CNN Indonesia: Agustinus Wibowo Menjamah Perbatasan Papua
Jakarta, CNN Indonesia — Dituduh mata-mata OPM dan “diintai” buaya saat melintasi perairan. Begitulah antara lain petualangan seru yang dialami penulis Agustinus Wibowo saat blusukan di daerah perbatasan Papua-Papua Nugini, beberapa waktu lalu.
Petualangan yang dilakoninya selama beberapa bulan ini merupakan awal dari sebuah proyek besar: berkeliling Indonesia. Berikutnya, ia akan mengestafet perjalanan ke daerah perbatasan Indonesia lain dan merangkumnya dalam sebuah buku perjalanan.
“Kebanyakan buku perjalanan Indonesia ditulis oleh orang asing. Mereka memberikan pandangan atas-bawah,” kata Agustinus kepada CNN Indonesia, saat ditemui di kawasan Slipi, Jakarta Barat, baru-baru ini.
Dengan melakukan dan menulis perjalanan sendiri, setidaknya, menurut Agustinus, kita—orang Indonesia—tidak perlu meminjam persepsi bangsa asing untuk mengenal dan memahami negerinya. Pandangan yang diberikan pun sejajar, tak berat sebelah.
Bukan perkara mudah bagi penulis buku Selimut Debu, Garis Batas dan Titik Nol ini untuk menjelajahi daerah perbatasan Papua. Akses terbatas, kriminalitas tinggi, dan komunikasi pun terkendala. Namun semua itu tak menyurutkan semangatnya.
Ice Breaking Setiap Hari
Lalu, bagaimana caranya menyatu dengan warga setempat? Mengingat tidak banyak turis di daerah perbatasan Papua. Terlebih secara fisik, Agustinus, yang bermata sipit dan berkulit kuning, terlihat mencolok dan asing.
“Saya harus ice breaking setiap hari,” katanya diseling tawa. “Kalau enggak make friends dengan warga setempat bagaimana mungkin saya bisa survive?” Maka Agustinus pun menjalin keakraban dengan warga setempat, bahkan sampai dianggap saudara.
Berada di daerah perbatasan yang rawan kriminalitas, penulis asal Lumajang, Jawa Timur, ini harus berhati-hati dalam berkomunikasi. Salah omong sedikit saja bisa berakibat fatal. Ia pernah disangka mata-mata gara-gara salah ucap.
“Di daerah perbatasan, banyak anggota OPM,” katanya tentang Organisasi Papua Merdeka yang dianggap ilegal oleh Pemerintah Republik Indonesia. “Ketika saya bertanya soal OPM kepada warga, mereka langsung menaruh curiga, mengira saya mata-mata.”
Agustinus mencari cara agar bisa lancar berkomunikasi dengan warga setempat. Bukan perkara bahasanya, karena mereka berbicara menggunakan Bahasa Indonesia, melainkan topik pembicaraannya. Yang penting, tidak membahas isu sensitif, macam OPM.
Tak Ingin Merusak Kultur Hospitality
Berbulan-bulan tinggal bersama warga di daerah perbatasan Papua, Agustinus tetap menjaga tradisi setempat. Ia sama sekali tak ingin meracuni ketulusan warga, misalnya, dengan memberikan imbalan berupa uang.
“Saya tak ingin merusak kultur hospitality mereka,” katanya. “Mereka bukan tipikal warga yang business oriented atau cash oriented.” Paling-paling, diakui Agustinus, ia membelikan bensin untuk transportasi darat dan perairan.
Agustinus lebih memilih menjalin keakraban yang tulus ketimbang memberikan imbalan kepada warga yang telah memberinya tumpangan rumah atau kano. Salah satu alasannya, ia tak ingin kebiasaan memberikan tip kelak mengubah mereka menjadi mata duitan.
Keakraban apa adanya justru meleluasakan langkah Agustinus, hingga tanpa sadar ia sudah “terdampar” di daerah perbatasan Papua selama tiga bulan. Selama itu, ia antara lain berhasil mengobrol dengan Panglima OPM.
Berada di lingkungan baru yang asing, penulis yang siap merilis buku Ground Zero ini mengaku, juga punya rasa takut. Apalagi di daerah perbatasan Papua yang rawan kriminalitas. Dua minggu pertama, ia akui, perjalanannya terbilang “menyeramkan.”
Hampir semua rumah di daerah perbatasan Papua dikungkung jeruji besi, tak ubahnya penjara. Tindak kriminal terjadi setiap saat, termasuk di kediaman diplomat yang jelas-jelas dijaga satpam. Siapa pun dianjurkan tak berjalan kaki tanpa pengawalan.
Kiri Indonesia, Kanan Papua Nugini
Terlepas dari segala hal yang menakutkan, Agustinus sangat menikmati petualangannya, termasuk pengalaman menyusuri Sungai Fly: “Indonesia di sisi kiri dan Papua Nugini di sisi kanan, dipisahkan oleh aliran sungai.”
Ia juga sempat mencicipi masakan setempat yang lezat, seperti masakan kura-kura. “Enak banget!” ia memuji. Ironisnya, sekarang anak-anak Papua tak lagi gemar makan sagu, dan lebih memilih menyantap nasi atau mi instan.
Berada di daerah perbatasan, Agustinus bisa bolak-balik menyambangi Papua dan Papua Nugini berbekal border pass juga visa yang diperbarui saban bulan. “Di dunia nyata, garis batas itu justru enggak kelihatan, karena enggak ada pagar.”
Inilah daya tarik daerah perbatasan di mata Agustinus di mana terdapat batas yang memisahkan fantasi dengan realitas. Papua yang sering digambarkan primitif sesungguhnya memiliki harta karun yang kompleks sekaligus mengagumkan.
“Daerah perbatasan itu seperti cermin,” katanya. “Apa yang tersaji di sisi Papua juga terefleksi di Papua Nugini, dari sisi identitas maupun eksploitasi sumber daya alam. Kebanyakan orang kerap mereduksi informasi, padahal faktanya kawasan Indonesia Timur itu sangat indah!”
(vga/vga)
aku bar
u bali
k dr papu
a
nggak sabar nunggu karya mas agus selanjutnya…