Titik Nol 77: Idul Fitri di Kota Merah Jambu
Saya masih belum menemukan kembali semangat traveling yang hilang. Bersama Lam Li, kami berdua menyusuri jalan-jalan kota merah jambu Jaipur.
Di Rajasthan, kota-kota kuno berasosiasi dengan warna – kota merah jambu Jaipur, kota biru Jodhpur, dan kota emas Jaisalmer. Kota Jaipur disebut kota merah jambu, karena di balik benteng kota kuno, banyak bangunan berwarna merah jambu. Sebenarnya sejarah merah jambu ini tak terlalu lama. Pada tahun 1876, ketika Pangeran Edward VII berkunjung, kota ini bersolek habis-habisan, menjadi kota cantik berwarna romantis – merah jambu.
Bangunan yang menjadi landmark kota Jaipur adalah Hawa Mahal, seperti istana yang tinggi dan megah, dilengkapi dengan 953 lubang jendela. Hawa artinya angin. Dari lubang jendela ini, angin berhembus, memberi kesejukan bagi yang ada di balik bangunan ini. Walaupun nampak seperti istana raksasa dari luar, sebenarnya Hawa Mahal hanyalah sebidang dinding saja, bagian dari istana raja Jaipur, dibangun oleh Maharaja Pratap Singh tahun 1799. Saya jadi ingat setting film kolosal, yang bisa menghadirkan bentuk bangunan megah luar biasa di depan kamera, tetapi sesungguhnya di balik kemegahan hanyalah dinding kosong buruk rupa.
Kami berjalan-jalan di kota kuno Jaipur. Saya mengagumi jalannya yang lurus dan teratur, berpetak-petak. Lam Li, dengan observasinya yang lebih tajam, mengagumi keteraturan kota ini dari pesebaran para pedagang. Di satu blok, semua toko menjual makanan, blok lain khusus perhiasan, ada blok pedagang kasur charpoi, sampai daerah khusus tukang besi, tikar, sepeda, dan penjual timba. Karena klasifikasi dagangan yang begitu rapi, begitu kami berada di sudut penjual tikar, maka tak tahulah kami di mana bisa mendapat makanan untuk mengisi perut yang keroncongan.
Lalu lintas padat, klakson sambung-menyambung. Semua anjing tidak berjalan atau berlari, tetapi melompat-lompat karena salah satu kakinya buntung (atau dibuntungi?). Penduduk hilir mudik ke pasar dan kuil, masih dalam kesibukan merayakan Diwali. Tetapi yang paling menjengkelkan adalah tukang rickshaw dan pemilik toko yang berseru dengan kasar, “Halo! Halo! Japani! Chini! Korea!”
Dulu saya menikmati orang-orang Kathmandu yang punya hobi menebak kewarganegaraan orang asing. Tetapi di sini tidak mungkin rasanya menikmati panggilan dingin dan anonim ‘Halo! Halo!’ tanpa henti, plus sebutan ‘Japani’ yang semata-mata dipenuhi pikiran untuk mengeruk dompet turis.
Aman, pemilik losmen tempat saya menginap, tertawa berderai.
“Itulah India. Mungkin tahun depan kita harus mengganti slogan pariwisata menjadi ‘Halo India’. Cocok sekali bukan?”
Aman dan adik-adiknya sedang asyik menonton film Bollywood terbaru, action tembak-tembakan dan kejar-kejaran yang seru ber-setting negeri Eropa. Film India, seperti biasa, penuh dengan lagu-lagu dan ratusan penari yang secara ajaib muncul entah dari mana. Tetapi Aman selalu melewati bagian ini. Begitu musik dan lagu dimulai, ia langsung memencet tombol Fast Forward.
Nonton film untuk buang waktu, kata Aman. Hari ini masih diliputi suasana Diwali, jalanan sepi dan bisnis lagi lesu. Besok adalah hari Idul Fitri. Di musim liburan ini, semua masih dalam suasana malas.
