Doumori 10 September 2014: Surga Berlumpur (2)
Mama Ruth menyebut desa yang ditinggalinya ini “surga”. Tetapi di mata saya yang pendatang ini, Doumori sama sekali bukan tempat yang layak ditinggali.
Pemandangan Doumori memang indah. Pohon kelapa berjajar di tepi sungai, dengan rerumputan yang menghijau menandai betapa suburnya tanah ini. Tetapi selama seminggu setiap bulannya Doumori dilanda banjir besar sehingga mereka terisolasi di rumah dan bepergian ke mana-mana dengan perahu dayung, termasuk ke rumah tetangga. Dan setelah itu, desa ini menjadi lautan lumpur, yang mengandung zat-zat beracun sehingga penduduk mengalami penyakit kulit parah.
Tetapi bencana terbesar di Doumori adalah sungai. Sungai Fly yang menjadi sumber kehidupan mereka, kini telah rusak parah oleh aktivitas pertambangan emas dan tembaga Ok Tedi yang berada di hulu sana.
Doumori termasuk daerah muara Sungai Fly. Di pagi hari, air sungai surut sehingga mengering. Dari tepi sungai yang kini menjadi tebing tegak lurus setinggi dua meter karena dilanda erosi, kita bisa meloncat ke dasar sungai dan berjalan-jalan di atas hamparan pasir yang begitu luas. Hamparan pasir ini terbentuk karena sedimen dari limbah pertambangan yang dibuang langsung ke sungai Fly.
Hamparan pasir ini begitu luas, kita merasa seperti sedang berada di pantai. Apalagi Sungai Fly pada bagian muara ini juga begitu lebar seperti sebuah selat, pesisir seberang terlihat samar-samar di kejauhan. Anak-anak berlarian dan bermain di pantai pasir ini. Sedangkan para lelaki berjalan kaki di dasar sungai kering ini menuju sebuah pulau kecil yang baru terbentuk di hadapan Doumori beberapa tahun lalu, yang kini menjadi ladang baru bagi mereka.
Semua penduduk di sini tahu, pukul 10 pagi adalah waktu yang sangat berbahaya untuk berada di dasar sungai ini. Para ibu berteriak-teriak nyaring memanggil anak-anak mereka agar segera naik ke tepian. Karena, setiap hari pada jam yang sama itu, adalah jadwal terjadinya tsunami.
Dari kejauhan terlihat gelombang air keruh bergulung-gulung. Suara gemuruh pun terdengar semakin kencang, seiring dengan semakin melengking suara ibu-ibu panik memanggil anak-anak kecil itu. Sedangkan para perempuan yang lebih dewasa sudah siap di pantai pasir yang kini sudah mulai basah, dengan jaring berbentuk lingkaran berdiameter 1 meter di tangan.
Tsunami terjadi saat pasang dari sungai yang mengalir dari arah hulu menuju muara bertabrakan dengan pasang dari laut yang berasal dari muara ke arah hulu. Dasar sungai yang terlalu dangkal menyebabkan terjangan pasang ini menjadi gelombang, “tsunami”. Ketinggiannya memang tidak seberapa, tetapi gelombang ini menerjang dengan kecepatan tinggi, menghanyutkan dan menenggelamkan apa saja yang dilewatinya. Perahu-perahu nahas yang terdampar di dasar Sungai Fly karena terjebak surutnya sungai (biasanya perahu dari mereka yang awam akan keadaan di sini) akan terhantam tsunami hingga hancur. Sedangkan manusia yang terseret gelombang ini akan terbawa hingga ke Sungai Fly yang pasca pasang akan meluap bagai lautan kuning.
