Beijing 7 Juli 2015: China dan Jalur Sutra
Sebuah catatan dari Visiting Program for Young Sinologists, 7-24 Juli 2015
Orang sering mengaitkan Jalur Sutra dengan peradaban China. Pemerintah China di abad ke-21 ini juga menggalakkan pembangunan “Jalur Sutra Baru”. Tetapi, menurut pakar sejarah Prof. Ge Jianxiong dari Universitas Fudan, dalam sejarahnya China justru lebih banyak mengabaikan Jalur Sutra.
Istilah “Jalur Sutra” sendiri tidak pernah ditemukan dalam catatan sejarah China. Istilah ini pertama kali digunakan oleh ahli geografi Jerman pada akhir abad ke-19, Ferdinand von Richtofen, yang menyebut jalur perdagangan sepanjang 6.000 kilometer dari China sampai ke negeri Romawi itu sebagai “Seidenstraße” atau “Jalan Sutra”. Dalam bahasa Indonesia, kita menyebutnya sebagai “jalur” bukan “jalan”, karena lintasan ini bukan hanya berupa satu jalan melainkan beratus lintasan yang bercabang-cabang. Selain itu, lintasan bukan berupa jalan besar, tetapi kebanyakan berwujud hanya jalan setapak bagi karavan. Setelah orang Barat dan Jepang banyak meneliti sejarah Dunhuang dan daerah-daerah di China Barat yang dilintasi Jalur Sutra, barulah China mulai menaruh perhatian pada Jalur Sutra.
Mengapa demikian? Prof. Ge Jianxiong dalam presentasinya kepada kami pada pertemuan Sinologis Muda di Beijing ini menjawab dengan tegas, “Karena di mata China, Jalur Sutra itu tidak penting!”
Sejarah Jalur Sutra dimulai sesungguhnya dari China. Pada abad ke-2 SM, China yang makmur sering diserang bangsa nomaden Xiongnu di utara. Kaisar Han Wudi dari Dinasti Han Barat mengutus Zhang Qian sebagai duta untuk membujuk raja negeri Yuezhi (sekarang di wilayah Tajikistan) demi bekerja sama dengan China melawan bangsa Xiongnu. Malang, dalam perjalanan menuju Yuezhi, Zhang Qian ditangkap oleh Xiongnu dan ditahan selama belasan tahun. Namun Zhang Qian berhasil kabur, dan meneruskan perjalanan ke negeri-negeri Kawasan Barat (Asia Tengah), tinggal selama setahun dan menulis banyak catatan penting tentang negeri-negeri itu. Zhang Qian kemudian kembali ke China, dan di tengah perjalanan lagi-lagi ditangkap oleh Xiongnu namun dibebaskan. Sesampainya di ibukota China, dia menceritakan kepada Kaisar Han Wudi tentang negeri-negeri di Barat yang dilihatnya.
Kaisar kemudian mengutus Zhang Qian kembali lagi ke Kawasan Barat. Dalam ekspedisi kedua ini, Zhang Qian bukan hanya menuju Asia Tengah, bahkan mencapai Asia Selatan, Asia Barat, dan Mediterania.
Dalam ekspedisinya, Zhang Qian membawa sutra sebagai hadiah dari China bagi para raja yang ditemuinya. Itu karena sutra adalah benda yang langka dan sangat berharga di negeri-negeri Kawasan Barat. Selain itu, sutra bisa dibawa untuk perjalanan jauh, ringan, dan tidak makan tempat. Tujuan awal Kaisar Han Wudi mengutus Zhang Qian adalah membentuk aliansi antara China dengan negeri-negeri Asia Tengah untuk melawan Xiongnu. Tetapi, jejak yang ditinggalkan Zhang Qian kemudian menjadi cikal bakal lintasan perdagangan Jalur Sutra yang kita kenal sekarang ini.
Kenyataannya, sepanjang sejarah, China tidak pernah aktif memanfaatkan Jalur Sutra. Para pedagang yang mendominasi Jalur Sutra bukanlah pedagang dari China, melainkan para pedagang asing seperti dari Persia, Arab, Asia Tengah. Kalau bukan karena besarnya permintaan pembelian sutra dari Romawi, China mungkin tidak akan memperhatikan sama sekali keberadaan Jalur Sutra ini.
