Titik Nol 78: Dunia Memang Kecil
Saya sebenarnya kurang begitu tertarik dengan kegiatan mengunjungi museum, benteng, monumen, atau sebangsanya. Bagi saya tempat-tempat itu adalah masa lalu yang sudah mati. Hanya gedung tua yang dikerebuti turis mancanegara yang berpose di depan kamera.
Sebenarnya saya masih mencari-cari kembali semangat perjalanan ini yang sempat hilang setelah rentetan pengalaman kurang menyenangkan di New Delhi. Saya hanya ingin bersantai di Rajasthan, tetapi menghabiskan waktu tanpa kegiatan di dalam bilik losmen yang gelap dan kotor bakalan akan lebih membunuh semangat perjalanan yang sudah tinggal secuil.
Untuk mengisi hari, Lam Li mengajak saya pergi ke Benteng Amber, sekitar sebelas kilometer jauhnya dari pusat kota Jaipur. Walaupun sebenarnya malas, saya akhirnya mengiyakan ajakannya.
“Kalau aku suka sekali melihat benteng.,” kata Lam Li, “Justru benteng-benteng kuno India lah yang membuat aku tertarik datang ke sini.” Benteng-benteng kuno itu adalah masa lalu Hindustan yang penuh histori dan fantasi.
Apa yang dikatakan Lam Li memang benar. Baru pertama kali ini saya melihat sebuah bangunan benteng yang penuh fantasi. Benteng Amber dibangun pada abad ke-16. Terletak di puncak sebuah bukit. Pengunjung harus berjalan mendaki setidaknya dua puluh menit untuk mencapainya.
Di bawah bukit ada sebuah danau. Airnya memantulkan refleksi kemegahan benteng Amber. Dari bawah, benteng itu nampak bersinar kuning keemasan memanjang menampilkan sudut-sudut yang penuh ornamen.
Benteng Amber sejatinya bukan hanya benteng, tetapi juga istana. Karena itulah ukurannya begitu besar dan megah. Tetapi tetap saja, walaupun bangunan ini memesona, di mata saya tetap saja bangunan mati yang dikerubungi turis. Belum lagi kalau mengingat harga tiket masuknya yang mahal.
“Andaikan ini Tibet,” kata Lam Li, “pasti sudah kupanjat dan kulompati tembok-temboknya.”
Walaupun perempuan, Lam Li jauh lebih jago dalam urusan lompat-melompat tembok. Waktu di Tibet dulu, ia mencukur botak rambutnya untuk menyamar sebagai bikuni, hanya untuk bisa gratis masuk kuil-kuil Lama yang mahal sekali tiketnya. Selain itu, ia punya kebiasaan sebelum masuk selalu mengelilingi tembok luar kuil, mencari dinding rendah atau celah yang bisa dilompati. Saya dulu sempat berbangga beberapa kali masuk gratis dengan lompat-lompat tembok. Ternyata Lam Li jauh lebih hebat, ia berhasil masuk hampir semua kuil di Tibet timur sampai perbatasan Nepal, dan semuanya berkat keahlian lompat temboknya.
“Sayang di India tembok-tembok bangunan kuno semua kokoh dan tinggi, sulit dilompati,” keluhnya.
Hari ini ia mengenakan rok merah jingga sepanjang mata kaki. Feminisme yang sungguh kontras dengan rambutnya yang nyaris botak.
“Namanya juga benteng,” tukas saya, “kalau turis saja bisa lompat dengan mudah, apalagi kalau diserang pasukan musuh, pasti langsung hancur.”
Dengan berat hati pula kami membayar harga tiket masuk Benteng Amber. Harganya 180 Rupee, sedangkan orang India membayar tidak lebih dari 10 Rupee. Bukan rasa ketidakadilan sebenarnya yang membuat berat, tetapi harga tiket itu cukup menyakitkan untuk ukuran dompet saya yang memang sudah tipis.
“Jangan kuatir,” kata Lam Li seolah membaca pikiran saya, “di setiap kota kita cuma akan mengunjungi satu tempat saja yang mesti bayar tiket. Dengan demikian kita masih bisa mengirit tetapi tidak sampai rugi.”
