Recommended

Asia Selatan

Titik Nol 41: Ceroboh

Keamanan di Nepal terbilang sangat baik. (AGUSTINUS WIBOWO) Tak ada satu kata lagi yang lebih tepat untuk mendeskripsikan diri saya – ceroboh. Pelajaran hari ini membuat saya kembali bertanya pada diri sendiri, mampukah saya mewujudkan mimpi saya melihat dunia? Daerah Thamel memang surganya para backpacker. Apa lagi yang kurang di sini? Losmen murah bertaburan. Restoran yang menjual segala jenis makanan mulai dari dal bat Nepal, thali India,  bakmi China, spageti Italia, sampai humus Israel dan tortilla Meksiko, dari teh susu sampai tequila. Mau cuci baju? Laundry yang siap menerima baju kotor kiloan pun berjajar. Toko buku murah punya koleksi selengkap perpustakaan, menawarkan bau-bau misteri surga Shangri-la di lekukan Himalaya. Yang kangen Indonesia bahkan bisa beli shampo lidah buaya diimpor langsung dari Nusantara. Mau Internet? Ini apa lagi, murah meriah. Sepuluh Rupee per jam dengan kecepatan yang lumayan banter. Sejak dari Tibet yang penuh perjuangan berat, ditambah lagi suntuk karena tidak bisa memotret dengan kamera yang separuh rusak, saya akhirnya menghabiskan lebih banyak waktu di warung Internet murah di sebuah sudut Thamel. Tempat ini bagaikan surga bagi orang malas seperti saya. Warnet, warung, hotel adalah habitat saya selama berhari-hari. Dari sore sampai malam saya berselancar di dunia maya, sebuah kemewahan yang [...]

June 27, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 40: Bhaktapur

Kota tua Bhaktapur (AGUSTINUS WIBOWO) Kota kuno ini begitu indah. Saya sampai lupa mengedipkan mata menyaksikan pagoda Nyatapola yang menjulang megah. Barisan kuil dan istana kuno, gang sempit yang meliuk-liuk, melemparkan saya kembali ke masa silam. Di antara ketiga kota kuno di Lembah Kathmandu, bagi saya Bhaktapur adalah yang paling indah. Di sini kita terbebas dari ingar bingar kendaraan bermotor dan pengaruh buruk turisme yang merambah Kathmandu. Kota ini juga lebih teratur dan terawat daripada Patan. Keutuhan gedung-gedung masa lalu masih berbaur dengan kehidupan masyarakat yang teramat tradisional. Kota kuno Bhaktapur atau Bhadgaon dikelilingi tembok. Untuk masuk, orang Nepal tak perlu bayar, tetapi orang asing kena karcis sepuluh dolar. Warga negara Asia Selatan dan Republik Rakyat China cukup membayar 50 Rupee saja. Bagi saya yang berkantung cekak, pilihannya hanya dua – menyamar jadi orang China atau menyelinap pagi-pagi buta ketika penjaga pintu gerbang masih belum bertugas. Saya memilih yang terakhir, berangkat dari Kathmandu subuh-subuh, berbekal tiket pinjaman dari turis lain (selembar tiket berlaku satu minggu), dan berhasil menyelinap ke dalam kota kuno tanpa membayar sepeser pun. Penginapan di kota ini jauh lebih terbatas daripada Kathmandu. Sejak menjadi bagian dari warisan budaya dunia yang ditetapkan UNESCO, keaslian dan kekunoan Bhaktapur dilestarikan. [...]

