Recommended

Khyber

Titik Nol 206: Afganistan, Saya Datang

Khyber Pass yang termashyur (AGUSTINUS WIBOWO) KOMPAS.com — Masuk ke mulut singa. Begitulah yang saya rasakan ketika akhirnya saya melihat papan besar, bertuliskan  “FOREIGNERS ARE NOT ALLOWED BEYOND THIS POINT”. Inilah pintu gerbang Khyber Agency, salah satu dari tribal area yang tersohor itu, di mana orang asing tidak diperbolehkan masuk tanpa surat izin dari Political Agent di Peshawar. Gerbang ini adalah tempat dimulainya daerah tanpa hukum. Yang berlaku selepas ini adalah hukum adat Pashtun. Mata balas mata. Darah balas darah. Dari sekian banyak agency, unit wilayah tribal area di Pakistan, semuanya adalah sumber masalah bagi negara ini. Kata tribal sering diorientasikan dengan keterbelakangan, primitif, dan kekacauan. Dalam kasusnya di Pakistan, memang tidak ada berita bagus tentang tribal area. Taliban, opium, senjata ilegal, hashish, penculikan, perang, bom, tanpa hukum, pemberontakan. Semuanya kumpulan kosa kata berkonotasi negatif. Khyber agency, yang pintu gerbangnya ada di depan mata saya sekarang, adalah urat nadi utama yang menghubungkan Peshawar ke Kabul melintasi Celah Khyber. Nama Khyber sudah membangkitkan nostalgia masa lalu, celah di gunung-gunung yang dilewati para penakluk dunia, mulai dari Iskander Yang Agung, raja-raja Persia, Turki, Mongol, hingga pasukan kolonial Inggris. Sekarang, tempat ini juga sudah mulai dirambah Taliban, didukung Lashkar-i-Islami, pasukan suku setempat, yang [...]

June 6, 2015 // 14 Comments

Selimut Debu 13: Realita Ibukota Negeri Perang

Pelayan warung di Jalalabad, kalau di Indonesia mungkin sudah jadi bintang sinetron (AGUSTINUS WIBOWO) Di negeri perang, ada formula yang selalu berlaku. Selain nyawa yang sangat murah, segala sesuatu yang lainnya teramat mahal. Hidangan kami siang ini bisa dikatakan sangat mewah, bagaikan hidangan penyambutan istimewa bagi tamu kenegaraan. Semangkuk kari paha ayam, sepiring besar nasi pulao, selepek bawang merah mentah dan cabe hijau yang panjang, sepotong paha ayam goreng …. Ini jauh lebih mewah daripada makanan mana pun yang kumakan sebulan terakhir. Bocah-bocah pelayan melemparkan roti ke hamparan tikar di lantai, ke hadapan kami. Melempar, dalam arti harfiah, seperti melempar bulir-bulir jagung kepada ayam-ayam peliharaan. Tikar plastik merah yang kotor itu, entah sudah berapa puluh tapak kaki yang sudah menginjaknya hari ini, terus-menerus dijatuhi lempengan roti gepeng yang bergedebuk keras. Aku merobek secuil dan mencicip sedikit roti itu. Ketika aku mengakhiri santapan, sisa rotiku itu diambil oleh pelayan warung, lalu dilemparkan lagi di hadapan pengunjung lain yang baru datang. Aku tak tahu rotiku itu, atau lebih tepatnya mantan rotiku itu, sebenarnya bekas tamu yang mana lagi. Sebelum rotinya mengalami nasib serupa, Adam langsung membungkusnya dan dimasukkan ke ranselku. Saat membayar. Santapan kami siang ini: 150 Afghani per orang. Tiga dolar! [...]

November 13, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 12: Menyingkap Cadar

Afghanistan bukan negeri padang pasir. Afghanistan justru didominasi gunung dan perbukitan. (AGUSTINUS WIBOWO) Perjalanan melintasi jalan berdebu ini begitu lambat, sangat lambat. Seperti halnya negeri ini yang begitu perlahan, sangat perlahan, menyingkap kembali cadar pekat yang menutupi wajahnya setelah 30 tahun diamuk perang melawan Soviet, perang sipil antara suku-suku, perang antara Mujahiddin dan Taliban. Pemandangan di luar, gunung-gunung tandus yang sesekali diselingi lembah-lembah hijau, mengingatkanku pada film-film aksi Amerika tentang perang Afghanistan. Dan kini layar film yang datar itu berubah menjadi pemandangan tiga dimensi di sini. Mobil berhenti di tepian jalan yang dinaungi pohon-pohon rindang. Di bawah teduhnya pepohonan, nampak barisan tenda-tenda pedagang buah-buahan. Kami sudah memasuki daerah Jalalabad yang memang terkenal dengan buahnya. Seorang penumpang, kakek tua berjanggut putih beserban putih, turun membeli beberapa melon. Saat kakek itu menggendong melon-melon besar menyeberang jalan, aku menjepretkan kamera. Dia terkejut, buah-buahan yang semula aman dalam dekapannya, tiba-tiba menggelinding di jalan raya itu. Untungnya dia tidak marah, malah tersenyum tipis di balik lapisan jenggotnya itu. Setetes keringat dingin sempat mengalir di keningku, khawatir berbuat salah di negeri yang katanya penuh darah ini. Alunan lagu Afghani mengalir dengan gempitanya dari tape usang falangkoch, diiringi dendang yang membawa suasana ke alam gurun Timur Tengah. [...]

