Lewada 11 September 2014: Menyerahkan Nasib pada Sang Pembunuh
Selain sifat pasif dan pasrah yang berlebihan dari masyarakat Doumori, ada satu hal lain yang membuat saya frustrasi: saya mungkin akan terperangkap di Doumori.
Transportasi di Sungai Fly ternyata jauh lebih sulit daripada dugaan saya. Warga Doumori hanya bepergian ke Daru dan sangat jarang pergi ke desa lain di sepanjang aliran sungai ini. Warga desa lain pun tidak ke sini. Lagi pula, dengan sedimen pasir dan gelombang tsunami harian, Doumori semakin terkunci dalam dunianya sendiri. Sementara Mama Ruth, bicara seperti tidak ada masalah dalam hidup yang sanggup meresahkannya. “Son, kamu bisa tinggal di rumah kami berapa lama pun, karena kamu anakku.”
Keesokan harinya, Mama Ruth meminta orang-orang desa membantu mengantarkan saya ke Lewada. Desa ini adalah yang terdekat, terletak di sisi selatan sungai. Sebenarnya hanya butuh menyeberang sungai, tetapi perjalanan menuju Lewada memakan waktu satu hingga dua jam dengan kano karena saking lebarnya Sungai Fly. Kita bisa pergi dengan perahu layar, mengikuti arus air laut saat pasang sehingga irit bensin. Sebagai wujud terima kasih, saya membayar 25 kina (sekitar 12 dolar) kepada para lelaki yang mau bersusah-payah mengantar saya. Kebetulan pula, penduduk Doumori mengalami krisis air minum—tank penadah hujan mereka sudah kering. Karena itu, para perempuan dan anak-anak ikut dalam perahu kami, membawa banyak titipan jeriken supaya bisa mengambilkan air dari tangki-tangki di Lewada.
Alasan utama penduduk Papua Nugini jarang bepergian keluar adalah bahasa. Walaupun Lewada hanya seberang sungai dari Doumori, mereka bicara bahasa yang sama sekali berbeda. Doumori bicara bahasa Kiwai, sedangkan Lewada menggunakan bahasa Makayam—yang hanya digunakan oleh empat desa. Bahasa berbeda berarti bangsa berbeda, “orang luar” yang patut dicurigai. Kalau bukan khusus demi mengantar saya, orang-orang Doumori ini juga tidak akan pergi ke Lewada.
Perjalanan menyeberangi Sungai Fly lebih berbahaya daripada menyusurinya. Di daerah muara ini, sang Sungai bagai lautan, yang terkadang bergelombang hebat. Apalagi, kami hanya mengandalkan kekuatan angin dengan mesin yang lemah. Kalau apes,kano bisa terguling di tengah sungai. Belum lagi, sungai ini penuh buaya…
Di Lewada, para penduduk menganjurkan saya menginap di rumah Garry Someke si kepala sekolah. Lelaki 30 tahun itu tergopoh-gopoh berlari begitu mendengar kedatangan saya yang tidak dikenalnya ini. Semula dia hendak pergi menangkap ikan, tetapi dia rela hari ini tidak turun ke sungai demi saya. Dia mengantar saya ke sebuah rumah kosong yang baru dibangun di halaman sekolah. Tetapi saya memohon agar diizinkan menginap di rumah keluarganya daripada tinggal sendirian di rumah kosong ini.
Kami kemudian bersama keliling desa. Lewada sudah layak disebut sebuah kota kecil. Desa ini membentang dari pesisir ke arah daratan sampai dua kilometer, di mana terdapat sebuah bandara perintis bagi helikopter misionaris namun kini sudah tidak kelihatan lagi karena ditumbuhi rerumputan tinggi. Rumah-rumah di sini menggunakan papan kayu yang sudah diproses, juga atap seng. Rumputnya sangat hijau, pepohonan juga rimbun. Namun yang paling berkesan bagi saya, akhirnya saya bisa berjalan lincah menapakkan kaki ke tanah. “Betapa indahnya dunia tanpa lumpur,” kata saya.
“Kamu beruntung,” kata Garry, “hanya beberapa hari lalu, desa kami pun dilanda banjir besar, setengah meter dalamnya. Sekolah libur sampai seminggu dan lumpur di mana-mana.”
