Recommended

kemanusiaan

Titik Nol 117: Melek Huruf

Di sini semua orang bisa baca tulis Penderitaan di Karimabad yang membeku tidaklah sia-sia. Di sinilah Al menemukan jati dirinya yang selama ini ia cari. Di sinilah ia menemukan komunitas saudara-saudari seiman. Al tak jadi pindah pemondokan. Semua pemondokan sama dinginnya, bahkan Hunza Darbar yang tarifnya 40 dolar per malam itu pun tak punya listrik dan pemanas. Tak ada pesawat ke Islamabad, karena cuaca buruk di musim dingin di daerah yang diapit gunung-gunung bertudung salju sungguh berbahaya bagi penerbangan. Daripada berdiam diri di Karimabad, kami turun ke desa di kaki bukit. Namanya Ganesh, entah kenapa mirip nama dewa Hindu. Kalau di Karimabad penduduknya semua Ismaili, hanya beberapa ratus meter saja di desa Ganesh ini penduduknya penganut Syiah. Kakek Haider sebenarnya adalah penganut Syiah, tetapi Al terlanjur menganggapnya sebagai pemeluk Ismaili dan masih terpesona dalam kegembiraan hidup bersama komunitas orang-orang seiman. Biarlah, biar Al hidup dalam euforianya. Dari Ganesh, kami naik kendaraan Suzuki sampai ke desa berikutnya, Aliabad. Di Pakistan, orang biasa menyebut kendaraan umum menurut merknya. Yang dimaksud Suzuki adalah mobil pickup ukuran kecil. Bagian belakangnya dikasih terpal, untuk tempat duduk penumpang. Kalau tidak cukup, penumpang pria sampai duduk di atap atau berdiri di luar, bergelantungan pada besi bak belakang. [...]

February 3, 2015 // 0 Comments

Titik Nol 111: Negeri Berjuta Warna

Negeri berjuta warna (AGUSTINUS WIBOWO) Hindustan, negeri Bharat yang jaya, meninggalkan berbagai kenangan. Berjuta warna satu per satu diputar kembali dalam memori saya, ketika matahari mulai perlahan-lahan terbenam menerbakan semarak senja di kota Amritsar. Ini adalah senja terakhir yang saya lihat di negeri ini. Saya datang ke India dengan secarik mimpi. Mimpi yang saya dapatkan dari beberapa film Bollywood yang pernah saya tonton. Gadis cantik berpakaian bak putri raja tinggal di rumah seperti istana, mengejar cintanya pada pangeran tampan, yang kemudian menari bersama diiringi ratusan orang yang entah muncul dari mana. Mimpi Hindustan yang saya bawa adalah mimpi tentang kehidupan gemerlap, semua orang kaya, punya mobil mewah, punya lusinan pembantu, sopir berseragam, kepala rumah tangga yang cerdas, dan helikopter di atap rumah. Tetapi, secuil Hindustan tempat saya menginjakkan kaki pertama kali adalah stasiun kota Gorakhpur, di mana pengemis bocah merintih tanpa henti, sapi berkeliaran di dalam peron, dan orang yang tidur di lantai tanpa alas. Selanjutnya adalah New Delhi yang penuh dekan tukang tipu di pasar, teriakan “Hallo! Hallo!”, bau pesing, jalan bolong-bolong, losmen tempat pasangan manusia mengumbar nafsu birahi, penderita kusta dan tumor terbaring tak berdaya di pinggir jalan yang hiruk pikuk oleh pejalan lalu-lalang namun tak satu pun [...]

January 26, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 107: Dipertemukan oleh Takdir