June 26, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 39: Kremasi

Kremasi (AGUSTINUS WIBOWO) Di hadapan mayat yang melepuh ditelan api, saya jadi sadar, bahwa hidup di dunia ini hanyalah sebuah perjalanan dari debu kembali menjadi debu. Isak tangis mengiringi kepergian lelaki Brahmana tua itu. Raungan, ratapan, air mata membasuhkan aroma kesedihan. Jenazah itu dibilas dalam air Sungai Bagmati yang keruh, bertabur bunga dan sesaji. Alunan mantra Hindu mengiringi. Kayu bakar ditumpuk di tepi sungai, di sebelah selatan jembatan Sungai Bagmati di Kuil Syiwa Pashupatinath. Dalam tradisi kremasi umat Hindhu Nepal, kasta pun berpengaruh. Yang termasuk ningrat, keluarga kerajaan, dan kasta teramat tinggi, dikremasikan di utara jembatan, tempat pembakaran Arya Ghat. Rakyat jelata, di Ram Ghat di selatan. Lelaki di sampingku menjelaskan, pria tua ini adalah seorang petinggi yang sangat dihormati. Meninggalnya pun wajar, penyakit orang tua. Jenazahnya diletakkan di atas tumpukan kayu, setelah dibilas lagi dengan air suci oleh pendeta. Denting lonceng, alunan mantra, dan ratapan pilu mengiringi, ketika api mulai menyulut. Baru pertama kali ini saya melihat pembakaran mayat dari dekat. Tubuh itu meleleh seperti lilin. Jari-jari kaki mulai menyatu, kemudian membulat, kemudian hancur tak berbentuk. Ketika jasad ini mati, semuanya kembali dalam wujud yang sama. Tak peduli apa kastanya, bagaimana kekayaannya, setinggi apa jabatannya, sebanyak apa gelar kesarjanaannya, [...]

June 25, 2014 // 9 Comments

Titik Nol 38: Hari Perempuan

Kuil Pashupatinath dibanjiri kaum perempuan (AGUSTINUS WIBOWO) Kathmandu disapu warna merah. Ribuan perempuan turun ke jalan, menari mengiringi lagu yang meriah. Wanita mana yang tak bergembira di hari khusus bagi kaum perempuan ini? Di awal bulan Bhadra dalam penanggalan Nepal, kaum wanita bersuka cita menyambut Tij, perayaan bagi kaum perempuan. Kuil Pashupatinath dibanjiri perempuan – gadis, ibu-ibu, hingga nenek tua, semua berpakaian sari merah menyala. Walaupun Tij adalah festival perempuan, sebenarnya unsur lelaki sangat kuat di latar belakangnya. Alkisah, Dewi Parwati berdoa dalam kekhusyukan, berpuasa dalam ketabahan, mengharap agar Dewa Syiwa mau menjadi suaminya. Sang dewa, tersentuh oleh ketulusan hati Parwati, akhirnya menikahinya. Sebagai ucapan terima kasih, Dewi Parwati menjanjikan perempuan yang berpuasa dan berdoa akan mendapat kemakmuran dan kelanggengan di keluarganya. Dari sinilah Tij berasal. Sejak semalam sebelum Tij, selepas makan besar, kaum perempuan mulai berpuasa selama 24 jam. Semua ibadah dan perayaan Tij, mulai dari puasa, sembahyang, dan lantunan lagu, ditujukan untuk memuliakan Dewa Syiwa, yang akan menjamin kebahagiaan keluarga. Mereka yang sudah menikah berdoa demi kesehatan dan kebahagiaan suami. Yang belum, memohon agar Dewa Syiwa segera memberikan jodoh yang paling tepat. Yang sudah menjanda, berdoa bagi arwah suami. Tij adalah hari di mana perempuan beribadah mewakili suami [...]

June 24, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 37: Kota Cantik

Lapangan Durbar di Patan (AGUSTINUS WIBOWO) Pagi-pagi sekali, keluarga Pushkar Baral sudah sibuk sekali. Istrinya bangun sejak subuh, sibuk menyiapkan sarapan untuk keluarganya. Anak-anak bersiap masuk sekolah. Pushkar dan istrinya siap-siap berangkat kerja. Hari ini hari Minggu, tetapi bagi orang Nepal hari ini adalah hari kerja biasa. Dalam seminggu, hanya hari Sabtu mereka bisa beristirahat. Sementara Pushkar dan istrinya berangkat ke kantor, saya sendirian berkeliling bagian kuno kota Patan. Patan hanya lima kilometer jauhnya dari Kathmandu, tetapi dulunya Patan adalah ibu kota dari kerajaan terpisah, berpasukan tangguh, dan berkebudayaan tinggi. Semuanya itu masih nampak jelas dari Lapangan Darbar yang dipunyai Patan. Gaya arsitektur bangunan di sini lebih padat, rapi, dan cantik. Patung Dewa Garud (Garuda) yang bersembah di atas tiang memberi penghormatan ke arah kuil suci. Tak salah jika nama lain Patan lebih putis – Lalitpur, atau ‘kota cantik’.. Dibandingkan Lapangan Darbar Kathmandu, Darbar Patan penuh sesak oleh bangunan megah. Saya tak ingat lagi nama-nama bangunan di sini. Terlalu banyak. Semuanya adalah maha karya arsitektur bangsa Newa yang mendiami Lembah Kathmandu, baik Budha maupun Hindu. Setelah datang dari Tibet, saya begitu tertarik melihat kehidupan umat Budha di Nepal. Sang Budha Gautama lahir di Lumbini, di Nepal bagian selatan. Tetapi di [...]

