Tais 29 Agustus 2014: Lelaki dan Cerita
Alkisah, ada sebuah pohon raksasa. Semua manusia hidup di ranting-ranting pohon itu. Mereka tidak mengenal api, makanan mereka adalah daging yang disantap mentah. Mereka juga tidak punya air untuk diminum. Hanya seorang perempuan yang tinggal di kaki pohon itu yang memiliki api dan air.
Seorang lelaki yang tinggal di salah satu ranting pohon itu menemukan api rahasia milik perempuan itu ketika si perempuan sedang memasak daging. Perempuan itu marah, dia membakar pohon besar itu. Api menyebar, orang-orang panik, berlarian, berloncatan, melayang seperti kalong. Orang yang tinggal di puncak pohon terbang jauh-jauh, orang yang tinggal dekat kaki pohon mendarat di tempat yang dekat. Demikianlah manusia menyebar ke seluruh penjuru bumi.
Itulah sebuah kisah mabun, kisah tentang terbentuknya alam semesta, yang dipercaya oleh penduduk Tais. Setiap desa di pesisir selatan Papua Nugini ini, juga di sepanjang aliran Sungai Fly, mempunyai kisah mabun masing-masing, yang saling berbeda tetapi juga bermiripan. Kisah genesis dunia versi Tais ini diceritakan kepada saya oleh lelaki tertua di dusun ini, Nabaiya Yewane, dan diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh kepala desa, Singai Suku.
Pohon raksasa itu binasa, tetapi cerita belum berakhir. Waktu berlalu, datanglah dua pemburu bersaudara bersama dua anjing mereka ke Komo, lokasi pohon raksasa itu pernah berdiri. Sang abang berkulit hitam bernama Bam. Sang adik berkulit putih bernama Muri. Api rahasia dan sakral itu telah membakar seluruh pohon, tapi masih menyisakan satu potongan yang sangat pendek dari bagian tengah pohon itu. Anjing mereka terus menggonggong ke arah potongan pohon itu, yang teronggok di tengah padang pasir luas. Sang kakak berada di utara, menemukan potongan pohon itu berdenyut seperti jantung; sedangkan adiknya berada di selatan, pada sisi yang lain dari potongan pohon itu, tidak melihat denyut apa-apa. Si kakak menangis melihat denyut pohon itu, lalu dengan busurnya dia memanah pohon itu. Seketika, air laut memancar dari pohon itu, segera menenggelamkan mereka. Sang kakak terus berlari ke utara, sang adik terus berlari ke selatan. Mereka terpisah untuk selama-lamanya oleh lautan yang membentang. Sang kakak yang hitam itu membawa busur dan panah, sedangkan adik yang putih itu mendapat sebagian dari pohon keramat itu, yang berubah menjadi senapan.
Mereka percaya, kakak yang kulit hitam itu adalah bapa dari orang Papua, yang hingga hari ini masih hidup di hutan rimba dengan busur dan panah. Sedangkan adik itu adalah leluhur orang kulit putih yang mendiami Australia di selatan, yang hidup dengan persenjataan modern dan kelak kemudian akan menundukkan orang-orang hitam keturunan kakaknya.
Ini adalah sebuah cerita rahasia. Ini adalah cerita yang dibuat oleh lelaki, dan hanya untuk diceritakan pada lelaki. Tidak seorang perempuan pun boleh mendengarkan cerita ini. Tidak juga anak perempuan, ataupun anak lelaki di bawah usia 12 tahun. Jika orang-orang yang tidak berhak itu sampai mendengarkan cerita ini, maka mereka akan lumpuh atau terbunuh.
Kakek Nabaiya, kini adalah lelaki tua yang lelah namun selalu menghadirkan senyum yang tersembunyi di balik jenggot putihnya yang tajam-tajam, mengenang bagaimana pada usia 15 tahun pertama kali dia mendengar cerita rahasia leluhur ini. Para lelaki tetua desa membawanya ke tengah hutan di siang hari. Seruling bambu ditiup, berbunyi tipu-tipu. Mereka juga melontarkan potongan bambu berbentuk belah ketupat yang diikat dengan tali, menderu di angkasa menghasilkan bunyi whoopo-whoopo. Itulah penanda bahwa sang pemuda sudah cukup dewasa mendengarkan cerita ini. Rahasia diceritakan, sang pemuda menghafal, mematrikan cerita itu dalam memori. Setiap nama tokoh, setiap detail gerakan, setiap sensasi rasa dan setiap deskripsi tanah keramat itu tak ada yang luput dari ingatannya, bahkan hingga berpuluh tahun telah berlalu. Cerita itu adalah sebuah legenda, sebuah kebenaran, sebuah sejarah, sebuah rahasia, sebuah inisiasi, sebuah kebanggaan yang menjadikannya lelaki seutuhnya.
