Recommended

Port Moresby 20 Agustus 2014: Terbang bersama Air Niugini

“Satu hal yang kamu ingat,” kata seorang staf Kedutaan Indonesia di Port Moresby pada saya, “PNG itu singkatan Promise Not Guaranteed. Jangan dikira kalau kamu sudah punya tiket, kamu sudah pasti akan bisa terbang.”

Minggu lalu, pemerintah Indonesia dan Papua Nugini menggelar pertemuan perbatasan tahunan di Port Moresby. Satu delegasi Indonesia 40an orang berangkat dari Jayapura, menyeberang perbatasan darat ke kota Vanimo di sisi Papua Nugini, dan dari sana mereka bersama rombongan Konsulat berencana menggunakan penerbangan domestik Air Niugini dari Vanimo ke Port Moresby. Tetapi begitu tiba di bandara, mereka diberitahu bahwa sudah tidak ada tempat duduk lagi bagi mereka, walaupun mereka semua sudah memegang tiket terkonfirmasi. Alhasil, delegasi besar itu terdampar di Vanimo, padahal pertemuan akan dibuka keesokan harinya! Tidak ada penerbangan lain sampai tiga hari ke depan. Dengan bantuan gubernur di Vanimo, akhirnya mereka berhasil terbang ke Port Moresby pada waktu terakhir, dengan men-charter pesawat khusus!

Jacksons International Airport, Papua New Guinea

Jacksons International Airport, Papua New Guinea (AGUSTINUS WIBOWO)

Hari ini saya akan terbang dari Port Moresby menuju Daru, pulau kecil yang sebelumnya adalah ibukota Western Province—provinsi ujung barat yang berbatasan langsung dengan Indonesia. Saya semula ingin menumpang perahu nelayan atau perahu kargo atau perahu cepat apa pun untuk menuju ke sana, tetapi sudah dua minggu saya tinggal di ibukota ini dan tak berhasil menemukan apa-apa. Terbang, walaupun sangat ingin saya hindari, akhirnya menjadi satu-satunya solusi. Penerbangan saya PX800 bertolak pukul 12:05, tetapi orang-orang di kedutaan menganjurkan saya untuk tiba di bandara paling lambat pukul 9:30, supaya menjadi yang pertama check-in supaya pasti bisa terbang.

Saya menjadi pengantre tunggal di depan konter Air Niugini menuju Daru di bandara Jacksons yang tak ber-AC ini, di belakang seorang ibu bersandal jepit yang sedang dilayani di konter—tidak tampak penumpang lain. Mungkin memang masih terlalu pagi. Proses check-in berlangsung sangat lancar, sehingga saya menyempatkan berkeliling bandara untuk memotret. Mereka sungguh serius untuk menjaga bandara dan pesawat bersih dari cairan merah ludahan buai (pinang), sebelum memasuki daerah steril terdapat pemeriksaan X-Ray yang sangat cermat mengawasi apakah penumpang membawa buai masuk ke kabin. Maskapai Air Niugini juga mengumumkan tidak akan menerima dan mengangkut bagasi yang berisi pinang.

Lelaki berseragam pemeriksa dokumen dan boarding pass sebelum ruang tunggu keberangkatan bertanya pada saya dalam bahasa Pidgin, “Yu kisim foto hia?” Kamu ambil foto di sini? Raut mukanya serius, membuat saya khawatir dia akan melakukan sesuatu terhadap foto-foto bandara yang saya ambil dengan kamera saya.

Yu laikim mi kisim foto bilong yu?” Kau mau aku ambil fotomu? Saya mengarahkan kamera padanya dengan berlagak bodoh.

No, yu rong!

Dia mengizinkan saya lewat.