Para perempuan yang menjaring ikan di dasar sungai itu benar-benar bertaruh nyawa. Mereka hanya ingin menjaring sedikit udang dan ikan-ikan kecil yang terbawa oleh arus yang datang dari arah laut. Mereka harus sigap, ada satu momentum saat datangnya terjangan gelombang yang paling hebat dari tsunami itu, di mana mereka harus menghindari air kalau tidak ingin terseret. Kebanyakan dari perempuan itu mendaki tebing bibir sungai, ke arah desa; tetapi ada dua perempuan yang paling pemberani meloncat ke atas akar kelapa tumbang yang kini menjadi seperti pulau kecil di tengah sungai yang semakin luas dan dalam. Setelah gelombang itu lewat, mereka kembali mencebur ke air, kembali menjaring ikan untuk lima menit, sebelum Sungai Fly benar-benar dalam dan lebar—ke wujud aslinya sebagai sang Sungai Agung.
Bahaya lain dari Sungai Fly tentu adalah pukpuk—buaya. Buaya di sungai ini begitu melimpah, dan telah beberapa kali terjadi para perempuan yang menangkap ikan di tepi sungai seperti ini tiba-tiba diserang buaya. Ada perempuan dari desa sebelah yang mati digigit buaya saat menangkap ikan dengan jaring. Padahal ikan yang mereka dapatkan di daerah sini sangat minim. Dari lusinan perempuan yang hari ini bertaruh nyawa itu, hanya seorang yang mendapatkan ikan, itu pun hanya sebesar satu ruas jari kelingking.
Hanya dalam setengah jam, Sungai Fly sudah penuh oleh air. Tebing yang semula setinggi dua meter itu sudah tidak terlihat lagi; air dari Sungai bahkan meluap dan mulai membanjiri desa. Air di dasar sungai juga terus menggerus tebing, hingga akhirnya tanah pun tumbang dan jatuh ke dalam sungai. Sungai semakin lebar, sementara desa Doumori semakin menciut dan terancam habis tergerus sungai.
“Dulu, kata para kakek dan nenek,” kenang Rodney Badolo, kepala desa Doumori yang hanya duduk santai di balai-balai, “Sungai Fly tidak selebar ini. Kita bahkan bisa berkomunikasi dengan desa seberang hanya dengan berteriak.” Sekarang, desa seberang Tapila tampak samar seperti kita memandang Bali dari Pulau Jawa.
“Dulu air sungai ini juga bening dan bisa langsung diminum. Di tahun 1980an saking jernihnya kita masih bisa melihat ikan berenang di dasar sungai. Sekarang sungai penuh lumpur dan beracun, sehingga kami hanya bisa memakainya untuk membuat sagu,” lanjut Rodney. Tentu saja, sagu yang mereka bilas yang dengan air sungai yang kotor ini sangat pahit rasanya. Tetapi itu sudah makanan sehari-hari bagi mereka.
“Lalu bagaimana kalian mendapat air minum?” tanya saya.
“Untunglah ada perusahaan pertambangan Ok Tedi. Mereka memberi kami tangki air, dua buah, sehingga kami bisa minum dari air hujan. Mereka juga memberi desa kami seng, speedboat, dan uang bantuan 150 kina per orang per tahun. Ya, kami berharap mereka bisa menaikkan bantuan menjadi 1000 kina, dan memberi kita lebih banyak bantuan lain.”
Saya seketika tidak bisa menahan emosi mendengar kepala desa itu terus memuji-muji Ok Tedi. “Kalian lupa siapa yang mengakibatkan ini semua?” Suara saya meninggi, “Justru pertambangan itu yang membawa lebih banyak kehancuran dan keuntungan buat kalian! Dan itu namanya bukan uang bantuan, melainkan uang kompensasi. Kalian tahu artinya kompensasi?”
Kepala desa dan tiga lelaki yang duduk santai di balai-balai itu tertawa. “Ya. Kalau kau pikir seperti itu, memang mereka lebih banyak melakukan kerusakan.”
Para lelaki itu kemudian membilang bagaimana sungai ini berubah karena sedimentasi pertambangan. Ikan sudah kena racun, semakin kecil dan semakin sedikit, tetapi mereka tetap memakan ikan sekecil apa pun karena sudah tidak ada pilihan lain. Selain itu, penduduk Doumori dan desa-desa di daerah hilir Sungai Fly ini terisolasi total saat air surut, karena mereka terhalang hamparan pasir yang semakin jauh memisahkan mereka dari aliran utama sungai. Mereka hanya bisa bepergian ketika air sudah pasang, dan itu baru sekitar tengah hari, sementara di saat yang sama seluruh desa sudah kebanjiran bahkan hampir selutut.
