Recommended

penginapan

Titik Nol 203: Romantisme

Gandengan tangan, berangkulan, berpelukan antara sesama pria adalah hal lazim (AGUSTINUS WIBOWO) Mungkin ini termasuk kotoran yang dipandang Wahid dengan tatap mata penuh jijik. Baru saja saya berhasil menghindar dari pria Pashtun yang mengaku dirinya sebagai Prince, pangeran – entah dari kerajaan mana lagi, yang menawarkan angkutan murah meriah menuju Afghanistan. Perjalanan menuju Afghanistan nantinya akan melewati daerah-daerah berbahaya. Pemerintah Pakistan mewajibkan orang asing yang akan melintas untuk dikawal tentara bersenjata. Orang asing juga tidak diijinkan untuk naik kendaraan umum, harus menyewa kendaraan sendiri. Bagi saya dengan kantong backpacker ini, biaya menyewa taksi yang bisa sampai seribu Rupee tentu saja membuat gundah. Prince, dengan aura kepangeranan yang terlalu dipaksakan, terus memantau kedatangan orang asing di Peshawar. Ia punya jaringan kuat dengan semua hotel di kota ini. Setiap ada backpacker yang datang, dengan sigap ia langsung nyanggong di hotel yang bersangkutan untuk bertemu dengan si turis. Lalu ia akan memamerkan foto-fotonya, tindakan amal apa saja yang pernah dia lakukan, gambar ratusan anak asuhnya, juga foto ribuan turis yang terpuaskan oleh layanan angkutan dan tour guide-nya. Ia memamerkan dua buku tebal testimonial para turis yang ditulis dalam pelbagai bahasa, mulai dari Inggris, Jepang, Perancis, hingga Mandarin. Para turis itu terpikat oleh aroma [...]

June 3, 2015 // 9 Comments

Titik Nol 132: Losmen Murah di Rawalpindi

Para buruh harian menanti pekerjaan di Rajja Bazaar (AGUSTINUS WIBOWO) Dengan visa Pakistan dari India, sungguh susah mencari losmen murah di Rawalpindi. Dan akhirnya saya malah terjebak di tempat seperti ini. Semua visa Pakistan yang diterbitkan High Commission of Pakistan di New Delhi distempel “Visa Not Valid for Cantt Area”. Cantt adalah singkatan Cantontment, kota garnisun, peninggalan kolonial Inggris di kota-kota British India yang sekarang masih menjadi pusat aktivitas pertahanan Pakistan. Biasanya memang tidak banyak pengaruhnya untuk turis karena saya bukan turis mata-mata yang ingin mengintai persenjataan, perbentengan, teknologi nuklir, pasukan tempur, dan lain-lain untuk dilaporkan kepada India. Tetapi, di Rawalpindi, cap stempel di atas visa sangat mengganggu, karena kebanyakan losmen murah terletak di daerah pasar ramai Saddar Bazaar yang kebetulan bertetangga dengan daerah kota garnisun. Tak bisa menginap di Saddar, saya langsung menuju ke Rajja Bazaar, pasar ramai lainnya di kota ini. Perjalanan panjang 20 jam dari Gilgit memang sangat menyiksa. Yang saya inginkan sekarang adalah sebidang kasur empuk untuk beristirahat barang sejenak. Tetapi mencari penginapan tidak mudah. Hotel Tujuh Bersaudara yang nampak kumuh dan gelap katanya sudah fully booked padahal dari luar tampaknya semua kamarnya kosong. Saya disuruh ke hotel di sebelahnya, Hotel Javed, yang kelihatan lebih bersih [...]

