Recommended

fotografi

Titik Nol 192: Padang Pasir

Sebuah gubuk di tengah gurun (AGUSTINUS WIBOWO) Benteng kuno Umerkot membayangi seluruh penjuru kota kecil ini. Anggun dan gagah, walaupun sudah tak banyak sisanya. Kota kelahiran Akbar-e-Azam, raja terbesar dinasti Mughal, kini menjadi kota Hindu terpencil jauh di pedalaman Sindh di selatan Pakistan. Lebih tragis lagi, tempat kelahiran Akbar, kini ditandai dengan sebuah gedung prasasti kecil tak menarik, terlupakan di pinggiran Umerkot. “Dia memang raja besar, tetapi dia melupakan akarnya, tanah kelahirannya,” keluh seorang penduduk Umerkot. Sejarah masa lalu Umerkot memang pernah sangat gemilang. Raja besar dunia pernah lahir di sini, dan para penakluk perkasa pernah melintasi kota ini untuk menaklukan negeri di seberang beringasnya padang pasir Thar. Tetapi gurun ini tidak selalu ganas dan muram. Di siang hari, wajah kota ini menjadi semarak luar biasa dengan datangnya orang-orang dari pedalaman padang gurun Thar. Wanita-wanita dari gurun terkenal dengan pakaian yang berwarna-warni liar, seperti pemberontakan terhadap kering dan monotonnya padang pasir. Ada warna merah membara bergambar bunga-bunga, ada hijau yang memberi kesegaran, ungu yang sejuk, dan biru gelap seperti warna langit. Yang Hindu kebanyakan memakai choli dan polka, kaus ketat dan rok panjang sampai ke mata kaki. Wanita Muslim biasanya masih setia dengan shalwar kamiz, celana kombor dan jubah panjang. [...]

May 19, 2015 // 1 Comment

Selimut Debu 23: Kantor Berita

  Pengalaman duduk di newsroom (AGUSTINUS WIBOWO) Pajhwok Afghan News adalah kantor berita lokal terbesar di Afghanistan. Aku beruntung diperkenalkan oleh seorang teman jurnalis Indonesia kepada direktur dari kantor berita ini. Mulai hari ini, aku pun mencicip pengalaman bekerja di newsroom. Berita yang dihasilkan Pajhwok dimuat secara Online dan diperbarui setiap menit. Mereka mendapat dana dengan berbasis langganan. Untuk berlangganan berita-berita dari Pajhwok, biayanya masih cukup mahal untuk standar kantong warga lokal. Biaya langganan tergantung dari status pelanggan, bisa mencapai US$200 per bulan untuk perusahaan besar, NGO asing, dan kedutaan. Kantor berita ini menyajikan berita dalam tiga bahasa, yaitu Farsi, Pashto, dan Inggris. Direktur Pajhwok adalah seorang pria etnis Pashtun yang kurus dan tinggi bernama Danish Karokhel. Dia memberikan padaku sejumlah buku yang bisa aku baca sebelum  aku berkeliling negara ini. Dia bahkan menjanjikan akan memberikan bantuan dari seluruh penjuru Afghanistan, karena kantor berita ini mempunyai kantor lokal di berbagai kota di Afghanistan. Danish memintaku datang pagi-pagi ke kantor untuk berjumpa dengan fotografernya. Pajhwok hanya punya seorang fotografer di kota ini, sedangkan sejumlah koresponden di luar kota juga mengirimi mereka foto-foto berita. Peralatan yang mereka gunakan hanyalah kamera digital kecil dengan merek Sony. Danish mengatakan aku bisa berdiskusi dengan Wali, [...]

November 27, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 94: Kembali ke Dunia Normal

Pagi di Turkmenabat (AGUSTINUS WIBOWO) Eksodus. Lima hari di negeri yang penuh keanehan dan keajaiban sudah lebih dari cukup untuk mendorong setiap bintik sel dalam tubuh saya menggelegak, tak sabar lagi untuk kembali ke dunia normal. Ruhnama memang punya gaya gravitasi yang tiada duanya. Para penumpang kereta bak magnet tertarik ke arah saya, orang asing dari negeri seberang yang begitu khusyuk membaca Ruhnama. Ada yang antusias melantunkan lagu kebangsaan Turkmenistan, “Ciptaan agung Sang Turkmenbashi, tanah air, negeri berdaulat, Turkmenistan cahaya dan nyanyian jiwa, berjayalah selama-lamanya…” Saya jadi akrab dengan Kalkali, seorang tentara muda berumur 20 tahun. Dia adalah minoritas etnik Azeri, wajahnya tampan, alisnya tebal, hidungnya mancung, mata lebarnya hitam pekat, dan perawakannya sangat gagah perkasa. Orang-orang Azeri, pemilik negara Azerbaijan di seberang Laut Kaspia sana, adalah salah satu kaum minoritas terbesar di Turkmenistan. Kalkali bukan orang Turkmen biasa, dunianya bukan cuma Ruhnama. Dia sudah pergi ke Kyrgyzstan, Uzbekistan, India, Sri Lanka, sebagai atlet sepak bola nasional. “Saya juga sudah melihat dunia,” katanya bangga. Sekarang Kalkali jadi tentara. Semua pria Turkmen harus menjalani wajib militer selama dua tahun. Tentang kehidupannya sebagai tentara, Kalkali cuma bilang lumayan dan tidak terlalu buruk. Gajinya 5 dolar per bulan. Masih jauh lebih bagus daripada [...]