November 12, 2013 // 5 Comments

Selimut Debu 11: Terbang Bersama Flying Coach

Aku di Afghanistan (AGUSTINUS WIBOWO) Kericuhan luar biasa meletus begitu hebatnya ketika kami berdua mencari kendaraan menuju ke Kabul. Dengan tarikan-tarikan kasar serta cengkeraman-cengkeraman kuat, mereka berusaha menggeret kami ke kendaraan-kendaraan mereka. Aku harus merangkul rapat-rapat ranselku, yang kini sudah berpindah posisi dari punggung ke pelukan. Teriakan-teriakan serta sahut-sahutan tak beraturan itu sangat mengintimidasi. Bocah-bocah kecil tertawa terbahak-bahak sambil berlari-larian histeris melihat orang asing—persis seperti yang kulakukan dulu saat masih kecil ketika ada turis bule datang ke kampungku. Sementara itu, para lelaki berjenggot lebat tak hentinya menarik-narik lenganku, juga lengan Adam, sambil berseru, “Kabul! Kabul!” Keriuhan baru mereda ketika seorang Afghan dengan karung putih terpanggul di pundaknya membantu kami keluar dari kekikukan ini. Dengan bahasa Inggrisnya yang teramat bagus, dia menjadi jembatan penghubung antara kami yang sama sekali bisu tuli bahasa Farsi ini dengan orang-orang di terminal bus itu. Dalam sekejap aku sudah duduk di jok depan mobil colt Flying Coach. Disebut demikian, karena dia berlari dengan cepat, seperti sedang terbang. Jangan berpikir hiperbola dulu, terbang ini adalah dibandingkan dengan mobil-mobil tua angkutan desa yang tidak pernah sembuh dari penyakit batuk saat mengarungi jalanan Afghan yang cuma debu dan lumpur. Tetapi nama flying coach itu terlalu sulit untuk lidah Afghan, [...]

November 11, 2013 // 3 Comments

Selimut Debu 10: Makhluk Asing

Pemandangan pertama negeri Afghan (AGUSTINUS WIBOWO) Detik-detik menuju Afghanistan semakin dekat. Di ruang pemeriksaan paspor, setumpuk paspor hijau Korea Selatan tiba-tiba menyeruak, dibawa seorang pria yang kucurigai sebagai pemandu wisata. Di luar tampak beberapa pemuda dan pemudi Korea yang cekikikan, seperti sedang menyaksikan pertunjukan komedi. Tak kusangka, rombongan turis pun sudah sampai ke Afghanistan. Entah berapa lama lagi perjalanan ke Afghanistan masih layak disebut sebagai petualangan, sebelum negeri yang eksotik ini disulap menjadi taman hiburan Disneyland Edisi Zona Perang bagi turis-turis asing. Adam dan aku melangkah menuju gerbang besar Afghanistan. Berbeda dengan Pakistan, tidak nampak tulisan “Welcome to Afghanistan” di sini. Atau mungkin saja ada, tapi dalam huruf Arab yang tidak bisa kubaca. Kami berjalan bersama seorang pria Afghan bertubuh subur, dengan bahasa Inggris yang fasih. Rupanya dia adalah penerjemah untuk kantor berita Fox. “Kamu tahu, Fox itu memang persis seperti fox, mereka selicik rubah,” bisik Adam kepadaku, ketika pria itu tak hentinya menceritakan tentang pekerjaannya, kekayaannya, gajinya yang fantastis, … sungguh ironi dengan kemelaratan negara yang habis dihajar perang berpuluh-puluh tahun. Memasuki Afghanistan, jarum jam seperti diputar mundur lima puluh tahun. Kekacauan yang balau, hiruk yang pikuk. Orang-orang berbondong-bondong menuju Pakistan, dengan barang-barang bawaan yang berbongkah-bongkah. Wanita-wanita [...]