Mahasiswi kedokteran menempuh ujian praktek (AGUSTINUS WIBOWO)           “Bagaimana keadaanmu?” tanya dokter Gurpreet ramah. Kulitnya hitam manis, rambutnya tergerai. Wajahnya cantik sekaligus nampak sangat terpelajar. “Kamu suka tinggal di rumah sakit ini?” Saya mengangguk. Suka dan duka bercampur di sini. Selain pasien-pasien India yang ramah dan murah hati, dokter-dokter muda di sini juga sangat perhatian. Dokter Gurpreet sedang sibuk belajar untuk ujian minggu depan, tetapi masih menyempatkan waktu mendengarkan kisah-kisah perjalanan saya. Saya pun senang dengan perhatiannya. “Hari ini,” kata dokter Gurpreet, “kami mau minta tolong lagi. Kamu masih mau kan jadi bahan ujian?” Nampaknya saya juga tak punya banyak pilihan. Kemarin tiga sesi pemeriksaan oleh mahasiswi pesera ujian sangat melelahkan. Hari ini saya harus diperiksa lima orang. Masing-masing satu jam. Sebagai pasien, ‘jam kerja’ saya ternyata lumayan banyak juga. Kalau kemarin pemeriksaannya menyenangkan karena sebentar-sebentar, sekarang saya dijadikan contoh kasus long case.. Mahasiswi tidak hanya mendiagnosa temperatur dan tekanan darah saja, tetapi menanyakan masa lalu saya. “Sudah pernah melakukan hubungan seksual?”, “Berapa kali? Memakai alat kontrasepsi kah?”, “Pernah menghisap madat?”, “Bagaimana lingkungan pergaulanmu?”, dan berbagai pertanyaan privasi lainnya. Ada mahasiswi yang juga mengukur tinggi dan berat badan segala, padahal saya cuma penderita [...]

January 20, 2015 // 10 Comments

Titik Nol 106: Opname

Fasilitas rumah sakit Lady Hardinge (AGUSTINUS WIBOWO) “Selamat pagi!” Suntikan vitamin K itu menjurus tajam melintasi pembuluh vena, tepat ketika saya baru membuka mata. Suster kembali memasang jarum infus. Sakit. Sepanjang malam cairan gula disuntikkan terus-menerus ke dalam tubuh saya. Tak sebutir pun nasi mengalir melalui mulut saya. Semuanya ditembakkan langsung ke pembuluh darah. Rombongan dokter India ‘berpatroli’ dari ranjang ke ranjang. Saya dikelilingi delapan orang dokter, semua berjubah putih. Ada bu dokter yang berambut tergerai, ada pak dokter yang gemuk, berkumis tebal dan berkaca mata. Ada yang menginterogasi, ada yang mencatat. “Bagaimana keadaanmu?  Sudah mendingan? Bagaimana tidurnya? Apa warna air seninya?” Di sebelah saya ada seorang Amerika yang juga diopname tanpa alasan jelas. Turis Amerika yang satu ini tampaknya kelelahan, keliling seluruh penjuru India dari Shimla sampai Tamil Nadu, dari Rajasthan sampai Bengal, hanya dalam waktu satu bulan. Kalaupun sakit itu sudah wajar. Dia hanya menderita pusing-pusing, lemas, dan diare, dokter sudah memerintahkan opname. Saya sendiri sebenarnya penyakitnya ringan saja. Berapa juta penduduk India yang kena hepatitis kelas berat? Pasien di ranjang sebelah dari ujung kepala sampai ujung kaki warnanya kuning mengerikan. Di luar sana banyak pasien yang menderita TBC, kusta, tumor, dan penyakit seram lainnya, yang harus menunggu [...]

January 19, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 105: Ruang Gawat Darurat

Anjing di ruang gawat darurat (AGUSTINUS WIBOWO) Jarum infus disuntikkan ke tangan saya yang sudah menguning. Saya ingin berbaring, tapi tak bisa. Sudah ada dua orang lain di atas dipan. Mata kuning pekat pasien-pasien lain membuat saya semakin takut. Sementara anjing kecil berkeliaran di antara kasur ruang gawat darurat rumah sakit ini. Rumah Sakit Lady Hardinge didirikan lebih dari 90 tahun lalu ketika Ratu Mary mengunjungi New Delhi. Sekarang rumah sakit yang merangkap sebagai sekolah kedokteran ini adalah salah satu yang paling direkomendasikan di ibu kota. Saya pun menaruh harapan kesembuhan dari penyakit kuning. Tetapi perjuangan masih panjang. Ratusan orang lalu lalang tanpa henti di halaman rumah sakit. Gedungnya besar sekali, saya tak tahu harus ke mana. Puluhan perempuan duduk bersila di atas lantai karena tidak ada cukup tempat duduk. Sampah berserakan di mana-mana. Tak ada tempat bertanya karena semua orang sibuk dengan urusan masing-masing. Orang sakit punya egoisme yang tinggi juga. Susah payah saya menemukan ruang konsultasi. Sudah ada antrean dua puluhan pasien perempuan. Masing-masing membawa formulir registrasi. “Di mana kita bisa mendapat formulir?” saya bertanya pada seorang pasien yang menutup wajahnya dengan kerudung. Ia tak memberi jawaban jelas. Pertama kali seumur hidup saya merasakan diinfus. Sekujur tubuh sudah [...]

