Recommended

Mandarin

Titik Nol 86: Perang Omlet (2)

Direkomendasikan oleh Lonely Planet. (AGUSTINUS WIBOWO) Kios omelet di depan pintu gerbang jam kota Jodhpur memang nampak biasa dari kejauhan. Yang tidak biasa adalah persaingan sengit di antara mereka gara-gara sebuah buku panduan turis berjudul Lonely Planet. “Terletak di pintu gerbang utara menara jam kota Jodhpur, kios omelet ini memang tampak seperti kios biasa. Tetapi konon mereka berhasil menjual 1.000 telur per hari dan penjualnya sudah berkecimpung dalam bisnis ini selama 30 tahun.” Demikian Lonely Planet India menulis tentang toko omelet ini di bagian “Tempat Makan” di kota Jodhpur. Sebuah paragraf yang bahkan saya lirik pun tidak, tetapi gara-gara mendengar kisah persaingan seru kios-kios omelet di sekitar jam kota, saya pun tertarik membaca. Sebait paragraf sederhana ini, ditambah lagi informasi tentang pedasnya omelet dan harganya yang murah, ternyata berarti luar biasa bagi bapak tua pemilik warung. Kepalanya sedikit botak, kaca matanya tebal, dan dengan bangga ia berkata, “saya sudah bekerja 33 tahun!” Seperti di warung sebelah, pemilik warung ini juga lebih sibuk menunjukkan testimoni kejayaannya daripada menyajikan omeletnya. Saya disuguhi dua lembar fotokopian ukuran besar dari halaman Lonely Planet yang menyebut tokonya, dilaminating pula. Ini adalah kebanggaannya yang paling besar. Paragraf itu di-highlight, bagian ‘wajib baca’ untuk semua turis yang [...]

September 22, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 34: Tashi Delek

Komunitas pengungsi Tibet di Nepal cukup besar jumlahnya. (AGUSTINUS WIBOWO) “Tashi Delek…!” sapa seorang pria botak. Ia mengatupkan kedua tangan di depan dadanya, setengah membungkuk, kemudian membenturkan jidatnya dengan jidat saya, seperti cara dua orang sahabat lama dari Tibet bersalaman. “Aduh… senang sekali aku, bisa ketemu kamu lagi sini. Budha memang baik,” pria asing itu melanjutkan. Matanya yang sipit menjadi segaris saja, tenggelam dalam senyumannya. Giginya kuning, tak terawat. Saya sungguh tak ingat pernah berkenalan dengan orang ini sebelumnya. Sebagai seorang backpacker yang hanya sekadar lewat di Tibet, tak mungkin saya ingat wajah setiap orang dari ratusan peziarah yang saya lihat atau barisan biksu berbaju merah. Tetapi pria berusia empat puluh tahunan ini bersikukuh pada ingatannya. “Iya… betul! Kita pernah ketemu!” katanya meyakinkan. Saya hanya tersenyum. Mau bilang tak ingat, malu. Mau bilang ingat, sungguh benar saya tak tahu siapa dia. “Kamu sekitar seminggu kemarin di Lhasa, kan? Di kuil Jokhang kan? Bawa kamera kan?” lanjut pria itu penuh semangat. Apakah orang ini bisa meramal? Tetapi memang benar saya sedang berkalung kamera (walaupun sudah rusak). Ditambah lagi dengan teori probabilitas, 80 persen turis di Nepal yang tahu artinya Tashi Delek baru datang dari Tibet, dari jumlah itu sebagian besar hanya [...]

