Recommended

PNG

Dome 9 Oktober 2014: OPM Juga Manusia(2)

Sudah tiga puluh tahun para pengungsi dari Papua tinggal di desa Dome, Papua Nugini. Seiring waktu, konflik antara para pendatang dengan penduduk setempat semakin meluas. Warga lokal sering menuduh para pengungsi menggunakan perempuan mereka untuk menggoda para lelaki Papua Nugini, dengan tujuan untuk mendapatkan kewarganegaraan Papua Nugini. Kasus itu terjadi pada Jenny Wuring, warga Papua Nugini yang kini sedang mengurus perceraian dengan suaminya. Dia bilang, seorang gadis pengungsi Papua berumur 16 tahun pernah menggoda suaminya yang berumur 40 tahun, sehingga Jenny membawa kasus ini ke pengadilan. Ayah dari gadis itu adalah seorang anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), sebuah gerakan separatis yang memperjuangkan kemerdekaan Papua dari cengkeraman Indonesia. Selain itu, Jenny juga mencurigai para pengungsi itu menguasai ilmu sihir sehingga sering membunuh dengan menyantet warga asli. Dia curiga, ayahnya yang tiba-tiba meninggal sepuluh tahun lalu itu adalah gara-gara sihir dari warga pengungsi. Orang-orang Papua Nugini di Dome memang memanggil para pengungsi dengan istilah bahasa Melayu, sobat. Tetapi itu seperti panggilan tanpa makna. Konflik di antara mereka semakin parah dan belakangan ini sering menjadi kontak fisik. Misalnya, penduduk asli Dome yang marah sering menebangi pohon-pohon pisang yang ditanam para pengungsi. Peristiwa terparah adalah pembakaran sekolah yang dibangun para pengungsi, yang terjadi pada [...]

June 10, 2016 // 5 Comments

Kiunga 30 September 2014: Benderamu Menghalangi Matahariku

Sudah hampir 30 tahun John Wakum tinggal di Papua Nugini. Dia adalah salah satu orang yang paling dihormati kalangan masyarakat pengungsi Papua Barat di kota ini. Dia seorang aktivis OPM (Organisasi Papua Merdeka). Tiga puluh tahun sejak dia datang ke negeri ini, impiannya masih sama: Papua harus merdeka dari Indonesia. Lelaki 67 tahun ini kurus kering. Jenggot putih tebal menyelimuti janggutnya. Syal melingkar di lehernya. Dia terus terbatuk, mengaku sudah dua hari dia tidak bisa turun dari ranjang, dan baru hari ini dia bisa keluar menikmati matahari. Kami duduk di beranda rumahnya yang terbuat dari kayu. Di dalam rumah itu, tepat di hadapan pintu masuk, terpampang sebuah bendera besar dengan lambang bintang dan garis-garis putih biru. Itu bendera Bintang Kejora. Bendera Papua Merdeka. John Wakum berasal dari Biak, menuntut ilmu tata negara di Universitas Cendrawasih. Pendidikan tinggi yang ditempuhnya di Indonesia justru membuatnya selalu bertanya kenapa negerinya masih juga terjajah. Dia pernah menjadi kepala bagian sebuah badan pembangunan, sehingga dia bekerja ke daerah-daerah terpencil dan rawan di pedalaman Papua. Misalnya di Asiki, dia bekerja pada proyek pengasapan karet dan di Nabire untuk pembuatan sagu. Selama bekerja di pedalaman Papua, dia terus menanamkan pemahaman tentang kemerdekaan terhadap orang-orang Papua yang ditemuinya. [...]

