China dan Jalur Sutra Baru
China mempromosikan mimpi besar untuk membangun Jalur Sutra modern demi kemakmuran bersama. Apakah mimpi ini bisa terwujud, atau sekadar menjadi slogan utopia semata?
Laporan untuk Visiting Program for Young Sinologist di Beijing, riset saya mengenai usulan China untuk membangun Jalur Sutra Baru.
Jalur Sutra Abad Milenium
Hampir 22 abad silam, Kaisar Han mengutus Zhang Qian mendatangi kerajaan Dayuan di Asia Tengah demi membentuk aliansi militer. Perjalanan ini kemudian melahirkan rute perdagangan legendaris Jalur Sutra. Berselang dua milenium, China sekali lagi mengajak negara-negara di sekelilingnya untuk bergabung dalam aliansi multinasional yang dijuluki Jalur Sutra Baru.
Dalam kunjungan kenegaraan di Kazakhstan pada 7 September 2013, Presiden Xi Jinping mengusulkan pembangunan Sabuk Ekonomi Jalur Sutra (Silk Road Economic Belt). Berselang tiga minggu kemudian, di hadapan parlemen Indonesia di Jakarta, Xi mengemukakan konsep Jalur Sutra Maritim Abad ke-21 (21st Century Maritime Silk Road). Kedua konsep ini, yang digabungkan menjadi inisiatif Satu Sabuk dan Satu Jalur (OBOR), adalah desain akbar untuk menghubungkan negeri-negeri yang dilintasi rute perdagangan bersejarah itu, mulai dari Asia Tengah hingga Eropa dan Afrika, mulai dari Asia Tenggara hingga Jazirah Arab.
Menurut data ADB, kebutuhan pendanaan pembangunan infrastruktur di Asia mencapai US$ 800 miliar setiap tahunnya. Sebagai negara dengan cadangan devisa terbesar kedua di dunia, China diharapkan dapat membantu menutupi kebutuhan itu.
Sejak mengumumkan inisiatif ini, China selalu berusaha menjamin keberhasilan proyek ini dengan membentuk skema pendanaan melalui Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), New Silk Road Fund, kerangka Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO), serta bantuan bilateral langsung. Tak heran banyak pengamat internasional menjuluki inisiatif OBOR ini sebagai Rencana Marshall versi China.
Tetapi petinggi China menampik tudingan ini. Menteri Luar Negeri Wang Yi mengatakan, “[OBOR] adalah produk dari kerja sama inklusif, bukan alat geopolitik, dan tidak seharusnya dipandang dengan menggunakan mentalitas Perang Dingin yang sudah usang.” Dalam Rencana Marshall, Amerika Serikat tidak mengikutsertakan negara-negara Eropa yang pro-komunis. Amerika Serikat juga mewajibkan semua negara yang terlibat untuk mengikuti aturan dan persyaratan ketat. Sedangkan OBOR adalah inisiatif kerangka kerja sama yang lebih menekankan aspek ekonomi tanpa mempermasalahkan ideologi, agama, ataupun sikap politik. China hanyalah pencetus inisiatif ini dan mengharapkan partisipasi aktif negara-negara lain. China juga tidak dalam posisi untuk memengaruhi atau mendikte program pembangunan infrastruktur dari negara-negara lain.
Bagi China, OBOR bukan hanya kebijakan internasional untuk mengangkat status dan meningkatkan pengaruh China di kawasan, tetapi juga sebuah program pembangunan bagi perekonomian nasional China. Dengan menggunakan cadangan devisanya sebagai pinjaman bagi negara berkembang, China bisa menciptakan permintaan proyek besar bagi perusahaan-perusahaan konstruksi mereka. Di sisi lain, negara-negara yang menerima bantuan juga akan menjadi pasar baru, saluran bagi kelebihan kapasitas produksi barang dan jasa yang terjadi di China.
