Recommended

Darchen

Titik Nol 14: Altar Mao Zedong

Mao Zedong dipuja bersama dewa-dewi Budha di altar sebuah rumah di pedalaman Tibet. (AGUSTINUS WIBOWO) Potret pemimpin Partai Komunis China itu kini bersanding di altar, di samping gambar Boddhisatva Avalokiteshvara, Sang Dewi Kwan Im. Sesajian, lilin, bunga, dan lampu mentega menghiasi sudut rumah yang paling terhormat ini. Apakah Mao sudah menjadi dewa bagi orang Tibet? Dari Darchen ke arah selatan kendaraan sangat jarang. Tak banyak yang melintas dari sini ke arah Lhasa kecuali turis. Sehari mungkin hanya ada satu kendaraan, malah kadang tiga hari pun tak ada sama sekali. “Untung-untunganlah, lihat nasib,” kata Xiao Wang, pemilik warung Sichuan di Darchen. Saya pun mencoba peruntungan saya hari ini, berangkat dengan kaki yang masih pincang ke arah jalan umum tiga kilometer di selatan Darchen, mencegat truk yang lewat, naik bak terbuka, diaduk-aduk bersama kambing di atas jalan yang bergerunjal.. Seorang biksu, yang sama-sama menumpang truk itu bersama kawanan kambing, hanya memandang tanpa ekspresi. Suara motor truk berderu kencang, menenggelamkan semua bunyi di bak terbuka. Saya harus berteriak-teriak untuk bicara dengan biksu itu, yang kemudian dibalas dengan pandangan penuh tanda tanya karena tak mengerti bahasa Mandarin. Truk bergoyang hebat, menggoncang semua yang ada di atas bak terbuka seperti gempa bumi skala dahsyat. Kawanan [...]

May 20, 2014 // 3 Comments

Titik Nol 13: Danau Suci

Danau Suci Manasarovar. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tercebur ke dalam sungai dari mata air Kailash. Sungai ini dalam dan arusnya kencang. Tubuh saya terseret terbawa arus. Tangan pemuda itu dengan cekatan menangkap saya yang terjatuh dari batu. Basah kuyup saya menaiki batu-batuan ini. Tangan kanan saya dituntunnya. Sekali lagi saya terpeleset, nyaris hanyut. Tetapi bocah gembala ini tak hilang keseimbangannya. Saya begitu berterima kasih ketika berhasil mencapai tepi sungai. Saya tak bisa membayangkan apa yang terjadi jika hanyut sampai ke sungai besar di seberang sana. Kamera saya rusak. Paspor saya basah kuyup. Sekujur tubuh saya menggigil kedinginan. Tetapi saya harus maju. “Darchen masih jauh,” kata bocah itu dengan bahasa Mandarin yang terbata-bata. Ia menunjukkan peta Kailash dari buku pelajarannya. “Di sini sekarang kamu berada,” katanya menunjuk sebuah titik di sebelah barat lingkaran kora. Masih dua puluh kilometer lagi ke Darchen, dan hari sudah mulai beranjak senja. Dengan perasaan hancur lebur, saya menyeret kaki saya yang sudah mulai lumpuh untuk terus maju. Tiga jam perjalanan yang dilewatkan dengan meringis kesakitan. Saya bersorak gembira ketika sampai di sebuah desa. Ada tiang penuh dengan bendera doa. “Bukan. Ini bukan Darchen!” kata seorang turis Korea yang saya jumpai. Darchen masih 13 kilometer lagi jauhnya. Ini [...]

May 19, 2014 // 4 Comments

Titik Nol 10: Kora

Kailash menjulang di balik kibaran bendera doa. (AGUSTINUS WIBOWO) Orang Hindu menyebutnya Kailash. Orang Tibet menyebutnya Permata Agung. Dalam  bahasa Mandarin namanya Shenshan, Gunung Dewa. Menjulang pada ketinggian 6638 meter, bertudung langit malam yang cerah. Ribuan bintang bertabut di angkasa raya. Langit menangkup ke seluruh batas cakrawala. Lolongan anjing bersahut-sahutan. Bulan bulat purnama. Keheningan malam membungkus Darchen. “Kamu harus banyak istirahat,” kata Xiao Wang, pria Sichuan pemilik warung, “keliling Gunung Dewa bukan perjalanan mudah. Kalau dalam perjalanan nanti lelah, jangan dipaksa. Di atas sana oksigen sangat tipis.” Xiao Wang kemudian menceritakan tentang peziarah India yang bertubuh tambun dan mati di puncak sana. Tetapi karena ia Hindu, penduduk Tibet tak mengizinkan mayatnya dibakar di sini. Jenazah pria malang itu dibawa pulang lagi ke negaranya, melalui perjalanan panjang melintasi barisan gunung suci. “Malangkah pria itu? Sama sekali tidak,” lanjut Xiao Wang, “bagi mereka yang percaya, mati di tempat sesuci ini adalah berkah yang tiada terkira.” Sejak China mengibarkan benderanya di Tibet, Dalai Lama mengungsi, hubungan China-India terus memburuk, kesempatan bagi orang Hindu India untuk sekadar melihat wajah Kailash – tempat paling suci dalam agama mereka – sangat tipis. Hanya mereka yang teramat sangat beruntung yang bisa memperoleh visa datang ke sini. Kailash [...]

May 14, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 9: Darchen

Sebagai dusun peziarah dan turis, Darchen dipenuhi hotel dan restoran. (AGUSTINUS WIBOWO) Cemas masih menggerayangi ketika mobil mulai oleng diterpa air sungai yang menderas. Kami tepat di tengah-tengah. Dua puluh meter ke belakang, dua puluh meter ke depan, untuk bisa keluar dari kubangan menyeramkan ini. Sopir memilih mundur. Para penumpang sudah menjerit marah bercampur ketakutan. Beberapa lelaki Tibet turun, ikut mendorong mobil yang tertambat. Tepat sepuluh menit berkubang, mobil kami akhirnya berhasil mencapai tepian. Para penumpang mendengus kesal. Barang bawaan mereka yang ditaruh bagasi belakang semua jadi hitam bercampur lumpur. Ibu polisi Tibet itu lebih sedih lagi, sekarung beras yang dibawanya juga jadi beras lumpur. “Itulah pengabdian,” katanya sambil menghela nafas panjang, ketika kami melanjutkan perjalanan. Saya tersentuh oleh pengabdian polisi senior ini. Gajinya cuma 2500 Yuan. Di Tibet, di tempat yang terpencil dengan semua harga barang melambung tinggi, gaji itu sama sekali tidak ada apa-apanya. Naik bus seperti ini sepuluh kali saja sudah habis. Untuk makan tiga orang aja selama satu bulan juga tidak cukup. Belum lagi untuk tabungan, biaya hidup anak dan keluarganya. Tetapi bu polisi tetap tegas menjalankan tugas, menegakkan hukum di pelosok terjauh Republik Rakyat China, tak peduli dengan rengekan orang asing yang melakukan perjalanan-perjalanan ilegal. [...]

May 13, 2014 // 0 Comments