January 16, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 103: Mimpi di Air Keruh (2)

Tukang setrika berpose dengan bajunya yang terbaik (AGUSTINUS WIBOWO) “Tunggu dulu,” kata Muhammad, lelaki dari Bihar. Kulitnya hitam, matanya kuning tak bercahaya. Senyum bahagia tersungging di wajahnya. Ia memilih pakaiannya yang paling bagus, jubah panjang berwarna coklat bermotif bunga-bunga emas. “Sekarang kamu boleh potret saya,” katanya. Dengan bangga ia berpose di ruang kerjanya yang sempit, pengap, dan kumuh. Muhammad adalah tukang setrika. Tumpukan ratusan baju dari dhobi ghat Mahalaksmi mengalir ke ruang sempit ini. Setrika andalannya entah berasal dari zaman mana sebelum saya lahir. Bentuknya sederhana. Tebal lempeng besinya hanya sekitar tiga sentimeter. Pegangannya sudah dibalut banyak tembelan. Kabel listrik yang sudah melintir tertancap pada salah satu sudut setrika itu. Seperti Vinoj si tukang cuci, dulu Muhammad juga datang ke Mumbai dengan sebongkah mimpi. Mimpi yang sama pula. Nasibnya pun tak jauh berbeda, berakhir di ruangan kecil bertembok merah muda, dengan dinding yang sudah terkelupas di mana-mana. Tempat tinggal Muhammad tak jauh dari dhobi ghat. Ini adalah kampung para penjemur dan tukang setrika. Saya melihat lautan kain putih tergantung di tambang yang berseliweran di lapangan ini. Tanahnya tertutup beberapa lapis sampah, mulai dari kulit pisang, plastik, kertas.. Bau busuk menyebar ke mana-mana. Di sinilah mereka tinggal. Rumah-rumah kecil dan sederhana [...]

January 14, 2015 // 2 Comments

Titik Nol 102: Mimpi di Air Keruh

Pencucian dhobi ghat di Mahalaksmi (AGUSTINUS WIBOWO) Di antara beragam suratan nasib yang diterima umat dari berbagai kasta, ada jutaan yang ditakdirkan menjadi dhobi, tukang cuci. Di kota Mumbai, para dhobi tenggelam dalam perkampungan kumuh yang terbentang menggurita tersembunyi bisnis binatuan terbesar di Asia. Sebut saja Vinoj. Pria berusia tiga puluhan tahun ini berasal dari propinsi Bihar, dua ribu kilometer jauhnya dari sini. Sepuluh tahun lalu, Vinoj datang ke Mumbai membawa sebongkah mimpi—hidup makmur bergelimang harta, bangkit dari kenistaan kemiskinan di kampungnya. Ini adalah mimpi yang sama dengan puluhan juta manusia lainnya yang menghuni kawasan miskin di kota metropolis ini. Tetapi kota ini sudah terlalu penuh sesak oleh orang-orang penuh mimpi seperti Vinoj. Kota ini kejam, rodanya menggilas mereka-mereka yang hanya datang dengan mimpi. Sudah belasan juta mulut yang mengais rezeki di sini. Tak semua orang seberuntung artis Bollywood. Nasib Vinoj, istri, dan kedua anaknya berakhir di dhobi ghat, di antara ruas-ruas batu, air keruh, dan ratusan ribu helai kain. Ghat, dalam bahasa Sansekerta, berarti anjungan di pinggir sungai, biasanya untuk membasuh tubuh. Di tepian sungai Gangga atau di tepi danau suci Pushkar tersedia undak-undakan tempat umat Hindu melakukan mandi suci. Dhobi ghat adalah ghat untuk para dhobi—tukang cuci. Bentuknya [...]

