Daru 20 Agustus 2014: Mengajar Indonesia di Papua Nugini
Kedatangan saya di Daru adalah pening bagi Mekha Eho’o, seorang guru matematika di Daru High School yang sekaligus memberi pelajaran tambahan bahasa Indonesia bagi murid-muridnya.
Saya semula mengira begitu keluar dari Port Moresby yang dicekam kriminalitas dari para raskol (bajingan) itu otomatis saya bisa bebas menjelajahi Papua Nugini. Ternyata tidak. Daru adalah sebuah pulau kecil berpenduduk 20.000 jiwa, hanya 6 kilometer dari timur ke barat dan 3 kilometer dari utara ke selatan, dan kita bisa berjalan kaki ke mana-mana, tapi Mekha bersikukuh bahwa saya perlu pengantar ke mana pun bepergian di kota pulau ini.
“Di Daru pun ada raskol?” tanya saya kepadanya melalui telepon, sebelum saya tiba di kota ini.
“Tentu saja! Ini Papua Nugini, Sobat!” jawab Mekha dalam bahasa Indonesia yang fasih.
Saya mendarat di Bandara Daru siang menjelang sore dengan penerbangan Air Niugini PX800, di luar pintu gerbang berdiri seorang lelaki tua berpayung yang menunggu saya di bawah hujan deras. “Bapa Eho’o sedang sibuk mengajar,” kata Matthew lelaki itu dalam bahasa Indonesia terbata-bata. “Saya school guard, Bapak Eho’o suruh saya ke sini jemput sobat.”
“Mekha mengingatkan saya untuk tidak bicara bahasa Indonesia di Daru, juga tidak memberitahu orang bahwa saya datang dari Indonesia. Apa karena di sini banyak orang West Papua? Mi maski tok English oltaim oltaim?” tanya saya.
Lelaki itu tertawa. “Lebih baik begitu. Orang West Papua sudah pulang tapi banyak yang tidak suka Indonesia. Kamu bisa bilang orang China atau Filipina. Kalau dengan saya, tidak masalah. Saya suka Indonesia.” Dia bilang istrinya adalah orang Papua dari sisi Indonesia (“West Papuan”), dan Matthew (atau “Matius” untuk nama versi Indonesia) ingin belajar bahasa Indonesia langsung ke Indonesia. “Kamu tahu caranya mendapat beasiswa ke Indonesia? Supaya saya bisa pergi seperti Bapa Eho’o?”
Saya kurang tahu program beasiswa untuk peminat usia lanjut. Lelaki pensiunan tentara itu berjalan terpincang-pincang karena masalah di kakinya, saya terbungkuk-bungkuk memanggul satu ransel besar di punggung dan menggendong satu ransel lain di depan dada. Matthew tidak menawarkan bantuan, saya juga tidak meminta bantuan. Kami berjalan di samping kanan pagar bandara menyusuri jalanan beraspal Daru yang hanya selebar tiga meter yang tidak rata sisi kiri dan kanannya serta penuh lubang berbatu, lalu berbelok ke timur menuju Daru High School yang berupa kumpulan rumah kayu berpanggung mengelilingi lapangan rumput luas.
Matthew membawa saya ke ruangan tempat dia tinggal, berupa sebuah ruangan kelas suram dengan papan tulis dan dinding penuh coretan, mengingatkan saya pada seting film horor Jepang dengan setan tanpa wajah. Saya bertanya tentang toilet. Untuk urusan pispis, Matthew menunjuk dinding di sudut ruangan, yang ada sebuah karet ban bekas yang saya tidak tahu untuk apa. “Pispis di tembok, nanti kering sendiri.” Kalau mandi? “Nanti saya bawakan timba, waswas di situ juga.” Air akan merembes lewat lantai kayu, dan juga akan mengering sendiri. Itu sebabnya ruangan ini mempunyai aroma tertentu. Saya berharap tidak perlu sampai pekpek di ruangan ini juga.
Matthew menunjuk lantai di bawah meja, “Nanti malam kamu tidur di sini, saya di situ,” katanya, mengalihkan jarinya pada area di bawah papan tulis. Saya bernapas lega. Akhirnya ada tempat bagi saya untuk bisa tidur malam ini.