Desa yang berpenduduk 900an warga berbahasa Kiwai ini terbelah menjadi dua bagian, dipisahkan sebuah kali kecil yang mengarah ke Sungai Fly. Penduduk menyeberang dengan kano saat air pasang, atau menggunakan satu batang pohon kelapa sebagai jembatan. Ini sangat berbahaya, sering orang tua atau anak-anak jatuh tergelincir di atas batang berlumpur itu dan jatuh ke kali. Banjir kemarin juga sudah menghanyutkan batang pohon itu, sehingga kini penduduk semakin sulit bepergian bahkan di dalam desa mereka sendiri.
“Kenapa kalian tidak membangun jembatan?” tanya saya.
“Kami sedang menunggu pemerintah untuk memberi kita uang,” kata seorang lelaki. “Saya dengar ada tambang minyak ditemukan di dekat sini, dan sebentar lagi akan dibuka, hidup kita akan jadi baik,” sambung yang lain.
Menunggu. Menunggu. Menunggu. Terus menunggu tanpa tahu apa yang harus ditunggu, dan sampai kapan. Bahkan saya pun dibuat frustrasi oleh kepasifan mereka untuk menunggu. Menunggu seseorang akan mengubah hidup mereka. Menunggu sebuah keajaiban dari langit untuk membuat hidup mereka lebih baik. Menunggu bantuan dari pertambangan yang sesungguhnya telah menghancurkan mereka. Bahkan ketika saya memberi ide bagaimana membuat desa ini berubah tanpa harus menunggu uang dari pemerintah atau pertambangan, kepala desa dan dua temannya hanya menatap saya dengan pandangan kosong.
Saya kembali ke rumah Mama Ruth dengan sangat kecewa. Perempuan ini hanya enam tahun lebih tua daripada saya, tetapi terus memaksa untuk memanggil saya “Son”. Dia sendiri tinggal di rumah panggung dari anyaman daun sagu, dengan tungku di tengah ruangan utama. Di ruangan itu juga ada seorang bayi perempuan—keponakan Mama Ruth—yang lumpuh dengan kaki hanya sebesar jari tangan orang dewasa, karena ibunya jatuh saat hamil.
Kepada Mama Ruth, yang sudah saya anggap sebagai keluarga sendiri, saya menceritakan frustrasi saya mengenai penantian yang sia-sia ini. Betapa baik tanah di sini, betapa subur dan betapa kaya? Kenapa harus menaruh harapan kepada pemerintah yang sama sekali tidak pernah memedulikan daerah ini? Kenapa tidak bergerak sendiri, misalnya, … errr dengan membuat koperasi?
“I’m sorry,” kata Mama Ruth lirih.
Sorry? Saya mengira dia tidak mengerti. Saya terus memberi ide tentang pasar, tentang pertanian dan perdagangan, tentang ini tentang itu. Dan lagi-lagi Mama Ruth berkata sambil menggeleng-gelengkan kepala menatap saya dengan tatapan nanar, “I’m sorry.”
“Sorry? Kenapa?”
“Karena kau sudah tidak punya Papa Mama lagi,” katanya, merangkul saya yang sejak tahun kemarin telah menjadi yatim piatu, mengelus wajah saya, “Kau sendirian di dunia ini.”
Seketika saya sangat membenci diri saya sendiri.
Mama Ruth sama sekali tidak mendengarkan omongan saya yang seolah ingin membantu mereka; dia hanya memperhatikan bahwa saya adalah orang yang patut dikasihani dan dibantu karena saya manusia sebatang kara. Mereka punya kehidupan mereka sendiri, dan saya tak lebih hanya pengunjung kilat yang memberikan mimpi kosong tentang dunia modern yang mungkin tidak akan pernah terwujud dalam hidup mereka. Sepertinya setiap orang di sini sudah bahagia dan puas dengan kehidupan mereka sendiri. Yang tidak bahagia hanyalah saya.