January 13, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 101: Dua Dunia

Pemukiman kumuh bertumbuh bersama metropolis modern (AGUSTINUS WIBOWO) Mumbai adalah dua dunia yang hidup bersama, kontras-kontras yang saling berpadu, membentuk sinergi warna-warni kehidupan yang dinamis, energik, namun juga penuh derita dan air mata. Tak seharusnya saya mengeluh terlalu banyak dengan penyakit kuning yang saya derita. Setidaknya saya masih bisa tidur di atas kasur, minum air gula banyak-banyak, berjalan-jalan, memotret, dan segala kenikmatan lain yang mungkin hanya mimpi bagi para gelandangan yang tidur beralas kertas karton di trotoar. Saya tinggal di daerah Colaba di selatan Mumbai atau Bombay. Daerah ini hiruk pikuk. Gedung megah berarsitektur kolonial berbaris rapi. Jalan beruas-ruas, sempit, digerayangi mobil-mobil mewah. Orang-orang Mumbai yang berlalu lalang berpacu dengan modernitas. Tak sedikit perempuan yang bermake-up tebal, memakai baju dengan mode terkini. Yang pria pun bertubuh kekar, berpakaian ketat, seperti bintang Bollywood. Imej India yang ditemukan dari film-filmnya memang ada di sini. Tetapi, di distrik yang sama, di tempat di mana orang-orang kelas atas berlalu lalang membeli pakaian terkini dan makanan menu internasional, hidup pula kelompok manusia kelas bawah. Ada ibu dan tiga anaknya yang terpejam pulas di trotoar. Ada pula yang tidur di atas kereta dorong kaki lima. Air liur mengalir di pipi pria muda ini, ia larut dalam [...]

January 12, 2015 // 4 Comments

Titik Nol 100: Sakit Kuning

Kereta api menuju Mumbai (AGUSTINUS WIBOWO) Tubuh saya lemas. Tenggorokan kering. Tak ada nafsu makan sedikit pun.. Saya sempat muntah beberapa kali, yang keluar hanya cairan bening. Dengan keadaan yang lemas ini saya masih harus bersaing dengan puluhan penumpang yang tidak sabaran. Semua orang punya karcis, seharusnya tidak perlu berebut. Tetapi jangan berdiskusi soal kebiasaan buru-buru. Orang India selalu berebut setiap kali naik atau turun kendaraan, seolah-olah mereka adalah manusia super sibuk yang selalu dikejar waktu. Padahal di saat lainnya biasa berleha-leha membuang waktu yang tak berharga. Saya membeli karcis yang agak mahal, sebuah ranjang yang bisa digunakan untuk tidur sepanjang perjalanan panjang dari Jaipur ke kota Mumbai di selatan. Satu kompartemen terdiri dari empat ranjang, masing-masing dua susun berhadap-hadapan. Saya memilih ranjang di bawah karena takut terjatuh kalau tertidur dalam kereta yang berguncang-guncang hebat. Perjalanan ini melintasi jarak 1.200 kilometer, membuat saya akan meloncat langsung dari warna-warni tradisional Rajasthan menuju kota metropolis Mumbai yang sering muncul di film-film glamor Bollywood. Tetapi saya tidak berpikir apa-apa. Saya hanya ingin tidur sepanjang perjalanan ini. Tak bisa tidur. Ranjang bawah tempat tidur saya berfungsi sebagai tempat duduk para penumpang sekompartemen. Mereka makan dan minum sepanjang perjalanan. Bocah-bocah bersenda gurau, menumpahkan bumbu masala [...]