June 18, 2014 // 2 Comments

Titik Nol 28: Air Mata

Anak-anak keluarga Donchuk. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tak pernah menyesal seperti ini. Gara-gara kenaifan saya, air mata mengalir deras di pipi Donchuk. Saya menginap di rumah Donchuk di desa Shegar, di tepi Jalan Raya Persahabatan yang menghubungkan Tibet dengan Nepal. Rumah ini dipinggir jalan raya, terletak di lantai dua, bahannya dari kayu. Di dalam rumah, ada panggung di sekeliling tungku. Semua dari kayu, warnanya gelap. Ibu Donchuk sudah tua, tetapi tangannya masih kuat menumbuk teh mentega. Adik Donchuk sekolah di Tianjin, bisa berbahasa Mandarin dengan lancar. Pendidikan di Tibet memang terbelakang bila dibandingkan dengan provinsi-provinsi di belahan timur China, tetapi ada dispensasi khusus kepada putra-putri suku minoritas sehingga mereka berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi di kota yang lebih modern. Kami berbincang banyak hal. Adik Donchuk ini suka sekali daratan China, lagu-lagu Mandarin, dan orang-orangnya. Anak Donchuk masih kecil-kecil. Satu laki-laki, satu perempuan. Orang Tibet tidak diwajibkan mengikuti ‘aturan satu anak’ seperti mayoritas etnik Han. Kedua anak Donchuk lincah, berlari ke sana ke mari, bergaya di depan kamera sambil melompat-lompat. Ada seorang perempuan pula di rumah itu. Masih muda, dari tadi kerjaannya hanya memintal benang atau membantu ibu Donchuk menyiapkan makan malam. Nampaknya ia masih berhubungan saudara dengan keluarga ini, walaupun katanya statusnya [...]

June 9, 2014 // 7 Comments

Titik Nol 26: Everest Base Camp

Pemandangan menuju Everest. (AGUSTINUS WIBOWO) Siapa yang tak kenal Everest, puncak tertinggi di muka bumi? Gunung agung itu kini terpampang di hadapan mata. Saya berencana menuju Nepal hari ini. Uang Renminbi saya sudah tak banyak, tak bisa bertahan lama di Tibet yang serba mahal ini. Lagi pula, visa China saya juga sudah mepet. Di Shegar, mencari kendaraan ke Tingri atau perbatasan Nepal tak mudah, apalagi karena saya sekarang bersama dua orang bule Israel. Setiap kali saya berhasil menyetop truk, begitu sopirnya lihat ada bule, langsung kabur. Kami sudah menunggu dari pagi sampai siang. “Shushu….Shushu… mau ke Zhufeng?” seorang pria Tibet berkulit hitam dan keras menyapa. Shushu, dalam bahasa Mandarin, artinya paman. Apakah saya sudah setua itu? Lelaki ini umurnya sudah empat puluh tahunan, dan seperti biasanya orang Tibet memanggil orang China, tak peduli tua muda, dengan sebutan shushu (paman) dan ayi (bibi). Zhufeng, dalam bahasa Mandarin, berarti Puncak Permata. Nama ini adalah singkatan dari Zhumulangma Feng, terjemahan dari nama Tibet Qomolangma, yang artinya Dewi Ibunda Alam Semesta. Orang kebanyakan lebih mengenal tempat ini dengan nama Everest, sebuah nama yang melekat pada puncak tertinggi di dunia ini sejak tahun 1865. Sir George Everest adalah pemimpin Great Trigonometrical Survey yang pada masa [...]

June 5, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 25: Runyam

Perempuan Tibet pun tangguh menjadi kuli bangunan. (AGUSTINUS WIBOWO) Bicara soal politik di Tibet bisa berakhir runyam. Jangan sembarangan berdiskusi tentang Dalai Lama, kontroversi Panchen Lama, kehidupan beragama, dan hal-hal sensitif lainnya kalau tidak ingin terlibat dalam kesulitan. Menjadi orang asing di Tibet memang tidak mudah, apalagi kalau kita masuk ilegal dan tidak mengikuti peraturan pemerintah Tiongkok yang membatasi semua gerak-gerik di daerah ‘terlarang’ ini. Selain permit yang harganya menggila, orang asing juga tidak diizinkan naik kendaraan umum, apalagi menumpang truk di jalan. Yang diperbolehkan cuma jip turis, khusus disewa dari biro tur yang harganya tentu saja melangit. Saya, sebagai backpacker miskin, berusaha mencari jalan belakang – menyamar sebagai orang China. Beruntung karena masih berwajah Asia dan cukup fasih berbahasa Mandarin, saya masih bisa ‘lewat’. Membeli tiket bus menuju Shegar di kaki Everest misalnya, saya sama sekali tak mengalami kesulitan. Beda halnya dengan seorang backpacker bule dari Kanada yang sudah bolak-balik terminal selama tiga hari terus gagal juga mendapat karcis. Saya membantunya membelikan karcis, tetapi loket penjual sudah curiga dan tetap tak mau memberi tiket. Ia sudah menyetop truk, tetapi tak satu pun yang mau berhenti. Sungguh memusingkan. Sebenarnya bukan karena sopir tak mau uang, tetapi karena mengangkut orang asing [...]