February 24, 2015 // 1 Comment

Titik Nol 116: Karakoram Highway

Kakek tua Haider (AGUSTINUS WIBOWO) Di bawah gunung bertudung salju setinggi 7.790 meter, Desa Karimabad diam dalam keheningan. Di sini waktu mengalir lambat-lambat, ditelan keagungan puncak-puncak raksasa. Di bawah sana terhampar Lembah Hunza—terletak di utara Pakistan, diapit tiga gunung besar: Himalaya, Karakoram, dan Pamir. Jalan raya Karakoram Highway berkelok di pinggang gunung, menghubungkan Islamabad—ibu kota Pakistan—dengan kota kuno Kashgar di negeri Tiongkok. “Perjalanan yang benar-benar menyakitkan,” keluh Al, “Saya memang sudah tua. Perjalanan seperti ini sudah bukan untuk umurku lagi.” Saya dan Al baru saja menempuh perjalanan panjang sampai ke dusun Karimabad di jantung Lembah Hunza. Tujuh jam perjalanan Lahore–Rawalpindi plus 22 jam dengan bus menyusuri Karakoram Highway, dan masih ditambah lagi dua jam perjalanan sampai ke Karimabad. Jalannya berkelak-kelok, naik turun, bolong-bolong. Namanya juga jalan gunung. Gunung-gunung di bagian utara Pakistan mengisolasi wilayah pedesaan di seluruh provinsi Northern Areas (NA) di dataran tinggi ini. Ajaib, di liukan tajam punggung bukit, di tepi jurang dengan air sungai yang menggelegak, bisa dibangun jalan raya beraspal yang menghubungkan Pakistan-China, menghidupkan kembali perdagangan Jalur Sutra, dan menyembulkan dusun-dusun Hunza ke atas peta. Namun, bagi Al, itu adalah siksaan. Tak pernah ia semenderita ini. “Masa tak ada pesawat terbang ke Gilgit?” ia mengeluh lagi. [...]

February 2, 2015 // 5 Comments

Titik Nol 104: Terkapar di New Delhi

Stasiun kereta api Chhatrapati Shivaji Terminus (AGUSTINUS WIBOWO) Tak ada jalan lain bagi saya untuk segera kembali ke Delhi. Penyakit kuning yang saya derita semakin parah. Tubuh saya lemas. Tetapi Delhi lebih dari seribu kilometer jauhnya, dua puluh empat jam perjalanan yang berat dengan kereta. “Mungkin kamu harus pulang, Gus, jangan memaksakan perjalanan ini,” saran seorang teman dari Jakarta. “Hepatitis, itulah keadaan di mana banyak backpacker mengakhiri pengembaraannya,” seorang kawan backpacker senior dari Inggris menulis email. “Hepatitis adalah penyakit di mana seorang harus istirahat, bed rest total, satu bulan penuh minimal. Sebaiknya memang kamu pulang,” tulis yang lain. Tetapi saya tak mau berakhir di sini. Saya tak mau menyerah dengan penyakit ini. Dari sekian banyak surat dari kawan, hanya satu yang menyemangati saya untuk terus maju. “Jangan menyerah, Gus. Maju terus. Gue yakin kamu pasti bisa,” tulis Andi Lubis, seorang wartawan senior di Medan. Sepatah kalimat pendek itu yang membuat saya terus bertahan. Saya yakin saya pasti bisa, mencapai cita-cita saya melihat ujung dunia. Saya tak gentar perjalanan panjang kereta api menuju New Delhi. Saya harus segera sampai ke Pakistan, di mana gunung-gunung salju pegunungan Himalaya dan Karakoram akan menjadi tempat saya beristirahat. Hati saya dipenuhi segala macam rancangan, impian, [...]

January 15, 2015 // 7 Comments

Titik Nol 99: Pelecehan

Kejorokan ada di mana-mana (AGUSTINUS WIBOWO) Pagi yang gelap gulita di kamar losmen yang gelap. Saya justru mengalami peristiwa paling memalukan dalam hidup saya di sini. Saya terbaring lemah di atas kasur. Sejak kemarin malam hingga pagi ini, saya mengalami diare hebat. Sebenarnya di India, diare sudah menjadi akrab dengan kehidupan sehari-hari saya di sini. Satu minggu kalau tidak diare malah aneh rasanya. Tetapi kali ini, bukan hanya diare, tubuh saya begitu lemah sampai bangun pun susah. Sebuah kamar sempit di lantai dua losmen murah adalah tempat tidur saya. Untuk ke kamar mandi pun saya harus keluar, berjalan beberapa meter, turun tangga, dan membuang hajat. Kali ini, untuk naik dan turun tangga pun rasanya sudah menjadi penderitaan hebat. Mengapa saya jadi selemah ini? Saya tak tahu jelas. Mungkin kurang minum, tetapi sekarang untuk keluar beli air minum pun saya tak kuat lagi. Gelap gulita. Listrik padam lagi, seperti biasa. Di kota ini, karena ada krisis listrik, setiap pagi listrik dipadamkan selama dua jam. Ini pemadaman rutin, tetapi membuat saya semakin menderita. Sinar matahari tak masuk ke kamar saya yang lebih mirip penjara ini. Kipas angin tak berputar. Gerah. Pengap. Saya menghirup nafas perlahan, menghembus lagi. Perut rasanya sakit sekali, rasa [...]