Penjagaan keamanan di bandara ini dilakukan oleh G4S, sebuah perusahaan swasta internasional. (AGUSTINUS WIBOWO)

Penjagaan keamanan di bandara ini dilakukan oleh G4S, sebuah perusahaan swasta internasional. (AGUSTINUS WIBOWO)

Berikutnya adalah pemeriksaan dengan mesin X-Ray. Ada dua mesin berdampingan, hanya satu yang berfungsi. Setengah lusin petugas, laki-laki dan perempuan, bekerja di ruangan ini. Mereka menggunakan seragam G4S (anehnya, keamanan bandara kebanggaan negeri ini justru ditangani perusahaan keamanan swasta internasional). Seorang petugas perempuan, melihat kamera tergantung di leher saya, mengajukan permohonan, “Bos. Yu kisim foto bilong mi?

Kisim foto lo hia no itambu?” Ambil foto di sini tidak dilarang? Tanya saya.

Perempuan dengan tato beberapa bulatan hitam kecil di sekeliling hidungnya itu berkata, “Nogat. Kwik. Kisim!

Begitu saya mengarahkan kamera padanya, para petugas lelaki di samping mesin X-Ray langsung menjerit, “Tidak boleh ambil foto di ruangan ini! Perusahaan melarang!” Perempuan bertato di sekeliling hidung itu berteriak pada para lelaki, “No problem. Wanpela foto tasol!Cuma satu foto saja. Mereka bertengkar hebat, saling berteriak dan berargumen. Akhirnya perempuan itu menggeleng dengan lesu pada saya. “Bos, no ken kisim. Yu go.

Penantian di ruang penantian (AGUSTINUS WIBOWO)

Penantian di ruang penantian (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya menunggu di ruang tunggu di sebelah ruangan X-Ray itu, bercakap dengan seorang pemuda Polinesia dari Tonga yang menjalani tugas misionaris agama Mormon di Papua Nugini selama dua tahun, yang mengeluh telah kehilangan 20 kilogram berat badannya karena sulitnya makanan di sini sehingga dia jadi begini langsing (padahal orang Tonga terkenal dengan obesitas parah). Dia bertugas di Lae, kota kedua terbesar di Papua Nugini tetapi bahaya raskol-nya lebih parah daripada ibukota Port Moresby. Para misionaris Mormon diwajibkan selalu pakai kemeja putih, dasi, celana panjang yang membuat mereka mirip eksekutif atau salesman produk terserah-kau-suka-yang-mana, sehingga para raskol mengiranya pasti banyak duit. Dia pernah ditodong senjata, tapi misionaris Mormon tak punya apa-apa selain kabar baik. Dia kemudian bercerita pada saya tentang Yesus Kristus, lalu memberi saya tiga buklet tentang Nabi mereka Joseph Smith, dan menganjurkan saya untuk pergi ke gereja Mormon di Daru.

Saya perlu ke toilet. Toilet terletak di ruangan lain di seberang ruang tunggu ini, dan saya mesti melewati ruangan pemeriksaan mesin X-Ray itu. Perempuan bertato di sekeliling hidung itu mencegat saya. “Bos, yu kisim foto nau.” Saya tidak berani. Perempuan itu terus memaksa, dan akhirnya dia menggeret saya ke depan pintu toilet. “Kisim hia!

Jepret. Jepret.

Dia bilang kalau saya balik lagi ke bandara ini, saya harus memberikan foto itu padanya. “Wonem taim yu kambek hia?” Kapan balik lagi?

Wanpela yia? Tupela yia? God save!” Satu tahun? Dua tahun? Hanya Tuhan yang tahu.

Perempuan itu menggelengkan kepala kecewa. “Yu go!” katanya lirih.

Port Moresby adalah paradoks yang paling aneh yang pernah saya jumpai. Di satu sisi adalah horor tentang raskol dan pembunuhan dan perampokan yang merajalela di mana-mana. Di sisi lain, saya tidak pernah menemukan masyarakat yang sangat menyambut seperti ini, begitu bersahabat dan membantu, serta penuh keingintahuan terhadap tamu asing dan keterbukaan luar biasa yang konon adalah karakteristik khas bangsa Melanesia. Saya kembali ke ruang tunggu. Sepertinya ada yang memanggil nama saya. Saya dengarkan lagi. Nama saya dipanggil kedua kalinya melalui corong pengumuman. Meminta saya segera naik pesawat. Saya melihat jam, masih 30 menit dari jadwal boarding. Nama saya dipanggil ketiga kalinya.