March 16, 2016 // 26 Comments

Kiunga, 29 September 2014: Pengungsi Papua Merdeka

Dari Kuem menuju kota besar Kiunga, saya akan melintasi daerah paling aneh dari perbatasan Indonesia dan Papua Nugini: “benjolan” Sungai Fly. Saya menumpang perahu motor milik Raven, lelaki paruh baya dari Kuem yang hendak berjualan ikan mujair ke Kiunga. Kami berangkat pukul dua dini hari. Ketika matahari sudah mulai bersinar, perahu kami sudah memasuki daerah benjolan Sungai Fly yang menjadi pemisah kedua negeri. Sinar matahari kemerahan menyapu sungai yang bagaikan cermin panjang, dan menerangi pekatnya rimba di kedua sisinya. Kalau kita melihat di atas peta, perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini berwujud garis lurus dari utara ke selatan sepanjang garis 141 derajat Bujur Timur. Pada bagian tengah agak ke bawah, ada “benjolan” yang mengarah ke sisi Indonesia. Daerah itu adalah lekukan Sungai Fly. Karena peranannya yang teramat penting bagi kehidupan masyarakat Papua Nugini, keseluruhan Sungai Fly harus masuk wilayah mereka. Garis batas di selatan “benjolan” Sungai Fly itu sebenarnya tidak lurus dengan garis di atasnya, melainkan agak menjorok sedikit masuk ke wilayah Papua Nugini. Itu adalah kompensasi yang didapatkan Indonesia untuk luas tanah yang hilang setelah memasukkan potongan Sungai Fly ke Papua Nugini. Garis batas negeri membelah kehidupan. Di sebelah kiri sungai teorinya adalah Indonesia, dan di sebelah kanan sungai [...]

March 14, 2016 // 6 Comments

Asiki 27 September 2014: Pasar di Garis Batas

Sebenarnya sejak Papua masih diduduki Belanda (hingga 1963) orang dari sisi Papua Nugini sudah biasa melintasi perbatasan negeri untuk menjual ikan ke daerah Asiki. Tetapi empat tahun lalu dibangun sebuah jalan tembus sampai ke tengah hutan di tepi rawa ini. Sejak itu, orang Papua Nugini bisa datang berjualan dengan perahu-perahu mereka tanpa perlu berjalan kaki jauh. Pasar ini dikenal dengan nama Bus Stop. Itu karena dari sini orang bisa menumpang angkot sampai ke kota kecamatan Asiki (sekitar 30 kilometer, 100 ribu rupiah per orang). Pasar ini berupa sebuah lapangan yang dikelilingi rapatnya pepohonan tinggi hutan perkebunan, dengan beberapa gubuk kayu tempat mengaso. Semua transaksi berlangsung di lapangan terbuka yang diselimuti daun-daun kering dan sampah plastik. Transaksi utama di sini adalah perdagangan ikan. Orang Papua Nugini menjual mujair, orang Indonesia membeli. Para pembeli Indonesia ini bukan konsumen biasa. Mereka pedagang yang akan menjual ikan-ikan itu ke pasar di kota-kota kecamatan seperti Asiki dan Tanah Merah, yang cukup jauh dari sini. Transaksi lain adalah minyak. Orang Papua Nugini datang ke sini dengan perahu motor, tentu mereka perlu bahan bakar untuk pergi pulang. Di seberang batas sana, minyak sangat langka dan mahal, warga desa terkadang harus menunggu berbulan-bulan sampai stok minyak datang. Sedangkan [...]