January 8, 2015 // 19 Comments

Titik Nol 87: Hidup Menurut Buku Panduan

Sarapan pagi pun saya membaca Lonely Planet. (AGUSTINUS WIBOWO) Mengapa hidup kita harus selalu dituntun oleh buku panduan? Tidakkah kita memiliki hasrat lebih besar untuk melakukan pengembaraan, menemukan rahasia alam yang tak terduga? Terilhami dari perang omelet di Jodhpur, saya jadi berpikir sejauh mana buku panduan macam Lonely Planet sudah memengaruhi cara orang menjelajah dunia. Coba perhatikan, berapa banyak turis yang berkeliaran di India yang yang tidak membawa-bawa buku suci tebal berjudul Lonely Planet, atau buku panduan wisata lainnya? Semua orang membawa buku yang sama, pergi ke tempat yang sama seperti yang ditulis dalam buku, menginap di hotel-hotel yang sama, sampai makan omelet pun di tempat yang sama. Turis-turis ini hanya melakukan perjalanan napak tilas seperti yang dituntunkan oleh buku. Bahkan beberapa edisi terbaru Lonely Planet sudah mencantumkan rute pilihan penulis. Apa jadinya? ‘Petualang’ atau bahasa kerennya traveler zaman sekarang, sudah jauh berbeda dengan para pengelana dunia pada zaman dahulu, bahkan tak bisa dibandingkan dengan para hippie yang menapaki hippie trail dari Istanbul sampai Kathmandu pada era 70-an. Perjalanan backpacker zaman sekarang terlalu terikat dengan petuah dan petunjuk Lonely Planet. Semua pergi ke tempat yang sama, semua mencicip makanan di restoran yang sama, dan menyelami pengalaman perjalanan yang sama. Apa [...]

September 23, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 79: Turisme di Kota Kuno

Kota suci Pushkar di sekeliling danau suci. (AGUSTINUS WIBOWO) Kota kecil Pushkar, tempat datangnya ribuan umat Hindu membasuh diri di kolam suci, hiruk pikuk menyambut datangnya Kartika Purnima. Bukan hanya kaum peziarah, kini unta, karavan, nomad, memenuhi seluruh sudut kota. Tak lupa tentunya turis. Bagaimana turisme mengubah kehidupan di tempat suci ini? Saya dan Lam Li bersama-sama meninggalkan Jaipur menuju kota suci Pushkar. Bus penuh sesak. Orang India selalu tidak sabaran untuk turun dari bus. Saling desak, saling senggol, saya hampir terlindas oleh kakek tua yang mendorong saya dengan kasar. Penduduk negeri ini sepertinya punya konsep waktu yang aneh. Di kala senggang mereka tiduran seperti waktu tak pernah habis. Tetapi kalau sudah urusan turun dari kendaraan, mulai dari bus, rickshaw, kereta api, sampai pesawat terbang sekali pun, mereka harus jadi yang paling dulu menyentuh tanah, seolah waktu mereka tak tersisa lagi barang sedetik pun. Kami berganti bus di kota suci Ajmer, kota suci umat Muslim. Pushkar, kota sucinya umat Hindu, hanya 14 kilometer jauhnya dari Ajmer. Suasana kota kuno segera menyergap begitu kami memasuki gang sempit Pushkar yang berkelok-kelok bagai rumah sesat. Rumah kotak-kotak berwarna putih bertebaran. Alunan mantra terus mengalir dari pengeras suara yang ringsek. Sapi berkeliaran, dan perempuan [...]

September 11, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 74: Istirahat

Jaipur, kota merah jambu. (AGUSTINUS WIBOWO) Setumpuk masalah visa dan bencana bom di New Delhi membuat saya lelah. Saya ingin istirahat, menenangkan pikiran. Rajasthan adalah pilihannya. “Kamu yakin mau ke Rajasthan untuk menenangkan diri?” tanya Lam Li “kamu mesti ingat, India sama sekali bukan tempat untuk bersantai. Nanti jadinya malah kamu yang stress.” Lam Li, si petualang cewek dari Malaysia, baru saja datang kemarin dari Varanasi dan tak sengaja menginap di losmen yang sama dengan saya. Sejak hari pertama datang ia muntah-muntah hebat. Obatnya cuma Coca Cola campur garam dan sebatang rokok. Hari ini wajahnya masih pucat. Keputusan saya sudah bulat. Saya berangkat ke Jaipur di Rajasthan juga untuk mengejar perayaan hari raya Diwali – festival cahaya, perayaan terbesar bagi umat Hindu di India. Diwali adalah perayaan kemenangan terang melawan kegelapan, pencerahan mengatasi kebodohan, dan kebaikan mengalahkan kejahatan. Apalagi Diwali tahun ini hampir berbarengan dengan Idul Fitri, pasti sangat meriah. “Ya sudah, berangkatlah dulu,” kata Lam Li, “besok aku menyusul. Hari ini aku masih sakit. Kalau sudah dapat penginapan murah di sana, bagi tahu ya.” Saya dan Lam Li rasanya sudah menjadi teman perjalanan yang cocok. Kami tak selalu harus bersama ke mana-mana. Tetapi kami saling bantu dalam memberi informasi. [...]

