Recommended

Ber 24 Agustus 2014: Lambatkan Langkahmu

Hanya ada rumah gubuk bertebaran jarang-jarang di Ber (AGUSTINUS WIBOWO)

Hanya ada rumah gubuk bertebaran jarang-jarang di Ber (AGUSTINUS WIBOWO)

Saya membuka mata. Sinar matahari menyeruak lewat tembok dari bilah-bilah bambu dan anyaman dedaunan. Saya menyibak kelambu, keluar dari ranjang, menemukan lensa kamera saya hanya bisa mengambil foto-foto kabur seperti tertutup embun tebal. Pasti karena kedinginan dan air laut kemarin. Pandangan mata saya kini sama kaburnya dengan lensa itu.

Saya tidak tahu ini rumah gubuk ini milik siapa. Saya menuruni tangga di luar pintu, berjalan mencari Sisi dan Marcella, yang ternyata tidur di balai-balai rumah lain seratus meter jauhnya di seberang hamparan rumput tinggi.

“Sisi, jam berapa kita berangkat ke Buzi?” kata saya.

“Tidak bisa. Kami harus pergi menyeberang dulu ke Boigu untuk belanja,” katanya santai. Boigu adalah pulau milik Australia yang terletak tepat di seberang laut dari Ber, sekitar 5 kilometer jauhnya.

“Kenapa kalian tidak cepat berangkat?”

“Kau lupa ya? Ini hari Minggu. Hari untuk Tuhan. Tidak ada orang bepergian di hari ini.”

Sisi mengucapkan itu ketika saya sibuk mencuci lensa kamera saya dengan air sabun sembari menggumamkan keluhan apakah kamera saya akan bisa berfungsi normal. Melihat kegelisahan saya, Sisi berkata, “Jangan buru-buru, lambatkan langkahmu. Percayakan semua masalahmu pada Tuhan. Olgetta bai orait.” Semua akan baik-baik saja.

Sisi adalah penganut aliran Seventh Day Adventist, hari Sabatnya adalah hari Sabtu. Hari Sabat adalah hari untuk Tuhan, dan mereka di sini sangat patuh untuk tidak melakukan pekerjaan dan perjalanan apa pun di hari Sabat kecuali yang berhubungan dengan Tuhan. Sisi beranggapan, kemarin kita mengalami badai sepanjang perjalanan, itu juga karena kita melanggar perintah-Nya untuk tidak bepergian di hari Sabat.

Ber adalah sebuah desa kecil dengan sekitar 200 penghuni, terdiri dari 24 rumah yang semuanya berupa rumah gubuk berpanggung yang tersebar jarang-jarang. Rumah di sini biasanya dihuni 10, 12 atau bahkan 30 orang. Sudah sesiang ini, para lelaki desa hanya tidur-tiduran di balai-balai lalu duduk di bawah pohon rindang mengobrol seru sambil meminum alkohol. Mereka bilang, dalam seminggu kita bekerja untuk diri sendiri, harus ada satu hari yang kita berikan untuk menghormati Bapa. Mereka tidak berburu, tidak menangkap ikan, hanya memasak apa yang sudah ada. (Di beberapa daerah di Papua Nugini, kelak saya akan menemukan orang-orang yang lebih ekstrem lagi dalam memaknai Sabat: tidak menyalakan api, tidak keluar rumah, tidak berbicara apa-apa selain berdoa.)

Makanan utama di sini berasal dari hasil kebun (AGUSTINUS WIBOWO)

Makanan utama di sini berasal dari hasil kebun (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka memasak dengan cara tradisional: membakar pisang dan ketela di atas batu panas (AGUSTINUS WIBOWO)

Mereka memasak dengan cara tradisional: membakar pisang dan ketela di atas batu panas (AGUSTINUS WIBOWO)

Perut saya benar-benar keroncongan ketika hingga tengah hari pun mereka tidak memasak. Pagi tadi, Sisi dan keluarga tuan rumah kami membuat kopi, yang berupa kopi bubuk produksi Merauke bermerek “Rusa”. Sisi mengatakan, “We drink your coffee.” Kopi Indonesia, kata mereka, sangat kuat; minum sedikit sudah tidak bisa tidur lagi. Mereka baru memasak makan siang pukul empat sore, berupa ubi dan ketela rambat yang direbus dalam air santan, menjadi seperti kolak. Ini adalah makanan utama di sini, selain pisang atau ubi yang dibakar di atas batu. Aneh buat saya, begitu dekatnya dari laut, mereka malah jarang makan ikan.

