Recommended

Titik Nol 123: Tanpa Cahaya Mentari

Chapursan tersembunyi dan terlupakan. Tak ada yang bisa diharapkan karena yang ada hanya tiga hal: amukan angin, hujan batu, dan kegelapan. Dingin menembus tulang, tetapi kehangatan rumah-rumahnya selalu terpahat di ingatan saya.

Mulanya saya hanya tahu nama Chapursan. Ternyata ada puluhan desa di lembah ini. Buta arah, saya mengikut saja ke mana Majid membawa. Angin menderu tanpa ampun, menebarkan dingin yang menggigilkan seluruh tubuh. Rumah-rumah tampak seragam, kotak-kotak dari tanah liat. Warnanya sama persis dengan warna bumi, rumput kering, pohon gundul, gunung yang kehilangan karpet hijaunya. Dunia di lembah ini hanya diliputi satu warna: kemeranaan hidup tanpa sinar matahari. Tapi tawa Majid yang meledak-ledak menghalau segala perasaan merana yang menerpa saya.

“Inilah tempat di mana sinar matahari tak muncul selama dua bulan lebih di musim dingin,” kata Majid bangga menunjukkan sebuah desa yang nampak tak berpenghuni. Rumput-rumput liar dan kering menutupi jalan setapak. Rumah-rumah berpencaran. Kelabu. Gersang.

Sinar di tengah kegelapan (AGUSTINUS WIBOWO)

Sinar di tengah kegelapan (AGUSTINUS WIBOWO)

Desa ini hanya satu kilometer jauhnya dari desa Khel, tempat Majid tinggal. Letaknya di dasar lembah. Di sebelah kiri, tebing gunung menjulang bak dinding yang menggapai angkasa. Di sebelah kanan, gunung lain yang sama angkuhnya mendongak. Matahari musim dingin yang berputar rendah di selatan tak mampu menembus rumah-rumah di lembah ini, terhalang oleh tembok batu raksasa.

Tak terjangkau sinar mentari, desa ini hanya hidup di bawah bayang gelap dan dingin gunung-gunung tinggi. Bukannya sinar matahari yang datang di sini, tetapi longsoran batu besar dari puncak gunung yang bisa meluncur setiap saat.

“Kamu lihat sekolah itu?” katanya menunjuk sebuah bangunan sekolah yang lebih mirip rumah hantu.
“Dulu sekolah ini ramai muridnya, tetapi sekarang pindah ke gedung baru dekat desa Khel.”

Tak ada matahari selama dua setengah bulan (AGUSTINUS WIBOWO)

Tak ada matahari selama dua setengah bulan (AGUSTINUS WIBOWO)

Alasannya bukan karena tempat ini terlalu dingin tanpa sinar matahari, tetapi lebih karena longsoran batu gunung yang menghujam tanpa ampun.

Dalam udara dingin begini, sungai pun membeku. Kakek dan nenek tua mengumpulkan kayu bakar dan ranting kering dari alam liar, untuk penghangat di rumah lempung mereka.

Walaupun alamnya tak terlalu bersahabat, penduduk Chapursan tidak luntur kehangatannya menyambut tamu yang datang. Di desa Rasyid, bocah-bocah berteriak senang. Ada yang malu-malu mengintip dari balik rumah. Semua berjaket tebal, bertopi hangat. Beberapa harus puas dengan sarung tangan bolong. Domba Chapursan lebih beruntung, mereka dikaruniai bulu tebal, menjuntai panjang sampai menyentuh tanah.

Desa Rasyid, letaknya empat kilometer dari Khel, berukuran cukup besar. Rumah-rumah batu berjajar dalam kegersangan dan coklat kelabu yang monoton. Hanya satu toko yang menjual barang kebutuhan penduduk desa, mulai dari paku, pisau cukur, sampai lampu senter. Tak ada yang beli. Berdagang di tempat seperti ini memang tidak menjanjikan terlalu banyak keuntungan.

Tetapi di sini pun Mir atau Raja Hunza pernah membangun ‘istana’-nya. Majid membawa saya mengunjungi sebuah rumah yang umurnya konon sudah ratusan tahun, dan konon milik sang Mir. Isinya seperti rumah-rumah Chapursan yang lain, dari lempung dan teramat sederhana. Cuma sedikit lebih bersih karena tidak dilapisi jelaga. Ada matras yang melapisi lantai.

