Recommended

bandara

Port Moresby 20 Agustus 2014: Terbang bersama Air Niugini

“Satu hal yang kamu ingat,” kata seorang staf Kedutaan Indonesia di Port Moresby pada saya, “PNG itu singkatan Promise Not Guaranteed. Jangan dikira kalau kamu sudah punya tiket, kamu sudah pasti akan bisa terbang.” Minggu lalu, pemerintah Indonesia dan Papua Nugini menggelar pertemuan perbatasan tahunan di Port Moresby. Satu delegasi Indonesia 40an orang berangkat dari Jayapura, menyeberang perbatasan darat ke kota Vanimo di sisi Papua Nugini, dan dari sana mereka bersama rombongan Konsulat berencana menggunakan penerbangan domestik Air Niugini dari Vanimo ke Port Moresby. Tetapi begitu tiba di bandara, mereka diberitahu bahwa sudah tidak ada tempat duduk lagi bagi mereka, walaupun mereka semua sudah memegang tiket terkonfirmasi. Alhasil, delegasi besar itu terdampar di Vanimo, padahal pertemuan akan dibuka keesokan harinya! Tidak ada penerbangan lain sampai tiga hari ke depan. Dengan bantuan gubernur di Vanimo, akhirnya mereka berhasil terbang ke Port Moresby pada waktu terakhir, dengan men-charter pesawat khusus! Jacksons International Airport, Papua New Guinea (AGUSTINUS WIBOWO) Hari ini saya akan terbang dari Port Moresby menuju Daru, pulau kecil yang sebelumnya adalah ibukota Western Province—provinsi ujung barat yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Saya semula ingin menumpang perahu nelayan atau perahu kargo atau perahu cepat apa pun untuk menuju ke sana, tetapi [...]

January 12, 2015 // 23 Comments

Titik Nol 63: Angkasa Raya

Manusia sungguh tak ada artinya di hadapan gunung-gunung perkasa ini. (AGUSTINUS WIBOWO) Babak belur saya sampai di Jomsom, diterpa angin ribut dan badai pasir. Kaki saya sudah tak kuat lagi rasanya. Rambut jadi gimbal seperti Bob Marley di Muktinath. Selapis debu bercampur keringat membungkus tubuh. Ini adalah akhir perjalanan saya di Annapurna. Memang saya belum berhasil mengitari seluruh Sirkuit Annapurna, tetapi saya sudah bulat memutuskan untuk kembali ke Kathmandu esok hari dengan pesawat gunung dari Jomsom menuju Pokhara. Kekhawatiran terutama saya adalah visa India. Tiga minggu lalu saya sudah menyodorkan pengajuan visa ke Kedutaan India, diminta untuk mengambil visa seminggu sesudahnya. Karena sedang berada di Annapurna, sekarang saya sudah terlambat satu minggu untuk pengambilan visa. Masalah visa ini sempat menghantui tidur saya di Muktinath. Saya merengek-rengek di depan petugas visa yang kejam, yang hanya bisa memberi saya visa satu bulan. Saya terjepit di Nepal, negeri mungil yang dipepet satu raksasa besar di utara dan satunya lagi di selatan. Mimpi buruk itu membuat saya memutuskan untuk kembali ke Kathmandu secepatnya. Saya adalah orang yang percaya firasat. Mimpi bisa jadi pertanda alam yang menuntun takdir. Di pegunungan Himalaya ini, banyak penerbangan swasta yang namanya membawa-bawa misteri atap dunia. Sebut saja Yeti Airlines, [...]

August 20, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 57: Kawan Lama

Batu bertahtakan mantra-mantra Budhisme. (AGUSTINUS WIBOWO) Di balik lekukan gunung-gunung tinggi ini selalu ada kejutan. Gunung salju raksasa menyembul di antara awan di langit biru. Pada ketinggian lebih dari 3000 meter, alam berganti drastis. Kuil dan pagoda Budhisme Tibet, di hadapan hamparan batu mani dengan mantra suci, semakin menebarkan nuansa mistis. Semakin ke atas, habitat orang Hindu semakin berkurang. Penduduk di sini kebanyakan orang etnis Tibet, menganut agama Budha aliran Tantrisme. Kenangan tentang perjalanan di Tibet terulang lagi di sini. Bedanya, saya tak perlu kejar-kejaran dengan polisi. Sebenarnya yang tinggal di daerah ini bukan orang Tibet, karena istilah etnik Tibet lebih dikhususkan pada mereka yang melarikan diri dari negeri China. Penduduk distrik Manang adalah etnis Manangi, atau disebut Manangapa, atau Nyeshang. Secara fisik, kultur, dan agama, memang sangat mirip dengan orang Tibet. Orang Manangi terkenal mahir berdagang. Walaupun habitat mereka jauh di gunung tinggi, tetapi jaringan perdagangan orang Manangi merambah hingga Kathmandu, bahkan sampai ke Malaysia dan Singapura. Selain Manangi, di tanah tinggi ini juga ada orang Tamang, Rai dan Limbu. Perawakan mereka seperti orang Asia Timur, pendek, bermata sipit, hidung pesek. Tetapi jangan ditanya soal ketangguhan. Seperti halnya orang Gurung, suku-suku ini adalah pemasok tentara Gurkha. Penduduk desa tradisional [...]

August 12, 2014 // 0 Comments

Garis Batas 78: Pulang

Batas negara tak lagi berarti dari angkasa raya. (AGUSTINUS WIBOWO) Baru saja saya bernafas lega karena visa Iran sudah di genggaman, dan visa Turkmenistan sedang diproses, tiba-tiba sebuah SMS singkat dari Indonesia membuyarkan rencana perjalanan saya. “Papa mau kamu pulang Tahun Baru Imlek ini. Kami ada yang mau dibicarakan,” demikian bunyinya. Singkat, tetapi cukup mendebarkan jantung. Ayah yang selama ini tidak pernah meminta apa-apa dari saya, kali ini memohon saya dengan sangat untuk – pulang. Ya, pulang ke kampung halaman, mencari pekerjaan dan menetap di Indonesia, mengakhiri perjalanan di belantara Asia Tengah. Ayah baru-baru ini kena serangan jantung, dan saya tidak tega untuk tidak memenuhi permintaannya. “Kamu pulang saja, memang mau bagaimana lagi? Sebelum kamu menyesal seumur hidup, Gus,” demikian mbak Rosalina Tobing, kawan dekat saya di KBRI Tashkent, menganjurkan saya untuk segera membeli tiket ke Kuala Lumpur. Kebetulan sedang ada promosi dari Uzbekistan Airways, harga tiket ke Malaysia hanya 299 dolar. Singkat cerita, saya sudah di Bandara Internasional Tashkent. Petugas imigrasi Uzbekistan memang sudah tersohor korupnya, semakin ganas dengan rumitnya birokrasi negara ini. Berbekal ‘surat sakti’ dari KBRI pun masih belum menenangkan hati saya. Saya terus memanjatkan doa, melewati pos demi pos. Pos terakhir yang paling saya takuti, pos [...]

October 1, 2013 // 11 Comments