Sebenarnya, dengan Australia hanya di depan rumah mereka, mereka sangat beruntung. Mereka bisa menjual ikan barramundi (ikan kakap cina) seharga A$20 sampai A$30 seekor di pulau Australia di seberang laut sana. Itu harga yang sangat bagus. Seharusnya kehidupan di sini tidak semiskin ini, tak sampai harus semua orang bertelanjang kaki karena tidak punya sepatu dan sandal, atau memakai baju sampai begitu kumal dan kotor karena tidak ada baju ganti lain. Tetapi, mereka bilang, mereka tidak setiap hari menangkap ikan. Mereka hanya menangkap ikan hanya kalau lapar atau benar-benar butuh uang.

Dan saya melihat di sekeliling saya: bocah-bocah kurus berperut buncit, bocah berkaki O, bocah dengan punggung melengkung seperti tanda tanya. Saya sangat meragukan, di hari yang bukan Sabat pun mereka bisa lebih sibuk daripada hari ini.

Keriangan hari libur di tengah hidup yang seperti libur panjang (AGUSTINUS WIBOWO)

Keriangan satu hari libur di tengah hidup yang bagai sebuah libur panjang (AGUSTINUS WIBOWO)

Ironi sebuah senyum (AGUSTINUS WIBOWO)

Ironi sebuah senyum (AGUSTINUS WIBOWO)

Sisi dan sahabat karibnya, Marcella (AGUSTINUS WIBOWO)

Sisi dan sahabat karibnya, Marcella (AGUSTINUS WIBOWO)

Para bocah bermain tali, atau menenangkan bayi-bayi yang menangis, atau bergantian mencari kutu. Marcella baru bangun ketika matahari sudah sangat tinggi, lalu membantu Sisi menyemprot minyak pembersih pada rambut rastanya. Saya baru tahu, rambut jalinan ratusan rambut rasta di kepala Sisi itu adalah extension, pasangan. Orang Papua umumnya tidak bisa punya rambut rasta sepanjang dan serapat itu secara alami. Terinspirasi kecantikan orang Afrika, Sisi rela membayar US$20 untuk pergi ke salon yang memasangkan rambut rasta palsu di kepalanya yang nyaris plontos. Orang memang biasa mengagumi dan ingin memiliki apa yang tidak dia punya.

Mama Sandy, tuan rumah kami, adalah seorang perempuan kerabat Sisi yang menikah dengan lelaki dari desa ini, kelihatannya sudah paruh baya dengan berdaster robek-robek dan selalu tersibak bagian pundaknya, dan terlihat bercak-bercak putih di sekujur pundak hitam itu.

“Apa itu?” saya bertanya.

Sipoma,” kata Sisi santai. Saya tidak tahu arti kata itu.

“Apakah itu sebuah penyakit kulit?”

“Bukan. Hanya sipoma,” kata Mama Sandy.

Belakangan saya baru tahu, itu adalah infeksi sejenis jamur yang bisa menular, diakibatkan masalah kebersihan tubuh. Dia hanya mengeluh sedikit gatal, tanpa mengkhawatirkan sipoma itu kini sudah merambat ke sekujur tubuh sampai ke pahanya.

Saya bertanya umur Mama Sandy. Saya kira dia lima puluhan, tapi ternyata 38, hanya lima tahun lebih tua daripada saya. “Kenapa saya harus memanggil dia Mama?” saya bertanya pada Sisi.

“Kamu turuti saja. Dia sangat ingin menjadikan kamu anaknya,” kata Sisi.

Mama Sandy dan anak-anaknya (AGUSTINUS WIBOWO)

Mama Sandy dan anak-anaknya (AGUSTINUS WIBOWO)

Nuansa kekeluargaan di sini membuat saya juga jadi ingin mempunyai anak sendiri (AGUSTINUS WIBOWO)

Nuansa kekeluargaan di sini membuat saya juga jadi ingin mempunyai anak sendiri (AGUSTINUS WIBOWO)

Mama Sandy berkata dalam bahasa daerah, diterjemahkan oleh Sisi, bahwa mulai sekarang saya adalah anaknya, dan semua anak-anaknya yang lain adalah adik saya. Naluri keibuan yang begitu kuat saya rasakan dalam kata-katanya, untuk melindungi orang yang dia sukai sebagai anak. “Nao yu pikinini bilong Mama,” kata Mama Sandy. Kau sekarang adalah anakku.

Pikinini, berasal dari kata bahasa Portugis pequenino, yang dalam bahasa Inggris menjadi pickaninny yang bernada hinaan dan berarti anak-anak berkulit hitam. Dalam bahasa Tok Pisin yang dipakai di Papua Nugini, kata ini hanya berarti “anak”, tanpa bermakna rasis.