February 3, 2016 // 17 Comments

Manda 24 September 2014: Pak Tua Rasta

Lelaki tua berambut rasta gimbal dengan otot kekar sekujur badan itu memang kelihatan sangar. Tetapi dari gerak-geriknya yang perlahan dan selalu terkontrol itu kau tahu dia adalah orang bijaksana. Dia memang tidak pernah mengenyam bangku sekolah, tetapi tidak ada keputusan di kampung ini yang diambil tanpa persetujuannya. Berhari-hari saya tinggal di Manda menanti tumpangan perahu, selama itu pula Leo Isaac yang sudah enam puluhan tahun itu menampung saya di rumahnya. Rumah itu terbuat dari gedek dan atapnya dari anyaman daun sagu, dihuni anak perempuan bersama menantu dan cucu-cucunya. Keluarga Papa Leo bukan hanya memberi saya tempat tinggal, bahkan semua makanan saya pun mereka sediakan. Setiap hari selalu ada nasi (sebuah kemewahan), ditemani ketela, mujair, cabai segar, daging rusa, bandicoot, sampai buaya. Saya tidur di samping Papa Leo, beralaskan tikar dari anyaman daun dilindungi kelambu nyamuk yang sudah bolong-bolong. “Banyak orang asing yang datang ke sini,” kata Papa Leo, “Awal tahun ini ada dua turis Australia mendayung kano.” “Selain mereka, siapa lagi?” tanya saya. “Tidak ada lagi.” Dalam ingatan Papa Leo, sejak Papua Nugini merdeka 39 tahun lalu, memang tidak ada lagi turis lain yang pernah datang ke sini. Hanya dua turis, dan buatnya itu sudah “banyak”. Kedua orang Australia itu [...]

January 22, 2016 // 8 Comments

Manda 23 September 2014: Berburu

Berburu masih merupakan cara hidup utama di pedalaman Papua Nugini. Di sini, bisa dikatakan semua orang adalah pemburu. Orang tua, laki-laki, perempuan, sampai anak-anak dan anjing-anjing, semua harus bisa berburu, kalau mereka ingin tetap bisa makan dan hidup. Di Manda, saya tinggal dengan keluarga pemburu. Kakek Leo Isaac yang berambut gimbal rasta itu sudah berburu sejak masih bocah. Reynold anaknya adalah pemburu buaya paling ulung di kampung. Sedangkan menantunya Francis berburu ke hutan setiap minggu demi menyediakan sumber protein bagi keluarga besar itu. Pagi itu Reynold datang ke rumah membawa kabar gembira. Tengah malam tadi dia berburu buaya, dan berhasil membunuh tiga ekor: satu besar, satu sedang, dan satu kecil. Selain itu masih ada lagi bayi buaya, yang dibiarkan hidup dan dipeliharanya di dalam drum besar di belakang rumah. Sungai Fly terkenal karena banyak buayanya. Tetapi selama saya berada di sini, saya tidak pernah melihat sendiri buaya yang masih hidup di alam. Itu karena kebanyakan buaya menyelam di bawah air. Kalau pun mereka naik ke darat untuk berjemur atau bertelur, warna tubuh mereka juga sulit dibedakan dari warna tanah atau pepohonan. Lalu bagaimana mereka menangkap buaya? Reynold menjelaskan rahasianya. Pemburu buaya beraktivitas pada malam hari. Justru di malam gelap, buaya [...]

January 21, 2016 // 12 Comments

Manda 22 September 2014: Tunggu dan Tunggu

Di desa kecil di penjuru yang sangat terpencil di Papua Nugini ini, hati saya diliputi kecemasan luar biasa. Visa Papua Nugini saya tinggal dua minggu lagi, sementara saya tidak sedikit pun berada di dekat perbatasan resmi untuk meninggalkan negara ini. Plus, saking terpencilnya tempat ini, tak seorang pun tahu pasti kapan akan ada perahu melintas. Bisa-bisa, saya terdampar di sini sampai satu bulan. Sebelum saya datang ke Manda, saat berada di Obo, saya dengar ada penduduk Obo yang berencana untuk berangkat ke Kiunga. Saya perkirakan perahu mereka akan lewat dalam sehari dua hari ini. Itu sebabnya, sepanjang hari dari pagi sampai petang, saya duduk di tepi sungai menunggu melintasnya perahu. Saya akan berteriak pada mereka, melambai-lambaikan tangan, siapa tahu mereka mau memberi saya tumpangan. Penduduk Manda hanya menertawakan saya. Tidak usah ditunggu begitu, mereka bilang, kalau ada perahu pasti kami dengar. Orang-orang ini memang memiliki pendengaran luar biasa, mungkin karena mereka senantiasa hidup tenang tanpa ingar-bingar modernitas. Walaupun mereka berada jauh dari bibir sungai, dan perahu itu masih beberapa kilometer jauhnya, mereka sudah bisa mendengar, bahkan bisa mengatakan berapa kekuatan mesin perahu itu, pergi ke mana, punya siapa. Oh, itu 15 tenaga kuda, perahu nelayan Mipan mau ke hutan. Oh, [...]