Daripada bengong di losmen, Aman mengajak saya dan Lam Li untuk merayakan Idul Fitri di rumahnya. Pagi-pagi, selepas waktu salat Ied, kami dijemput dengan sepeda motor ke rumah mereka di pinggiran Jaipur. Walaupun losmennya tampak kumuh, tetapi rumah Aman terbilang megah dan bagus.
Nenek tua, ibu kandung Aman, langsung menciumi kami berdua. Beliau memperlakukan kami seperti anggota keluarga sendiri. Setelah jidat saya dicium, saya membalas dengan mencium tangannya. Kaum perempuan di keluarga itu sudah menyambut, dengan pakaian berwarna-warni. Bocah-bocah juga riang gembira, berlarian ke sana ke mari dengan baju baru.
Aman sudah banyak cerita tentang kami berdua kepada keluarganya. Bahkan sebelum kami datang ke sini pun, nenek tua sudah tahu baju apa yang bakalan saya pakai – shalwar kamiz dari Pakistan, dipadu rompi Afghan dan peci Indonesia.
Tanveen, adik ipar perempuan Aman, sedang menempuh pendidikan S-3 bidang sosial politik. Ia adalah perempuan menyenangkan yang selalu penuh semangat ketika berbicara, menyiratkan impian dan cita-citanya yang tinggi.
“Pokoknya, kalian berdua harus berjanji untuk datang tiga minggu lagi,” katanya, “adik perempuan kami akan menikah. Kesempatan bagus untuk belajar tradisi Muslim India, bukan?”
Piring demi piring tersaji di hadapan kami. Ada bihun bening yang kuahnya manis sekali. Ada pula mithai dan barfi, yang rasanya seperti menelan gula bulat-bulat.
“Idul Fitri, makanannya kebanyakan memang manisan. Cocok untuk perayaan sesudah berpuasa satu bulan penuh. Nanti kalau Idul Qurban, makanannya daging semua, dan didominasi rasa asin,” jelas Tanveen menjawab keheranan saya.
Tetapi kami tentu saja tak disuguhi cuma manisan. Selain teh susu, ada pula kerupuk kecil warna-warni dan samosa daging yang rasanya jauh lebih lezat berlipat-lipat daripada makanan sehari-hari yang saya santap dari warung pinggir jalan.
“Makanan rumah tangga India jauh lebih sedap, lebih sophisticated daripada yang dijual di restoran,” Lam Li berkomentar.
Nenek Aman memberikan kami uang jajan Idul Fitri, dibungkus kertas, disematkan ke dalam saku. Jumlahnya ganjil – 22 Rupee. Angka yang tidak bulat dalam tradisi India dianggap lebih membawa keberuntungan.
Halaman rumput di depan museum kota Jaipur juga dipenuhi orang yang menikmati liburan Idul Fitri. Kami sebenarnya ingin melihat museum, tetapi tutup. Orang-orang yang di halaman langsung mengerubungi kami berdua, seperti tak pernah lihat orang asing.
Seorang gadis cantik umur delapan tahunan datang mendekat. Bajunya merah, masih baru, sama sekali bukan tanda-tanda orang miskin. Tangannya menengadah, “One pen! One pen!” Dengan galak, Lam Li menyemprot dalam bahasa Inggris, “Kecil-kecil jangan belajar jadi pengemis!”
Nampaknya ayah ibunya juga sedang piknik di hari libur. Melihat anaknya meminta-minta dari orang asing, mereka malah tertawa gembira. Lam Li, merasa ikut bertanggung jawab, malah menceramahi si gadis kecil tentang harkat dan martabat.
Tiba-tiba saya mendarat dalam rangkulan pria. Ada tujuh orang, bergiliran merangkul saya dengan hangat dan emosional. “Selamat hari Ied. Eid Mobarak!” Semua larut dalam kegembiraan hari raya.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 18 November 2008
Leave a comment