Menurut data yang disorot Xinhua, pertumbuhan GDP Chongqing pada kuartal pertama 2015 mencapai 10,7 persen, yang tertinggi dari semua daerah tingkat provinsi di China. Pertumbuhan ini disebut tercapai karena peningkatan konektivitas—yang merupakan tujuan utama dari strategi OBOR—misalnya berkat jalur kereta api internasional Eurasia yang menghubungkan Eropa ke Chongqing melalui Asia Tengah. Dengan posisi geografisnya, Chongqing menempati posisi ideal sebagai hub perdagangan utama pada Sabuk Ekonomi Jalur Sutra. Para peneliti China juga meyakini OBOR akan meningkatkan efisiensi dan mempercepat transformasi sektor industri China, dari ekspor komoditas low-end menjadi ekspor modal, teknologi, dan komoditas hi-end.
Apakah OBOR adalah sebuah pil ajaib yang akan menjadi solusi permasalahan ekonomi di China dan negara-negara yang mengimaninya? Ataukah kita perlu lebih realistis mengevaluasi mimpi besar ini? Saya akan membawa Anda melihat realita di lapangan pada dua area utama fokus OBOR: Asia Tengah dan Asia Tenggara.
Sabuk: Mendobrak Isolasi Asia Tengah
Konsep Sabuk Ekonomi Jalur Sutra pertama kali dinyatakan secara formal oleh Presiden Xi Jinping pada tahun 2013 di Kazakhstan, menunjukkan pentingnya posisi Asia Tengah dalam inisiatif OBOR.
Asia Tengah terdiri dari lima republik pecahan Uni Soviet, yang semuanya adalah negara yang terkunci daratan. Di masa sekarang, jalur transportasi komersial utama yang paling efektif tentu adalah jalur laut, bukan darat. Namun bagi negara-negara Asia Tengah yang tidak memiliki akses langsung ke laut, Jalur Sutra Darat sangatlah dibutuhkan untuk mendobrak isolasi mereka. Semua republik ini sangat tergantung pada negara tetangga untuk menemukan jalur ekspor, impor, dan transit. Apalagi, bagi Kazakhstan dan Turkmenistan yang merupakan penghasil minyak dan gas utama dunia, jalur transportasi sumber energi mereka sangat menentukan perekonomian nasional, bahkan mempengaruhi geopolitik kawasan.
China selalu berupaya mencari kesempatan kerja sama luas dengan negara-negara Asia Tengah sejak kemerdekaan mereka di awal 1990an. China berhasil membangun mekanisme kerja sama multilateral dengan negara-negara Asia Tengah melalui Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO). Pertumbuhan perdagangan China dengan Asia Tengah juga mengalami peningkatan drastis, dari hanya US$ 500 juta pada 1992 menjadi US$ 46 miliar pada 2012. Saat ini, China adalah pengimpor minyak terbesar kedua dari Kazakhstan dan sedang mengupayakan akses lebih besar menuju sumber alam Turkmenistan.
Kelima republik Asia Tengah dibentuk oleh Uni Soviet pada era 1920an. Selama berada di bawah kendali Moskow, pembangunan di masing-masing republik hanya ditekankan pada sejumlah sektor tertentu, misalnya pertanian, peternakan, atau energi. Akibatnya, sistem perekonomian masing-masing republik tidak komprehensif, dan mereka sangat tergantung pada negara-negara bekas Uni Soviet lainnya terutama Rusia. Sektor industri manufaktur hampir tidak ada di Tajikistan, Turkmenistan, dan Kirgizstan; sedangkan eksploitasi pertanian kapas pada masa Uni Soviet menyebabkan kerusakan ekologi sangat serius di Uzbekistan. Bubarnya Uni Soviet juga menghentikan aliran subsidi dari Moskow yang sebelumnya menjadi motor kehidupan di republik-republik ini.