January 9, 2015 // 9 Comments

Agama, Nasionalisme dan Kemanusiaan di Mata Agustinus Wibowo

Senin, 03 Maret 2014 13:31 WIB ( 570 Views ) http://islamindonesia.co.id/detail/1485-Agama-Nasionalisme-dan-Kemanusiaan-di-Mata-Agustinus-Wibowo#sthash.vTZddrUA.dpuf Penulis : Lina Agustinus Wibowo saat mengisi workshop di Kantor Mizan Pustaka, Bandung pada Sabtu, (01/03/14). Perjalanan adalah jembatan antara nilai-nilai universal yang menyangkut agama, nasionalime, dan kemanusiaan.   Nama Agustinus Wibowo mulai mendapat tempat di hati para traveler Nusantara dengan tiga buku best-sellernya, yakni Selimut Debu, Garis Batas dan Titik Nol. Bukan hanya karena kisah perjalanannya yang unik dan penuh tualang, tapi juga karena paradigma baru yang berhasil ia tawarkan pada para pembaca. Sebuah paradigma yang mampu menyentuh hati—tentang bagaimana memaknai tiap langkah manusia, hingga mampu mengubah pola pikir yang kadang, menjadi garis batas bagi dirinya sendiri—dengan agamanya—dengan etnisnya—dengan negaranya—yang sebetulnya mengkerangkeng nilai-nilai universal yang dimiliki setiap manusia. Ditemui di sela-sela mengisi Workshop di Kantor Mizan Pustaka, Bandung, lelaki kelahiran Lumajang, Jawa Timur ini bercerita panjang lebar tentang pengalamannya selama menjadi traveler—terkait agama, nasionalisme dan kemanusiaan. Berikut ini adalah petikan wawancara dengan Agustinus Wibowo; Latarbelakang keagamaan Anda? Orangtua saya Budhis, tapi saya disekolahkan di sekolah Kristen. Jadi, saya juga ke sekolah Minggu, juga ke Vihara. Saya dibesarkan dalam kultur dua agama [...]

March 3, 2014 // 8 Comments

Selimut Debu 70: Saudara Sebangsa

Para pria Pakistan ini memang katanya datang ke sini untuk membawa perubahan. Lihat celana modern dan jaket-jaket bulu yang mereka pakai. Coba dengarkan gemeresik radio yang mereka putar. Belum lagi mulut-mulut yang bercakap bahasa Inggris dengan fasih. Faizal-ur-Rahman, Juma Khan, dan yang lain-lainnya, datang dari Chapursan di Pakistan di balik gunung sana. Mereka menganut Islam Ismaili yang sama, bicara bahasa yang sama, tetapi betapa modernnya orang-orang ini di mata penduduk desa. Kelima belas orang ini umumnya adalah tukang batu dan tukang bangunan. Tugas mereka adalah membangun gedung sekolah di desa, proyek dari Central Asia Institute, sebuah NGO yang katanya cukup bermasalah. Ada yang menatah batu, ada yang mengangkut dengan traktor. Ada yang mengaduk semen, ada yang memasang tembok dan jendela. Penduduk desa kadang ikut membantu menyiapkan teh dan makanan kecil. Semua tidak sabar ingin melihat gedung sekolah mungil ini cepat selesai. Sekarang, anak-anak masih harus berjalan kaki empat kilometer untuk sampai di sekolah tenda berlogo UNICEF. Bukan berarti orang Wakhan miskin-miskin. Ada cukup banyak pula orang kaya di sini. Akimboy salah satunya. Juga Bulbul, yang rumahnya di bawah bayang-bayang puncak salju Baba Tangi. Nama Bulbul memang berarti burung bulbul. Ternaknya ada ratusan. Dua adik Bulbul sekarang tidak tinggal di desa. [...]

January 31, 2014 // 5 Comments

Selimut Debu 65: Kebahagiaan yang Sederhana

Hidup di Ghoz Khan begitu sederhana. Nyaris tanpa fasilitas apa pun. Tapi kedamaian, bebas dari ketakutan, adalah kebahagiaan hidup yang sangat mahal di Afghanistan. Dan di sini mereka berlimpah itu. Minimnya fasilitas menyebabkan mereka menaruh mimpi-mimpi tinggi pada Tajikistan. Tidak ada dokter, selain dokter Alex yang berpatroli dari desa ke desa. Tidak ada listrik, mereka masih hidup dalam kegelapan lampu minyak. Sayang, aku tak berkesempatan menyaksikan apakah benar realita Tajikistan itu sesuai dengan impian orang-orang di sini. Perjalananku dari Ghoz Khan tempat keriuhan pesta pembukaan perbatasan, menuju desa Kret ini sungguh berat. Di sekelilingku adalah gunung-gunung tinggi, padang rumput, aliran sungai deras, bebatuan raksasa, sementara aku seorang diri di tengah jalan setapak yang terkadang datar, terkadang menanjak, terkadang dibasuh jeram yang dalam. Berangkat dari Desa Ghoz Khan pagi-pagi buta, hingga menjelang senja sampai ke Desa Kret tempat Faizal-ur-Rahman, Juma Khan, dan orang-orang Pakistan lainnya bekerja. Sebenarnya orang-orang Pakistan itulah yang menjadi alasan perjalanan ini. Aku tidak tahu sejauh apa Kret dari Ghoz Khan. Yang kutahu hanya berjalan dan berjalan, melewati jalan berbatu dan sungai-sungai menggenang. Beberapa kali aku harus menyeberang sungainya yang mengalir deras, terkadang sambil meloncat-loncat mencari titian batu-batu besar—termasuk dalam deretan hal-hal yang paling tidak kusukai dalam perjalanan. [...]