Singai Suku juga mendengar cerita itu, dalam ritual yang berlangsung di tahun 1969. Singai adalah generasi terakhir yang masih berkesempatan mengikuti ritual inisiasi, sebelum semua ritual tradisional ini dihentikan oleh misionaris gereja. Singai ingat betul, ketika kisah ini diceritakan, semua anak kecil dan perempuan harus menyumbat telinga mereka dengan jari. Cerita ini terlalu menakutkan, hukuman untuk mencuri dengar sebuah rahasia sakral terlalu menyeramkan untuk ditanggung. Mengiringi cerita ini, Singai ingat, ada sebuah lagu mantra yang dinyanyikan bersama. Tetapi ritual ini telah terhenti terlalu lama. Singai tak ingat lagi apa kata-kata dalam lagu itu. Kakek Nabaiya pun tak ingat. Seluruh desa tak ada yang ingat. Itu rahasia yang kini sudah terkubur, terlupakan.
(Berselang beberapa hari setelah mengisahkan cerita ini pada saya, Singai menemukan dalam selembar kertas catatan lawas. Lagu rahasia itu ternyata adalah nyanyian dari sang saudara tua ketika dia memanah pohon itu: Yaratombe yarawima yangemarata.)
Ritual inisiasi itu berlangsung dengan dikumpulkannya para anak lelaki seumuran di dalam hutan. Singai adalah yang pertama dari kelompoknya untuk menghadapi ujian. Hanya lelaki yang cukup kuat saja yang boleh mendengar cerita ini, yang mampu meniup seruling bambu hingga berbunyi tipu-tipu dan melontarkan potongan bambu berbentuk belah ketupat hingga berbunyi whoopo-whoopo. Ini memerlukan teknik khusus, dia harus tahu kapan memulai, kapan mengakhiri, dan seberapa besar kekuatan untuk melontarkan sehingga bisa menghasilkan efek suara itu, yang juga tidak boleh terlalu keras karena tidak boleh sampai didengar para perempuan. Kaum perempuan tidak diizinkan sama sekali melihat atau mengintip ritual ini, kalau tidak mereka akan dibunuh.
Para tetua desa duduk mengelilingi sebuah lingkaran, mengingatkan sang pemuda untuk betul-betul menjaga rahasia. Sebuah ritual sakral digelar untuk penyampaian cerita ini, dan itu berlangsung selama seminggu penuh. Cerita ini terus diulang, diulang dan diulang, sehingga para pemuda yang beranjak dewasa bisa menghafal setiap detail dari cerita. Juga jangan lupakan api. Orang Papua selalu hidup dengan api—dan api adalah roh utama dari cerita leluhur ini. Saat mereka mengisahkan cerita ini, mereka pun membuat api besar di tengah hutan, di tengah lingkaran. Mereka membakar bulu seekor wallaby, lalu bergantian menciumi aromanya.
Sedangkan para perempuan tetap tinggal di dusun, menantikan kepulangan para lelaki. Para perempuan mengecat wajah mereka dengan arang, juga mewarnai sekujur tubuh mereka, mengenakan rumbai-rumbai dari dedaunan pada pinggang mereka. Ketika para lelaki datang, para perempuan menari-nari untuk menyambut. Para perempuan bersama para tetua desa memukuli para pemuda yang sudah diinisiasi dengan batang kayu. Para perempuan berteriak, “Kau tidak boleh bersanggama sebelum kami merencanakan pernikahanmu!” Para pemuda itu hanya boleh terus menatap ke depan, tidak boleh mengintip ke belakang; kalau tidak, mereka akan mati. Setelah ritual pemukulan dan pesan-pesan untuk hidup suci itu berlangsung, mereka berpesta, menari-nari, makan besar hingga berhari-hari.
Di tahun 1969 itu, menurut ingatan Singai, datang para misionaris kulit putih dari Australia. Pelopornya adalah Grahame Martin, yang adalah seorang lelaki kurus veteran Perang Dunia II, yang mempertaruhkan nyawa untuk mendatangi pedalaman terpencil Papua Nugini yang didiami suku-suku primitif (termasuk suku-suku pemburu kepala di daerah Morehead) demi menyampaikan Kabar Baik.