“Mama nanti akan beri kamu uang,” kata Sisi menjelaskan kata-kata Mama Sandy, “Kamu pikinini bilong Mama, kamu berbisnis dan buka toko di sini. Orang-orang Asia lain itu tidak bagus, Mama tidak suka. Mereka terlalu rakus sehingga membuat bisnis yang terlalu besar. Kamu buka bisnis kecil-kecilan saja, yang penting cukup.”

Kata itu seketika berdering di pikiran saya. Cukup. Kata itu yang menyebabkan mereka tidak gerah atau gelisah melihat Boigu yang seperti metropolis berkelap-kelip sepanjang malam tepat di seberang laut sana, sedangkan malam di sini hanya diterangi api unggun dan lampu senter yang baterainya dibeli dari Boigu sana. Mereka sudah puas dengan apa yang mereka punya sekarang.

“Kamu pikinini kami, kami akan mewarnai kulitmu setiap hari dengan arang, kamu jadi sama dengan kami,” tambah Mama Sandy. Mereka semua tertawa tergelak-gelak mendengar petuah Mama Sandy itu.

Masalah kulit ini memang kepeningan tersendiri bagi saya. Keberadaan saya yang berkulit terang sudah cukup untuk membuat lusinan pikinini hitam menangis. Seorang bayi meraung-raung melihat saya seperti melihat setan. Seorang bocah dua tahun ketakutan sampai berlari dan terjatuh, wajahnya menatap tanah, yang membuat tangisnya lebih meledak lagi. Seorang bocah perempuan sampai terloncat melihat saya mendekatinya, seperti sedang disergap binatang buas dia berlari terpincang-pincang mencari perlindungan kakaknya.

Berlindung di balik gendongan ibu (AGUSTINUS WIBOWO)

Berlindung di balik gendongan ibu (AGUSTINUS WIBOWO)

Kulit putih bagi mereka seperti makhluk halus (AGUSTINUS WIBOWO)

Kulit putih bagi mereka seperti makhluk halus (AGUSTINUS WIBOWO)

Wajah sebuah ketakutan (AGUSTINUS WIBOWO)

Wajah sebuah ketakutan (AGUSTINUS WIBOWO)

Sebelumnya saya pernah membaca cerita rakyat orang Kiwai, yang mendiami Daru, Mabudauan, Tureture, dan pulau-pulau di daerah mulut Sungai Fly. Mereka percaya, bahwa orang yang sudah meninggal, rohnya akan terbang menuju ke sebuah tempat bernama Adiri, tempat terbenamnya matahari di barat sana. Orang yang sudah mati akan berubah warna dari hitam menjadi putih. Itulah sebabnya, hingga beberapa puluh tahun lalu, banyak penduduk Papua Nugini bahkan hingga yang dewasa pun, sangat ketakutan melihat orang asing berkulit terang; mereka mengira orang putih adalah makhluk halus.

Saya teringat, beberapa tahun lalu ketika saya di Beijing, saya berjalan bersama seorang Afro-Amerika. Kulitnya yang hitam itu membuat banyak anak-anak China menjerit dan menangis histeris ketakutan. Kulit hitam itu buat mereka adalah warna setan. Anak-anak, dengan kepolosan dan tanpa pengetahuan ideologi apa-apa, sikap mereka adalah cerminan paling jujur dari kealamiahan sifat manusia. Orang putih takut pada orang hitam; orang hitam takut pada orang putih; pada hakikatnya orang takut pada segala yang berbeda dan tidak dia kenal, karena keasingan itu mendatangkan rasa tidak aman. Jika ketakutan pada keasingan ini tidak berusaha diatasi, pada manusia yang sudah dewasa dampaknya bisa menjadi rasisme dan fanatisme. Tengoklah bagaimana orang-orang kulit hitam sering diasosiasikan sebagai pelaku kriminal di Amerika. Atau orang-orang dari agama satu yang menolak keberadaan orang agama lain yang mereka imani sebagai musuh yang mengancam jiwa mereka.

Yang menarik bagi saya dari sejarah Kiwai, terpengaruh oleh legenda leluhur mereka, adalah bahwa orang Kiwai tidak memperlakukan orang-orang putih yang pertama mereka lihat, para penjelajah Eropa yang datang di abad ke-18, sebagai musuh. Di beberapa daerah lain di sekitar sini, pernah ada misionaris Kristen dan penjelajah Eropa yang dibunuh oleh penduduk setempat, lalu dimakan dagingnya beramai-ramai. Sedangkan penduduk Kiwai saat itu langsung berlutut dan menyembah para orang putih itu, karena mengira para orang putih itu adalah roh para leluhur mereka. Mereka sangat menuruti apa pun yang dikatakan oleh orang putih itu, bahkan meninggalkan agama leluhur dan seketika memeluk agama Kristen yang dibawa orang putih itu, yang mereka yakini lebih cerdas dan beradab.