Ini adalah peluang bagi China. China bertetangga langsung dengan tiga negara Asia Tengah: Kazakhstan, Kirgizstan, dan Tajikistan. Kontak perdagangan antara Xinjiang dengan negara-negara Asia Tengah terus meningkat, dan semakin menjadikan Urumqi sebagai pintu gerbang hubungan perdagangan dan hub transportasi antara China dengan Asia Tengah.
Dalam hal geopolitik, keberadaan China mengimbangi pengaruh Rusia dan Amerika Serikat di Asia Tengah. Investasi dan kontak komersial China menawarkan alternatif baru dari ketergantungan pada Moskow, Washington, dan, dalam tingkat berbeda, Istanbul. Ini merupakan diversifikasi investasi dan kerja sama, sehingga negara-negara Asia Tengah tidak tergantung pada satu negara tunggal. Kerja sama dengan China merupakan bagian strategi pragmatis yang dimainkan para pemimpin Asia Tengah. Namun, munculnya peran China juga menimbulkan ketidaksenangan di kalangan negara-negara besar yang berebut hegemoni di Asia Tengah.
Demikian juga di level publik. Di Kirgizstan, pada tahun 2011 dan 2012, meletus kerusuhan memprotes praktik pertambangan perusahaan China. Sentimen anti-China ini mengancam keberhasilan proyek infrastruktur terpenting yang diyakini akan membawa perubahan radikal dalam geopolitik Asia Tengah, yaitu pembangunan jalur kereta api China—Kirgizstan—Uzbekistan.
Kirgizstan adalah satu-satunya negara Asia Tengah yang menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia, dan menjadi pintu masuk penting bagi produk China ke kawasan ini. Perdagangan dengan China telah menyediakan lapangan kerja bagi ratusan ribu warga Kirgizstan, serta menjadi sumber pendapatan penting negara ini. Namun, faktor perbedaan budaya dan bahasa, sengketa wilayah, sejarah, meningkatnya dominasi ekonomi China serta migrasi warga China memperburuk sentimen anti-China di kalangan warga Kirgiz. Di negara yang berpenduduk hanya 5,5 juta ini diperkirakan tinggal sekitar 300.000 orang China, 90.000 di antaranya ilegal. Hal ini menjadi isu yang lebih sensitif ketika sekitar 20 persen warga Kirgizstan justru harus bermigrasi ke Rusia dan Kazakhstan demi mencari pekerjaan. Dalam kunjungan saya di tahun 2015 ke Kirgizstan, sejumlah narasumber yang saya wawancarai khawatir bahwa untuk pembangunan jalur kereta api oleh China, Kirgizstan harus membayar dengan menyerahkan sumber tambang emas dan aluminium kepada China.
Pembangunan jalur kereta api antara China dan Asia Tengah ini bukan hanya masalah lokal di Kirgizstan, yang merupakan negara yang terisolasi pegunungan tinggi di mana kebutuhan pembangunan infrastruktur sangat mendesak. Rusia juga mengkhawatirkan akses kereta api China ini akan mengurangi pengaruh Rusia di Asia Tengah. Jalur kereta api ini juga akan mencapai Turkmenistan dan Iran hingga ke Teluk Persia. Akses China menuju sumber minyak dan gas di Timur Tengah dan konektivitas antara China dengan Iran sangat diwaspadai oleh Amerika Serikat. Makna strategis jalur kereta api ini bagi China tentu jauh lebih besar dan lebih vital daripada bagi Kirgizstan.
Kasus Kirgizstan sangat bertolak belakang dengan negara tetangganya di selatan. Tajikistan adalah negara terkecil sekaligus termiskin di Asia Tengah, dengan luas wilayah 143.000 kilometer persegi (setara Provinsi Liaoning) yang 93 persennya berupa pegunungan, dihuni 8 juta penduduk. Kemerdekaan Tajikistan langsung disambung lima tahun Perang Saudara, yang dampaknya masih membebani perekonomian dan politik negara ini. Selain itu, perbatasan negara yang diciptakan Stalin menjadi masalah serius dalam hubungannya dengan negara Asia Tengah lain.