Misionaris kulit putih itu memberitahu para penduduk hitam, apabila mereka masih mengikuti cara hidup tumbuna (leluhur), maka mereka semua akan dimasak dalam neraka. Semua orang hitam waktu itu percaya apa pun yang dikatakan orang putih, hanya karena mereka putih. Itu karena cerita tradisional mereka mengatakan, orang yang sudah mati rohnya akan melayang ke tanah suci Komo (tempat pohon raksasa itu pernah berdiri) lalu terbang terus ke selatan, ke Australia yang dihuni orang putih. Cerita legenda yang mereka imani itu membuat mereka mengira orang putih itu adalah utusan dari para tumbuna, leluhur mereka. Apalagi, orang putih lebih superior, punya teknologi dan pengetahuan.
Grahame Martin juga bertitah, “Mulai hari ini, tidak ada lagi cerita rahasia!”
Maka, cerita rahasia turun-temurun yang semula dikisahkan melalui ritual suci itu harus dibuka semua, diperdengarkan untuk semua orang seisi desa, laki-laki dan perempuan, tua maupun anak-anak. Semua orang kini tahu cerita itu, keterbukaan membunuh kesakralan sebuah rahasia agung. Misionaris mengatakan, cerita ini sangat buruk, mulai hari ini kalian lupakan semua cerita leluhur itu. Misionaris putih itu menghancurkan misteri dan kerahasiaan cerita para tumbuna, juga meminta orang-orang menyerahkan benda-benda jimat magis yang mereka sembunyikan di rumah untuk dijemur dan dipertontonkan bagi semua orang di lapangan. Seketika itu turun hujan lebat dan kilat menyambar-nyambar sepanjang malam hingga pagi hari.
Singai meyakini, sang misionaris memang lebih berkuasa daripada tradisi leluhur, sang misionaris telah mengalahkan tradisi leluhur. Dia pun beriman pada semua yang dikatakan misionaris itu. Demikianlah, seisi desa dalam sekejap menjadi Kristen.
Seperti apakah Komo itu? Apakah tanah suci itu benar ada?Singai ternyata pernah pergi ke sana. Kita tidak akan bisa menemukan Komo di peta mana pun, dia bilang, karena itu tanah sakral yang tidak berpenghuni dan tersembunyi.
Komo terletak tak jauh dari sini, di sebelah barat Pulau Strachan setelah kita melewati tiga pulau Kawa yang berjajar di selatan. Komo adalah sebuah delta yang terbentuk oleh dua sungai kecil, di sebelah timur Sungai Kotanya. Tidak ada orang yang pergi ke Komo selain para lelaki pemberani, dan hanya orang Tais yang bisa pergi ke sana. Itu adalah hutan rimba yang dihuni makhluk halus. Kau bisa mendengar suara tabuhan kendang kundu (di Indonesia disebut tifa), dan kau akan mendengar suara orang-orang menari, juga bisingnya suara truk dan pesawat yang seperti lalu lalang di sungai di tengah hutan, walaupun di situ tidak ada siapa-siapa. Semua suara itu sesungguhnya adalah suara roh.
Setelah inisiasi Singai pergi ke Komo untuk pertama kali. Dia sangat ketakutan mendengar suara-suara roh yang menghantui tanah sakral itu. Tetapi setelah misionaris membuat cerita sakral itu menjadi tidak sakral lagi, sepertinya seketika itu pula tempat suci dalam kisah itu kehilangan semua kekuatannya. Setelah dirinya menjadi Kristen, Singai pergi lagi ke Komo. Tempat itu ternyata menjadi hutan biasa, tak ada lagi suara apa pun.
“Dulu aku mengagumi kekuatan misionaris itu,” katanya, “Tapi sekarang aku memandang dari sisi berbeda. Misionaris itu telah membunuh tradisi kami. Tempat-tempat kami pun berubah karena kami sudah meninggalkan kebudayaan tradisional kami.”
Kakek Nabaiya, dengan topinya yang berasal dari Australia dan bertulis Quarantine itu mengangguk-angguk, berkata, “Dulu, hidup lebih baik. Sekarang ini hidup tidak baik karena kita sudah meninggalkan budaya.”