Ini adalah banjir pertama yang dialami Lewada. Penduduk bahkan tidak percaya, Lewada yang letaknya cukup tinggi di atas tebing dari sungai, kini bisa dilanda banjir. Para penduduk bahkan sudah bersiap-siap, mungkin tidak lama lagi seluruh desa ini akan pindah karena Lewada sudah tidak bisa dihuni lagi. Lalu bagaimana dengan semua pembangunan yang telah mereka kerjakan bagi desa mereka yang indah ini? Di tempat baru nanti, mereka akan mulai lagi dari nol. Nol.
Masalah Lewada sebenarnya cukup parah. Sedimentasi di Sungai Fly menyebabkan munculnya sebuah pulau baru sejak 20 tahun lalu di hadapan Lewada. Selain itu, sungai sangat dangkal dan ketika air surut akan terhampar pantai pasir yang sangat luas. Setiap pagi, sebelum datangnya pasang dari arah laut yang terjadi rutin pada pukul 11, sungai mengering sehingga anak-anak bahkan bisa bermain sepak bola dan rugbi di dasar sungai, dan orang bisa berjalan kaki ke pulau baru yang kini menjadi hutan lebat dan dihuni rusa.
Garry sebenarnya bukan penduduk asli Lewada. Dia berasal dari Pulau Stuart yang sekitar dua jam perjalanan “naik” menyusuri sungai. Dia pun tidak bisa bahasa setempat, dan berkomunikasi dengan penduduk Lewada hanya dalam bahasa Inggris. Tetapi Garry adalah salah satu orang yang paling berpendidikan di desa ini, sehingga dipercaya untuk mewakili desa Lewada dalam bernegosiasi dengan Perusahaan Pertambangan Ok Tedi—pihak yang paling bertanggung jawab untuk kerusakan alam di Sungai Fly.
Tetapi Garry justru berada di pihak Ok Tedi.“Kami bernegosiasi dengan mereka, supaya mereka bisa memberi proyek kepada kami. Sekarang kami sudah mulai belajar menanam padi, ini pun berkat Ok Tedi,” katanya.
Ini adalah salah satu dari sekian banyak proyek pembangunan berkelanjutan yang dilakukan oleh Ok Tedi di desa ini. Tugas Garry adalah untuk menyebarkan informasi mengenai dari Ok Tedi kepada penduduk desa, dan menyampaikan permintaan dari penduduk kepada perusahaan pertambangan itu. Misalnya, penduduk ingin kenaikan kompensasi, atau minta tangki air, atau speedboat, atau bibit tanaman seperti karet dan kayu gaharu.
“Ok Tedi sudah seperti pemerintah bagi kami, memelihara dan mencintai kami. Kalau kami menuntut mereka tutup, apakah pemerintah akan memelihara kami? Ok Tedi sudah memberikan uang jutaan kina kepada pemerintah untuk membangun provinsi ini, tapi ke mana uangnya? Pemerintah tidak pernah membangun apa-apa di sini! Hanya Ok Tedi!” kata Gerry.
Perusahaan pertambangan kini dianggap sebagai agen pembangunan dan pelindung mereka. Ini seperti, seseorang telah membunuh ibumu, dan kau justru minta perlindungan pada pembunuh itu. Sungai Fly adalah ibunda mereka, yang memberi mereka air dan hidup; tetapi pertambangan itu telah membunuh sang Sungai hingga rusak parah. Kini, mereka justru menggantungkan nasib pada si pembunuh.
“Ya, ini seperti minta tolong pada bajingan untuk menangkap bajingan,” kata Gerry, “Tapi, kami mesti bagaimana lagi? Pemerintah tak pernah memperhatikan kami.”
“Kalian tidak curiga bahwa Ok Tedi membohongi kalian?” tanya saya.
“Tentu. Pernah ada ilmuwan dari Australia bernama Allan Tingay yang dikirim untuk meneliti Sungai Fly, dan mengatakan kepada penduduk bahwa sungai ini baik-baik saja. Tetapi kami menemukan bahwa orang itu juga berkaitan dengan Ok Tedi. Setiap kali kami meminta dikirim ilmuwan independen, belakangan selalu kami temukan semuanya berkaitan dengan Ok Tedi. Bahkan kami minta bantuan pemerintah, sepertinya pemerintah pun berada di pihak Ok Tedi.”