Adik perempuan Majid dan bayinya (AGUSTINUS WIBOWO)

Adik perempuan Majid dan bayinya (AGUSTINUS WIBOWO)

Sebuah pintu rumah batu terbuka. Seorang wanita muda berkerudung hitam menyambut kami. Ia langsung menciumi tangan Majid ketika bersalaman, sebagai wujud penghormatan.

Wanita ini adalah adik kandung Majid, baru menikah, pindah ke desa Rasyid, dan dikaruniai seorang bayi. Kalau ditanya berapa umurnya, Majid angkat bahu. Ia tak ingat kapan adik kandungnya dilahirkan. Tak perlu heran, satu keluarga di sini bisa menghasilkan sepuluhan anak, jadi tak semua orang tahu umur saudara-saudaranya sendiri. Untunglah, Majid masih ingat nama adiknya ini.

Perempuan ini tak banyak bicara. Hanya tersenyum senang. Mereka bercakap-cakap dalam bahasa Wakhi Tajik. Dengan cekatan perempuan berkerudung ini langsung menyiapkan chapati, yang digoreng di atas wajan datar. Kemudian datang pula seorang tetangga perempuan, bergabung bersama kami. Kedua wanita bersalaman dan saling mencium tangan pada saat bersamaan.

Angin masih menderu kencang ketika kami meninggalkan rumah ini, dalam perjalanan kembali ke Khel. Debu beterbangan, menutup pandangan. Di sini hanya ada satu jalan, tidak ada percabangan atau persimpangan. Semuanya dibatasi gunung-gunung raksasa yang tangguh bak tembok tak tertembus.

Chapursan di musim panas tentunya tidak semuram ini. Alam Jan Dario mungkin adalah nama yang paling terkenal di seluruh lembah Chapursan. Dia tinggal di Zudkhon, dusun paling ujung Chapursan, paling dekat dengan perbatasan Afghanistan. Chapursan terletak sejajar dengan perbatasan Pakistan-Afghanistan. Di seberang perbatasan sana, di sisi Afghanistan, adalah sebuah koridor sempit yang dulunya dipakai untuk memisahkan kekuasaan kolonial Inggris di British India dengan imperium Rusia. Di koridor itu juga hidup orang-orang yang sama, para penutur bahasa Wakhi Tajik dan pemeluk Ismaili.

Saya sendiri belum sampai ke Zudkhon, tetapi telinga dan mata saya tidak pernah lepas dari nama Alam Jan. Tidak ada orang Chapursan yang tidak tahu tentangnya. Bahkan profilnya sudah dimuat di majalah Jerman, sebagai orang pertama yang punya komputer di lembah tersembunyi ini, dan sebagai orang pertama yang menghidupkan pariwisata, melepaskan isolasi total di Chapursan.

THREE DAY TREKKING
TO AFGHANISTAN BORDER
PASSING THROUGH XX PASS AND BABAGHUNDI ZIARAT

Difficulty Level: Very Hard

Ibu menyiapkan teh susu asin di pagi hari (AGUSTINUS WIBOWO)

Ibu menyiapkan teh susu asin di pagi hari (AGUSTINUS WIBOWO)

Membaca nama Afghanistan disebut dalam ekspedisi penuh tantangan ini, semangat berpetualang saya langsung bergelora kembali. Tetapi apa saya bisa? Bahkan saya memejamkan mata dan berulang kali mengucap

Ya Allah khair… Ya, Tuhan tolong…” ketika saya dan Majid terperangkap dalam jip Rusia tua dari desa Khel kembali ke Sost.

Subuh-subuh, sopir jip tak mau kehilangan kesempatan untuk memperoleh urutan pertama mengangkut penumpang dari Sost. Seperti kesetanan, jip berlari kencang di seutas jalan berkelok-kelok selebar empat meter di bibir jurang, salip-menyalip. Saya terlonjak dan menghembus nafas panjang berkali-kali, ketika jip kami sudah berada di bibir jurang.

Hanya butuh satu jam dua puluh menit, dari waktu tempuh biasa dua setengah jam, kami sampai di Sost. Saya masih merasakan kengerian, deru angin, dan kegelapan yang membungkus memori saya dari Lembah Chapursan, di mana desa-desa takluk di bawah bayang gunung, di mana matahari absen berbulan-bulan.

(Bersambung)

Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.

Dimuat di Kompas Cyber Media pada 22 Januari 2009

1 Comment on Titik Nol 123: Tanpa Cahaya Mentari

  1. Sipp mas bro. Selamat menikmati petualangan yg sulit disudahi ini…

Leave a comment

Your email address will not be published.


*