January 24, 2014 // 6 Comments

Selimut Debu 34: Para Penjinak Ranjau

Menyisir ladang ranjau secara manual. (AGUSTINUS WIBOWO) Setiap hari mereka bergelut di garis batas antara hidup dan mati. Tapi mereka tetap berusaha menikmati rutinitas berbahaya ini. Wais semula memang tidak mengizinkanku memotret para pembersih ranjau. Tetapi akhirnya dia membolehkan, asalkan para “model” sudah memakai jaket dan helm sesuai yang diwajibkan organisasi. Kalau tidak, pelanggaran keamanan ini bisa diketahui atasan, dan mereka semua akan dapat masalah. Tidak ada yang dapat menjamin pulang dengan selamat kalau mengerjakan pekerjaan ini. Bahkan anjing yang mempunyai penciuman sensitif pun sering kali menjadi korban. Saat menemukan ada logam yang dipendam di lokasi, para anjing seharusnya duduk satu meter jauhnya dari benda yang dicurigai itu. Tapi kenyataannya, cukup banyak anjing yang tergoda untuk menggali “barang menarik” itu. Kejadian berikutnya bisa ditebak: si anjing meledak berkeping-keping ke angkasa, lalu ke tanah (deskripsi yang disebut oleh Jamil dan Sabur sebagai “pemandangan luar biasa” atau “pemandangan cantik”). Jam kerja para penjinak ranjau sebenarnya dipengaruhi oleh cara kerja anjing. Anjing adalah binatang rewel, mereka hanya bekerja pada temperatur tertentu. Para petugas penjinak ranjau harus memulai pekerjaan mereka pagi-pagi sekali, yaitu sekitar setengah enam ketika langit baru saja terang, dan mengakhiri kerja mereka sebelum hari mulai panas, sekitar pukul 11:00. Lain dari [...]

December 12, 2013 // 4 Comments

Selimut Debu 33: Ranjau, Hidup dan Mati

Tim penjinak ranjau menggunakan anjing yang sudah terlatih untuk melacak ranjau. (AGUSTINUS WIBOWO) Sabur ternyata adalah pintu gerbangku untuk mengenal kehidupan para pembersih ranjau. Semula aku kurang bersimpati dengannya, gara-gara kebenciannya terhadap orang-orang Hazara hanya karena mereka Syiah. Sabur juga mencurigakan, karena topik pembicaraannya tidak jauh-jauh dari jijig (yang merupakan tiruan bunyi dari orang berhubungan seksual, kemungkinan dari pengaruh bahasa Rusia). Dia bilang, dia tidak pernah berhubungan seksual dengan bocah lelaki, tapi dia tahu bahwa Vaseline berguna dalam urusan itu. Humor-humor berbau homoseksual sangat populer di kalangan lelaki Afghan, bahkan mereka masih tetap menjentikkan untaian bulir tasbih saat bergurau tentang seks. Sehabis berbanjir peluh dari perjalanan ke Kakrak, Sabur membawaku ke tempat tinggalnya. Semula aku khawatir apabila humor-humor homoseksualnya bukan sekadar humor. Ternyata Sabur tinggal di asrama bersama para pembersih ranjau. Dia adalah sopir untuk organisasi Mine Dog Center (MDC). Sabur mempersilakan aku duduk, membuatkan jus mangga untukku. Bukan dengan mesin, harap dicatat. Dia cukup meremas mangga dengan kedua tangannya sampai buah malang itu melunak. Melihat ekspresi wajahku yang ngeri melihat cairan mangga itu merembes dari kulitnya melewati jari-jari Sabur hingga masuk ke cangkir, Jamil, teman Sabur yang orang Pashtun, menyiapkan segelas susu untukku. “Ya,” katanya, “besok kamu harus datang [...]

December 11, 2013 // 3 Comments

1 2 3