June 23, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 36: Dimabuk Arak

Pagi, siang, malam, menunya selalu dhal bat. (AGUSTINUS WIBOWO) Pushkar Baral adalah pegawai Radio Nepal. Wajahnya bersih, dahinya lebar, dan tubuhnya kekar. Sore ini, ia mengajak saya ke rumahnya di Patan. Perkenalan saya dengan Pushkar sebenarnya tak sengaja. Seorang kawan, wartawati di Indonesia, pernah ikut pelatihan jurnalisme di Eropa dan berkenalan dengan seorang jurnalis Radio Nepal. Saya diberi alamat emailnya, lengkap dengan ucapan basa-basi titip salam dan apa kabar, dengan harapan bisa membantu saya menambah kawan di Kathmandu. Alamat email yang dipakai adalah email kantor, Radio Nepal. Jurnalis yang dimaksud sudah tidak bekerja di sana lagi, dan penggantinya, Pushkar Baral, sama sekali tidak tahu-menahu ke mana rimbanya kawan itu. Akhirnya, setelah berulang kali berbalas email, saya malah berkawan dengan Pushkar. “My friend, kalau memungkinkan saya ingin berbagi pengalaman denganmu dan masalah yang kau hadapi di Kathmandu ini.” Sehabis tutup kantor, jam 6 sore, Pushkar menjemput saya di losmen. Kami berangkat bersama ke rumahnya di Patan, kota kuno yang masih di lingkungan Lembah Kathmandu. “Jadi jurnalis di Kathmandu gampang-gampang susah,” katanya, “Di sini kita harus berhati-hati kalau berurusan dengan kabar kerajaan. Kebebasan pers memang ada, tetapi ada batasnya.” Pembantaian besar keluarga kerajaan Nepal, tanggal 1 Juni 2001, adalah kejutan besar di [...]

June 20, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 35: Mata Buddha

Biksu Tibet mengitari Boudha. (AGUSTINUS WIBOWO) Sepasang mata menatap penuh misteri. Harum asap dupa bertebaran. Kabut masih baru menyelimuti Kathmandu. Dingin. Penuh misteri. Tetapi orang-orang sudah larut dalam doa dan ibadah. Bersama legenda yang mengiringi lahirnya kota kuno Kathmandu, adalah Swayambhunath di puncak bukit tinggi yang membayangi seluruh kota. Alkisah, seluruh lembah Kathmandu adalah danau. Danau ini tiba-tiba mengering airnya, bersamaan dengan sinar yang muncul dari Swayambhunath. Swayambhu, dalam bahasa Nepal, artinya ‘muncul sendiri’. Tak ada yang tahu pasti berapa usia kuil ini. Ada yang mengatakan tempat ini menjadi suci sejak lebih dari 2000 tahun lalu ketika Raja Asoka datang berkunjung. Letaknya di puncak bukit tinggi, yang menurut ahli geologis dulunya adalah pulau di tengah danau. Stupa raksasa Swayambhu sudah ada di abad ke-5, berwarna kuning cerah. Bentuknya bulat besar. Puncaknya adalah pagoda dengan empat sisi, terbuat dari emas. Setiap sisinya tergambar sepasang mata yang menatap garang. Mata Buddha, memandang ke semua arah mata angin, menunjukkan bahwa Tuhan yang maha mengetahui ada di mana-mana. Di atas pasang mata, adalah mata ketiga yang melukiskan kebijaksanaan nurani. Di bawah mata, garis melingkar-lingkar seperti hidung, adalah angka ‘1’ (ek) dalam huruf Nepal, melambangkan persatuan segala makhluk. Tak ada telinga, karena konon Buddha tak [...]