Antara ibukota Dushanbe dengan kota terbesar kedua Khujand di utara negeri hanya ada satu jalan melintasi pegunungan tinggi. Di zaman Uni Soviet, jalan antara kedua kota itu melintasi wilayah Uzbekistan. Setelah merdeka, hubungan antara kedua negara Asia Tengah itu memanas dan Uzbekistan menutup rapat perbatasannya. Tajikistan terpaksa menggunakan jalan peninggalan Uni Soviet yang sudah berusia setengah abad, melintasi dua celah gunung yang berbahaya dan sering tertutup salju pada ketinggian di atas 3.000 meter. Di musim dingin dan musim semi, jalan ini tidak bisa dilintasi sama sekali, sehingga di antara kedua kota penting itu orang hanya bisa terbang.
Pada tahun 2006, China mulai membangun terowongan untuk menembus Celah Shahristan. Terowongan sepanjang 5,2 kilometer ini rampung pada tahun 2012, dengan dana US$ 80 juta berupa pinjaman lunak. Ini adalah awal masuknya luapan proyek konstruksi jalan, jembatan, terowongan, pabrik, perumahan, pipa gas, pertambangan, dan berbagai proyek infrastruktur lainnya oleh China di Tajikistan. Terowongan ini kini menjadi simbol persahabatan antara China dan Tajikistan.
Sejumlah narasumber Tajikistan yang saya wawancarai percaya bahwa untuk proyek konstruksi China, Tajikistan bukan hanya membayar dalam bentuk uang, tetapi juga tanah. Pada tahun 2011 Tajikistan menyerahkan tanah seluas 1.158 kilometer persegi kepada China untuk mengakhiri masalah perbatasan. Anehnya, saya tidak menemukan sentimen anti-China dari warga Tajikistan yang saya temui. Reputasi China di kalangan warga Tajik justru sangat positif. Warga di jalan, bahkan bocah yang paling kecil pun, bisa menyapa “Nihao!” apabila melihat wajah orang Asia Timur. Pelajaran bahasa Mandarin sangat populer di kalangan mahasiswa. Dengan gencarnya proyek investasi China di Tajikistan, kesempatan kerja bagi orang Tajik yang menguasai bahasa Mandarin terbuka lebar, menjadi alternatif baru daripada mencari kerja ke Rusia.
Tanah adalah isu sensitif di Asia Tengah. Sengketa perbatasan antara Tajikistan dengan Uzbekistan dan Kirgizstan telah berlangsung hampir seperempat abad sejak kemerdekaan mereka. Tak ada dari ketiga negara ini yang mau mengalah dengan merelakan tanah pada negara lain, sehingga sengketa tak kunjung selesai, bahkan di beberapa daerah, terutama kawasan Lembah Ferghana, konflik justru semakin berdarah. Namun dalam sengketa perbatasan dengan China, Tajikistan mengambil pendekatan yang sama sekali berbeda.
Tanah yang diserahkan Tajikistan pada 2011 itu terletak di daerah perbatasan di Pamir yang tidak dihuni, tidak bernilai secara komersial, dan merupakan dataran tinggi yang gersang. China sebenarnya menuntut dikembalikannya lebih dari 28.000 kilometer persegi (20 persen luas Tajikistan), yang sudah menjadi sengketa sejak abad ke-19 ketika Tajikistan berada di bawah kekuasaan Tsar Rusia. Dengan selesainya kasus perbatasan, tidak dipungkiri Tajikistan kini adalah mitra terbaik China di Asia Tengah. Menteri Luar Negeri Tajikistan bahkan menyebut penyerahan tanah ini sebagai “kemenangan besar bagi diplomasi Tajik”.
