Recommended

Garis Batas 27: Depresi (2)

Guldora (AGUSTINUS WIBOWO)

Guldora (AGUSTINUS WIBOWO)

Rumah Gulasaira remang-remang. Dindingnya mengelupas tak sedap dipandang. Bau busuk memenuhi seluruh penjuru ruangan. Tetapi, di sini saya justru merasakan kehangantan cinta kasih sebuah keluarga.

Eldiyar, bocah 5 tahun itu, memang nakal. Bukan hanya menggoda bayi Gulsaira yang masih sangat kecil sampai menangis, Eldiyar juga memasukkan remah-remah roti yang menjadi makanan pokok keluarga itu ke dalam cangkir tehnya, kemudian menyiramkan teh hijau tanpa gula ke tumpukan remah-remah roti, potongan coklat, dan permen-permen kadaluarsa yang menjadi menu makan malam keluarga. Si bocah itu baru menangis tanpa henti ketika Guldora, si kakak yang berumur 16 tahun, mencubitnya dengan gemas.

Saya sempat bingung, bagaimana mungkin Guldora bisa mempunyai adik yang umurnya terpaut begitu jauh? Eldiyar ternyata memang bukan adik kandungnya. Gulsaira memungut bayi kecil Eldiyar yang dibuang di depan pintu rumah mereka. Gulsaira tidak tahu siapa kedua orang tua Eldiyar, atau mungkin saja dia tahu tetapi merahasiakannya. Hati Gulsaira tak tahan ketika si bayi kecil menangis kelaparan. Gulsaira memang miskin, tetapi tidak hatinya.

Kemudian, di tengah susahnya kehidupan di negara baru Kyrgyzstan, Gulsaira memutuskan untuk mengasuh bayi itu, mencintainya seperti anaknya sendiri. Kini Eldiyar sudah tumbuh menjadi bocah yang lincah dan nakal. Tahukah ia akan masa lalunya?

“Eldiyar masih kecil. Masih belum waktunya,” kata Gulsaira.

Ketika Gulsaira bercerita, Eldiyar masih terus memamerkan kenakalannya. Bocah ini manja. Selalu menangis kalau keinginannya tidak dituruti. Potongan-potongan roti, makanan yang sangat berharga bagi keluarga ini, dilemparnya ke tanah. Eldiyar suka sekali makan permen, sampai giginya hitam semua dan bolong. Susah juga untuk melarang bocah ini makan permen.

Selain permen, menu makanan Gulsaira cuma potongan coklat kadaluarsa dan roti. Saya memberinya beberapa bungkus coklat yang saya dapat di Osh. Ia langsung menyambut dengan kedipan mata. Saking nakalnya Eldiyar, Gulsaira sampai memanggilnya si bocah setan. Tetapi itu hanya panggilan sayang. Saya tahu Gulsaira sangat mencintai bocah nakal ini.

Rasa sayang Gulsaira juga tak terhingga terhadap bayi mungil yang ada di pangkuannya yang sedang mengunyah cacahan apel. Bayi ini pun, seperti halnya Eldiyar, bukan anak kandung Gulsaira. Adik Gulsaira, sekarang bekerja di Bishkek, baru saja berkabung karena istrinya meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Terpaksa si adik menitipkan bayinya yang baru lahir kepada Gulsaira di Karakol.

Bayi kecil ini sudah tahu kalau Gulsaira bukan ibu kandungnya. Kalau ditunjukkan foto papa mamanya, si bayi perempuan yang sedang belajar jalan ini langsung menangis, “papa…., papa…., mama…., mama…”

Suramnya rumah Gulsaira mencerminkan kesuraman Karakol pascakemerdekaan Kyrgyzstan. Negara yang memilih perubahan drastis dari negara sosialis menjadi kapitalis ini akhirnya terpaksa sadar bahwa untuk menjadi kapitalis ia harus punya sesuatu untuk dijual. Itu yang tak dimiliki Kyrgyzstan. Dalam sekejap, ekonomi kolaps dan orang-orang kehilangan asa. Tahun ini, upah minimum di Bishkek yang ditetapkan pemerintah, sedikit naik dari 4 dolar menjadi 5 dolar per bulan. Itu sudah standar ibu kota.