June 19, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 34: Tashi Delek

Komunitas pengungsi Tibet di Nepal cukup besar jumlahnya. (AGUSTINUS WIBOWO) “Tashi Delek…!” sapa seorang pria botak. Ia mengatupkan kedua tangan di depan dadanya, setengah membungkuk, kemudian membenturkan jidatnya dengan jidat saya, seperti cara dua orang sahabat lama dari Tibet bersalaman. “Aduh… senang sekali aku, bisa ketemu kamu lagi sini. Budha memang baik,” pria asing itu melanjutkan. Matanya yang sipit menjadi segaris saja, tenggelam dalam senyumannya. Giginya kuning, tak terawat. Saya sungguh tak ingat pernah berkenalan dengan orang ini sebelumnya. Sebagai seorang backpacker yang hanya sekadar lewat di Tibet, tak mungkin saya ingat wajah setiap orang dari ratusan peziarah yang saya lihat atau barisan biksu berbaju merah. Tetapi pria berusia empat puluh tahunan ini bersikukuh pada ingatannya. “Iya… betul! Kita pernah ketemu!” katanya meyakinkan. Saya hanya tersenyum. Mau bilang tak ingat, malu. Mau bilang ingat, sungguh benar saya tak tahu siapa dia. “Kamu sekitar seminggu kemarin di Lhasa, kan? Di kuil Jokhang kan? Bawa kamera kan?” lanjut pria itu penuh semangat. Apakah orang ini bisa meramal? Tetapi memang benar saya sedang berkalung kamera (walaupun sudah rusak). Ditambah lagi dengan teori probabilitas, 80 persen turis di Nepal yang tahu artinya Tashi Delek baru datang dari Tibet, dari jumlah itu sebagian besar hanya [...]

June 18, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 33: Pagi di Kathmandu

Lapangan Basantpur di dekat Hanuman Dhoka. (AGUSTINUS WIBOWO) Nepal, Never Ending Peace And Love, kerajaan mungil yang terjepit di antara dua raksasa dunia, dikelilingi pegunungan tinggi atap dunia, dan hidup dalam mistisme tanpa akhir. Sebuah hari yang baru di Kathmandu selalu dimulai dengan kegaduhan. Sebaris umat Hindu berkeliling menyusuri jalan-jalan kota, memainkan musik dan memanjatkan mantra. Ada drum, seruling, kendang, dan lonceng, mengingatkan umat untuk bersembahyang memuja dewa-dewi di kuil yang bertaburan di seluruh kota. Pusat kota Kathmandu adalah lapangan di istana kerajaan kuno, Lapangan Durbar. Di luar pagar istana, di sekeliling portal Hanuman Dhoka, banyak sekali kuil dan patung. Pagi hari, yang paling ramai adalah patung seram Kala Bhairab. Kala, artinya hitam. Patung ini pun berwarna hitam. Wajahnya seperti buto dalam tradisi Jawa, lengkap dengan kalung tengkorak manusia. Tangannya ada enam, tubuh besarnya menginjak sesosok tubuh. Di hadapannya, puluhan umat Hindu berbaris untuk menghaturkan sesajian. Kala Bhairab, mungkin adalah manifestasi dari Dewi Durga, sang Dewi Perang yang dipuja. Durga adalah pendamping Dewa Shiwa, dewa yang paling banyak pemujanya di antara ketiga dewa utama agama Hindu. Patung Kala Bhairab dipercaya punya kekuatan gaib. Siapa yang berbohong di hadapannya, langsung mati. Zaman dahulu, mereka yang punya perselisihan menyelesaikan masalah mereka di [...]

June 17, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 32: Thamel

Thamel meriah menyambut Hari Turisme Dunia. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya datang ke Nepal dirundung kegalauan. Kamera saya, tumpuan harapan saya satu-satunya untuk mengabadikan perjalanan ini, rusak. Masih bisa memotret, tetapi tidak lagi bekerja sempurna. Tak biasanya, kali ini saya tak menumpang bus murah dari perbatasan Kodari menuju ibu kota, tetapi nekad membayar taksi yang harganya lebih mahal tiga kali lipat. Hati saya gundah gara-gara kamera rusak. Tujuan saya hanya ingin cepat-cepat sampai di Kathmandu. Pemandangan sejak dari Tibet berubah drastis. Klakson bus bertalu-talu, bagaikan nada yang mengisi aliran lalu lintas di jalanan sempit berkelok-kelok, di tepi bukit hijau dan hamparan sawah. Pemandangan di sini sungguh mirip di Jawa, sawah, bukit, rumput, pohon, semuanya hijau. Jalan yang sempit dan bolong-bolong, gubuk di pinggir jalan, dan semrawutnya lalu lintas, benar-benar mirip. Tetapi yang membedakan, di sini banyak pos pemeriksaan polisi. Keamanan Nepal terus memburuk sejak gerilyawan Maois semakin menunjukkan pengaruhnya. Setiap mobil yang melintas harus berhenti, para penumpangnya menunjukkan dokumen, dan berjalan kaki melintasi pos. Orang asing boleh tetap tinggal di mobil, karena yang diincar polisi adalah gerilyawan Maois yang menyelundup. Begitu sampai di Kathmandu, saya langsung menuju Thamel, pusat berkumpulnya backpacker, setara dengan Jalan Jaksa di Jakarta atau Khaosan di Bangkok. Setelah [...]