Bagaimana pun juga, Kakek Nabaiya percaya sesuai cerita leluhur yang dia imani, orang hitam adalah kakak dari orang putih, orang hitam seharusnya yang memerintah orang putih dan bukan sebaliknya. Sekarang, orang hitam tunduk pada orang putih, orang hitam melupakan tradisi sendiri, dan kini akibatnya adalah orang hitam hidup menderita sedangkan orang putih terus berkuasa.
Saya memandang ini sebagai perjuangan mempertahankan tradisi di tengah gempuran tradisi lain yang lebih dominan. Orang putih berhasil memaksakan cerita yang mereka imani—bahwa Yesus adalah satu-satunya penyelamat bagi semua manusia yang sejak lahir otomatis berdosa—ke atas orang-orang hitam ini, memaksa para orang hitam menghapus memori tentang cerita leluhur mereka, untuk digantikan cerita baru tentang dosa dan keselamatan. Ada ketakutan dalam diri mereka, ketidakberdayaan untuk melawan dan mengukuhkan cerita mereka sendiri, karena orang putih memberitahu Singai dan orang-orang seisi desa: “Kalau kalian masih hidup dengan cerita itu, maka menurut kata Alkitab, Tuhan akan membakar kalian semua!”
Cerita rakyat yang telah bertahan melintas zaman, walaupun tak masuk akal tentu ada kebenarannya sendiri. Dari cerita mabun Tais, mereka percaya, bahwa lautan yang memisahkan Australia dan Papua Nugini diciptakan oleh leluhur mereka. Papua dan Australia semula tersambung daratan, dan sains modern membuktikannya. “Jembatan darat” yang menghubungkan Papua dan Australia bisa dilihat dari hewan-hewan dan burung yang sama antara Papua Nugini dengan Queensland di Australia, misalnya kuskus bertotol dan kasuari selatan. Sedangkan babi hanya hidup di Papua Nugini, tetapi tidak ada di Australia, karena babi adalah hewan yang berasal dari Asia, dan ketika babi mencapai Papua Nugini kemungkinan besar “jembatan darat” dengan Australia itu sudah tertutup lautan, yang terjadi sekitar 8.000 tahun lalu. Dangkalnya laut di Selat Torres yang memisahkan Papua Nugini dengan Australia juga memperkuat bukti bahwa daerah ini sebelumnya pernah menjadi satu daratan.
Dan apakah kita—orang-orang putih dengan cerita yang kita imani lebih benar dan lebih beradab daripada cerita mereka—berhak menghakimi mereka, memaksa mereka untuk tercabut dari cerita-cerita yang telah diimani leluhur mereka selama berabad-abad?
“Aku rasa budaya kami tidak akan kembali lagi,” kata Singai pasrah, “Tetapi kami terus menceritakan cerita ini pada anak-anak kami. Budaya mati, tapi cerita akan tetap hidup.”
Kakek Nabaiya mengangguk-angguk dan tersenyum. Ada kebanggaan di wajahnya. Karena dia seorang lelaki dengan cerita.
Banyak yg kehilangan akar, saat badai dan arus berubah.
cerita. unen2. akar tradisi.
Kasihan juga mereka, tdk bisa mempertahankan tradisi leluhurnya. Tapi para misionaris juga tdk bisa dipersalahkan. Budaya yg mengakar lemah kadang mudah tercerabut dari tanahnya sendiri, tanpa dijaga dengan teguh.
Di pgn ada anak yg menderita malnutrisi jga to? Sampe buncit gtu perutnya..
Wah…..kaya’nya ini cerita turun temurun dari orang Australia, semoga bukan propaganda Australia. Kalau perlu dilanjutkan lagi ‘ponakannya’ ke barat, jadi orang Melayu 🙂
Ane juga punya pemikiran yang sama sewaktu baca ceritanya, soalnya semua orang kulit putih kan “berevolusi” di utara bumi lalu beberapa kriminal dibuang oleh inggris ke selatan. justru orang-orang yang ada di selatan bumi yang rata-rata lebih gelap kulitnya. seharusnya orang kulit putih yang lari ke utara bukan sebaliknya… lagipula, seumur hidup dengar cerita rakyat, ga ada tuh cerita rakyat yang menyebut-nyebut “senapan” kecuali yang bercerita tentang penjajahan kolonial eropa, yang artinya cerita itu baru ada setelah ngeliat bule nenteng senapan.