Saya hampir tak sanggup berkata-kata. “Kenapa… kalian bahagia?”
“Kau tahu kenapa?” kata Mama Ruth terus membelai kepala saya. “Kami memang miskin. Aku sudah tak ingat kapan lumpur ini mulai, 20 tahun lalu pernah ada pasang raksasa yang menghancurkan semua sagu dan pisang kami. Kami punya banyak bencana dalam hidup, seperti bayi yang lumpuh ini.”—katanya sambil menunjuk Beatrice si bayi malang yang berwajah seperti nenek tua itu—“ Tetapi itu tidak memengaruhi hidup kami, karena kami hidup dalam kuasa Tuhan dan sinode. Di sini kami hanya bisa minum air dari tangki air hujan, dan itu tidak cukup untuk seluruh desa. Kami tahu, air Sungai Fly kotor dan beracun. Tetapi sebelum kami masak, kami berdoa pada Tuhan untuk memberkati air itu.”
“Aku tahu kau membenci lumpur ini,” lanjutnya, “tetapi lumpur membuat ladang kita subur, dan membuat tanah kami ini pelan-pelan akan lebih tinggi. Ini adalah takdir kami untuk hidup bersama lumpur. Ya, suatu hari nanti kami pasti akan pindah lagi, pindah ke tempat yang lebih tinggi. Dan kalau itu terjadi, itu adalah kehendak Tuhan.”
tidak adakah lembaga pendampingan or smacam LSM yg bisa n bersedia melakukan pemberdayaan masyarakat memanfaatkan potensi SDM-SDA yg ada?
doa iya mmg perlu tp kan harus ada usaha dan upaya tho
better life better future better condition layak patut n harus diperjuangkan, right?
miris banget liat kondisi mereka 🙁
setuju. sepertinya yg tdk bahagia hanya anda sendiri. mereka punya paradigma sendiri dalam melihat kehidupanya sedangkan anda tdk melihat mereka secara menyeluruh. ide anda bagus, tp jika dipaksakan saat ini justru akan buruk bagi mereka. mereka belum siap untuk hal itu, butuh waktu. apabila ada sebuah desa di pedalaman tanpa listrik dan jalan kemudian diberi laptop dan smartphone canggih, kira2 apa yg akan mereka lakukan? sedangkan mereka sendiri terisolasi. mungkin dalam pikiran mereka perusahaan/pemerintah datang membawa infrastruktur dasar setelah akses terbuka mereka punya kesempatan untuk mengakses ekonomi. menurut anda?
Just start from ourself! 🙂
Berharap pd pemerintah ataupun org lain adalah sebuah impian kosong yg Entah kpn akan merubah hidup kita.
Sy pun berterimakasih dg adanya cerita ini sy jd tergerak u membuat perubahan, minimal melalui sosialprenuer sy: sy tdk mengutamakan keuntungan yg besar (sprti yg diajarkan dosen IPB sy) tp kesejahteraan masyarakat yg telah memberikan sy ide u membagun sosialpeneur dg ini adalah suatu langkah u menyalakan lilin dlm gelapnya papua.
Semoga suatu saat nanti sy mampu menyentuh Papua dn membantu mereka! :'(
sy juga jadi ikut frustrasi bacanya, heeem. Mungkin ini gambaran Indonesia saat masih 200-300 taun yang lalu.
Izin Share di tweeter boleh ya..?
trimakasih atas cerita-ceritanya bang, miris, menyentuh, campur aduk, disatu sisi kehidupan sudah mencapai bulan, sedangkan disisi kehidupan yang lain kaki masih terikat oleh lautan lumpur.
Mengharukan ceritanya. Mereka terlalu lama berada di kondisi seperti itu jadi menurut mereka itu biasa saja. Beda pola pikir yang jelas.
Paket Wisata Banyuwangi