Bagian dalam Benteng Amber sangat luas. Selain pintu gerbang yang tinggi berpuncak dua kubah, juga ada barisan benteng panjang, istana, kuil untuk Dewa Ganesh, sampai ruangan khusus para selir. Benteng Amber memang bukan cuma sekadar benteng. Sejatinya ia adalah sebuah kompleks istana yang lengkap bak sebuah kota kecil di puncak gunung. Menyusuri pintu-pintu yang bersambungan, lorong-lorong yang berliku, kami merasa seperti berada di rumah sesat dari masa lampau.
Lam Li memang berjiwa petualang. Walaupun matahari semakin terik, dia masih bersemangat mencoba memasuki semua lorong dan pintu, hingga kami menemukan tempat-tempat paling tersembunyi dari istana ini.
“Apa rencana perjalanan kamu setelah India?” saya bertanya, ketika kami menuruni bukit terjal kembali ke jalan raya.
“Aku ingin ke Pakistan, Afghanistan, Iran, terus sampai ke Eropa, dan dari sana lewat Rusia, Mongolia, China, jalan darat terus sampai ke Malaysia.”
Saya terkesima oleh rencana perjalanannya yang tidak biasa. Seorang gadis, seorang diri, punya ambisi petualang yang begitu dahsyat.
Lam Li mengingatkan saya pada seorang petualang wanita Malaysia lainnya yang pernah saya jumpai di stasiun kereta api kota perbatasan Mongolia tiga tahun silam. Si gadis Malaysia itu juga punya cita-cita sama seperti Lam Li, berangkat dari Malaysia lewat Kamboja, Vietnam, China, Mongolia, terus naik kereta api Trans-Siberia lewat Rusia sampai ke Eropa. Perjalanan si gadis itu menjadi inspirasi saya akan sebuah perjalanan akbar yang akan terus dikenang sepanjang hayat. Si gadis Malaysia itulah yang membuat saya bermimpi, terus bermimpi, hingga akhirnya saya berada di sini, di tengah perjalanan keliling dunia.
Sayang, karena gagal mendapatkan visa Rusia , si petualang Malaysia itu malah terdampar di Beijing dan menginap di apartemen saya selama seminggu lebih.
“Hati-hati dengan visa Rusia,” saran saya pada Lam Li, “saya pernah dengar kisah petualang Malaysia yang ditolak visanya.” Saya lalu menceritakan tentang pengalaman si gadis Malaysia yang menjadi inspirasi hidup saya itu.
Tiba-tiba raut muka Lam Li berubah. Ia berteriak.
“Hei!!! Jangan kau bilang bahwa kita kenal orang yang sama!”
Siapa sangka, Lam Yuet, petualang Malaysia yang saya jumpai tiga tahun lalu, adalah kakak kandung Lam Li.
“Bodohnya kau….,” kata Lam Li, “hampir dua bulan sudah kita jalan bersama, kenapa baru sekarang boleh faham?”
Lam Li sering bercerita tentang kakak perempuannya yang berkeliling dunia, tetapi tak pernah sekalipun terbersit di pikiran saya bahwa kakaknya yang ia sebut-sebut itu tak lain dan tak bukan adalah idola hidup saya.
What a small world! Dunia memang kecil.. Perjalanan adalah perambahan dunia dengan meraba-raba. Terkadang tak sengaja kita menemukan takdir manusia yang terjalin dengan begitu rapi, bak kisah drama yang penuh dengan kebetulan. Bahkan di tempat tak berkesan ini, saya menemukan sebuah takdir perjodohan.
(Bersambung)
Serial ini pernah diterbitkan sebagai “Titik Nol” di Rubrik Petualang, Kompas.com pada tahun 2008, dan diterbitkan sebagai buku perjalanan berjudul “Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan” oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2013.
Dimuat di Kompas Cyber Media pada 19 November 2008
Lam li, Lam yuet dan agus memang petualang hebat, backpacker tulen ..byk org suka wisata..biasanya mencari yg ‘enak makan enak tidur’yg seperti anda bertiga ini butuh kekuatan mental dan fizikal..salut buat kamu…Luarbiasa!