Saya bergegas menuju pesawat, berjalan di atas tarmak melalui koridor berpagar dan bertudung. Pesawat Bombardier Q400 yang berbaling-baling besar di sisi kiri dan kanan dan bermesin turboprop buatan Kanada itu sudah menanti. Saya penumpang terakhir yang naik pesawat.

Para pramugari Air Niugini yang penuh sukacita. (AGUSTINUS WIBOWO)

Para pramugari Air Niugini yang penuh sukacita. (AGUSTINUS WIBOWO)

“Cepat!” kata pramugari di pintu pesawat, “Kita akan segera terbang.”

“Tapi ini masih belum jadwal terbang,” kata saya.

“Semua penumpang sudah siap, kita terbang lebih awal!” katanya.

Terbang tertunda saya sudah sering mengalami. Terbang lebih awal, baru pertama kali ini saya.

Pesawat mempunyai kapasitas sekitar 70 penumpang, tetapi isinya hanya dua puluhan saja. Selain mengingatkan tentang pemakaian sabuk pengaman, pengumuman sebelum terbang adalah tentang larangan merokok dan larangan mengunyah pinang. Penerbangan menuju Daru hanya 1 jam 15 menit, untuk jarak hanya 442 kilometer harga tiketnya sekitar US$180. Penerbangan berbiaya rendah bahkan masih belum dimimpikan di Papua Nugini. Penerbangan domestik bisa mencapai US$1000 (di negara yang hanya sebesar separuh pulau Papua) dan penerbangan ke negara tetangga terdekat, Kepulauan Solomon, seharga US$ 800 sekali jalan. Air Niugini baru setahun lalu membuka penerbangan langsung ke Indonesia, dan hanya satu-satunya, yaitu ke Bali setiap Senin yang tiketnya sekitar US$800, dan selalu penuh.

"Anda dilarang mengunyah pinang sepanjang penerbangan ini!" (AGUSTINUS WIBOWO)

“Anda dilarang mengunyah pinang sepanjang penerbangan ini!” (AGUSTINUS WIBOWO)

Port Moresby dari angkasa (AGUSTINUS WIBOWO)

Port Moresby dari angkasa (AGUSTINUS WIBOWO)

Setelah melewati Teluk Papua pesawat kami menyeberang dari daratan utama melintasi selat kecil untuk mendarat di sebuah pulau yang terlihat begitu kelam.

Daru. Bandara yang lebih mirip lapangan sepak bola di tengah desa ini dikelilingi pagar kawat, dan orang-orang berderet di balik pagar sepanjang jalan menonton pesawat yang akan mendarat. Apakah mereka sedang memimpikan keberangkatan, atau merayakan sebuah ketibaan? Setelah pesawat mendarat dan kami turun dari pesawat, aku lihat para penonton di balik pagar sudah jauh berkurang. Atraksi selesai, mereka telah balik ke rumah masing-masing. Hujan rintik semakin deras, para penumpang berlarian menuju gedung bandara, seperti rumah cantik bercat kuning dengan dua tangki besar penampung air hujan. Kami menunggu barang bagasi kami, yang diangkut satu-satu oleh para petugas ke atas sebuah bangku kayu dan terserah kami mengambil masing-masing kepunyaan kami. Selamat datang di Daru!

