Lelaki Maluku itu berdiri di atas panggung. Dengan suara bergetar, dia mengisahkan sebuah memori mengerikan tentang pamannya—seorang tentara KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dari Maluku yang ikut aksi militer Belanda tidak lama setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Pamannya itu, saat itu adalah tentara muda berusia 18 tahun yang menjadi anggota korps elit Baret Hijau di bawah komando Raymond Westerling. Soal kekejaman Westerling dalam pembantaian ribuan orang di Sulawesi pada tahun 1946-1947 itu sudah menjadi pengetahuan umum. Pasukan mereka menyerang desa-desa, membunuhi semua yang ada: laki-laki, perempuan, tua, muda, anak dan bayi, bahkan semua ayam dan sapi, dan setelah itu mereka membumihanguskan desa. Sang paman, sebagai tentara yunior, mendapat ujian dari para senior. Di hadapannya satu orang Indonesia duduk berlutut dengan tangan terikat. “Tebas kepalanya!” perintah komandan, sambil menyerahkan kelewang. Tentara muda itu mengacungkan kelewang, tangannya bergetar hebat, tak sanggup dia mengayunkan kelewang itu. Tetapi, dikelilingi para komandan, dia tak punya pilihan. Trauma itu dibawa sang paman hingga ke masa tuanya. Di Belanda, ketika traumanya bangkit, dia berhalusinasi bahwa orang-orang Indonesia datang menyerangnya. Dia berteriak-teriak sendiri di kamar atas, menenggak alkohol, menaruh semua parang di depan pintu. Dia berteriak pada istri dan anak-anaknya, “Jangan naik! Ikan makan ikan!”—saudara bisa bunuh saudara. Ini
[...]