Informasi adalah hal yang sangat langka di sini. Di desa-desa sepanjang Sungai Fly ini tidak ada aliran listrik, tidak ada sinyal telepon. Penduduk tidak membaca koran, tidak mendengar radio, tidak menonton televisi. Kabar mereka adalah desas-desus. Dua minggu lalu terjadi gempa bumi dahsyat di gunung berapi di Provinsi Rabaul, Papua Nugini. Penduduk Lewada, warga negeri yang sama, sama sekali belum pernah mendengar kabar itu.
Keterbatasan informasi itu membuat mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di negeri mereka sendiri, bahkan mengenai Sungai Fly yang menentukan hidup mereka. Mereka tak pernah tahu permainan politik yang sangat rumit di balik perusahaan pertambangan raksasa ini. Mereka hanya bergantung pada informasi dari Ok Tedi—yang selalu mengatakan bahwa Sungai baik-baik saja dan yang seperti Sinterklas memberi mereka uang kompensasi dan bantuan ini itu.
Garry adalah wakil dari desa Lewada dalam organisasi desa-desa yang terdampak pertambangan sepanjang Sungai Fly. Tujuan mereka adalah memberi izin kepada pertambangan itu untuk memperpanjang kontrak pertambangan sepuluh tahun lagi. Mereka khawatir, jika pertambangan ini berhenti, maka desa mereka tidak akan menerima bantuan apa-apa dari siapa-siapa lagi. Lawan mereka justru adalah sesama rakyat Sungai Fly yang menjadi aktivis lingkungan dengan mendirikan asosiasi OTMIAA (Ok Tedi Mine Impacted Area Association) yang beroperasi di Kiunga, yang menuntut Ok Tedi menghentikan operasi dan memberikan semua ganti rugi langsung kepada rakyat Sungai Fly, bukan kepada pemerintah.
Karena kasus perusakan lingkungan yang sampai dibawa ke pengadilan Australia (Ya, pengadilan Australia! Bukan Papua Nugini.), perusahaan pertambangan Australia BHP menyerahkan kepemilikan Ok Tedi kepada perusahaan PNG-SDP (Papua New Guinea Sustainable Development Program). Namun embel-embel ‘Papua Nugini’ pada nama perusahaan ini memang menipu. Ini adalah perusahaan swasta, didirikan di Singapura, dan sejumlah jabatan pentingnya diisi oleh para mantan petinggi BHP. Bukankah ini masih perusahaan Australia yang sama, hanya berganti nama? Ataukah BHP masih mengontrol PNG-SDP dari jarak jauh?
Belakangan ini terjadi gonjang-ganjing nasional, karena Perdana Menteri Papua Nugini Peter O’Neill berusaha mengambil alih PNG-SDP, dengan dalih demi rakyat Papua Nugini. Namun, patut dicurigai, motif utamanya adalah untuk menguasai uang kompensasi rakyat Sungai Fly yang diinvestasikan di bank di Singapura.
Gerry baru mendengar soal kasus konflik antara Perdana Menteri dengan PNG-SDP ini kemarin, dari selebaran yang dibawa warga desa yang baru balik dari kota Daru. Sebagai rakyat kecil, Gerry merasa tertipu, sekaligus tak berdaya. Nasib mereka ditentukan oleh orang-orang yang berkuasa jauh di atas sana, sedangkan mereka kini hidup dengan sungai yang rusak dan remah-remah bantuan yang tak seberapa. Tapi mereka mesti bagaimana lagi?
kapan bukunya yang seri papua nugini ini keluar bang??? gue tak sabar mau beli
iya. sy jg nunggu buku seri PNGnya mas agustinus
yang 3 buku sebelumnya udah baca semua?
Buku PNG rencananya tahun depan. saya masih mengompilasikan catatan dan akhir tahun ini mesti ke sana lagi untuk melengkapkan bahan. ditunggu ya 🙂
3buku yg lain sdh punya plus signature. sayangnya sy blum foto dg mas agustinus :p dulu pas meet n greet gak diberi ksempatn sesion foto
yg blum punya novel terjemahannya
3buku yg lain sdh punya plus signature. sayangnya sy blum foto dg mas agustinus :p dulu pas meet n greet gak diberi ksempatn sesion foto
yg blum punya novel terjemahannya
gue kolektor bukunya abang pokoknya..
gue kolektor bukunya abang pokoknya..
sedih membacanya
ironis
agustinus wibowo, siapa ?
tulisan ini nanti dibukukan juga kan mas? *mengantri buat beli*
saya sangat menantikan buku seri PNG ini. Tulisannya cerdas dan mencerdaskan, mohon segera menerbitkan buku tersebut 🙂