Selamat datang di Daru (AGUSTINUS WIBOWO)

Selamat datang di Daru (AGUSTINUS WIBOWO)

Apakah mereka memimpikan keberangkatan, ataukah merayakan sebuah ketibaan? (AGUSTINUS WIBOWO)

Apakah mereka memimpikan keberangkatan, ataukah merayakan sebuah ketibaan? (AGUSTINUS WIBOWO)

Bandara Daru (AGUSTINUS WIBOWO)

Bandara Daru (AGUSTINUS WIBOWO)

Pengambilan bagasi yang sangat efisien--hanya lama. (AGUSTINUS WIBOWO)

Pengambilan bagasi yang sangat efisien–cuma lama. (AGUSTINUS WIBOWO)

***

 Berselang dua minggu dari ketibaan ini, aku kembali datang ke bandara ini untuk mengantar seorang teman yang hendak berangkat ke Port Moresby dengan pesawat Air Niugini, yang hanya terbang dua kali seminggu pada Ahad dan Rabu. Dari balik kawat pagar, aku menonton para penumpang yang berbaris berjalan di atas tarmak menuju pesawat. Dua penumpang yang terakhir naik, naik sebentar ke pesawat, lalu turun lagi, menunggu barang mereka, dan terpaksa pulang. Saya mendengar dari petugas, dua penumpang naas itu tidak bisa diberangkatkan, karena pesawat ini telah kelebihan muatan kargo.

Pesawat tinggal landas. Para penonton bandara bertepuk tangan, satu per satu meninggalkan bandara. Saya menghampiri petugas, bertanya tentang nasib dua penumpang yang tidak jadi terbang tadi.

“Apa yang bisa mereka lakukan?” tanya saya.

“Hanya bisa menunggu hari Rabu,” katanya.

“Apakah ini tidak akan membuat mereka marah? Di negara saya kalau terlambat dua jam saja, penumpang bisa luar biasa marahnya. Ini penumpang yang sudah punya boarding pass tapi tidak jadi terbang, maskapai tidak bisa dituntut?”

“Papua Nugini beda dengan negara lain. Di Papua Nugini semua orang penuh pengertian, dan mereka semua mengerti keadaan.”

Kasus ditutup.

Penundaan, pembatalan, dan overbooking adalah hal yang terlalu biasa terjadi pada penerbangan domestik di negeri ini. Bapak Noweda, seorang kawan saya warga lokal yang staf senior sebuah LSM internasional di Daru, pernah bercerita pada saya bahwa pengalaman dengan Air Niugini membuatnya selalu berjuang untuk menjadi orang pertama bukan hanya untuk cek-in tetapi juga untuk naik pesawat. Dia pernah menumpang pesawat yang penuh penumpang. Petugas Air Niugini tampaknya memberikan satu nomor kursi untuk seorang kerabatnya yang tidak kebagian kursi, dan menyuruhnya untuk naik duluan ke pesawat. Ketika penumpang yang seharusnya duduk di kursi itu datang, mereka berdebat dan sama-sama memiliki boarding pass untuk tempat duduk yang sama. Pramugari akhirnya menyuruh penumpang yang belakangan naik itu—yang sebenarnya pemilik sah kursi itu—untuk turun dan menunggu penerbangan selanjutnya. Pramugari berkata, “Staf darat kami tampaknya telah membuat kesalahan. Maaf.”

Mengomentari ceritanya itu, saya memberi tahu Noweda tentang akronim nama PNG yang menjadi lelucon di Kedutaan kami, bukan Papua New Guinea melainkan Promise Not Guaranteed.

That’s brilliant!” Noweda terbahak-bahak. “I have to note this down!

Promise Not Guaranteed (AGUSTINUS WIBOWO)

Promise Not Guaranteed (AGUSTINUS WIBOWO)

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

23 Comments on Port Moresby 20 Agustus 2014: Terbang bersama Air Niugini

  1. apa kabar mas? Sedang di manakah pagi ini?

  2. semua orang penuh pengertian dan memahami keadaan.