September 4, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 69: Paharganj

Masala Dosa. (AGUSTINUS WIBOWO) Saya teringat secuplik tulisan fiksi karya Salman Rushdie berjudul Midnight Children yang mengisahkan pemecahan Pakistan dan India. Ada satu episode yang mengisahkan tentang orang yang terbiasa dengan ‘mata kota’, hidup dalam kota besar bergelimang harta, tak melihat lagi kemelaratan dan penderitaan rakyat papa di pelupuk mata. Pemilik ‘mata kota’ tak lagi melihat penderita kusta yang terkapar atau penderita kanker yang harus berjalan di atas bola. Tulisan itu membuat saya tersindir, mampukah saya melihat India dari kaca mata yang lebih tepat? Kalau Jakarta punya Jalan Jaksa, maka New Delhi juga punya Paharganj, pusatnya turis kere mancanegara. Di sinilah saya menginap, di sebuah losmen murah di dalam gang kecil, di dekat pasar yang hiruk pikuk oleh pedagang baju murah, sapi, klakson rickshaw, bau pesing orang kencing sembarangan, para pekerja dari Nepal, sampai ke sedapnya masakan China, segarnya teh susu di pagi hari, dan renyahnya masala dosa untuk sarapan pagi. Losmen tempat saya tinggal, Hotel Bajrang, cuma 100 Rupee per malam. Kamar yang saya dapatkan dindingnya tipis sekali. Kalau pagi saya terbangun karena ributnya suara orang yang menggaruk-garuk tenggorokan, mengeluarkan dahak yang tersangkut, kemudian meludahkannya bertubi-tubi. Kalau malam saya tak bisa tidur karena berisiknya sepasang kekasih yang memadu kasih [...]

August 28, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 61: Api yang Tak Pernah Padam

Mendaki dalam kabut dan salju. (AGUSTINUS WIBOWO) Terbungkus kabut kami mendaki. Yang ada hanya kelabu, dingin. Angin menampar wajah, membekukan semangat. Tetapi, ada api yang tak pernah padam yang membuat kaki terus melangkah, menapak di atas tumpukan salju tebal. Kami berangkat dari High Camp pukul lima subuh. Matahari masih belum bersinar. Jalanan gelap. Hanya bulatan pancaran lampu senter yang menjadi penunjuk jalan, ditambah denting lonceng leher keledai yang mengangkut bawaan rombongan trekker. Dalam kegelapan ini, saya meraba jalan. Hanya tahu naik, naik, dan terus naik… Pada ketinggian 5000 meter, jangankan mendaki, untuk bernafas pun susah. Langkah menjadi pendek. Beban tas ransel kosong di punggung rasanya seberat karung beras. Naik, naik, dan terus naik…. Thorung La masih 600 meter lebih tinggi dari High Camp. Pukul enam, bias-bias mentari masih tak sanggup menembus mendung. Dunia di sekeliling terbungkus putih yang merata. Semalam hujan salju deras. Dulu waktu kecil, saya pernah membayangkan, bagaimana rasanya kehidupan di balik awan sana. Hari ini, pada ketinggian 5100 meter, dua per tiga perjalanan menuju puncak, saya sudah berada di tengah awan dan kabut. Dingin. Wajah terus ditampar terpaan angin, disiram bulir salju. Semangat dipadamkan oleh dingin dan kemuraman. Gunung-gunung di sekeliling pucat, namun perkasa. Saya tahu, di [...]