Geopolitik Asia Tengah sangat kompleks dan dipenuhi perseteruan, dengan masalah utama perbatasan dan perebutan hegemoni. Walaupun China menekankan kerja sama dengan kawasan ini murni kepentingan ekonomi, China tetap harus berhati-hati untuk tidak terjebak dalam percaturan politik antar negara-negara di kawasan.
Jalur: Membangun Konektivitas Asia Tenggara
Dua negara yang dipilih oleh Presiden Xi Jinping untuk mencetuskan inisiatif OBOR pada tahun 2013 masing-masing memiliki makna strategis. Presiden Xi mengemukakan konsep Sabuk Ekonomi Jalur Sutra di Kazakhstan, dan konsep Jalur Sutra Abad Ke-21 di Indonesia. Kazakhstan dan Indonesia adalah negara besar di kawasan masing-masing, dan diharapkan menjadi poros utama bagi kedua elemen Jalur Sutra Baru ini.
Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan lebih dari 17.000 pulau yang terbentang dari timur ke barat sejauh 5.000 kilometer. Walaupun memiliki potensi begitu besar, Indonesia tidak memiliki infrastruktur maritim yang memadai untuk mendukung pertumbuhan ekonominya serta mengukuhkan identitasnya sebagai negara bahari.
Rezim Indonesia yang baru berusaha mengembalikan posisi Indonesia sebagai negara bahari. Segera setelah pelantikannya, Presiden Indonesia Joko Widodo pada November 2014 memaparkan lima pilar utama untuk menjadikan Indonesia “Poros Maritim Dunia”. Di antaranya adalah komitmen untuk mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, dengan membangun Tol Laut, pelabuhan laut dalam, logistik, industri perkapalan, serta pariwisata bahari.
Visi Indonesia untuk menjadi “Poros Maritim Dunia” ini sangat berpotensi untuk bersinergi dengan inisiatif OBOR yang dicetuskan China. Untuk mencapai cita-cita bahari ini, Indonesia perlu melakukan pembangunan dan perbaikan infrastruktur maritim, termasuk 24 pelabuhan strategis dan 5 pelabuhan laut dalam. Pembangunan “Tol Laut” pada periode 2015-2019 diperkirakan membutuhkan anggaran US$ 57 miliar.
Sedangkan dalam lingkup regional, ASEAN juga mempunyai masterplan untuk konektivitas (ASEAN Master Plan for Connectivity, AMPC), yang sejalan dengan konsep OBOR. AMPC merupakan hasil diskusi tingkat tinggi dan pertemuan tim kerja teknis sejak 2009, yang konsepnya jauh lebih matang daripada OBOR yang baru dicetuskan 2013. AMPC bisa menyediakan kesempatan bagi perusahaan infrastruktur China bekerja sama dengan mitra lokal ASEAN. Dalam kerangka AMPC, proyek perhubungan darat utama adalah jalur kereta api Singapura—Kunming sepanjang 7.000 kilometer. Sedangkan untuk perhubungan laut, dicanangkan tiga rute pelayaran jarak dekat yang menghubungkan Indonesia dengan Malaysia, Filipina, dan Thailand.
Bagi Indonesia yang memproyeksikan diri sebagai Poros Maritim Dunia, yang dibutuhkan bukan sekadar infrastruktur laut yang tangguh, tetapi juga peran yang lebih besar dalam hal diplomasi kelautan. Indonesia telah mengambil sikap tegas untuk menangkap dan menenggelamkan kapal pencuri ikan yang melakukan penangkapan ikan ilegal di wilayah lautnya. Indonesia juga berusaha mengambil porsi yang lebih besar dalam penyelesaian konflik Laut China Selatan, yang menjadi masalah utama dalam hubungan antara ASEAN dengan China.