June 4, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 7: Penantian di Pinggir Jalan

Tas ransel tergeletak di jalan. Pemiliknya menanti dalam keputusasaan. (AGUSTINUS WIBOWO) Lengang. Kami berempat menanti dalam ketidakpastian. Tak ada manusia, tak ada kendaraan yang melintas. Kerajaan yang hilang itu tersembunyi di balik gunung-gunung tinggi sana. Pria Jerman berjaket merah ini bernama Hans, seorang trekker sejati. Umurnya sudah mendekati lima puluhan, tetapi keberanian dan ketangguhannya melebihi orang muda sekalipun. Seorang diri ia sudah mengelilingi Tibet selama tiga bulan, mendaki gunung-gunung dan merambah tempat-tempat tersembunyi. Zanda, kerajaan Guge, termasuk tempat terakhir yang belum disentuhnya di tanah Tibet. Hans bisa sedikit bahasa Mandarin. Bertualang di Tibet sebagai seorang laowai – bule – sangat tidak mudah. “Hitchhike – menumpang truk – sangat susah. Sopir truk kebanyakan tak berani mengangkut laowai, karena kalau tertangkap polisi mereka akan didenda mahal.” Untuk soal permit Tibet, Hans lebih memilih mematuhi hukum. Tetapi itu pun tak mudah. Aturan di Tibet berubah setiap saat. Tidak ada yang tahu aturan apa yang sedang berlaku. Permit yang sudah dibeli mahal-mahal pun bisa jadi tak berlaku di tempat lain. Sekarang pada permit yang dipegang Hans pun tak tercantum nama Ngari, yang artinya ia pun pelancong ilegal. Hans punya segudang nasihat terhadap para pelancong ilegal seperti kami. “Berhati-hatilah, di Barga nanti ada pos pemeriksaan [...]

May 9, 2014 // 3 Comments

Garis Batas 34: Dungan

Muslim Kirghiz dan masjidnya (AGUSTINUS WIBOWO) Perkenalan saya dengan Dungan (baca: Dunggan) berawal dari ketertarikan saya terhadap makanan China yang banyak bertebaran di kota Bishkek. Bukannya berpapan nama “Chinese Restaurant“, warung-warung ini malah berjudul “Dunganskaya Kukhnia“, artinya “Depot Dungan”. Begitu memasuki ruangan bawah tanah semua warung masakan Dungan di dekat Kedutaan Iran, saya merasa seakan kembali lagi ke negeri China. Makanan yang disajikan sama persis dengan yang ada di Tiongkok sana. Baunya. Hiruk pikuknya. Asapnya. Wajah orang-orangnya. Bahkan sayup-sayup terdengar para koki yang berteriak-teriak dalam bahasa China. Siapakah orang-orang Dungan ini? Rasa ingin tahu membawa saya ke Tokmok, sebuah kota kecil 70 kilometer di sebelah timur Bishkek, yang merupakan basis komunitas Dungan terbesar di seluruh negeri Kyrgyzstan. Terletak di dekat Sungai Chuy yang menjadi perbatasan dengan Kazakhstan di utara, Tokmok adalah kota kecil tempat berkumpulnya berbagai bangsa – Kazakh, Kirghiz, Uzbek, Uyghur, dan Dungan. Di dekat pasar kota terdapat sebuah masjid kecil, tempat beribadahnya Muslim Dungan. Di Asia Tengah, dimana konsep negara-bangsa sangat kuat (Tajikistan negaranya orang Tajik, Kyrgyzstan negaranya orang Kirghiz, dan sebagainya), masjid pun dibeda-bedakan berdasar ras. Orang Dungan hanya sembahyang di masjid Dungan. Orang Kirghiz punya masjidnya sendiri di dekat terminal yang kubahnya mungkin mengilhami [...]

July 31, 2013 // 0 Comments