Sekarang kita mengenal China sebagai bangsa pedagang. Padahal, di zaman China kuno, pedagang justru adalah profesi yang dipandang sangat rendah.
Dalam bahasa China, pedagang disebut sebagai 商人 (shang-ren, “Orang Shang”), semula adalah istilah yang sangat menghina. Ketika Dinasti Shang (1500-1050 SM) dihancurkan, para pendukungnya dipandang sebagai pemberontak oleh penguasa Dinasti Zhou, sehingga mereka dipaksa pindah ke kota Luoyang. Kota ini ternyata sangat strategis dengan jaringan jalan yang bisa ke mana-mana, sehingga para keturunan Shang ini mencari nafkah dengan membeli barang dari satu daerah dan mengangkutnya ke tempat lain. Itulah sebabnya, para pedagang ini disebut “Orang Shang”. Status mereka sebagai pedagang bahkan masih lebih rendah daripada petani.
Prof. Ge Jianxiong berpendapat, ketidakacuhan China terhadap perdagangan berkaitan dengan kepercayaan yang menganggap China adalah pusat dunia. Dalam sejarah China, hanya ada satu konsep: tianxia 天下 (“ di bawah langit”), yang artinya di bawah kolong langit (yaitu China), semuanya lengkap tersedia, sehingga China tidak membutuhkan dunia luar. Itu sebabnya, perhatian dan ketertarikan China Kuno terhadap dunia luar sangat minim.
Karena ketiadaan kontak dagang yang normal, wujud “perdagangan internasional” di zaman China Kuno lebih berupa 朝贡 chao-gong, atau pemberian upeti pada kaisar. Ini lebih merupakan penekanan kedudukan terhormat Kaisar China daripada transaksi ekonomi yang menguntungkan. Bangsa-bangsa sekitar yang memberikan upeti kepada kaisar China akan mendapat hadiah yang jauh lebih banyak dari sang kaisar, untuk menunjukkan bahwa China adalah negeri yang kaya raya, berkuasa, dan tidak kekurangan. Itulah sebabnya, negeri-negeri kecil sampai berbondong-bondong untuk memberi upeti, dan ini sangat merugikan China sampai kaisar China harus membatasi jumlah karavan pemberi upeti dari negeri-negeri itu.
Ini bukan berarti sama sekali tidak ada perdagangan yang dilakukan rakyat jelata. Perdagangan masih berlangsung, walaupun dalam jumlah yang sangat terbatas, dan merupakan aktivitas ilegal yang dianggap sebagai penyelundupan. Pada zaman Dinasti Qin, pedagang bahkan dianggap setara dengan pelaku kriminal.
Selain itu, kehidupan di China Kuno tidaklah seperti digambarkan di film-film kungfu di mana sang jagoan bebas mengembara ke seluruh negeri. Pergerakan manusia sangat dibatasi, terlebih lagi di daerah perbatasan Kawasan Barat (sekarang Xinjiang) di mana rakyat sama sekali tidak boleh keluar dari batas negeri. Biksu Tang Xuanzang (yang dikenal sebagai biksu Tong dalam legenda Kera Sakti) bahkan harus menyamar dan menyelundup ketika hendak menuju tanah suci India untuk belajar agama Buddha.
Dinasti-dinasti China pada zaman dahulu juga menyegel lautan. Mereka melarang rakyat jelata melakukan perdagangan dengan negeri seberang lautan. Ini juga berkaitan dengan ketinggian hati orang China terhadap budayanya. Mereka sangat berhati-hati agar budayanya tidak diserap oleh bangsa lain, yang mereka anggap sebagai bangsa barbar. Bahkan ada aturan bangsa luar tertentu tidak boleh mempelajari bahasa dan budaya China karena dinilai masih belum cukup “matang”, alias belum cukup beradab.