Sengketa Laut China Selatan adalah permasalahan perbatasan maritim yang bukan hanya antara China dengan negara-negara anggota ASEAN, tetapi juga antara sesama negara anggota ASEAN. Klaim China yang berupa “Sembilan Garis Putus” bertumpang tindih dengan klaim lima negara ASEAN, termasuk Indonesia. Perselisihan di Laut China Selatan yang paling menonjol adalah dengan Vietnam dan Filipina. Sejauh ini Indonesia mempertahankan sikap netral dan mengambil peran aktif untuk menengahi konflik antara China dengan negara-negara ASEAN.
Pada 2015, konflik di kawasan ini kembali memanas dengan reklamasi pulau yang dilakukan oleh China di kawasan sengketa. Mengenai hal ini, Kementerian Luar Negeri China pada Maret 2015 menyatakan, “China memegang posisi yang jelas dan konsisten dalam masalah Laut China Selatan. Aktivitas konstruksi biasa yang China lakukan di pulau kami sendiri dan di perairan kami sendiri adalah sesuai hukum, masuk akal, dan dapat dibenarkan. Kami berharap pihak-pihak terkait untuk mengambil pandangan tenang dalam hal ini.”
Ini adalah sikap konsisten China dalam menanggapi pertanyaan mengenai sengketa Laut China Selatan. Di satu sisi, China selalu menekankan bahwa mereka percaya jalur diplomasi adalah satu-satunya solusi efektif masalah sengketa Laut China Selatan. Namun di sisi lain mereka juga mengedepankan kata-kata sifat yang tidak bisa didebat, seperti “biasa”, “sesuai hukum”, “masuk akal”, “dapat dibenarkan”, tanpa membuka ruang diskusi mengenai klaim mereka itu. ASEAN biasanya enggan mengkritik langsung aktivitas China di Laut China Selatan. Tetapi pada 28 April 2015 dalam sidang tahunan di Malaysia, negara-negara ASEAN untuk pertama kalinya mengeluarkan pernyataan bersama yang bernada keras, bahwa reklamasi itu telah “merusak kepercayaan dan kepercayaan diri serta mungkin akan menggerogoti perdamaian, keamanan, dan stabilitas di Laut China Selatan”.
Konflik Laut China Selatan adalah duri dalam upaya China memenangkan persahabatan di Asia Tenggara. Penyelesaian masalah Laut China Selatan menjadi semakin urgen dalam upaya China untuk mendapatkan dukungan dalam program kemitraan OBOR. Apabila tidak, kecurigaan publik Asia Tenggara terhadap motif China di balik inisiatif OBOR ini akan semakin besar dan mengganggu legitimasi pemerintah negara-negara terkait dalam membina hubungan dengan China.
China telah menjadi mitra dagang terbesar bagi ASEAN sejak 2009, dan ASEAN adalah mitra dagang terbesar keempat bagi China sejak 2011. China membutuhkan ASEAN dan ASEAN membutuhkan China, sehingga penyelesaian sengketa batas maritim ini menyangkut kepentingan semua pihak. Pada Agustus 2014, Menteri Luar Negeri China Wang Yi mengemukakan prinsip “dual track approach”, yang intinya China setuju menyelesaikan masalah Laut China Selatan dengan kerangka multilateral. ASEAN sebagai satu kesatuan bisa memainkan peran dalam sengketa ini, namun China menolak intervensi dari negara lain di luar kawasan, terutama mediasi yang menguntungkan salah satu pihak. Sikap yang lebih fleksibel dari China ini adalah sebuah langkah maju menuju tercapainya kesepakatan Kode Perilaku bagi semua pihak di Laut China Selatan.