Akomodasi adalah masalah pelik saya. Daru memang kota teramat kecil, dengan rumah-rumah kayu berpanggungnya tersebar jarang-jarang di pinggir jalanan yang ramai diisi pejalan kaki bertelanjang kaki yang melangkah santai di tengah jalan, dan ketika ada mobil sesekali lewat semua pejalan itu akan menepi jauh-jauh sekali dari jalan bahkan menghentikan langkah sama sekali seolah itu adalah monster yang bisa membunuh mereka. Tetapi penginapan di sini lebih mahal daripada di Australia atau Amerika: penginapan termurah di Hotel New Century, yang dikelola supermarket berkarat milik orang China Daratan di ujung kota dekat pelabuhan itu harganya K250 (US$100) semalam, sedangkan menginap di gereja Katolik pun mesti bayar K170.
Ketika langit sudah gelap, Mekha akhirnya datang, setelah mengakhiri pelajaran kelas malam. Saya tidak menyangka, tuan rumah saya adalah seorang lelaki berusia 45 tahun, guru senior. Saya mendapat nomor kontaknya dari Kedutaan Indonesia, saya hanya tahu dia akan berangkat ke Indonesia dalam waktu dekat karena mendapat beasiswa S-2 bidang Linguistik di Universitas Sriwijaya, Palembang, sehingga saya membayangkan dia adalah pemuda seusia. “Mas, iso ngomong Jowo?” sambut lelaki botak tinggi dan tambun itu memeluk saya, dengan suara tawa yang berdesis panjang seperti desau angin di hutan bambu. Sepuluh tahun lalu Mekha pernah mendapat beasiswa Dharmasiswa untuk belajar bahasa Indonesia di UNS Solo, lalu mengambil S-1 pendidikan bahasa Indonesia di UNY Yogyakarta.
Tetapi dia membawa kabar buruk. Saya tidak bisa tinggal di ruangan kelas ini. Kepala sekolah tidak mengizinkan. Ini adalah sebuah condemned building, kelas yang sudah tidak layak huni sehingga tidak bisa dipakai dan bisa rubuh sewaktu-waktu. Sekolah tidak berani bertanggung jawab apabila terjadi apa-apa pada diri saya, seorang asing. Solusi yang ditawarkan Mekha adalah menginap di rumahnya, dengan sebelumnya bertanya apakah saya bisa menerima keadaan seburuk apa pun.
Rumah Mekha adalah rumah yang disediakan sekolah, sekitar seratus meter dari pintu gerbang sekolah. Tetapi untuk ke sana, karena langit sudah gelap, Mekha meminta Matthew si petugas keamanan itu untuk mengawal kami. Takut ada raskol, katanya. Tiga tahun Mekha tinggal di Daru, dia bahkan tidak pernah pergi ke ujung jalan di bagian belakang pulau, tempat beradanya corner yang merupakan permukiman warga pendatang dari berbagai kampung sekitar.
“Seseram itukah Daru?” saya bertanya.
“Saya juga pendatang di sini, ini bukan daerah saya. Saya tahu ada masalah, dan lebih baik saya tidak perlu mencarinya,” dia bilang.
Rumah panggung Mekha yang sesak dan suram itu sepenuhnya terbuat dari kayu dengan lantai berlubang-lubang, dipenuhi aroma kotoran kucing dan anjing. Saya tidak tahu pasti apakah aroma lain yang dominan ini berasal dari toilet hitam yang selalu terbuka, atau genangan air penuh di bak cuci piring yang juga hitam di belakang ruangan utama di hadapan toilet. Kertas-kertas bertaburan di meja besar, buku-buku bertebaran, peta Papua Nugini yang tertempel di dinding tercopot satu sudutnya. Seorang lelaki muda bernama John, anak tetangga, tanpa ekspresi dan tanpa kata-kata, menyambut Mekha di rumah itu dengan membukakan pintu dan menuruti perintahnya menggoreng potongan ikan kakap. Bagi saya, Mekha sudah menyiapkan sebuah kamar mungil di samping kamar John, lengkap dengan kelambu agar saya tidak digigit nyamuk malaria. Saya menggelar kantung tidur saya, karena untuk malam ini dan malam-malam berikutnya saya akan tidur di lantai keras. Mekha meminta saya menutup tirai jendela. Akan sangat berbahaya jika tetangga melihat tas saya yang merah mengilap dan laptop saya tergeletak di meja. Sesekali Mekha berteriak, “John, kamu lihat juga ke luar! Apa tidak ada yang mencuri kubis kita di kebun?” Di daerah ini, bahkan sandal jepit yang ditaruh di luar pintu rumah pun bisa dicuri raskol.
Mekha mengambil kursi goyang, menawari saya duduk. Saya lebih memilih kursi plastik biasa. Ikan kakap gorengan John sudah siap di piring seng. Saya memberikan nasi saya dan dua dari tiga potong ikan itu pada John.