Selain itu, China juga menyaring ketat budaya asing yang masuk. Semua budaya luar yang masuk harus disesuaikan dengan budaya China. Misalnya, makhluk kayangan Tara dalam kultur Hindu India tampil telanjang, begitu masuk ke Dunhuang di China Barat sudah digambarkan setengah telanjang, dan di pusat China digambarkan berpakaian penuh. Contoh lain adalah Dewa Avalokiteshvara dari India, yang China menjadi dewa bagi para istri yang mendamba kelahiran anak, sehingga dari laki-laki perkasa sang dewa diubah jenis kelaminnya menjadi sosok dewi cantik yang welas asih—Dewi Kwan Im.
Dari segi strategi politik, China selalu berusaha menguasai rute Jalur Sutra ini untuk menjamin kelancaran lalu lintas karavan. Pada awal Dinasti Tang, China telah memperluas kekuasaan hingga ke Asia Tengah dan mencapai Laut Aral, bahkan mendirikan pos militer di daerah Tokmok (sekarang Kirgizstan). Namun di abad ke-8, Kerajaan Tu-po (Tibet) menaklukkan daerah Xinjiang, dan baru pada abad ke-9 orang-orang Uyghur bermigrasi ke Xinjiang, sementara dari arah barat datanglah orang Arab (Muslim) yang memperluas pengaruhnya hingga ke daerah ini. China pada masa Dinasti Ming berhasil menaklukkan daerah Hami dan memperluas wilayah sampai ke Jiayuguan, dan baru pada masa Kaisar Qianlong dari Dinasti Qing (1759) China berhasil menguasai seluruh Xinjiang, yang berarti menduduki Jalur Utara dan Jalur Selatan Pegunungan Tianshan yang merupakan lintasan penting Jalur Sutra.
Pada abad ke-8 itu, Kerajaan Tibet sangatlah tangguh. Mereka bahkan berhasil menaklukkan ibukota China di Chang’an (Xi’an). Tetapi mereka adalah orang-orang atap dunia, yang tidak tahan dengan oksigen di dataran rendah. Tak sampai sepuluh hari di Chang’an, mereka langsung kembali lagi Tibet. Pada masa kekuasaan Kerajaan Tibet inilah, Jalur Sutra terputus. Ini sangat memengaruhi perekonomian para saudagar Muslim. Sehingga, orang Arab kemudian mengembangkan jalur perdagangan bahari—yang kemudian dikenal sebagai Jalur Sutra Maritim.
Ini adalah jalur pelayaran dari Semenanjung Arab, menyusuri pesisir selatan India, lalu melewati Semenanjung Malaya, menuju pelabuhan Quanzhou di China Selatan. Melalui jalur inilah, Nabi Muhammad S.A.W pada abad ke-8 mengutus sahabatnya untuk pergi ke China, menyebarkan Islam ke negeri China.
Marco Polo pada abad ke-14 menyusuri jalur pelayaran ini dalam perjalanan pulang dari China menuju Venezia. Marco menyebut Quanzhou sebagai pelabuhan terbesar dan tersibuk di muka bumi. Kota pelabuhan seperti Guangzhou dan Quanzhou pada masa itu banyak dihuni orang Arab, dengan kehidupan yang dipengaruhi budaya Islam yang sangat kuat.
Pada abad ke-15, kaisar Dinasti Ming mengutus seorang kasim Muslim bernama Zheng He (Laksamana Cheng Ho) untuk memimpin armada raksasa melintasi samudra, dari negeri China menuju Arab. Dengan lebih dari 300 kapal dan 28.000 awak, ini adalah armada bahari terbesar yang pernah disaksikan dunia. Cheng Ho juga sempat singgah di kepulauan Nusantara. Beberapa sumber menyebutkan, armada Cheng Ho turut berperan dalam menyebarkan Islam di Indonesia.
Orang China mengklaim bahwa armada Cheng Ho adalah bukti bahwa bangsa China juga bangsa bahari yang besar. Klaim ini patut dipertanyakan. Prof. Ge Jianxiong mengingatkan, jalur pelayaran yang kini disebut sebagai Jalur Sutra Maritim itu “dimulai, dikembangkan, dan dikendalikan orang Arab.” Lintasan perjalanan armada Cheng Ho sama sekali tidak lepas dari jalur pelayaran tradisional orang Arab. Cheng Ho juga belajar dari pengalaman dan teknologi orang Arab, seperti navigasi dengan kompas dan bintang. Selain itu, Cheng Ho berasal etnis Muslim Hui, yang berarti dia memiliki darah Arab, dan nama marganya semula adalah Ma (yang berasal dari nama “Muhammad”).