Peningkatan hubungan ekonomi antara China dan ASEAN membutuhkan penyelesaian sengketa Laut China Selatan; namun peningkatan hubungan ekonomi ini juga berperan mempercepat penyelesaian sengketa. Dukungan China terhadap program pembangunan infrastruktur ASEAN bukan hanya memberikan China kesempatan investasi, tetapi juga kepercayaan dan niat baik dari negara tetangga. Kerja sama ekonomi antara China dengan ASEAN dalam kerangka OBOR akan memperlancar negosiasi penyelesaian sengketa Laut China Selatan, atau setidaknya mencegah sengketa itu menjadi penghambat dalam hubungan kedua pihak pada bidang-bidang lain. Demi mencapai ini, China perlu mengedepankan transparansi dalam negosiasi sengketa Laut China Selatan, serta aktif menyosialisasikan inisiatif OBOR kepada publik Asia Tenggara.
Dari China Menuju Dunia
Diluncurkannya inisiatif OBOR oleh China tentu pada awalnya adalah berlandaskan kepentingan nasional mereka sendiri.
China adalah negara yang sangat tergantung pada ekspor, dengan pola pertumbuhan yang didorong oleh investasi. Pada tahun 2008, dalam menghadapi krisis finansial global, pemerintah China mengambil kebijakan stimulus untuk meningkatkan kapasitas produksi demi meredam efek krisis. Langkah ini cukup berhasil pada saat itu, namun kini China menghadapi masalah baru: overkapasitas produksi. Menurut peneliti Yu Yongding dari CASS di Beijing, kebijakan stimulus dan subsidi dari pemerintah itu menyebabkan efisiensi investasi menurun. Pemerintah telah mengantisipasi masalah overkapasitas produksi dengan memfokuskan paket stimulus pada sektor infrastruktur daripada membangun pabrik baru. Berselang beberapa tahun, kini justru terjadi overkapasitas di sektor infrastruktur yang diperparah masalah inefisiensi.
Produksi China di bidang metalurgi sudah dua kali lipat produksi Amerika Serikat sedangkan kebutuhan bagi industri besi baja, semen, aluminium, kaca, batu bara, perkapalan, panel surya, terus mengalami penurunan dan sektor industri ini mengalami kerugian. Selain itu, 90 persen perusahaan investasi China di luar negeri menggunakan pendanaan pemerintah dan beroperasi dengan efisiensi rendah karena kurangnya evaluasi dalam modal, laba, dan risiko. Menurut data asosiasi pertambangan China tahun 2013, hingga 80 persen industri pertambangan China di luar negeri mengalami kegagalan. Dalam krisis 2008, China telah menyuntikkan lebih dari US$ 500 miliar sebagai stimulus infrastruktur publik, kereta api, perumahan publik, konstruksi, dengan tingkat inefisiensi yang tinggi sementara saat ini terjadi penurunan permintaan secara drastis akibat kelesuan ekonomi global.
Kepentingan China adalah menjamin produksi tetap tinggi, karena perlambatan produksi bisa memicu perlambatan ekonomi dan peningkatan pengangguran, yang akan membahayakan stabilitas nasional. Karena itu, China membutuhkan saluran keluar yang mendesak untuk mengalirkan kelebihan kapasitas ini demi mempertahankan pertumbuhan ekonomi. Dan sasarannya adalah negara-negara berkembang di sekeliling wilayah China.
Apabila OBOR hanya dijadikan sebagai solusi untuk mengatasi overkapasitas yang terjadi di China, tentu ini tidak akan mengatasi masalah fundamental, yang akarnya ada pada inefisiensi. Alih-alih menekankan pada kebutuhan domestik, China justru membuka pasar di daerah-daerah yang tidak stabil, seperti Pakistan dan Asia Tengah. Langkah ini justru akan memperlambat urgensi bagi sektor industri di China untuk melakukan transformasi, yang tetap akan menjadi masalah pada tahun-tahun berikutnya. Inefisiensi akan semakin parah apabila China mengalihkan dananya ke negara-negara yang tidak stabil secara ekonomi maupun politik, tidak aman, tidak memiliki penegakan hukum yang kuat, serta tidak bisa menjamin pemenuhan kontrak dan pengembalian investasi.
