to the Vipassana meditation course with an expectation of finding salvation from my depression. I thought I would see a magic aura of enlightenment, or beautiful visions, or a surreal experience of ecstasy. But what’s this? This was just a boring process of sitting in total silence, with nothing to do but to observe breath for ten hours per day. The more I craved for a divine vision, the more I got restless. While I closed my eyes and seemed calm, my mind was not unlike an untamed wild horse which brought me galloping over series of memories and fears. Once I saw blurred pictures of places I have visited, changing rapidly as flash: mountains of Himalaya, deserts of Pakistan, jungles of Papua. Suddenly after those happy moments of reiterating my traveling years on the road, my mind threw me to sorrow: hospitals, graveyard, funeral house, dead bodies of my parents, dead body of myself. This is the most [...]

May 10, 2015 // 2 Comments

My Healing with Vipassana (1): A Happiness Seeker and His Breath

Something was terribly wrong with me lately. I used to feel much “alive” when I travel on the road, but returning to days of monotony confined in Jakarta apartment always brought depression to me. It’s ironic to feel lonely amidst a busy and noisy apartment block inhabited by thousands of people. I was sure, my depression had something to do with my family problems. Since I lost my mother five years ago, sadness and fear slowly grew inside me. Three years after that, my father passed away. Year after year, I could not handle this loneliness anymore. I felt more and more insecure. Every quiet night I go to bed alone, I was bombarded by frustrating thoughts. Am I still needed in this world? For the sake of whom do I still need to continue my life? Even worse, I have depression and anxiety at the same time. As the negativity piled up, once in a while, I even contemplated of doing something very, very stupid to end my life. Until then, a friend suggested me to try Vipassana meditation. He himself had attended the course, and called the experience ‘life changing’. I have known earlier that much of our [...]

May 7, 2015 // 6 Comments

The Color is Red (Chinese New Year in Jakarta, 2014)

The Chinese Indonesians welcomes the arrival of Chinese New Year 2014. During the Suharto regime, the celebration of Chinese New Year in public was forbidden. But today, about a dozen years since the government allowed the Chinese community to celebrate their festivals and traditions openly, red is in full swing, red has become the dominating color in temples and shopping malls, on clothes and decorations, on the altar of Buddhist gods and on the lanterns and on the dragon masks. In Indonesia, the Chinese New Year is associated with religion. Indonesia is the only country in the world recognizing Confucianism as one of its state religions, and the Chinese New Year is regarded as religious holiday of Confucianism (as religious holidays are national holidays, thus it becomes nationwide holiday). While in China they say, “Happy Lunar New Year 2014”, in Indonesia they say, “Happy Lunar New Year 2565”, with 2565 is counted from the birthday of Confucius, the prophet of Confucianism. The Chinese believe that rain during the Chinese New Year will brings good fortune. In their ancestral land, Chinese New Year signifies the arrival of spring, and as they say, “Rain in spring is as worthy as oil”, the [...]

February 1, 2014 // 7 Comments

Jakarta, Water City

The heavy rain from midnight until early morning today has caused numerous Jakarta streets flooded. Rains, floods, traffic jams, total deadlock, have been haunting Jakarta and other cities in Indonesia since last three weeks. In Jakarta, somehow it’s important to emphasize the difference between “a pile of water” and “flood”. The local Chinese believe that rains symbolize good fortune, especially if it rains during the Chinese new year’s Eve (which happens to be tomorrow midnight), the heavy rain is believed to bring a super-prosperous new year. But for sure, the flooding at least brings some fortune to the kids (who are always enjoying “beach-waves-and-swimming-pool-right-in-the-heart-of-the-capital-city”) and chart owners, who earned money by transporting motorcycles on their charts. In this year rainy season, some 40 thousands of Jakarta dwellers had to stay in temporary shelters. There were also some kids who participated in swimming contest in a flooded river, drowned, and unfortunately, get killed. What striked me most after living abroad for more than a dozen years and come back to my home country, is seeing laughter and smiles on the faces of my countrymen, despite the fact that they are facing disasters and troubles. The laughter, the never-faded smiles, the genuine [...]

January 29, 2014 // 3 Comments

[旅行家Traveler] :火山印尼 “后末日”时代

  旅行家2013年01月期 策划/本刊编辑部 执行/王笑一 汤文宇 林伽 程婉 刘江 特约撰稿人/Agustinus Wibowo 本文/Agustinus Wibowo 王笑一 译/明如 专题·印尼 当飞机穿行在印度尼西亚岛屿间,舷窗外不时掠过一座座隆起的火山,犹如火环倒扣在大地之上——在这个世界上火山分布最为密集的国家里,由东到西静卧了400多座火山,其中活火山多达129座,占了全世界活火山数量的1/6。这些动不动就发脾气的怪家伙,大咳几声就是山崩地裂、海啸滔天,威力足以将人类送回史前时代。 梳理印尼的旅游资源,科莫多巨蜥、婆罗浮屠、蜡染、香料、殖民建筑……这些表面看来毫无关联的事物背后,其实都与火山有着千丝万缕的联系。是火山,让印尼地质结构独特、拥有肥沃的土地、长出诱人的物种、引来贪婪的殖民者;也是火山,让印尼的宗教区别又相通、人民知足又乐观;还是火山,在印尼大力发展旅游业的时期,成为一个最有力的卖点。 [...]

January 1, 2013 // 0 Comments

1 2