Patut ditekankan, tujuan utama armada Cheng Ho ini bukanlah ekonomi, melainkan memamerkan kepada semua negara yang dikunjungi bahwa China adalah negeri besar yang berkuasa. Dokumen catatan dari perjalanan fenomenal Cheng Ho ini juga hilang tak berbekas. Dinasti Ming dan Dinasti Qing bahkan menutup jalur perdagangan laut, sehingga tidak ada lagi penerus perjalanan bahari pasca Cheng Ho.
Di abad ke-21 ini, sekali lagi Jalur Sutra menjadi topik hangat di negeri China. Para pemimpin Republik Rakyat mencetuskan konsep kerja sama internasional berdasarkan sejarah Jalur Sutra. Pada 7 September 2013, dalam kunjungan kenegaraan di Kazakhstan, Presiden Xi Jinping mengusulkan pembangunan Sabuk Ekonomi Jalur Sutra (Silk Road Economic Belt). Berselang tiga minggu kemudian, di hadapan DPR Indonesia di Jakarta, Xi mengemukakan konsep Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 (21st Century Maritime Silk Road). Kazakhstan dan Indonesia adalah dua negara penting dalam pembangunan dua Jalur Sutra modern ini. Kedua konsep ini menjadi jargon yang didengungkan terus-menerus di China hari ini: One Belt One Road—Satu Sabuk dan Satu Jalur.
Berbeda dengan Jalur Sutra kuno, konsep Jalur Sutra Baru yang diusulkan China ini sangat kental dilandasi kepentingan ekonomi. China butuh pasar yang besar untuk produknya, juga memerlukan pengerjaan proyek infrastruktur besar di luar negeri untuk menggenjot perekonomiannya. Selain itu, China yang semakin rakus sumber energi juga memerlukan akses terhadap sumber daya alam di negara-negara lain. Di lain pihak, ini menjadi kesempatan bagi negara lain untuk mendapatkan investasi dan alih teknologi dari China demi pembangunan masing-masing.
Program One Belt One Road ini sejalan dengan mimpi besar Presiden Jokowi untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia. Karena itulah, China dan Indonesia bisa bekerja sama cukup erat dalam beberapa tahun ke depan. Manifestasi dari program pembangunan kedua negara ini berupa investasi yang gencar dari negeri China untuk proyek-proyek infrastruktur di Indonesia.
Sepanjang tiga minggu saya mengikuti program Sinologis Muda di Beijing ini, saya menemukan bahwa para pakar China pun belum tahu pasti ke mana program One Belt One Road ini akan mengarah, seperti halnya Indonesia yang juga belum merumuskan konkret impian Poros Maritim Dunia itu.
Kita juga belum tahu pasti, apakah Jalur Sutra abad ke-21 ini akan menjadi babak penting yang mengubah sejarah peradaban manusia seperti halnya Jalur Sutra kuno, ataukah—juga seperti Jalur Sutra Kuno—akan menjadi jargon misterius penuh mitos yang menjadi klaim perebutan kebanggaan berbagai bangsa yang terlibat di dalamnya.
“Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China” itu bukan hadist mas. mohon dikoreksi.
Keren foto-fotonya
Tulisannya juga jauh lebih keren lagi
Baru tau klo istilah jalur sutra ini sama sekali bukan ditemukan oleh orang cina
Salam, saya mahasiswi di indonesia di pakistan, rencana setelah lebaran 2018 saya ingin menyebrangi perbatasan Pakistan – China dengan niatan untuk ekspedisi jalur sutra kuno, adakah saran dari anda untuk tempat2 apa saja yg dapat saya kunjungi di daerah china perbatasan pakistan yang berhubungan dengan jalur sutra atau komunitas muslim china?
Trimakasih sebelumnya