January 20, 2016 // 4 Comments

Manda 21 September 2014: Kaki di Papua Nugini, Tanah di Indonesia

Kedatangan saya di Manda 2 disambut dengan kewaspadaan tinggi oleh para lelaki penghuni kampung. Saya tahu, letak kampung mereka yang dekat dengan perbatasan Indonesia dan keberadaan kamp OPM di sekitar sini membuat mereka sangat mencurigai saya. Tiba-tiba saya teringat pada sepucuk surat sakti teronggok di dasar tas ransel saya. Surat yang dikeluarkan Kedutaan Besar Indonesia di Port Moresby, menyatakan bahwa saya adalah “fotografer Indonesia yang ingin mengabadikan keindahan alam dan budaya Papua Nugini”. Kepada para lelaki Manda itu, saya menunjukkan surat itu lengkap dengan paspor saya. Mereka mengamati lekat-lekat, bergiliran. Ketegangan mereda. Kini mereka tersenyum ramah. “Banyak orang Indonesia yang datang ke sini, tapi tak pernah ada yang seperti kau,” kata salah seorang dari mereka, “Tadi kita kira kau mata-mata tentara Indonesia. Apalagi kau tanya-tanya soal OPM. Kita mesti hati-hati.” Kini kami sudah tidak saling curiga. Mereka mengajak saya berjalan-jalan keliling kampung. Manda 2 mungkin adalah desa termiskin yang saya saksikan sejauh ini di Papua Nugini. Semua rumah terbuat dari bahan hutan, nyaris tidak ada bahan logam sama sekali. Bahkan tangki penadah air hujan pun masih belum terpasang. Dengan air Sungai Fly yang sudah tercemar, kini satu-satunya sumber air minum mereka adalah mata air yang jauh di dalam hutan di [...]

January 19, 2016 // 9 Comments

Manda 20 September 2014: Terdampar di Tempat yang Salah

Saya sudah banyak mendengar rumor tentang Manda dari warga Obo. Tempat itu tepat berada di perbatasan PNG—Indonesia, mereka bilang. Orang-orang Manda adalah warga Papua Nugini tetapi tanah mereka ada di Indonesia. Saking dekatnya dengan Indonesia, orang Manda semua bisa bahasa Indonesia. Sempurna! Ini adalah tempat yang penuh cerita. Saya harus pergi ke Manda! Perjalanan meninggalkan Obo sebenarnya agak terlalu mulus buat saya. Penduduk bilang, sangat jarang ada perahu yang berangkat dari Obo ke arah utara. Tetapi kebetulan, besok ada rombongan dokter yang hendak berangkat dengan perahu speedboat dengan mesin 60 HP menuju Kiunga. Siapa tahu saya bisa menumpang mereka? Keesokan paginya, subuh-subuh saya meninggalkan gubuk milik Gids Salle, menyeberangi sungai yang memisahkan Obo Lama dari Obo Baru dengan rakit, lalu berlari menuju rumah sakit di sebelah landasan udara yang lebat tertutup ilalang, demi mencari dokter Felix. Dokter muda yang berasal dari daerah Highlands di bagian tengah Papua Nugini itu kemudian membawa saya menemui dokter perempuan kepala rombongan. Saya memperkenalkan diri dan menjelaskan tujuan perjalanan saya. Dokter kepala dengan senang hati menerima saya dalam perahu itu. Semua dokter dalam rombongan dari Kiunga ini berasal dari luar Western Province. Dokter kepala rombongan berasal dari Sepik di utara dan satu dokter perempuan berasal [...]