Mekha meminta maaf untuk kekacauan rumahnya, juga untuk ketidakmampuannya berkonsentrasi melayani saya. Saya juga meminta maaf untuk datang pada waktu yang tidak bisa lebih buruk lagi daripada ini. Mekha harus mengosongkan rumah ini segera, karena akan berangkat dua minggu lagi ke Indonesia. Dia berasal dari Kerema, sebuah kota di Teluk Papua yang tersambung langsung dengan jalan raya ke Port Moresby. Dia akan mengirimkan semua barangnya di rumah ini ke Kerema dengan kargo kapal, termasuk meja-meja kayu dan lemari-lemari tua yang dibawanya dari rumah ke sini tiga tahun lalu. Sekolah tidak memberinya tempat tinggal layak, tidak membantunya membiayai apa pun, bahkan mempersulitnya saat meminta izin meninggalkan tugas demi mengikuti program beasiswa di Indonesia. Mekha tidak gembira dengan sekolahnya. Mekha membawa sekolah dan Dinas Pendidikan ke pengadilan. Dia harus menyelesaikan semua urusan pengadilan ini sebelum berangkat ke Indonesia. Dia bahkan mempertimbangkan tidak jadi mengambil beasiswa S-2 di Indonesia itu apabila urusan ini tidak selesai.
Masalah Mekha bermula dari Indonesia. Mekha mendapat gelar sarjana dari universitas di Indonesia, kembali ke Papua Nugini, terdaftar menjadi guru sejak sepuluh tahun lalu. Tetapi dia tidak juga diangkat sebagai guru tetap, statusnya terus-menerus hanya sebagai guru sementara. Itu berarti setiap tahun Mekha harus pergi ke Port Moresby untuk memperbarui izin mengajarnya. Dan itu butuh biaya tidak sedikit: tiket pesawat pergi pulang, biaya hotel yang selangit di ibukota selama seminggu penuh, semua harus ditutup dengan gajinya yang minim karena dia guru sementara. Itu juga alasan kenapa dia mendapat rumah yang tidak layak huni ini, sedangkan guru-guru senior lain mendapat rumah yang lebih bagus di dalam kompleks berpagar yang aman dari raskol. Mekha mencurigai mereka mempersulitnya karena ijazahnya dari Indonesia, tidak diakui di Papua Nugini. Mekha menuntut mereka mengembalikan semua uang yang harus dikeluarkannya karena ketidakjelasan status ini, juga untuk pencemaran nama baiknya, dan itu lebih dari 40.000 kina.
“Saya bukan hanya memperjuangkan ini untuk diri saya sendiri, tetapi juga demi nasib lulusan Papua Nugini lain yang belajar di Indonesia,” katanya.
Tahun 2003, setelah menyelesaikan belajar di Indonesia, Mekha membawa pulang oleh-oleh dari Yogyakarta berupa dua anak kandung berkewarganegaraan Indonesia. Keluar dari Indonesia tidak masalah, tetapi memasuki perbatasan Papua Nugini pada perbatasan darat antara Jayapura dan Vanimo, petugas perbatasan mempersoalkan dokumen kedua anaknya. “Terus kalian mau apa?” kata Mekha saat itu, “Apakah kalian mau memulangkan kembali dua anak Papua Nugini ini pada orang-orang Indonesia itu?” Dia diizinkan masuk.
Tahun itu juga Mekha mendapat tawaran lagi dari atase pendidikan Kedutaan Indonesia di Port Moresby, seorang Melanesia asal Ambon untuk mengambil S-2 ekonomi di Universitas Manado. Mekha sekarang ayah tunggal yang membesarkan dua anak kecil, sehingga pertimbangannya lebih banyak. Atase pendidikan itu bekas rektor di universitas yang sama, sangat menginginkan Mekha untuk bisa belajar di universitasnya, sehingga menuruti semua persyaratan Mekha: mencarikan kos dengan ibu kos yang siap merawat kedua anaknya, mencarikan sekolah untuk kedua anaknya yang masih Warga Negara Indonesia itu, juga menanggung semua biaya pendidikan mereka. Menjelang hari keberangkatan, sesuatu terjadi pada keluarga Mekha, sehingga dia dengan berat hati dia memberitahu atase itu bahwa dia tidak bisa berangkat. Itu bikin Atase Indonesia marah besar, nama Mekha masuk dalam daftar hitamnya sehingga tidak mungkin mendaftar program beasiswa lagi.
Kedua anak Mekha sekarang sudah menjadi warga Papua Nugini, tinggal di Kerema bersama keluarga besar. Berselang sepuluh tahun, dengan seorang atase pendidikan yang baru, kesempatan untuk belajar ke Indonesia kini datang lagi. Lagi-lagi pada saat yang tidak tepat, Mekha sedang menanti pengumuman kasus pengadilannya. Mekha ingin menunda keberangkatan, tetapi KBRI mengingatkan umur Mekha, sekarang atau tidak sama sekali. Mekha dalam dilema.