August 18, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 60: High Camp

Menuju puncak. (AGUSTINUS WIBOWO) Perjuangan kami hampir mencapai titik kulminasi. Di ketinggian ini, langit sudah begitu dekat. Kami sudah nyaris sejajar dengan puncak-puncak salju di seberang sana. Tetapi justru di tempat ini, kaki semakin berat dan semangat menggebu-gebu tertekan oleh udara berat. Thorung Pedi adalah desa tertinggi di Sirkuit Annapurna. Ketinggiannya 4450 meter, hanya dua jam perjalanan dari Letdar melalui jalan batu yang berlekuk-lekuk. Tanaman tak nampak sama sekali. Gunung batu yang kami lewati hanya satu warna – muram kelabu. Senada dengan warna batu yang kelabu itu adalah rumah-rumah di Thorung Pedi. Rumah batu ala Tibet. Sunyi. Ada satu penginapan di sini, cukup terkenal karena merupakan tempat menginap rombongan turis. Karena tak banyak saingannya, ditambah lagi posisinya yang susah, harga menginap, makanan, dan air bersih di sini sangat mahal. Sebiji apel harganya 15 Rupee, sedangkan di bawah sana nyaris gratis. “Dari Indonesia?” tanya pemilik penginapan, orang Tibet yang pandai cakap Melayu, “Kemarin juga ada orang Indonesia menginap di sini. Hari ini sudah berangkat ke atas dia, naik kuda.” Hah? Pasti si Nef. Terkenal sekali kawan kita yang satu ini, di mana-mana meninggalkan jejak. Tetapi setahu saya ia hanya berangkat berjalan kaki dari Manang. “Kasihan sekali dia,” kata pria Tibet bertubuh [...]

August 15, 2014 // 1 Comment

Titik Nol 53: Dusun Tal

Bermain, bermain, bermain… (AGUSTINUS WIBOWO) Saya tertunduk di hadapan gerilyawan Maois. Semua kisah sedih sudah saya ceritakan. Moga-moga ia tergerak hatinya. “Kya karen, bhai? Apa lagi yang bisa saya lakukan, Saudara?” Saya menunjukkan dompet saya yang kosong melompong. Hanya ada uang sepuluh Rupee di dalamnya. Sisanya sudah saya sembunyikan di dalam kaus kaki. Gerilyawan Maois itu hanya garuk-garuk kepala, mungkin pertama kali melihat turis yang begitu miskin. Saya menunjukkan betapa dekatnya saya dengan perjuangan Maois, mencoba menarik simpatinya. Dimulai dari bualan tentang kehidupan komunis di Beijing dan betapa saya memuja Mao, sampai menunjukkan saya memakai baju warna merah dengan bintang emas – bendera Vietnam – yang saya beli dari Hanoi. Dia tak terlalu tertarik. Tiba-tiba datang serombongan pendaki bule. Masing-masing membopong ransel mahal, membawa sepasang tongkat khusus trekking, yang pasti juga mahal, dan menggunakan jasa dua orang porter Nepal malang yang terbungkuk-bungkuk harus menggendong tumpukan ransel besar. Ditambah lagi seorang pemandu lokal. “Pajak Maois ya?” tanya si pendaki dengan ramah, senyum lebar menghias wajahnya. Ia langsung mengeluarkan beberapa lembar ribuan Rupee, menyerahkan kepada sang gerilyawan. Sekarang giliran pengumpul pajak Maois itu yang sibuk menandatangani kuitansi. Semua orang harus membayar pajak 100 Rupee per hari. Untuk porter dan pemandu lokal gratis. [...]

August 6, 2014 // 0 Comments

Titik Nol 50: Naik Bukit

Bahundanda. (AGUSTINUS WIBOWO) Ada pepatah Jerman mengatakan, orang tidak seharusnya memuji hari kalau belum sampai malam. Orang tidak seharusnya senang di tengah jalan kalau belum melihat hasilnya. Hari pertama trekking Annapurna tak semudah yang saya bayangkan. Jalan-jalan keliling desa ini sebenarnya boleh juga. Sawah hijau menghampar di kanan kiri, mengingatkan saya pada hijaunya kampung halaman. Orang-orang Newari yang tinggal di sini pun mirip orang Jawa kulit dan perawakannya, walaupun sedikit lebih mancung. Bahkan kaum perempuannya pun memakai sarung batik sepanjang mata kaki. Motifnya pun mirip dengan yang dipakai perempuan desa di Jawa. Tak salah memang, sarung batik Indonesia banyak diekspor ke sini. Kalau dilihat secara detail, ada pula bedanya. Perempuan Hindu Nepal umumnya menindik hidung sebelah kiri, lalu dipasangi cincin kecil. Cara mereka bekerja mengangkut barang pun berbeda. Orang Jawa biasa mengusung benda berat di atas kepala, kalau orang Nepal digantungkan di kepala. Saya jadi teringat cara orang pedalaman Papua membawa tas yang talinya panjang, juga digantungkan di kepala. Segala jenis barang bisa digantungkan di kepala, mulai dari karung beras, keranjang rotan, sampai lemari baju, dari rumput, kayu bakar, sampai televisi. Laki-laki, perempuan, anak-anak, semua punya kepala sekeras baja. Jalanan datar, tak ada tantangan. Jujur saja, agak membosankan. “Moga-moga Sirkuit [...]