October 23, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 84: Ketakutan

Penuh tentara (AGUSTINUS WIBOWO) Saya masih mencoba untuk mencari jawab akan rasa hormat dan takzim yang demikian tiada bandingan terhadap Sang Turkmenbashi. Apakah euforia abad emas yang begitu memesonakan? Atau mungkin hasil cuci otak dengan bilasan ideologi? Atau bahkan rasa takut yang sudah tersembunyi di sudut hati dan ikut mengalir bersama aliran darah? Rasa takut terus menghantui saya ketika menyusuri jalanan kota Ashgabat. Bukan karena lalu lintas maut seperti di Jakarta, karena jalanan megah dan lebar di kota ini hampir selalu lengang. Bukan karena pencopet atau pencuri, karena kota ini tak pernah ramai. Juga bukan karena patung-patung bisu Turkmenbashi. Saya merasa seperti berada di kota perang. Polisi dan tentara berseragam berpatroli di mana-mana, tanpa henti, sepanjang hari. Ada mata-mata jelmaan KGB yang terus mengintai. Di tiap sudut jalan setidaknya ada sepasang tentara yang mondar-mandir dengan langkah tegap, menyebarkan aura kegagahan dan keperkasaan. Tetapi aura yang mencapai permukaan kulit saya adalah rasa takut yang mencekam. Saya merasa setiap langkah saya selalu diawasi oleh mata-mata tanpa wujud. Setiap gerak-gerik saya terpantau, bahkan mungkin hembusan nafas saya di negeri ini pun ada yang memindai. Pusat kota Ashgabat memang daerah yang teramat sangat sensitif, yang menjadi alasan ketatnya pengamanan. Ada istana presiden yang berkubah [...]

October 9, 2013 // 2 Comments

SNAP (2006): Mencari Warna-warni Kehidupan

No. 006/2006 SNAP (Majalah Fotografi) JALAN-JALAN | Asia Selatan Mencari Warna-warni Kehidupan NASKAH & FOTO: AGUSTINUS WIBOWO Ketika saya masih duduk di kelas 1 SD, pernah seorang guru bertanya tentang cita-cita. Saya menjawab dengan polosnya, “Ingin jadi turis!” “Lho, jadi turis, kan, bukan pekerjaan?” katanya terkejut. Hari ini, dua puluh tahun kemudian, saya berada di Afghanistan, setelah satu tahun lebih mengelana melintasi negeri-negeri Asia, dari gunung-gunung tinggi hingga padang pasir tak bertuan. Berjumpa dengan suku-suku terasing di pedalaman, hingga mengunjungi pabrik-pabrik senjata ilegal. Separuh turis, separuh jurnalis. Sama sekali tidak kusangka, cita-cita masa kecil kini tercapai. India Kaya Warna Perjalanan panjang ini adalah perjalanan mencari warna. Menemukan arti kehidupan yang tersembunyi dalam ragam-ragam budaya, serta saling berbagi dengan pembaca yang mungkin tak berkesempatan menengok sendiri. Kamera, bagi saya bukan hanya alat untuk mengabadikan pengalaman, namun juga media berkomunikasi dengan penduduk lokal. Memulai dari Beijing, Cina, setelah tiga bulan perjalanan darat sampailah saya di Nepal, sebuah negeri mungil yang terjepit di antara dua raksasa Asia, India dan Cina. Budaya Hindu begitu mewarnai kehidupan masyarakatnya. Warna mistis dan kepercayaan kuno, disemerbaki oleh harumnya asap dupa yang dibakar oleh para penganutnya, menjadikan Nepal negeri yang penuh misteri, terkunci di antara puncak-puncak salju yang [...]

December 30, 2006 // 5 Comments