Tapi Mekha selalu terkesan dengan Indonesia. Sejak kelas 1 SD Mekha sudah bermimpi tentang Indonesia, tersihir oleh alunan gamelan Bali yang didengarnya di radio. Tapi pertama kali datang ke Indonesia, itu di tahun 1997, seperti halnya kebanyakan orang Papua Nugini lainnya, Mekha penuh ketakutan. Dia mengira di mana-mana di seluruh Indonesia ada ABRI yang membawa M-16 dan akan membunuhi orang berkulit hitam seperti dirinya. Begitu sampai di Jayapura, dia baru menyadari ini bukanlah negeri seram yang ada dalam fantasinya. Ternyata orang Indonesia sangat ramah, negerinya jauh lebih aman tanpa raskol, dan mereka punya teknologi. Indonesia telah mengubah hidupnya; Indonesia membuatnya belajar berbisnis dan menggunakan apa pun yang ada secara efisien, sehingga kini dia bertanam kubis di sepetak tanah kecil di depan rumahnya, yang bisa dia jual untuk tetangga seharga 10 kina (sekitar 45.000 rupiah) per kubis. Itulah sebabnya Mekha membuka kelas pelajaran bahasa Indonesia di sekolahnya di Daru ini, dan selalu memotivasi murid-muridnya: “Jangan hanya belajar dari Barat, tapi belajarlah dari Indonesia, yang keadaannya mirip Papua Nugini. Apa yang mereka punya, kita juga punya. Bedanya, mereka bisa mengolah kekayaan mereka tapi kita tidak.”
Masalah antara kedua negeri bertetangga ini adalah minimnya pengertian satu sama lain. Orang Papua Nugini mengira Indonesia sebagai negara komunis militeristik satu-satunya negara tetangga darat yang bisa sewaktu-waktu menyerbu mereka. Sedangkan orang Indonesia terhadap Papua Nugini adalah ketidaktahuan sama sekali, bahkan mendengar namanya pun mungkin tidak pernah, dan mengira Pulau Papua (Pulau New Guinea) itu berhenti pada garis vertikal lurus di ujung timur negeri mereka. Waktu saya memberitahu beberapa kawan jurnalis Indonesia bahwa saya akan berangkat ke Papua Nugini, mereka memberi saya nomor kontak orang-orang di Jayapura. Banyak juga yang mengira bahwa Papua Nugini adalah bagian Provinsi Papua. Bahkan di tempat yang internasional seperti Bali pun, Mekha sering ditanya orang dari mana, dan orang-orang itu, begitu mendengar nama Papua Nugini dan melihat kulitnya yang hitam, antusias bertanya, “Apakah itu di Afrika? Atau di Amerika?”
Kita memang adalah tetangga terdekat, sekaligus yang terjauh.
kapan berpameran foto mas Agustinus Wibowo
Dik Agus, setelah mengoleksi buku-bukumu, sekarang saya sedang menantikan bukumu selanjutnya. Tetap berkarya..! 🙂
I love it 🙂
PAMERAN FOTO. siiippp ditunggu
Iya setuju pameran foto…terus bikin edisi khusus buku foto hasil mas agus…masih banyak foto2 yg belum di publikasikan…!
#onephotoperday nya kok gak ada lagi….
hehe… sorry bang, sibuk mengerjakan project yang lain dulu 🙂 semua dikerjakan sendiri soalnya
Di kota saya (Sigli, Aceh) sulit sekali menemukan buku2 Mas Agustinus, saya hanya bisa membaca Titik Nol/ Selimut Debu via online.
saya suka deh karya2 mas 😀
mantabbb lanjutkan mas
Hallo mas agus, senang sekali membaca tulisan anda, saya juga pernah kenal sama orang png yg mendapat beasiswa di.univ sriwijaya palembang. Waktu itu saya menjadi guide mereka buat cultural visit di palembang. Mereka rata-rata sama kek orang papua, ramah dan terbuka.
Mas, apa berangkat ke sana di Vaksin malaria dulu ngga?
Saya sudah membaca habis tiga buku Anda. Saya suka sekali. Kapan buku selanjutnya terbit?
Beruntung saya menemukan blog ini.
Terima kasih mas Agustinus atas tulisannya yang menambah sudut pandang saya.
semakin banyak yang belajar di Indonesia, semakin baik merubah stigma mereka tentang Indonesia