Kini sudah bukan zamannya lagi sebuah negara melakukan investasi yang tidak menguntungkan secara ekonomis semata-mata demi motif politik. China telah menyatakan komitmen untuk menyediakan dana US$ 900 miliar untuk pembangunan infrastruktur di Eurasia, namun saat ini China juga membutuhkan devisa dalam jumlah besar untuk menstabilkan pasar finansial di dalam negeri. Pada bulan Agustus 2015 saja, cadangan devisa China anjlok sampai US$ 94 miliar untuk menjaga nilai tukar yuan. Ini mungkin akan menghambat sejumlah proyek besar infrastruktur China di luar negeri.
Selain itu, akan terjadi penolakan besar di negara-negara yang merasa dirinya hanya dijadikan sebagai pasar bagi kelebihan produksi di China. Ditambah lagi dengan kecenderungan proyek-proyek di China di luar negeri untuk mempekerjakan tenaga kerja dari China dalam jumlah besar semakin menambah sentimen negatif dari kalangan publik. Penolakan terhadap luapan tenaga kerja dari China telah terjadi di Indonesia, Kirgizstan, dan sejumlah negara Afrika. Di Indonesia, sejumlah investasi China terhadap BUMN Indonesia telah memunculkan opini publik negatif bahwa telah terjadi penjualan aset negara kepada China.
OBOR memang diprediksi akan mampu membuat negara-negara seperti Pakistan, Indonesia, dan Tajikistan semakin mendekat ke arah China, namun pada saat bersamaan akan mengundang kekhawatiran dari kekuatan besar lain yang menganggap kehadiran China mengancam pengaruh mereka di kawasan. Misalnya Rusia di Asia Tengah, India di Samudra Hindia, Amerika Serikat di Laut China Selatan, serta sejumlah negara Eropa yang tidak nyaman dengan perluasan pengaruh China di Eropa. Ini justru akan semakin mempertajam teori “ancaman China” yang dihembuskan sejumlah negara.
China telah berusaha meredam ini dengan menekankan bahwa Jalur Sutra adalah inisiatif menang-menang yang saling menguntungkan semua pihak yang mau bergabung. Namun sejauh ini, China masih kekurangan mitra dalam menggerakkan inisiatif ini. China hampir sendirian menjadi penyandang dana utama. Dari 52 negara anggota AIIB, China menyumbang 30 persen dana; hanya India dan Rusia yang memegang porsi di atas 5 persen, sedangkan mayoritas negara anggota berada di bawah 2 persen. Ketidakseimbangan ini menyebabkan kecenderungan banyak negara yang menganggap China adalah mesin ATM untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur mereka.
Presiden Xi Jinping mempromosikan ide OBOR sebagai “komunitas dengan masa depan bersama”, tanpa menjelaskan dengan konkret bagaimana mewujudkannya. Pemahaman di kalangan negara luar maupun publik internasional yang ingin dilibatkan China dalam inisiatif ini masih sangat rendah. Bahkan para peneliti di China masih meraba-raba definisi dan arah perkembangan dari inisiatif ini. Ketidakjelasan konsep ini membuat China belum berhasil meyakinkan negara-negara luar untuk bergabung secara aktif.
OBOR tentu bisa menjadi sebuah mimpi besar perubahan dunia. Sebagaimana Jalur Sutra di masa kuno, OBOR diharapkan bisa menjadi pendobrak sekat-sekat garis batas, menghubungkan manusia dari berbagai bangsa untuk mewujudkan kemakmuran bersama. Tetapi untuk mencapai utopia ini dibutuhkan partisipasi aktif berbagai negara, tidak bisa menjadi permainan tunggal China semata. Sebelum ke sana, China perlu meyakinkan pada dunia bahwa OBOR adalah juga milik dunia.
Artikelnya sangat mengayakan Gus Weng. TFS.
wah sepertinya jalur sutranya gk lewat jakarta yah
analisis mengenai 一带一路 yang bagus, sudah seperti pakar HI mas