Semula Karakol adalah tempat yang makmur. Semasa Uni Soviet, sebagian besar penduduk kota ini bekerja di PLTA Toktogul, dalam bahasa Rusia disingkat GES. Setelah negara ini mengikuti jejak republik-republik Soviet lainnya, memproklamirkan kemerdekaan di tahun 1991, Kyrgyzstan mungil tak lagi sanggup membiayai proyek-proyek yang semula disubsidi Soviet. Orang-orang Karakol kehilangan mata pencaharian. Kehidupan di sini bisa disimpulkan dengan satu kata, depresi.

Gulsaira, terlepas dari beban hidup tiga anak yang ditanggungnya, juga tak bermata pencaharian. Ia hanya mengunjungi desa-desa sebelah untuk menawarkan bantuan rumah tangga. Tetapi kemurahan hati Gulsaira selalu membuatnya sibuk sendiri.

Salah satu tetangganya di Karakol adalah sepasang suami istri pemabuk. Di kala kehidupan demikian suramnya, orang  kembali lagi ke vodka dan alkohol sebagai jalan keluar membebaskan diri dari tekanan hidup. Suami istri ini, pengangguran kelas kakap, untuk memenuhi nafsu minum-minumnya terpaksa harus menjadi pengemis. Tetapi apa gunanya mengemis kalau semua orang juga sama miskinnya? Si suami kemudian menjadi perampok di jalan, dan uang hasil perasannya habis di meja judi.

Si istri juga sudah parah penyakit mabuknya. Bahkan, ketika mengandung bayi kedua, dia terus menenggak vodka. Anak perempuannya lahir cacat mental, sangat mungkin gara-gara kenyang bir dan vodka sejak masih janin. Kakaknya, yang lahir sebelum kemerdekaan Kyrgyzstan, jadi pemuda yang sehat dan kuat. Saya tiba-tiba teringat akan Hadisa, si gadis cacat dari Murghab, yang juga lahir dalam kota yang penuh depresi. Apakah negeri yang depresi memang harus melahirkan bocah-bocah malang ke dunia ini?

Seperti tak pernah kapok, si ibu ini hidup setia bersama vodka. Demikian pula suaminya. Suatu malam, mereka bertengkar. Pertengkaran suami istri biasa yang dikipasi oleh aroma alkohol. Orang mabuk memang tidak bisa dilogika. Si istri meloncat, meraih bohlam lampu yang masih menyala dengan tangannya. Dia kesetrum, terelektrolisis bersama vodka yang membasahi bibirnya. Tewas. Ibu itu ditemukan keesokan harinya. Si suami kembali ke kehidupannya yang normal, jadi pemabuk-cum-pengemis-cum-penjudi-cum-perampok. Semua profesinya ini berlevel cum laude.

Kini giliran Gulsaira yang sesekali mengunjungi rumah itu, mengasuh gadis gila yang malang yang tidak dipedulikan orang tuanya lagi. Gulsaira Muslim, tetapi ia tak pernah sembahyang ataupun belajar agama. Dia hanya tahu bahwa vodka adalah nenek moyangnya setan, dan bahwa hidup itu harus selalu diisi dengan kasih dan cinta.

Bersama keluarga itu, saya mengucapkan syukur teramat dalam, akan makanan-makanan kadaluarsa yang terhidang di hadapan saya. Tuhan masih memberi kami makanan hari ini. Tuhan masih menyelamatkan saya dari kegelapan malam di Karakol yang ganas dengan mengirimkan saya ke rumah kayu Gulsaira yang penuh dengan bau apek. Tetapi di rumah inilah, Tuhan memberikan saya pelajaran yang sangat indah.

 

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Berkelana ke Negeri-Negeri Stan” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2011.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 11 April 2008

3 Comments on Garis Batas 27: Depresi (2)

  1. Allah tetap menyayangi Gulsaira krn punya iman yg indah, semoga imannya tdk redup oleh kebodohan dan kemiskinan. Amiiin

  2. I am feeling very grateful with I am having how. Syukur Alahamdulillah

  3. Henpriadi koto // September 9, 2021 at 10:04 am // Reply

    Saya membaca kisah negeri2 depresi ini jadi ikut depresi,kadang terbawa mimpi..ya Allah kok ada negeri yg seperti itu yaa..kasihan sekali sama penduduknya..makan saja susah…tapi hati mereka bagai emas, tak sungkan menolong orang susah dgn tulus ikhlas, beda dgn kita d negeri yg makmur ini yg kadang suka pura2 masa bodoh dgn derita orang, suka curiga kalau d mintain tolong…

Leave a comment

Your email address will not be published.


*