  3. Promise Not Guaranteed bhuahahaha ngakak guling-guling bang ming… Bener-bener di sini telat 2 jam saja sudah mencak-mencak. Gak bisa bayangin ya klo ada meeting dan pertemuan yang harus di tanggal sekian tapi gak bisa boarding. Apa meetingnya jg dimundur gitu?

  4. nunggu tulisan-tulisan selanjutnya 🙂

  5. Maaf bang, raskol itu apa yah ?

  6. Cak buku berikutnya berkisah tentang sisi luar Indonesia hanya dr Papua nugini atau dr perbatasan lainnya?

  7. perlu bawa lebih banyak kesabaran ya kalau ke PNG sepertinya :))

  8. Mas Agus…cerita kali ini membuat saya banyak tertawa sendiri karena menurut saya benar-benar lucu…..maaf yaa mas..hehehehe….

  9. Serasa ikut terbang bersama Air Niugini. Tetiba merasa beruntung tinggal dan jadi orang Indonesia

  10. omg!!! I’ve been dreaming of going here for so long! I have friends here who got trained at my institute in Malaysia and they all wish me to come visit them there soon.

    Hope I do!

  11. Mas..saya pernah naik psawat dri PoM ke Vanimo, sdh terbang skitar 1jam lebih, ternyata psawatnya balik lgi ke Jackson Airport, PoM. Pesawatnya ganti n sempat nunggu lgi smp sejaman lbh tpi anehnya smua penumpang tdk ada yg complain. (Coba klo di indo). Dari info yg sy dpt pswatnya ada trouble di engine, salut sm pilotnya msh mikirin kslamatan penumpang tpi..(coba klo maskapai dlm negeri, mgkin lanjut x ya..krn udah tanggung…tpi landingnya dimana hanya Tuhan yg tahu…) hehehe…

  12. Setiap baca tulisannya Agus pasti ketawa

  13. Iya dulu saya pernah naik Air Niugini jam take off nya seperti bis di terminal, nunggu penumpang penuh dulu 🙂

  14. saya dlatih sabarrrrr hidup di mosby itu…banyak suka dan duka yg kita sekeluarga jalani selama tinggal dmosby…

  15. bah, lebih gila dar indonesia, delaynya nggak nanggung 😐

  16. Sy lagi cari2 info tentang PNG, krna mau mengunjungi teman di Bougainville salah 1 provinsi di PNG
    cari2 info di google nemu web mas Agus
    jadi dapet banyak info tentang PNG & jadi takut juga dari cerita mas Agus dari wajah gerbang pertama Airport aja udah kacau balau, belom lagi kriminal nya
    jadi mengurungkan niat deh ke PNG, selain harga tiket nya yg sama dg ke eropa 😀

  17. Jadinya gak ada guna ya boarding pass, lebih ke siapa duluan dia dapat. Dilarang ngunyah pinang ada baiknya juga, daripada ngeludah di dalam kabin :p

  18. Awalnya membaca soal “PNG itu singkatan Promise Not Guaranteed. Jangan dikira kalau kamu sudah punya tiket, kamu sudah pasti akan bisa terbang.” Kirain bakal kena delay berjam-jam, tapi ternyata berangkatnya 30 menit lebih cepat 😀

    Pengalamannya seru benar di Bandara sampai tiba di tujuan

  19. Dan hal ini aku alami hari ini,…..huhuhuhuhu…. Terbang dengan air nugini dari Singapore ke Port Moresby semua bagasi penumpang ditinggalin di Singapore. Padahal kami ada transfer flight ke Lae. Jangan kan minta kompensasi bagasi terlambat, diminta antar bagasi ke hotel keesokan harinya saja tidak bisa, harus diambil sendiri ke bandara. Dan nggak jamin itu bagasi esok hari bakal tiba. Suabaaaaaar……

  20. Muhamad Usman // November 4, 2020 at 11:24 pm // Reply

    Knapa Mas Agus memilih menulis Ahad, bukan Minggu?

Leave a comment

Your email address will not be published.


*