“Australia gut,” kata seorang pemuda desa, saat saya dengan para pemuda yang menikmati akhir pekan dengan berkongsi sebotol rum mengobrol tentang negara-negara tetangga mereka, “Indonesia ekonomi rendah, jadi tidak bisa tolong Papua Nugini. Australia negara kaya, you know? Australia look-out-im Papua Nugini, help-im Papua Nugini.”

Tapi satu-satunya bantuan Australia yang terlihat nyata di sini adalah empat tangki tertutup penadah hujan ukuran besar yang menjadi sumber air minum penduduk desa, dibangun dengan dana bantuan kemanusiaan AusAid dari Australia, sebelas tahun lalu. Sedangkan tangki bak terbuka yang dibangun oleh pemerintah Papua Nugini dua puluhan tahun lalu menjadi pembangunan sia-sia, kini menjadi bak berlumut dan berair hijau. Tidak ada lagi tanda-tanda pembangunan yang lain: tak ada sekolah, tak ada rumah sakit, tak ada pasar atau kios satu pun, tak ada uang. Desa ini hanya punya laut berlumpur, juga hutan rimba di belakang rawa.

Pantai Ber dipenuhi lumpur (AGUSTINUS WIBOWO)

Pantai Ber dipenuhi lumpur (AGUSTINUS WIBOWO)

Dan mereka sama sekali tidak terlihat gelisah atau marah.

Saya bertanya pada Mama Sandy, perubahan besar apa yang dia ingat selama tinggal di sini.

Dia tertawa, sambil memindai kutu di rambut keriting satu anak lelakinya yang menaruh kepala di pangkuannya. “Life here never change,” katanya.

Betapa manis senyum yang menghiasi wajahnya itu. Betapa bahagia dia memiliki seorang pikinini baru yang menumpang bermalam di gubuk tuanya. Melihat senyum yang begitu tulus tanpa keluh kesah itu, mungkin hal terpenting bagi saya yang berasal dari “negeri yang sedikit lebih beradab” adalah bukan untuk menghakimi ketertinggalan mereka, bukan menaruh prasangka atas mereka yang begitu berbeda cara hidupnya, tetapi mendengarkan nasihat mereka untuk meredam ketergesa-gesaan dan deraan keserakahan saya yang selalu haus untuk melihat dan memiliki lebih banyak.

Lambatkan langkahmu.

About Agustinus Wibowo

Agustinus is an Indonesian travel writer and travel photographer. Agustinus started a “Grand Overland Journey” in 2005 from Beijing and dreamed to reach South Africa totally by land with an optimistic budget of US$2000. His journey has taken him across Himalaya, South Asia, Afghanistan, Iran, and ex-Soviet Central Asian republics. He was stranded and stayed three years in Afghanistan until 2009. He is now a full-time writer and based in Jakarta, Indonesia. agustinus@agustinuswibowo.com Contact: Website | More Posts

13 Comments on Ber 24 Agustus 2014: Lambatkan Langkahmu

  1. Mas Agus ditunggu bukunya….and wah berarti harus menghitamkan kulit dulu dong kalau mo kesana……agar mrk tidak ketakutan…hehehehe

  2. Local wisdom : hidup secukupnya dan jangan tergesa-gesa 🙂

  3. bagus, banyak pelajaran yg bisa diambil

  4. Masyaallah…. foto2nya dasyat. Semoga suatu hati nanti Agus bisa berpameran foto.

  5. Kisah romansanya adakah, Mas Agus?

  6. Saya juga selalu memendam keinginan untuk mengunjungi/ mengetahui kisah kehidupandi pulau-pulau terluar di Indonesia dan perbatasan di negara mana pun di dunia ini. Tulisan Agus sangat membantu saya untuk memuaskan rasa ingin tahu saya tersebut. Thank you Agus!

  7. beradab. sedikit beradab. kurang beradab. tidak beradab. peradaban (manusia. makhluk hidup lainnya dr dulu smp skrg, di sini di sana di manapun ya tetap sama). beradab apakah berarti modern? teknologi canggih? pilihan cara hidup? hmmm

  8. Busrini Agustina Prihatini // February 12, 2015 at 1:41 pm // Reply

    Mas Agus, kalau boleh tahu, anak-anak di sana menyebut permainan tali dengan nama apa? matur nuwun.

  9. Tulisan ms agus selalu keren, membuka sudut pandang baru tentang mereka yang selama ini tak terlihat, selalu ada yang bisa disyukuri dari apapun yang dilalui, selalu ada yang indah dari yang Ms Agus lihat. Ditunggu ya Ms buku barunya 🙂

  10. kopi ‘rusa’ ada gak ya di Jakarta? salam bro Agus 😀

Leave a comment

Your email address will not be published.


*