June 16, 2014 // 0 Comments

Garis Batas 16: Semalam di Alichur

Alichur, Kota Gembala di Pengunungan Pamir (AGUSTINUS WIBOWO) Di antara semua kesusahan hidup di Tajikistan, yang paling berat adalah transportasi. Langar memang sangat terpencil. Letaknya bukan di jalan utama, sehingga dalam sebulan mungkin hanya ada satu kendaraan saja yang lewat. Saya ingin meneruskan perjalanan ke utara, menuju Pamir Highway yang menghubungkan Tajikistan dengan Kyrgyzstan, negara tujuan saya berikutnya. Tetapi menunggu satu bulan di Langar tentu saja bukan pilihan. Visa Tajikistan, yang saya beli dengan harga 250 dolar di Kabul, hanya memberi saya ijin tinggal satu bulan. Khalifa Yodgor memang orang baik. Tahu kesulitan saya, ia membantu mencarikan saya kendaraan yang akan membawa saya melanjutkan perjalanan. Pemilik mobil yang satu ini memang sudah lama menganggur. Tahu saya ingin ke Alichur, dia langsung mengeluarkan sederetan hitung-hitungan yang membuat kepala saya pening. “Jarak Langar ke Alichur 120 kilometer. Pergi pulang 240 kilometer. Naik turun gunung, 1 liter bensin cuma untuk 3 kilometer. Kamu paling tidak harus memberi 80 liter bensin.” “Bisa bayar tidak pakai uang?” “Terserah kamu, mau bayar pakai bensin atau bayar pakai uang?” Apakah dia menganggap saya sebagai suplier bensin yang selalu membawa 80 liter bensin ke mana-mana? Atau memang di sini, di mana BBM langka sampai harganya mencekik leher, bensin [...]

June 9, 2013 // 1 Comment

SNAP (2006): Mencari Warna-warni Kehidupan

No. 006/2006 SNAP (Majalah Fotografi) JALAN-JALAN | Asia Selatan Mencari Warna-warni Kehidupan NASKAH & FOTO: AGUSTINUS WIBOWO Ketika saya masih duduk di kelas 1 SD, pernah seorang guru bertanya tentang cita-cita. Saya menjawab dengan polosnya, “Ingin jadi turis!” “Lho, jadi turis, kan, bukan pekerjaan?” katanya terkejut. Hari ini, dua puluh tahun kemudian, saya berada di Afghanistan, setelah satu tahun lebih mengelana melintasi negeri-negeri Asia, dari gunung-gunung tinggi hingga padang pasir tak bertuan. Berjumpa dengan suku-suku terasing di pedalaman, hingga mengunjungi pabrik-pabrik senjata ilegal. Separuh turis, separuh jurnalis. Sama sekali tidak kusangka, cita-cita masa kecil kini tercapai. India Kaya Warna Perjalanan panjang ini adalah perjalanan mencari warna. Menemukan arti kehidupan yang tersembunyi dalam ragam-ragam budaya, serta saling berbagi dengan pembaca yang mungkin tak berkesempatan menengok sendiri. Kamera, bagi saya bukan hanya alat untuk mengabadikan pengalaman, namun juga media berkomunikasi dengan penduduk lokal. Memulai dari Beijing, Cina, setelah tiga bulan perjalanan darat sampailah saya di Nepal, sebuah negeri mungil yang terjepit di antara dua raksasa Asia, India dan Cina. Budaya Hindu begitu mewarnai kehidupan masyarakatnya. Warna mistis dan kepercayaan kuno, disemerbaki oleh harumnya asap dupa yang dibakar oleh para penganutnya, menjadikan Nepal negeri yang penuh misteri, terkunci di antara puncak-puncak salju yang [...]

December 30, 2006 // 5 Comments

1 6 7 8