August 1, 2014 // 0 Comments

Garis Batas 44: Gara-gara Duit

Pasar rumah di Almaty, di mana segala jenis akomodasi ditawarkan. Seiring dengan kemakmuran Kazakhstan, harga akomodasi terus meroket. (AGUSTINUS WIBOWO) Seorang nenek Rusia yang ramah, rajin berkotbah, kini berubah menjadi angker dan tak bersahabat. Semuanya gara-gara duit. Cukup lama saya ngekost di rumah Lyubova, nenek tua keturunan Rusia. Semua anggota keluarganya menjadi pengangguran sejak Kazakhstan merdeka. Rumah mereka terletak dekat bandara Almaty, sangat jauh dari pusat kota, dan boleh jadi adalah tempat menginap paling murah di kota ini. Saya membayar 1000 Tenge per hari, sekitar 80.000 rupiah. Kemarin, Minggu malam, saya berkunjung ke rumah seorang kawan di pinggiran Almaty. Saya benar-benar lupa kalau hari Minggu adalah hari malas di seluruh Kazakhstan. Bus berhenti beroperasi selepas jam 6 sore. Saya menunggu bus dari jam 7 sampai jam 11 malam, tak ada satu pun yang lewat. Saya ingin berjalan kaki saja, tetapi rumah Lyubova jauh sekali. Jalan kaki bisa sampai pagi. Apalagi tingginya kriminalitas di Almaty waktu malam hari membuat saya keder juga. Mau tidak mau saya harus naik taksi. Hampir tengah malam begini, harga taksi pun jadi mahal sekali. 500 Tenge untuk sampai ke tempat Lyubova. Saya sudah kapok main-main ke gay bar demi menginap gratis seperti minggu kemarin. Ketika sampai [...]

August 14, 2013 // 1 Comment

Garis Batas 38: Terpinggirkan

Nenek Rusia yang tak pernah lepas dari Alkitabnya (AGUSTINUS WIBOWO) Kue kemakmuran Kazakhstan tak dinikmati semua orang. Ada orang-orang yang terpinggirkan dan semakin tergerus oleh hiruk pikuk dan kejayaan metropolis Almaty. Pasha membantu saya mencari penginapan murah. Dengan bus kota, kami berdua berkeliling. Dari jalan Töle Bi, Gogol, dan Abay yang melintang horizontal, sampai Sheyfulin, Abylay Khan, dan Furmanov yang melintang vertikal, tidak ada yang murah. Semuanya di kisaran 30 dolar ke atas. Entah bagaimana ceritanya, kami berdua terdampar di Pasar Sayuran Zelyonii Bazaar. Pasha tertarik dengan kerumunan orang di depan sebuah gedung tua. Ada ibu-ibu yang berkalungkan kertas karton bertuliskan pemberitahuan. Ada kakek tua yang mengepaskan kacamatanya untuk membaca papan pengumuman yang penuh ditempeli kertas-kertas tidak karuan. Ada orang berdiskusi, tawar-menawar. Ini bukan pasar saham, walaupun kesibukannya tidak kalah. Ini adalah pasar rumah. Pasha tiba-tiba datang menggeret seorang nenek tua berpostur pendek. Belum diperkenalkan, si nenek sudah nyerocos, “Terima kasih Tuhan…, terima kasih! Kemarin seharian saya berdoa kepada Tuhan, ‘Tuhan, kirimlah seseorang yang bena-benar membutuhkan kamar ini.’ Dan hari ini Tuhan benar-benar mengirim kamu.”             “Berapa?” saya bertanya pada Pasha. “1000 Tenge saja,” katanya, “tapi jangan khawatir. Nenek ini orang jujur, karena dia Kristen taat dan [...]

August 6, 2013 // 0 Comments