Titik Nol 69: Paharganj
Saya teringat secuplik tulisan fiksi karya Salman Rushdie berjudul Midnight Children yang mengisahkan pemecahan Pakistan dan India. Ada satu episode yang mengisahkan tentang orang yang terbiasa dengan ‘mata kota’, hidup dalam kota besar bergelimang harta, tak melihat lagi kemelaratan dan penderitaan rakyat papa di pelupuk mata. Pemilik ‘mata kota’ tak lagi melihat penderita kusta yang terkapar atau penderita kanker yang harus berjalan di atas bola. Tulisan itu membuat saya tersindir, mampukah saya melihat India dari kaca mata yang lebih tepat?
Kalau Jakarta punya Jalan Jaksa, maka New Delhi juga punya Paharganj, pusatnya turis kere mancanegara. Di sinilah saya menginap, di sebuah losmen murah di dalam gang kecil, di dekat pasar yang hiruk pikuk oleh pedagang baju murah, sapi, klakson rickshaw, bau pesing orang kencing sembarangan, para pekerja dari Nepal, sampai ke sedapnya masakan China, segarnya teh susu di pagi hari, dan renyahnya masala dosa untuk sarapan pagi.
Losmen tempat saya tinggal, Hotel Bajrang, cuma 100 Rupee per malam. Kamar yang saya dapatkan dindingnya tipis sekali. Kalau pagi saya terbangun karena ributnya suara orang yang menggaruk-garuk tenggorokan, mengeluarkan dahak yang tersangkut, kemudian meludahkannya bertubi-tubi. Kalau malam saya tak bisa tidur karena berisiknya sepasang kekasih yang memadu kasih sampai jam 3 pagi.
Paharganj letaknya berseberangan dengan stasiun kereta api New Delhi, termasuk salah satu tempat paling kumuh yang pernah saya tinggali. Selain tembok yang bau pesing, jalanan juga penuh oleh sampah. Pedagang makanan di mana-mana, mulai dari gerobak kentang goreng, kios manisan jelebi, sampai bocah kecil yang menjual makanan berminyak di sudut jaran. Daun bekas bungkus, kertas, plastik, semua bertebaran di jalan.
Di tempat sekotor ini, orang masih bisa tidur di jalan, dalam artian yang paling harafiah. Tuna wisma tak perlu alas karton atau bantal plastik, mereka cukup membaringkan diri di atas trotoar yang kotor, memejamkan mata, dan tidur. Di sebelahnya bisa ditaruh baskom kecil, untuk menerima recehan dari pelintas jalan yang bermurah hati.
Terlepas dari kemelaratan dan kekumuhan, kehidupan di Paharganj mengalir dinamis. Apa lagi kalau bukan karena toko-toko yang berderet semrawut yang membuat aktivitas ekonomi menggeliat, termasuk mendatangkan para peminta-minta, anak jalanan, sopir kendaraan, dan ribuan pembeli?
‘Mata kota’ saya masih belum terbiasa melihat kehidupan masyarakat kelas bawah India ini. Suatu hari saya begitu terkejut diperlakukan dengan kasar oleh seorang pedagang pakaian murah di Paharganj.
Saya berniat membeli celana panjang. Tetapi semua celananya kepanjangan, saya minta tolong kepada bocah penjaga toko itu untuk sekalian dipotongkan supaya pas dengan tubuh saya.
Belum selesai saya bicara, pemuda kurus itu langsung memotong. “OK! You speak over! My turn!” Dengan bahasa Inggris berantakan dan kepala yang bergoyang-goyang serong ke kanan ke kiri, ia bilang kalau urusan potong-memotong itu bukan urusan dia, saya hanya cukup membeli, membayar, dan pulang.
“Accha, you come short, not my fault! Kamu pendek itu bukan salah saya!” demikian ia menutup argumentasinya.
Mendengar kalimat terakhir itu, saya langsung balik badan dengan menggumam marah. Entah bagaimana orang India ini berbisnis. Bukannya menyenangkan pembeli malah membuat orang tersinggung. Anehnya, pasar ini masih tetap ramai juga.
Lain lagi ceritanya dengan naik bus kota di New Delhi. Selain selalu penuh sesak sampai tergencet, penumpang juga harus lihai berakrobat karena bus tidak pernah benar-benar berhenti waktu menurunkan penumpang. Pertama kali saya turun dari bus yang masih berjalan, saya terpelanting di aspal. Lama-lama saya belajar, kalau turun caranya kita harus bertahan berlari searah dengan bus, meredakan pengaruh kelembaman, sampai keseimbangan tubuh stabil.
Itu masih belum apa-apa. Yang paling mengesalkan adalah bagaimana sopir memperlakukan para penumpang. Bagi mereka, adalah para penumpanglah yang membutuhkan jasa sopir, sehingga sang sopir punya kuasa untuk memperlakukan penumpang tak berdaya dengan semena-mena.
Pernah suatu hari saya naik bus kota. Tujuan saya adalah terminal terakhir. Belum sampai ke sana, penumpang sudah banyak yang turun, sampai akhirnya hanya tinggal dua penumpang saja.
Tiba-tiba bus berhenti di tepi jalan sepi, entah di mana ini. Nampaknya sang sopir sudah lelah menyetir, dan hasratnya untuk berhenti sudah tak tertahan lagi. Ia mematikan mesin, turun bus dengan santai, dan membanting pintu. Seorang penumpang marah-marah kepada sopir. Tapi sang sopir sama sekali tidak peduli dengan penumpang yang menghamba ini. Dengan gaya yang benar-benar anggun, ia meninggalkan kami berdua dalam kegelapan malam.
Tetapi di antara semua kejadian yang paling menjengkelkan adalah saya tak pernah merasa tenang berjalan di jalanan Delhi. Mulai dari tukang rickshaw, pemilik toko, penjaga warung, semua memanggil dengan nada yang tidak sopan, “Hei! Japani! Orang Jepang! Japani! Ayo sini!” Dalam sehari, entah sudah berapa ratus konnichiwa yang harus saya dengar. Pernah ada pedagang kain yang berteriak ke arah saya “Sayonara!!!” Saya juga langsung menjerit ke arahnya, “Sayonara to you!!!” dan langsung ngeloyor pergi.
Lam Li, seorang backpacker cewek dari Malaysia, punya triknya sendiri. Kalau ada orang yang memanggilnya “Hei, Jepang!” atau “Hei, Korea!” atau seribu pertanyaan tak ramah yang selalu sama, “Which country?”, ia langsung menjawab “No Japani! Papua Nugini!” atau “Aku orang Burkina Faso!” Terkadang orang yang berteriak bingung juga, tak pernah dengar ada negara berjudul Papua Nugini atau Faso-Faso. Tetapi ada juga tukang rickshaw yang manggut-manggut seperti mengerti, lalu dengan keukeuh berkata, “O, jadi kapan kamu pulang ke Korea?”
Tak semua orang yang datang ke India mengalami ini. Tak semua orang mau tinggal di losmen murah di tempat kumuh macam Paharganj atau berdesak-desakan dalam bus kota New Delhi. Tetapi nampaknya saya masih harus banyak-banyak mengkalibrasi “mata kota” saya, untuk lebih dapat menikmati selaput-selaput pembungkus India dari sisi yang berbeda.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 6 November 2008
incridible India……
I Never Do It Again