January 15, 2016 // 3 Comments

Obo 19 September 2014: Melihat ke Barat

Semakin saya menyusuri Sungai Fly, semakin saya dekat dengan Indonesia. Bukan hanya secara geografis, tetapi juga dari kehidupan orang-orangnya. Di Suki saya menemukan sejumlah pemuda Papua Nugini yang sekolah komputer di distrik Sota, Merauke, dan terpaksa pulang karena tidak cukup biaya. Salah satu di antara mereka bahkan memiliki KTP asli Indonesia, yang dia beli dengan sangat mudah seharga 300 ribu rupiah. Dari Suki, orang bisa berperahu dan bersepeda selama dua hari untuk mencapai Indonesia. Saat saya menumpang perahu dari Suki menuju Obo, Nobi si pemuda pemilik perahu mengatakan senang dengan semakin terbukanya kontak dengan Indonesia, karena dia sangat suka rokok lempeng khas Merauke yang biasa dibawa para pedagang dari Indonesia. Dia juga bilang, di Obo nanti, saya bisa menginap di rumah saudara iparnya yang sering ke Merauke. Perjalanan dari Suki ke Obo memakan waktu sehari penuh. Sungai Fly semakin sempit dan dalam, meliuk-liuk dan berzig-zag bagai benang kusut. Selain itu, banyak jalur pintas yang berupa rawa atau selokan yang menghubungkan kelok-kelokan Sungai Fly itu, sehingga kita tidak perlu selalu mengikuti aliran sungai utama demi memotong jarak. Namun jangan berasumsi kita bisa menghemat waktu. Jalur pintas ini sering tertutup tanaman atau rumput yang sangat rapat, sehingga para penumpang perahu harus menggunakan [...]

January 13, 2016 // 12 Comments

Suki 18 September 2014: Kematian Sebuah Budaya

Peringatan kemerdekaan Papua Nugini dirayakan sebagai libur tiga hari hingga dua minggu di seluruh negeri. Di Suki, daerah pedalaman terpencil dan malas di pedalaman Western Province ini, sepertinya setiap hari sudah sama dengan hari libur. Hari Kemerdekaan hanyalah pembenaran bagi ratusan orang untuk bersenang-senang dan bermain bersama di lapangan selama berminggu-minggu, secara resmi. Perayaan kemerdekaan dibuka tiap pagi pukul 9 pagi dan ditutup pukul 5 sore, dengan bendera nasional dikibarkan di tiang bambu. Di antara rentang itu adalah waktu bagi para ratusan penduduk menggelar perlombaan rugbi, voli, dan basket. Musik yang dimainkan kencang berdentum-dentum juga adalah lagu disko. Saya jadi bertanya, apakah makna hari kemerdekaan ini jika semua yang dirayakan adalah budaya luar negeri? Mengiringi musik yang membahana, ibu-ibu menari di lapangan. Beberapa dari mereka membuka baju, payudara hanya ditutup beha. Mereka bergerak seperti kesurupan, memantul-mantulkan pantat dan menendang-nendang seperti gorila, lebih menyeramkan daripada indah. Melihat saya mengambil gambar, seorang ibu mendekat dengan wajah beringas, seperti hendak mencium wajah saya dan menempelkan payudaranya ke dada saya. Saya berusaha menghindar sampai terjatuh. Meledaklah tawa ratusan perempuan yang menonton. Kepada Justin Tutamasi si kepala desa, saya bertanya kenapa tidak ada acara tradisional di perayaan hari kemerdekaan ini. “Ini salah pemerintah,” katanya, “Mereka [...]

December 7, 2015 // 10 Comments