November 8, 2013 // 3 Comments

Selimut Debu 9: Kalashnikov

Gerbang Khyber yang termasyhur itu (AGUSTINUS WIBOWO) Dari balik jendela taksi ini, aku berusaha mengamati keliaran tribal area. Sekilas mata, semuanya nampak begitu normal dari sini. Pria-pria berjalan hilir mudik di pasar, atau perempuan-perempuan bercadar dan berjubah hitam-hitam yang berjalan cepat-cepat di belakang sang suami. Anak kecil yang menangis minta dibelikan sesuatu, sedangkan sang bunda sama sekali tak menghiraukannya. Semuanya nampak sama seperti kota Pakistan lainnya, atau paling tidak, sama seperti Peshawar tanpa bangunan-bangunan modernnya. Tidak tampak sama sekali kengerian tribal area yang tersohor itu, kengerian tentang tembakan-tembakan berdesingan. Mungkin karena aku hanya seorang musafir, yang hanya melintas beberapa menit dan memandang dari balik jendela. Seorang musafir, yang tidak mampu dan tidak berkesempatan merasakan hembusan nafas dan dengusan hidup mereka. Taksi kuning kami pun melintasi Baab-i-Khyber, sebuah gerbang megah yang dibangun untuk menandai tempat bersejarah ini. Nama Khyber, sejak zaman dahulu sudah menjadi momok bagi semua orang. Sudah tak terhitung berapa banyak pertumpahan darah yang dimulai dari sini. Celah Khyber adalah jalur transportasi dan militer penting yang menghubungkan negeri Barat dengan Asia Selatan. Barisan tentara berbagai bangsa yang menyerang India (termasuk juga Pakistan saat itu) pun melintas dari sini, yang kemudian membawa penderitaan berkepanjangan dan pembantaian atas nama agama. Di [...]

November 7, 2013 // 1 Comment

Selimut Debu 8: Menembus Lubang Singa

Menerjang masuk ke lubang harimau. Entah apa yang menanti di balik sana. (AGUSTINUS WIBOWO) Sinar mentari pagi menyelinap perlahan-lahan dari balik teralis jendela, membangunkanku dari tidurku yang tidak pernah lelap. Semalam suntuk aku tak bisa tidur, memandangi visa Afghanistan yang tertempel di pasporku. Bagaimana ini bisa jadi nyata? Lebih mustahil lagi, hari ini aku akan ke Afghanistan! Kalimat itu selalu menghantui pikiranku sepanjang malam. Nama Afghanistan, dan hanya Afghanistan, yang senantiasa bergema di otakku. Tegang, takut, semangat, antusias,…, semuanya bercampur menjadi satu. Pukul setengah sembilan pagi, aku dan Adam sudah check out dari Peshawar Golden Inn—penginapan yang namanya megah tetapi berupa barisan kamar sempit mirip penjara yang cocok untuk para turis tak berduit seperti kami. Sungguh berat menyiapkan mental menembus gerbang perbatasan yang memisahkan kita dari sebuah dunia lain di sana. Pemilik hotel tersenyum ramah, sembari bertanya, “Sudah siap?” Aku tak bisa menjawab. Dalam hitungan menit, pemilik penginapan sudah membantu kami mencarikan taksi yang akan membawa kami ke perbatasan. Sebagai orang asing, kami tidak diizinkan untuk menggunakan angkutan umum menuju ke Khyber, karena seperti yang selalu dikatakan pemerintah Pakistan, daerah Tribal Area itu ‘teramat sangat berbahaya’. Tawar menawar alot pun sempat terjadi antara supir taksi dan kami, dan akhirnya, “OK! [...]

November 6, 2013 // 2 Comments

Selimut Debu 6: Wild Wild West Peshawar

Seperti kembali ke masa lalu (AGUSTINUS WIBOWO) Dunia barat yang liar. Peshawar, kota berdebu di ujung barat Pakistan adalah gerbang menuju Afghanistan. Atmosfernya, bahayanya, dengusannya, bahkan ketidakberadabannya…. Peshawar terasa begitu liar. Ibukota provinsi North Western Frontier Province (NWFP) ini seakan melemparkan diriku ke zaman puluhan tahun silam. Keledai-keledai mengiring kereta pengangkut barang, menyusuri jalan-jalan sempit di bazaar kota. Wanita-wanita yang juga tidak banyak jumlahnya, berjalan merunduk-runduk sambil menutupkan cadar di wajahnya. Sesekali nampak juga perempuan-perempuan yang berbungkus jubah hitam atau burqa biru dan putih. Burqa adalah pakaian yang menutup sekujur tubuh dari kepala hingga ujung kaki, termasuk kedua mata dan wajah, menyimpan rapat-rapat kecantikan seorang wanita. Hanya dari kisi-kisi kecil di bagian matalah sang perempuan mengintip dunia luar. Ada traveler Hong Kong temanku yang mendeskripsikan burqa seperti “lampion”, para “lampion” itu berjalan mencari arah di tengah keramaian jalanan. Bagiku, burqa terlihat seperti sangkar rapat, terserah engkau mengartikan itu melindungi atau mengurung makhluk yang ada di dalamnya. Pria-pria berjenggot dengan kibaran shalwar qameez yang gagah menguasai seluruh penjuru kota. Para lelaki itu selalu tersenyum ramah dan menyapa dengan pertanyaan yang sama, yang diulang lagi, yang diulang lagi, yang diulang lagi. “Hello, how are you? what’s your good name? Where are [...]

November 4, 2013 // 1 Comment